Saat aku berdiri di luar kelas, pikiranku penuh dengan rasa frustrasi dan bersalah. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara guru baru yang tegas itu, melanjutkan pelajaran seperti tak peduli dengan keberadaanku di luar. Tatapannya yang tadi dingin seolah masih terasa, seperti dia puas karena berhasil 'mengusir' ku.
Aku menunduk, bermain dengan ujung seragamku, merenung, "Kenapa aku harus terlambat di hari pertama dia mengajar?" Tentu saja, dengan gaya khasku, aku selalu berhasil menciptakan kesan pertama yang... unik. Tiba-tiba, pintu kelas terbuka perlahan, membuatku hampir terkejut. Dino, teman sekelasku yang selalu santai—bahkan mungkin terlalu santai—muncul dengan senyum lemah, seolah dipaksakan. "Aku temani kamu di sini, Al.", ucapnya ringan, meski aku tahu dia sedang menahan tawa. "Aku lupa bawa buku kimia." Aku menatapnya, setengah tidak percaya. "Serius? Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar daripada kembali mengambil buku?" Dino mengangkat bahu, seolah keputusan itu hal paling logis di dunia. "Lebih baik di sini daripada mendengarkan penjelasan tentang tabel periodik sambil mendapat tatapan yang membuat kita merasa selalu salah. Lagipula, di luar lebih tenang." Aku menahan tawa sambil melirik pintu kelas. "Tenang katamu? Kita disuruh bediri diluar, lho." Dino mengangguk mantap. "Ya, tenang. Maksudku, tidak ada tekanan di sini. Di dalam kelas, ada buku atau tidak, tetap saja rasanya seperti anak ayam yang terjebak di kandang singa." Aku tertawa kecil, sedikit terhibur meski rasa frustrasiku belum sepenuhnya hilang. "Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar sambil berpura-pura memikirkan pelajaran yang jelas-jelas tidak akan kamu pahami?" Dino mengangguk dengan serius, matanya berkilau penuh canda. "Strategi bertahan hidup, Al. Kalau terlalu lama di dalam, bisa-bisa dia menyuruhku menyanyi lagu tentang kimia, dan sayangnya, aku tidak punya kunci nada untuk itu." Aku tertawa pelan. "Baiklah. Tapi serius, guru ini benar-benar tegas. Hanya karena aku terlambat beberapa menit, dia langsung mengusirku keluar?" Dino memasang wajah pura-pura bijaksana, mengusap dagunya dengan gaya seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat mendalam. "Ah, itulah seni," katanya, berusaha terdengar sebijak mungkin. "Seni membangun disiplin... atau ketakutan. Mungkin keduanya." Aku memandangnya bingung. "Seni? Kamu menyebut mengusir murid keluar kelas itu seni?" Dino mengangguk penuh keyakinan, seolah baru saja menemukan filosofi hidup. "Iya, Al. Dia seperti seorang maestro yang memainkan simfoni ketegangan. Setiap gerakannya penuh perhitungan, setiap kata tegasnya itu seperti nada yang membuat kita sadar bahwa dia... adalah konduktornya. Dan kita—" Dia menunjuk ke arahku dan dirinya sendiri. "—kita adalah penonton yang tidak punya pilihan selain mengikuti alurnya, atau ya... berdiri di luar seperti ini." Aku menatapnya tak percaya sambil menahan tawa. "Jadi menurutmu, berdiri di luar karena terlambat itu bagian dari... simfoni?" Dino mengangkat bahu lagi. "Tentu saja! Lihatlah, sekarang kita menjadi bagian dari pertunjukan. Kita adalah latar belakang, memberi warna pada drama kehidupan sekolah." Aku tertawa, tak sanggup menahan diri. "Kamu benar-benar terlalu banyak nonton film, Din." Dino mengangkat alisnya dengan bangga. "Hei, film adalah sumber inspirasi. Lagi pula, hidup tanpa drama itu seperti teh tanpa gula—kurang rasa!" Dino memang selalu bisa membuatku tertawa. Di tengah suasana seserius ini, dia tetap bisa mengubah semuanya menjadi