Aku mengetuk pintu rumah dengan cemas, berharap apa pun yang ingin dibicarakan Ibu tidak seburuk yang aku bayangkan. "Aku pulang!" seruku, suaraku sedikit bergetar.
Saat pintu terbuka, aku melihat Ibu sudah duduk di sofa depan televisi, wajahnya terlihat serius meski TV menyala dengan volume rendah. Hawa tegang menyelimuti ruang tamu, membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku melangkah mendekat, mencoba tersenyum meski hati ini penuh tanya. "Ada apa, Bu? Kenapa mendadak sekali?" Ibu menoleh pelan dan menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Sebelum ibu menceritakannya, kamu ganti baju dulu," katanya dengan nada tenang tapi tegas. Aku mengangguk, meski rasa penasaran makin menggelayut. Dengan langkah cepat, aku menuju kamar, berganti pakaian, dan mencoba menenangkan diri. Pikiran-pikiran acak terus berputar di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ibu terlihat begitu serius? Setelah berganti baju, aku kembali ke ruang tamu, duduk di sebelah Ibu yang kini mematikan televisi. "Baik, Bu. Sekarang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi." Ibu tersenyum tipis, matanya sejenak menerawang ke masa lalu. "Kamu ingat ayah pernah menceritakan tentang kakekmu?" Aku mengangguk, meski tak terlalu banyak yang kuingat. "Ya, Alya ingat. Kakek meninggal saat Alya umur 3 tahun." Ibu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Dulu, kakekmu bekerja di rumah keluarga konglomerat. Keluarga yang sangat terpandang dan kaya raya. Kakek bekerja di sana selama 50 tahun. Selama itu, mereka menganggap kakek seperti bagian dari keluarga mereka sendiri." Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata ibu. "Mereka menganggap kakek seperti keluarga?" ulangku, agak bingung. "Tapi... kenapa ibu cerita soal ini sekarang?" Ibu menatapku serius, senyum di wajahnya menghilang. "Karena keluarga itu, Alya... mereka punya kaitan besar dengan masa depanmu." Aku tertegun, tak mengerti maksud dari kata-kata ibu. "Maksud ibu... apa?" tanyaku pelan, mencoba menyusun semua potongan cerita ini. Ibu menghela napas, lalu melanjutkan, "Keluarga tempat kakekmu bekerja dulu, mereka tidak hanya menghargai kerja keras kakek. Mereka merasa berutang budi, dan sekarang mereka ingin membalas jasa kakek... lewat kamu." Dadaku berdegup kencang. "Lewat aku? Maksud ibu... gimana?" Ibu terdiam sejenak, tampak ragu untuk melanjutkan. Namun akhirnya, ia berkata, "Mereka mengajukan perjodohan, Alya. Dengan putra keluarga mereka." Dunia terasa berputar. Aku menatap ibu tak percaya. "Perjodohan? Tapi... kenapa? Kenapa harus aku?" "Mereka punya janji lama, Alya," lanjut ibu, suaranya terdengar lebih berat. "Kakekmu dan kepala keluarga itu saling berjanji, suatu hari nanti, keluarga mereka dan keluarga kita akan bersatu—menjadi satu keluarga yang sesungguhnya." Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. "Jadi... ini semua karena janji mereka?" tanyaku pelan, hatiku bergejolak antara kebingungan dan penolakan. "Ibu, ini... ini gila. Zaman sekarang masih ada perjodohan kayak gitu?" Ibu menunduk, tampak lelah. "Ibu tahu ini terdengar kuno, tapi janji itu penting bagi mereka, Alya. Keluarga mereka sangat menghargai tradisi. Dan... mereka juga berpengaruh. Ibu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ayahmu menceritakan hal ini pada ibu, sebelum dia meninggal." Aku melihat air mata jatuh di sudut matanya, dan hatiku serasa teriris. Rasa sakit di wajahnya membuatku semakin merasa terjebak dalam situasi ini. Bagaimana bisa sebuah janji yang dibuat puluhan tahun lalu memengaruhi hidupku sekarang? “Jadi, ini semua tentang tradisi dan keluarga? Tidak ada ruang untuk pilihan atau perasaanku?” tanyaku dengan suara bergetar. "Aku masih sekolah, Bu. Masa depanku belum jelas." Ibu mengusap air matanya, mengangkat wajahnya yang lelah. "Alya, hidup ini penuh dengan hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Kadang kita harus menjalani apa yang telah ditetapkan oleh orang-orang sebelum kita. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu." “Terbaik?” ulangku, merasa marah dan bingung. “Apa yang terbaik itu jika aku harus menikahi seseorang yang bahkan tidak aku kenal? Bagaimana dengan impianku?” Ibu mengangguk pelan, ekspresinya campuran antara rasa bersalah dan ketegangan. "Ibu tahu, Nak. Tapi, Mereka menghubungi ibu kemarin. Putra mereka yang selama ini tinggal di luar negeri sudah pulang, dan mereka ingin perjanjian itu segera terlaksana." Hatiku seperti tenggelam mendengar itu. "Jadi... mereka benar-benar serius soal ini?" tanyaku, suaraku hampir bergetar. Ibu menatapku dalam-dalam, ada kesedihan di matanya. "Iya, Alya. Mereka tidak main-main. Mereka ingin menjaga warisan janji itu, dan putranya sudah setuju." Aku menggigit bibirku, rasa bingung dan tertekan semakin kuat. "Tapi, Bu... aku bahkan belum pernah ketemu sama mereka. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali asing buatku?" Ibu menghela napas panjang. "Ibu paham, Nak. Kamu akan punya waktu untuk mengenalnya sebelum mengambil keputusan akhir. Tapi ibu ingin kamu tahu, situasi ini bukan cuma soal perjanjian lama. Keluarga itu... punya pengaruh besar. Ini bukan cuma tentang kakekmu, tapi juga masa depan kita." Aku merasa dunia di sekitarku semakin sempit. "Masa depan kita... atau masa depan mereka?" Ibu menatapku dengan sorot mata penuh pengertian, tapi juga kelelahan. "Ibu paham, Alya. Ibu tahu kamu masih sekolah, masih ingin fokus sama masa depanmu sendiri. Tapi ini juga tentang kesejahteraan keluarga kita. Keluarga itu bisa memberi kita kesempatan yang mungkin nggak akan datang dua kali." Aku menggeleng kuat, rasa gelisah merayap semakin dalam. "Tapi, Bu... Alya nggak mau menikah sekarang. Alya belum siap! Alya bahkan belum tahu apa yang Alya mau untuk diri sendiri, apalagi untuk pernikahan." Ibu diam sejenak, seperti sedang menimbang-nimbang kata-kata berikutnya. "Ibu nggak memaksamu sekarang, Alya. Ibu cuma minta kamu bertemu dulu dengan mereka. Beri diri kamu kesempatan untuk kenal putra mereka. Setelah itu, keputusan ada di tanganmu." Aku menghela napas berat, merasa terjebak di antara rasa kewajiban terhadap keluarga dan keinginan pribadiku. "Alya akan ketemu mereka, tapi Alya nggak janji apa-apa," jawabku akhirnya, setengah menyerah. Ibu tersenyum tipis, sedikit lega. "Itu sudah lebih dari cukup untuk sekarang, Nak." Setelah mendengar jawaban ibu, aku bergegas menuju kamar. Begitu pintu tertutup, air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Kenapa mereka membuat janji seperti itu? Kenapa masa depanku harus terikat oleh sesuatu yang aku bahkan tidak tahu? Rasanya seperti hidupku bukan lagi milikku. Aku duduk di tepi ranjang, memeluk bantal erat-erat, seolah bisa meredam semua perasaan campur aduk yang berkecamuk di dadaku. Semua rencana dan impian yang kupikir sudah jelas kini terasa hancur. Aku belum siap. Aku masih ingin bebas, hidup seperti remaja lainnya, mengejar mimpi-mimpiku. Tapi sekarang, masa depanku terasa digantungkan pada sesuatu yang bahkan aku tidak pernah inginkan. Aku membenamkan kepalaku ke bantal, berharap bisa meredam semua kekacauan yang ada di pikiranku. Suara detak jam di dinding menjadi satu-satunya hal yang terdengar di ruangan, tetapi itu tak membantu mengusir kekalutan yang menghantuiku. Perasaan cemas dan bingung menumpuk, tetapi rasa lelah mengambil alih tubuhku. Tanpa kusadari, mataku perlahan tertutup, dan aku tertidur di tengah segala kekhawatiran yang belum terselesaikan. Pagi itu, aku berada di sekolah dengan langkah yang gontai, seolah tubuhku bergerak tanpa energi. Matahari sudah tinggi, tapi cahayanya tidak membuatku merasa lebih baik. Rasanya seperti berat seluruh dunia ada di pundakku. Setiap langkah seakan lebih lambat dari biasanya, seperti kakiku menolak untuk melangkah ke depan. Siswa-siswa lain terlihat sibuk dengan aktivitas pagi mereka—ada yang berlarian, ada