Saat aku berdiri di luar kelas, pikiranku penuh dengan rasa frustrasi dan bersalah. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara guru baru yang tegas itu, melanjutkan pelajaran seperti tak peduli dengan keberadaanku di luar. Tatapannya yang tadi dingin seolah masih terasa, seperti dia puas karena berhasil 'mengusir' ku.
Aku menunduk, bermain dengan ujung seragamku, merenung, "Kenapa aku harus terlambat di hari pertama dia mengajar?" Tentu saja, dengan gaya khasku, aku selalu berhasil menciptakan kesan pertama yang... unik. Tiba-tiba, pintu kelas terbuka perlahan, membuatku hampir terkejut. Dino, teman sekelasku yang selalu santai—bahkan mungkin terlalu santai—muncul dengan senyum lemah, seolah dipaksakan. "Aku temani kamu di sini, Al.", ucapnya ringan, meski aku tahu dia sedang menahan tawa. “Aku lupa bawa buku kimia.” Aku menatapnya, setengah tidak percaya. "Serius? Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar daripada kembali mengambil buku?" Dino mengangkat bahu, seolah keputusan itu hal paling logis di dunia. "Lebih baik di sini daripada mendengarkan penjelasan tentang tabel periodik sambil mendapat tatapan yang membuat kita merasa selalu salah. Lagipula, di luar lebih tenang." Aku menahan tawa sambil melirik pintu kelas. "Tenang katamu? Kita disuruh bediri diluar, lho." Dino mengangguk mantap. “Ya, tenang. Maksudku, tidak ada tekanan di sini. Di dalam kelas, ada buku atau tidak, tetap saja rasanya seperti anak ayam yang terjebak di kandang singa.” Aku tertawa kecil, sedikit terhibur meski rasa frustrasiku belum sepenuhnya hilang. "Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar sambil berpura-pura memikirkan pelajaran yang jelas-jelas tidak akan kamu pahami?" Dino mengangguk dengan serius, matanya berkilau penuh canda. "Strategi bertahan hidup, Al. Kalau terlalu lama di dalam, bisa-bisa dia menyuruhku menyanyi lagu tentang kimia, dan sayangnya, aku tidak punya kunci nada untuk itu." Aku tertawa pelan, mulai merasa lebih santai. "Baiklah. Tapi serius, guru ini benar-benar tegas. Hanya karena aku terlambat beberapa menit, dia langsung mengusirku keluar?" Dino memasang wajah pura-pura bijaksana, mengusap dagunya dengan gaya seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat mendalam. “Ah, itulah seni,” katanya, berusaha terdengar sebijak mungkin. “Seni membangun disiplin... atau ketakutan. Mungkin keduanya.” Aku memandangnya bingung. "Seni? Kamu menyebut mengusir murid keluar kelas itu seni?" Dino mengangguk penuh keyakinan, seolah baru saja menemukan filosofi hidup. “Iya, Al. Dia seperti seorang maestro yang memainkan simfoni ketegangan. Setiap gerakannya penuh perhitungan, setiap kata tegasnya itu seperti nada yang membuat kita sadar bahwa dia... adalah konduktornya. Dan kita—” Dia menunjuk ke arahku dan dirinya sendiri. “—kita adalah penonton yang tidak punya pilihan selain mengikuti alurnya, atau ya... berdiri di luar seperti ini.” Aku menatapnya tak percaya sambil menahan tawa. “Jadi menurutmu, berdiri di luar karena terlambat itu bagian dari... simfoni?" Dino mengangkat bahu lagi. "Tentu saja! Lihatlah, sekarang kita menjadi bagian dari pertunjukan. Kita adalah latar belakang, memberi warna pada drama kehidupan sekolah." Aku tertawa, tak sanggup menahan diri. "Kamu benar-benar terlalu banyak nonton film, Din." Dino mengangkat alisnya dengan bangga. "Hei, film adalah sumber inspirasi. Lagi pula, hidup tanpa drama itu seperti teh tanpa gula—kurang rasa!" Dino memang selalu bisa membuatku tertawa. Di tengah suasana seserius ini, dia tetap bisa mengubah semuanya menjadi candaan. Kalau tidak ada dia, mungkin suasana akan terasa lebih sunyi dan membosankan. Setelah pelajaran usai, aku masih berdiri di luar, menunggu dengan gelisah. Saat Pak Revan akhirnya keluar dari kelas, aku menahan napas, berharap dia akan memberi isyarat atau setidaknya melihatku. Tapi tidak. Dia melewatiku begitu saja, seolah-olah aku hanyalah bagian dari tembok. Bahkan sehelai rambutku pun tidak menarik perhatiannya. Tatapannya lurus ke depan, dingin dan tak tergoyahkan. Rasanya seakan aku hanyalah angin yang tak terlihat dan tak terdeteksi. Aku menghela napas panjang, setengah lega, setengah kesal. "Yah, setidaknya ini lebih baik daripada dimarahi," gumamku pelan sambil menggeleng. “Ayo masuk,” ajakku pada Dino. Kami melangkah kembali ke dalam kelas. Begitu masuk, aku melihat Seira yang sedang menundukkan wajah di meja. Dia tampak putus