candaan. Kalau tidak ada dia, mungkin suasana akan terasa lebih sunyi dan membosankan. Setelah pelajaran usai, aku masih berdiri di luar, menunggu dengan gelisah. Saat Pak Revan akhirnya keluar dari kelas, aku menahan napas, berharap dia akan memberi isyarat atau setidaknya melihatku. Tapi tidak. Dia melewatiku begitu saja, seolah-olah aku hanyalah bagian dari tembok. Bahkan sehelai rambutku pun tidak menarik perhatiannya. Tatapannya lurus ke depan, dingin dan tak tergoyahkan. Rasanya seakan aku hanyalah angin yang tak terlihat dan tak terdeteksi. Aku menghela napas panjang, setengah lega, setengah kesal. "Yah, setidaknya ini lebih baik daripada dimarahi.", gumamku pelan sambil menggeleng. "Ayo masuk." Ajakku pada Dino. Kami melangkah kembali ke dalam kelas. Begitu masuk, aku melihat Seira yang sedang menundukkan wajah di meja. Dia tampak putus asa. Aku duduk di sampingnya dan menyenggol lengannya pelan. "Kenapa pelajaran kimia harus jadi jam pertama? Ini seperti hukuman sebelum hari dimulai." "Bu Yuni tidak masuk hari ini, jadi pelajaran selanjutnya dimajukan," jawab Seira lesu. "Pak Revan itu benar-benar guru yang menakutkan. Aku bahkan tidak berani menoleh sedikit pun," keluhnya sambil memijat lehernya, seolah baru saja mengalami ketegangan luar biasa. Aku tertawa kecil, berusaha menghilangkan kekesalanku. "Segitunya, Seira? Baru juga sekali bertemu." "Memang iya!" Seira mengangkat wajahnya dengan ekspresi frustrasi. "Rasanya seperti ada sinar laser yang mengawasi setiap gerakanku." Dino yang baru duduk di belakang kami ikut menimpali, "Kalau killer, mungkin dia bisa pakai kekuatan super buat tahu siapa yang nyontek, kayak... telepati guru." Kami semua tertawa, mencoba melupakan ketegangan kelas dengan candaan yang sedikit berlebihan. Dari obrolan kami di kelas, akhirnya aku tahu bahwa nama guru baru itu adalah Revan Permana. Tak hanya dikenal dengan sikap tegasnya, tapi juga kabarnya dia lulusan dari luar negeri. Seira, dengan antusias khasnya, langsung berbisik-bisik penuh takjub, "Lulusan luar negeri, Al. Pantes aja auranya beda." Aku mengangkat alis, mencoba menutupi rasa penasaran. "Oh, luar negeri ya? Nggak heran kalau dia serius banget, mungkin cara ngajarnya juga beda." "Serius atau dingin beku?" tambah Dino, menyeringai jahil di belakang kami sambil memperagakan kedinginan. Dia mulai menggosok-gosokkan tangannya ke lengan, menggigil dengan dramatis seolah-olah sedang berada di kutub utara. "Aduh, brrrr... Pak Revan si es batu dari negeri jauh," candanya, membuat kami tertawa kecil meski masih merasa tegang dengan suasana kelas tadi. Seira menutupi wajahnya dengan buku, tertawa kecil. "Dino, kamu kebanyakan drama." "Tapi serius, kan? Rasanya tiap dia lewat, suhunya turun lima derajat!" lanjut Dino, kali ini dengan wajah penuh kepolosan pura-pura. "Kalau dia ngajarnya di ruang pendingin, mungkin bisa sekalian bikin es krim." Aku tak bisa menahan tawa lagi, meski di dalam hati ada sedikit kegelisahan tentang bagaimana aku harus berurusan dengan guru satu ini di hari-hari mendatang. Jam istirahat tiba, kami bergegas ke kantin dan bertemu dengan Rakha, yang berbeda kelas. Dia sudah duduk di meja kantin, satu tangan memegang sendok, sementara tangan lainnya memegang buku tebal. Wajahnya tampak serius, seolah sedang memecahkan masalah besar. "Hey, Rakha! Lagi belajar atau sedang menunggu tawaran jadi profesor?" tanyaku sambil duduk di sampingnya, diikuti Seira dan Dino. Rakha menoleh, tersenyum tipis. "Aku sedang mencari keseimbangan antara nutrisi dan pengetahuan. Satu sendok untuk