yang tertawa, beberapa bahkan sibuk bercanda di lorong. Tapi aku tak peduli. Semua itu terasa jauh, seperti dunia mereka tak lagi menjadi bagian dari duniaku. Aku hanya berjalan tanpa arah, pikiran masih berkutat pada percakapan dengan ibu semalam. Setiap kali terlintas di pikiranku, dada ini terasa sesak. Bagaimana mungkin hidupku tiba-tiba berubah hanya karena sebuah janji yang dibuat bertahun-tahun lalu? Aku tak tahu harus berbuat apa. Seira menghampiriku ketika aku baru saja melewati pintu kelas. "Alya, tumben kamu nggak terlambat?" tanyanya sambil merangkul pundakku. Tapi begitu dia melihat wajahku lebih dekat, ekspresinya berubah. "Kenapa matamu bengkak?" tanyanya, nadanya penuh kekhawatiran. Aku hanya diam, tak sanggup menjawab. Kata-kata yang biasanya mudah meluncur dari bibirku tiba-tiba terasa terlalu berat untuk diucapkan. Aku terus berjalan ke bangku, membiarkan keramaian sekolah tetap berjalan tanpa menyentuh perasaanku yang tengah kacau. “Hey, kamu harus cerita. Jangan dipendam sendiri!” Seira mendesakku, matanya tak lepas menatapku. “Kalau kamu lagi ada masalah, aku bisa bantu.” Aku melirik ke arah papan tulis, mencoba mengalihkan perhatianku. “Nggak ada apa-apa, Seira,” jawabku pelan, meski suara hatiku berteriak sebaliknya. Satu sisi ingin berbagi, tetapi sisi lainnya takut untuk membuka luka yang baru saja terbuka. Seira menyipitkan mata, tidak yakin dengan jawabanku. “Alya, aku tahu kamu. Ini bukan kamu yang biasanya. Coba jujur sama aku, ya?” Bel berbunyi, memecah keheningan di antara kami. Suasana kelas berubah, siswa-siswi mulai mengambil tempat duduk dan mempersiapkan pelajaran. Aku menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. “Mungkin nanti,” kataku akhirnya. “Tapi sekarang, aku butuh waktu.” Seira mengangguk, terlihat sedikit kecewa tapi tetap mendukung. “Baiklah, aku akan ada di sini kalau kamu siap bicara. Ingat, kita kan teman.” Aku tersenyum tipis, merasa sedikit lega meski beban di pundakku masih terasa berat. Saat pelajaran dimulai, aku mencoba fokus, tetapi pikiran tentang perjodohan dan janji yang mengikatku terus menghantui. Suara guru yang menjelaskan pelajaran hanya menjadi latar belakang, sedangkan kepalaku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Aku mengernyitkan keningku saat mendengar suara sumbang dari gitarku, nada yang tidak seharusnya muncul saat bermain. Semua yang ada di ruangan berhenti sejenak, menatapku dengan campuran keheranan dan perhatian. “Maaf, aku tidak fokus hari ini,” ucapku, merasa bersalah. Jari-jariku bergetar, tak mampu menyentuh senar dengan benar. Rasanya seperti semua orang menunggu penjelasanku, dan semakin banyak tatapan yang mengarah kepadaku, semakin tidak nyaman aku merasa. Seira, yang berdiri disampingku, berusaha menyemangati dengan senyuman. “Nggak apa-apa, Alya. Kita semua punya hari buruk. Coba lagi.” Aku mengangguk, berusaha menenangkan diri. “Iya, mungkin aku butuh sedikit waktu.” Kutatap gitar yang seharusnya memberiku rasa nyaman, tetapi hari ini terasa berat. “Kamu istirahat saja dulu,” ucap Rakha, memicingkan mata, seolah berusaha menilai keadaanku. “Aku nggak apa-apa. Pentas seni tinggal 5 hari lagi. Kita harus latihan.” balasku, berusaha menunjukkan semangat meski di dalam hati masih terasa berat. Rakha menggelengkan kepala, tidak percaya. “Al, kamu tahu sendiri, kalau kamu tidak dalam kondisi baik, penampilan kita akan berantakan. Kita butuh kamu yang terbaik.” “Semua orang juga butuh yang terbaik, kan?” jawabku, sedikit defensif. “Aku bisa mengatur semuanya.” Dia mengangkat alisnya, mencoba mengingatkan. “Tapi kamu tidak bisa mengatur perasaanmu. Kadang, kita perlu memberi diri kita waktu untuk memproses semua ini.” Aku terdiam, teringat semua yang terjadi. “Mungkin kamu benar. Tapi…,” suaraku pelan, “aku tidak ingin mengecewakan kalian.” “Tidak ada yang akan kecewa,” sahut Dino kali ini. “Kita semua di sini untuk saling mendukung. Jika kamu perlu waktu, kita akan menunggu. Kita bisa berlatih tanpa kamu hari ini, kok.” Rasa terima kasih mengalir dalam diriku. “Kalian tahu, aku merasa beruntung punya teman seperti kalian.” Seira, Rakha dan Dino tersenyum, senyuman yang membuatku merasa sedikit lebih baik. “Oke, kalau gitu, istirahatlah. Kita bisa latihan lagi besok. Fokus pada dirimu dulu.” Aku mengangguk, sedikit lega. Mungkin memang saatnya untuk memberikan diriku waktu. Dalam hening itu, aku merasakan dukungan dari teman-temanku, dan untuk pertama kalinya hari ini, rasa berat itu sedikit terangkat.Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng.Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan."Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran."Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar.Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku. Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya be
Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, seolah baru saja menaklukkan catwalk, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seolah dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini—“Oh, dia muridku!” seolah dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu—barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang.Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya."Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga."Revan, ini Alya
Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tujuh hari lagi aku akan bertunangan dengan Revan.Perasaan campur aduk menyelimuti pikiranku. Dalam tujuh hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang—siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan.Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan makan siang, berbagi cerita dan canda tawa, seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Mereka tidak tahu bahwa di balik senyumku, ada ketakutan yang merayap perlahan, m
“Alya! Fokus dong, sebentar lagi kita mau pentas!” seru Seira sambil tersenyum lebar, matanya berkilat penuh semangat.Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali memetik senar gitar, mencoba menemukan melodi yang pas untuk lagu kami. Ruang musik yang sudah akrab dengan kehadiran kami dipenuhi oleh gema suara instrumen—tempat di mana tawa, obrolan serius, dan musik selalu menyatu.Seira berdiri di depan mikrofon, sementara Dino sibuk memukul snare drumnya, pemanasan sebelum latihan dimulai. Di pojokan, Rakha duduk dengan tenang, jari-jarinya gesit di atas senar bass, ekspresinya selalu fokus, meski tak pernah menunjukkan emosi berlebih.“Serius, Alya. Pentas kali ini harus keren! Ini kesempatan besar buat kita,” tambah Seira, kini dengan nada yang lebih mendesak.Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Iya, iya. aku cuma merasa perlu menambah sesuatu di intro tadi biar lebih terasa feel-nya.”Rakha yang biasanya pendiam, tiba-tiba menimpali, “Sesuatu yang beda, tapi nggak perlu ribet. Kadang k
Saat aku berdiri di luar kelas, pikiranku penuh dengan rasa frustrasi dan bersalah. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara guru baru yang tegas itu, melanjutkan pelajaran seperti tak peduli dengan keberadaanku di luar. Tatapannya yang tadi dingin seolah masih terasa, seperti dia puas karena berhasil 'mengusir' ku.Aku menunduk, bermain dengan ujung seragamku, merenung, "Kenapa aku harus terlambat di hari pertama dia mengajar?" Tentu saja, dengan gaya khasku, aku selalu berhasil menciptakan kesan pertama yang... unik.Tiba-tiba, pintu kelas terbuka perlahan, membuatku hampir terkejut. Dino, teman sekelasku yang selalu santai—bahkan mungkin terlalu santai—muncul dengan senyum lemah, seolah dipaksakan."Aku temani kamu di sini, Al.", ucapnya ringan, meski aku tahu dia sedang menahan tawa. “Aku lupa bawa buku kimia.”Aku menatapnya, setengah tidak percaya. "Serius? Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar daripada kembali mengambil buku?"Dino mengangkat bahu, seolah keputusan itu h