asa. Aku duduk di sampingnya dan menyenggol lengannya pelan. "Kenapa pelajaran kimia harus jadi jam pertama? Ini seperti hukuman sebelum hari dimulai." "Bu Yuni tidak masuk hari ini, jadi pelajaran selanjutnya dimajukan," jawab Seira lesu. "Pak Revan itu benar-benar guru yang menakutkan. Aku bahkan tidak berani menoleh sedikit pun," keluhnya sambil memijat lehernya, seolah baru saja mengalami ketegangan luar biasa. Aku tertawa kecil, berusaha menghilangkan kekesalanku. "Segitunya, Seira? Baru juga sekali bertemu." "Memang iya!" Seira mengangkat wajahnya dengan ekspresi frustrasi. "Rasanya seperti ada sinar laser yang mengawasi setiap gerakanku." Dino yang baru duduk di belakang kami ikut menimpali, "Kalau killer, mungkin dia bisa pakai kekuatan super buat tahu siapa yang nyontek, kayak... telepati guru." Kami semua tertawa, mencoba melupakan ketegangan kelas dengan candaan yang sedikit berlebihan. Dari obrolan kami di kelas, akhirnya aku tahu bahwa nama guru baru itu adalah Revan Permana. Tak hanya dikenal dengan sikap tegasnya, tapi juga kabarnya dia lulusan dari luar negeri. Seira, dengan antusias khasnya, langsung berbisik-bisik penuh takjub, "Lulusan luar negeri, Al. Pantes aja auranya beda." Aku mengangkat alis, mencoba menutupi rasa penasaran. "Oh, luar negeri ya? Nggak heran kalau dia serius banget, mungkin cara ngajarnya juga beda." "Serius atau dingin beku?" tambah Dino, menyeringai jahil di belakang kami sambil memperagakan kedinginan. Dia mulai menggosok-gosokkan tangannya ke lengan, menggigil dengan dramatis seolah-olah sedang berada di kutub utara. "Aduh, brrrr... Pak Revan si es batu dari negeri jauh," candanya, membuat kami tertawa kecil meski masih merasa tegang dengan suasana kelas tadi. Seira menutupi wajahnya dengan buku, tertawa kecil. "Dino, kamu kebanyakan drama." "Tapi serius, kan? Rasanya tiap dia lewat, suhunya turun lima derajat!" lanjut Dino, kali ini dengan wajah penuh kepolosan pura-pura. "Kalau dia ngajarnya di ruang pendingin, mungkin bisa sekalian bikin es krim." Aku tak bisa menahan tawa lagi, meski di dalam hati ada sedikit kegelisahan tentang bagaimana aku harus berurusan dengan guru satu ini di hari-hari mendatang. Jam istirahat tiba, kami bergegas ke kantin dan bertemu dengan Rakha, yang berbeda kelas. Dia sudah duduk di meja kantin, satu tangan memegang sendok, sementara tangan lainnya memegang buku tebal. Wajahnya tampak serius, seolah sedang memecahkan masalah besar. “Hey, Rakha! Lagi belajar atau sedang menunggu tawaran jadi profesor?” tanyaku sambil duduk di sampingnya, diikuti Seira dan Dino. Rakha menoleh, tersenyum tipis. “Aku sedang mencari keseimbangan antara nutrisi dan pengetahuan. Satu sendok untuk energi, satu halaman untuk kecerdasan,” jawabnya santai. "Kalian seharusnya belajar juga, terutama kamu, Al. Aku lihat tadi pagi kamu berdiri di luar," lanjutnya dengan senyum mengejek. Aku mendengus, "Aku kira pelajaran tadi Bu Yuni. Bu Yuni kan baik, bukan seperti guru baru itu, yang sangat tegas." Mereka tertawa melihat ekspresiku. Seira menambahkan, "Yah, lagipula kamu memang sering terlambat." Aku hanya menggeleng, jengkel dengan ledekan mereka. "Halah, seolah kalian tidak pernah terlambat." Dino berpura-pura berpikir, mengusap dagunya seperti seorang filsuf yang tengah memecahkan misteri besar. “Hmm, kalau soal terlambat, kamu memang juaranya!” katanya sambil tersenyum lebar. Seira dan Dino, tertawa terbahak-bahak, seolah sebuah kemenangan telah mereka raih hanya dengan mengejekku. Gelak tawa mereka menggema, bikin aku merasa kecil dan tak berdaya di tengah-tengah ejekan. Aku hanya bisa mendengus kesal sambil memasang wajah pura-pura jengkel, meski di dalam hati ada sedikit tawa yang ikut terselip. "Sudahlah, lupakan tentang Pak Revan," ujar Rakha, mencoba meredakan suasana. "Kita lebih baik fokus ke pentas seni nanti." "Benar, pentas seni lebih penting," sambung Seira. Kami mulai membahas persiapan pentas seni dengan semangat, sejenak melupakan semua ketegangan yang terjadi di kelas tadi. “Jangan lupa, kita harus menyatukan semua bagian dari lagu itu. Aku sudah memikirkan variasi baru untuk bagian intro,” kataku, berusaha mengalihkan perhatian tentang Pak Revan. Pulang sekolah kita latihan lagi,” kata Rakha dengan serius, tetapi senyum kecil di sudut bibirnya menunjukkan bahwa dia sebenarnya bersemangat. "Baik, Bos," jawab kami kompak, lalu menghabiskan makanan yang sudah kami pesan sebelumnya sambil