energi, satu halaman untuk kecerdasan.", jawabnya santai. "Kalian seharusnya belajar juga, terutama kamu, Al. Aku lihat tadi pagi kamu berdiri di luar." lanjutnya dengan senyum mengejek. Aku mendengus, "Aku kira pelajaran tadi Bu Yuni. Bu Yuni kan baik, bukan seperti guru baru itu, yang sangat tegas." Mereka tertawa melihat ekspresiku. Seira menambahkan, "Yah, lagipula kamu memang sering terlambat." Aku hanya menggeleng, jengkel dengan ledekan mereka. "Halah, seolah kalian tidak pernah terlambat." Dino berpura-pura berpikir, mengusap dagunya seperti seorang filsuf yang tengah memecahkan misteri besar. “Hmm, kalau soal terlambat, kamu memang juaranya!” katanya sambil tersenyum lebar. Seira dan Dino, tertawa terbahak-bahak, seolah sebuah kemenangan telah mereka raih hanya dengan mengejekku. Gelak tawa mereka menggema, bikin aku merasa kecil dan tak berdaya di tengah-tengah ejekan. Aku hanya bisa mendengus kesal sambil memasang wajah pura-pura jengkel, meski di dalam hati ada sedikit tawa yang ikut terselip. "Sudahlah, lupakan tentang Pak Revan," ujar Rakha, mencoba meredakan suasana. "Kita lebih baik fokus ke pentas seni nanti." "Benar, pentas seni lebih penting," sambung Seira. Kami mulai membahas persiapan pentas seni dengan semangat, sejenak melupakan semua ketegangan yang terjadi di kelas tadi. "Jangan lupa, kita harus menyatukan semua bagian dari lagu itu. Aku sudah memikirkan variasi baru untuk bagian intro.", kataku, berusaha mengalihkan perhatian tentang Pak Revan. "Pulang sekolah kita latihan lagi.", kata Rakha dengan serius, tetapi senyum kecil di sudut bibirnya menunjukkan bahwa dia sebenarnya bersemangat. "Baik, Bos!" jawab kami kompak, lalu menghabiskan makanan yang sudah kami pesan sebelumnya sambil mengobrol tentang banyak hal. [Alya, sehabis pulang sekolah, kamu langsung ke rumah ya. Ada hal penting yang harus ibu ceritakan.] Aku melihat pesan yang dikirim Ibu. Tak biasanya Ibu seperti ini. Hati ini mulai berdebar-debar. Ada apa gerangan? Pikirku, sambil membayangkan berbagai kemungkinan. "Maaf, teman-teman. Aku tak bisa ikut latihan hari ini," ucapku saat tiba di ruang latihan. "Kenapa?" tanya Seira, dengan ekspresi khawatir. "Ibuku menyuruh pulang," jawabku, memperlihatkan pesan dari ibuku di ponselku. "Lihat, dia bilang ada hal penting." Seira mengangguk pelan, menatapku dengan sedikit khawatir. "Ya, baiklah. Kita bisa latihan tanpa kamu, tapi jangan sampai ketinggalan info penting, ya!" "Terima kasih. Semoga latihan kalian berjalan lancar," balasku sambil tersenyum tipis, sebelum melangkah keluar. Setelah pintu tertutup di belakangku, aku mulai berlari kecil menuju rumah, napasku terasa berat. Pikiranku terus dipenuhi rasa penasaran. Apa yang sebenarnya ingin Ibu bicarakan? Sesuatu yang penting, katanya. Tapi apa?Aku mengetuk pintu rumah dengan cemas, berharap apa pun yang ingin dibicarakan Ibu tidak seburuk yang aku bayangkan. "Aku pulang!" seruku, suaraku sedikit bergetar. Saat pintu terbuka, aku melihat Ibu sudah duduk di sofa depan televisi, wajahnya terlihat serius meski TV menyala dengan volume rendah. Hawa tegang menyelimuti ruang tamu, membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku melangkah mendekat, mencoba tersenyum meski hati ini penuh tanya. "Ada apa, Bu? Kenapa mendadak sekali?" Ibu menoleh pelan dan menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Sebelum ibu menceritakannya, kamu ganti baju dulu," katanya dengan nada tenang tapi tegas. Aku mengangguk, meski rasa penasaran makin menggelayut. Dengan langkah cepat, aku menuju kamar, berganti pakaian, dan mencoba menenangkan diri. Pikiran-pikiran acak terus berputar di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ibu terlihat begitu serius? Setelah berganti baju, aku kembali ke ruang tamu, duduk di sebelah Ibu yang kini mematikan televis
Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng. Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan. "Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. "Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar. Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku. Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya
Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seakan dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini. "Oh, dia muridku!” sepertinya dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu, barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang. Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya. "Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga. "Revan, ini Alya, yang akan menjadi istrimu na
Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tiga hari lagi aku akan menikah dengan Revan. Permintaan kakek Robert agar kami menikah secepatnya kembali terngiang di kepalaku. "Alya, aku ingin melihat cucu kesayanganku menikah sebelum aku pergi.", katanya dengan nada penuh harap. Perasaan tak menentu menyelimuti pikiranku. Dalam tiga hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang, siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan. Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan maka
Aku berjalan tanpa semangat, hari ini benar-benar buruk. Sepanjang pelajaran, aku merasakan tatapan Revan yang tajam, seolah mencari celah untuk mengejekku. Setiap kali aku melirik ke arahnya, dia sudah menatapku lebih dulu, senyumannya membuatku semakin kesal. "Bagaimana bisa cowok sekejam itu akan menjadi suamiku nanti?" Ucapku dalam hati, sambil memukul lembut kepalaku. "Tenanglah! Kamu kan biasanya malu-maluin, kenapa kali ini kamu begitu frustrasi?" ucap Seira, setengah meledek sambil memakan es krim di tangannya, menikmati momen ini tanpa beban. "Ini semua salahmu, Seira!" Aku mendengus kesal, memikirkan betapa kacau hari ini. "Kenapa nyalahin aku?" tanyanya polos, mengangkat sebelah alis. "Karena kamu nggak ngasih tahu aku tentang ujian kimia!" Aku berusaha menjambak rambutnya dengan kesal, tapi dia segera mengelak sambil tertawa kecil. "Aku kira kamu udah tahu," katanya dengan nada tak bersalah. "Ayo ngaku sekarang, cowok mana yang bikin kamu jadi kayak gini?" "Aku bilan
"Alya, kamu cantik sekali tadi, Nak. Ibu sangat bangga padamu," ucap Ibu sambil melepas hiasan yang ada di kepalaku dengan hati-hati. Aku berada di rumah keluarga Revan, kamar yang luas ini bahkan tidak bisa menghentikan kekalutan dihatiku. Aku hanya tersenyum kecil. Rasanya masih seperti mimpi. Aku sudah menikah, tapi aku tahu di luar kamar ini, suamiku—Revan—mungkin sama tidak senangnya dengan pernikahan ini. "Ibu yakin semuanya akan baik-baik saja dan kamu akan terbiasa menjalani kehidupan ini." lanjut Ibu sambil memegang tanganku. Aku mengangguk, meski hatiku berkata lain. "Semoga saja, Bu." Mendadak, pintu kamar terbuka, dan Revan muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat sedikit terkejut melihat kami masih di sini. "Oh, Nak Revan," sapa Ibu dengan ramah. "Maaf, Tante. Saya kira tidak ada orang di sini," ucap Revan sambil melirik sekilas ke arahku, lalu kembali menatap Ibu. "Tidak apa-apa, masuklah," kata ibuku dengan ramah, mencoba menciptakan suasana yang lebih nyaman.