mengobrol tentang banyak hal. Alya, sehabis pulang sekolah, kamu langsung ke rumah ya. Ada hal penting yang harus dibicarakan. Aku melihat pesan yang dikirim Ibu. Tak biasanya Ibu seperti ini. Hati ini mulai berdebar-debar. Ada apa gerangan? Pikirku, sambil membayangkan berbagai kemungkinan. "Maaf, teman-teman. Aku tak bisa ikut latihan hari ini," ucapku saat tiba di ruang latihan. "Kenapa?" tanya Seira, dengan ekspresi khawatir. "Ibuku menyuruh pulang," jawabku, memperlihatkan pesan dari ibuku di ponselku. "Lihat, dia bilang ada hal penting." Seira mengangguk pelan, menatapku dengan sedikit khawatir. "Ya, baiklah. Kita bisa latihan tanpa kamu, tapi jangan sampai ketinggalan info penting, ya!" "Terima kasih. Semoga latihan kalian berjalan lancar," balasku sambil tersenyum tipis, sebelum melangkah keluar. Setelah pintu tertutup di belakangku, aku mulai berlari kecil menuju rumah, napasku terasa berat. Pikiranku terus dipenuhi rasa penasaran. Apa yang sebenarnya ingin Ibu bicarakan? Sesuatu yang penting, katanya. Tapi apa?Aku mengetuk pintu rumah dengan cemas, berharap apa pun yang ingin dibicarakan Ibu tidak seburuk yang aku bayangkan. "Aku pulang!" seruku, suaraku sedikit bergetar. Saat pintu terbuka, aku melihat Ibu sudah duduk di sofa depan televisi, wajahnya terlihat serius meski TV menyala dengan volume rendah. Hawa tegang menyelimuti ruang tamu, membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku melangkah mendekat, mencoba tersenyum meski hati ini penuh tanya. "Ada apa, Bu? Kenapa mendadak sekali?" Ibu menoleh pelan dan menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Sebelum ibu menceritakannya, kamu ganti baju dulu," katanya dengan nada tenang tapi tegas. Aku mengangguk, meski rasa penasaran makin menggelayut. Dengan langkah cepat, aku menuju kamar, berganti pakaian, dan mencoba menenangkan diri. Pikiran-pikiran acak terus berputar di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ibu terlihat begitu serius? Setelah berganti baju, aku kembali ke ruang tamu, duduk di sebelah Ibu yang kini mematikan televi
Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng.Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan."Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran."Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar.Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku. Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya be
Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, seolah baru saja menaklukkan catwalk, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seolah dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini—“Oh, dia muridku!” seolah dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu—barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang.Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya."Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga."Revan, ini Alya
Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tujuh hari lagi aku akan bertunangan dengan Revan.Perasaan campur aduk menyelimuti pikiranku. Dalam tujuh hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang—siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan.Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan makan siang, berbagi cerita dan canda tawa, seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Mereka tidak tahu bahwa di balik senyumku, ada ketakutan yang merayap perlahan, m
“Alya! Fokus dong, sebentar lagi kita mau pentas!” seru Seira sambil tersenyum lebar, matanya berkilat penuh semangat.Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali memetik senar gitar, mencoba menemukan melodi yang pas untuk lagu kami. Ruang musik yang sudah akrab dengan kehadiran kami dipenuhi oleh gema suara instrumen—tempat di mana tawa, obrolan serius, dan musik selalu menyatu.Seira berdiri di depan mikrofon, sementara Dino sibuk memukul snare drumnya, pemanasan sebelum latihan dimulai. Di pojokan, Rakha duduk dengan tenang, jari-jarinya gesit di atas senar bass, ekspresinya selalu fokus, meski tak pernah menunjukkan emosi berlebih.“Serius, Alya. Pentas kali ini harus keren! Ini kesempatan besar buat kita,” tambah Seira, kini dengan nada yang lebih mendesak.Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Iya, iya. aku cuma merasa perlu menambah sesuatu di intro tadi biar lebih terasa feel-nya.”Rakha yang biasanya pendiam, tiba-tiba menimpali, “Sesuatu yang beda, tapi nggak perlu ribet. Kadang k