Aku memijat kakiku yang pegal karena di hukum berdiri tadi, merasakan sakitnya setiap kali jari-jari ini menekan area yang tegang. Dengan langkah pelan, aku menuju ke lapangan sekolah. Begitu aku melangkah ke lapangan sekolah, suasana semangat langsung menyambutku. Teman-temanku tampak energik, sibuk menghias stan dengan tawa dan canda. Suara mereka melambung tinggi, menciptakan melodi ceria yang menambah kehangatan di udara, sementara dekorasi berwarna-warni menggantung dengan anggun, seolah-olah siap menari menyambut hari yang ditunggu-tunggu. "Alya, cepat sini!" Seira berteriak, melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Senyum lebar di wajahnya membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak bergegas menghampiri. Aku bergegas mendekat, mencoba mengabaikan rasa pegal di kaki. "Kita butuh bantuanmu untuk menghias backdrop! Ayo, kita buat yang terbaik untuk pentas seni besok!", ucapnya. Di belakang stan, tumpukan kain berwarna cerah tergeletak, dan beberapa teman sudah mulai menggan
Pagi hari di sekolah, suasana terasa sangat berbeda. Perasaan senang dan bersemangat menguasai diriku sejak aku melangkahkan kaki di gerbang sekolah. Ini adalah hari yang sudah lama kutunggu-tunggu. Aku, Seira, Rakha, dan Dino akan tampil membawakan lagu yang aku ciptakan, sebuah karya yang telah kami latih dengan penuh dedikasi selama berminggu-minggu. Langit cerah dan angin sepoi-sepoi menambah kesegaran pagi itu. Di sekitar sekolah, orang-orang sudah mulai berdatangan. Tidak hanya siswa dari sekolahku, tapi juga dari sekolah-sekolah lain. Ada yang datang untuk menonton teman-teman mereka tampil, ada juga yang penasaran dengan acara tahunan ini. Lapangan sekolah yang biasanya lengang di pagi hari, kini sudah dipenuhi tenda-tenda dan panggung utama yang berdiri megah di tengah-tengah. Suara-suara ceria, tawa, dan obrolan ramai menyatu menjadi satu harmoni yang khas pada hari seperti ini. Aku bisa melihat wajah-wajah penuh antusias, bahkan beberapa orang sudah mulai mencari tempat du
“Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua
Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t
Panik menyelimuti pikiranku. Revan melihatnya! Aku harus segera bertindak sebelum situasi semakin buruk. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Rakha keluar dari kantin, berharap bisa menjauh dari kerumunan yang terus berbisik di belakang kami."Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan nada mendesak begitu kami sampai di luar. "Kita nggak pacaran, Rakha. Kenapa kamu bilang begitu?"Rakha menatapku dengan ekspresi tenang, meski aku tahu dia menyadari kegelisahanku. "Setidaknya mereka diam dan nggak mengganggumu lagi," jawabnya sambil mengangkat bahu seolah-olah yang baru saja terjadi bukan hal besar.Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna logikanya. Memang benar, dengan pengakuannya tadi, semua spekulasi dan gosip di kantin mungkin akan berhenti. Tapi ini bukan solusi yang kuinginkan. "Tapi, ini bukan caranya," kataku pelan. "Kamu tahu kalau ini bisa membuat semuanya lebih rumit, kan? Aku nggak mau buat orang lain salah paham."Rakha menghela napas dan menatapku dengan tatapan serius
"Kenapa dia menciumku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu pikiranku sejak kemarin. Rasanya semua terjadi begitu cepat, dan sekarang aku tak bisa menghilangkan sensasi ciuman itu dari pikiranku. Namun, setelah kejadian itu, Revan seperti menghindariku. Dia tidak mengucapkan apa-apa setelah menciumku. Bahkan pagi ini, ketika aku bangun, dia sudah pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Aku menghela napas, perasaan canggung dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apa dia menyesal? Atau dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah itu? Mungkin... mungkin aku yang terlalu memikirkan hal ini. Aku hampir jatuh karena tersandung, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menarikku dengan cepat. "Hati-hati dong, Al!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Rakha, tersenyum seperti biasanya. Dia berdiri di depanku, masih memegang lenganku dengan ringan, memastikan aku benar-benar seimbang. "Rakha?" tanyaku, masih se
Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Revan diam, fokus pada jalan di depannya, sementara aku hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku mencuri pandang ke arah Revan yang sesekali mengetukkan jarinya pada setir, seperti menahan diri untuk tidak memulai percakapan. Namun, meski kami saling diam, ada sesuatu yang menggantung di antara kami, sebuah pertanyaan yang tak terucap, atau mungkin suasana aneh yang mulai terasa sejak tadi di rumah ibuku. Aku menarik napas pelan, mencoba mencari kata-kata untuk memecah kesunyian. Tapi, apa yang harus aku katakan? Pikiran tentang 'tidur bersama yang tidak biasa' terus berputar di kepalaku. Semua ini gara-gara ibu. Ngapain coba, bicara tentang hal ‘itu’? Aku sendiri bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, apalagi memikirkan yang lebih jauh dari itu. Malu rasanya setiap kali ingat wajah Revan yang tiba-tiba memerah
Bel sekolah baru saja berdering, aku dan Seira berjalan keluar gerbang, meninggalkan segala keributan di belakang kami. Langit sore sudah mulai merona, tapi aku merasa seolah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalaku. Suasana sore itu harusnya tenang, tapi tidak buat ku. Seira melirik ke arahku, jelas dia tahu ada yang tidak beres. "Masih kepikiran soal Cindy, ya?" Seira bertanya pelan, nadanya penuh simpati. Aku mengangguk, berat rasanya buat ngomong. "Iya. Rasanya semua orang ngeliatin aku kayak aku habis ngelakuin sesuatu yang salah." Seira mendesah, kelihatan dia juga bingung harus bagaimana bantu aku. "Padahal jelas-jelas itu nggak benar." Kami terus berjalan ke parkiran, dan saat itu aku melihat Rakha berdiri di samping motornya. Dia menatap kami dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ada yang aneh dari tatapannya, dan aku bisa ngerasain sesuatu yang buruk akan segera terungkap. "Alya, kita perlu bicara sesuatu," ucap Rakha, suaranya terdengar lebih seriu
Gosip belum juga mereda, padahal sudah beberapa hari berlalu. Aku duduk di kantin bersama Seira dan Dino, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penasaran dari sekeliling. "Apa kamu sudah tahu siapa yang nyebarin gosip tentang kamu?" tanya Seira sambil mengaduk minumannya, menatapku penuh simpati. Aku menggelengkan kepala, merasa lelah dengan semua ini. "Belum", jawabku. Namun, belum sempat aku berkata lebih lanjut, Cindy dan gengnya tiba di kantin. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan memar di pipinya. Dia menatapku tajam, seraya menantang, lalu duduk di seberang tempat kami. Teman-temannya mengikuti, seakan memperkuat garis depan pertarungan ini. Cindy mulai berbisik dengan teman-temannya, sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku bisa merasakan tatapan terkejut yang beralih menjadi sinis dari mereka yang duduk di sekeliling. Seperti yang kuperkirakan, mereka sudah siap menyalakan api perperangan ini. Salah seorang cowok yang agak gemulai, dengan tatapan angkuh, men
Setelah insiden dengan Cindy tadi, Revan menungguku di ruang musik. Sesekali dia bertanya hal-hal ringan tentang musik, mencoba mencairkan suasana. Aku merespons seadanya, meski hatiku sedikit berdebar. Akhirnya, setelah obrolan yang membuatku merasa seperti guru musik dadakan, kami pun keluar dari ruang musik. Aku mengikuti Revan yang berjalan di depanku. Punggungnya lebar dan kokoh, tubuhnya tinggi menjulang, mungkin sekitar 180 cm. Kalau aku berdiri di sampingnya, tinggiku yang cuma 158 cm pasti terlihat seperti anak kecil. Pikiran itu membuatku terkekeh pelan tanpa sadar. Langkah Revan mulai menuju parkiran. Oh, apa dia mau ngajak pulang bareng? Tapi kenapa nggak bilang apa-apa? Aku menatap punggungnya, bertanya-tanya dalam hati. Mungkin dia malu. Atau, ya mungkin ini caranya menawarkan tanpa perlu bicara. Sesampainya di parkiran, Revan langsung menuju mobilnya dengan langkah percaya diri. Aku menunggu, berharap dia akan membuka pintu untukku seperti di film-film romantis atau s
Setelah bicara dengan Rakha, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku. Suasana di dalam kelas terasa tegang. Beberapa teman sekelas masih berbisik dan melirikku dengan tatapan sinis, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan gosip yang beredar. Aku mencoba mengabaikannya dan fokus pada pelajaran. Tak lama kemudian, Seira dan Melisa datang menghampiriku. Seira terlihat khawatir, sementara Melisa tampak ceria, seakan tidak ada yang terjadi. "Ngga ke kantin, Al?" tanya Seira. "Kamu nggak mau makan?" Aku menggeleng, menatap ke depan dengan rasa frustrasi. "Aku nggak selera." Melisa duduk di sebelahku, senyumnya memudar ketika melihat ekspresiku. "Ada apa, Alya? Kenapa kamu kelihatan murung?" Seira menjelaskan, "Dia lagi stress karena gosip yang beredar tentang dia dan Rakha." Melisa mengerutkan kening. "Oh, jadi itu yang terjadi. Itu nggak adil banget, Al. Kamu harusnya nggak perlu merasakan tekanan dari orang lain." Aku mencoba tersenyum, tetapi rasa cemas itu tetap membayangi. "Mu