“Iya, kamu benar. Aku tadi ketemu Amanda di sana. puas kamu?” bentak Fery yang membuat Yuni terbelalak seketika.“Oh, pantesan!” Mata Yuni melotot dengan tangan berkacak pinggang. Dia langsung mendorong dada Fery dengan kasar hingga laki-laki itu kembali terjengkang ke bantalnya.“Kamu sudah mulai berani main-main, ya? Aku nggak suka kamu ketemu sama dia lagi!” Yuni mencak-mencak dengan suara berteriak. Fery yang mulai tersulut emosi, kembali bangkit dengan napas yang tersengal. Dia tak terima diremehkan seperti itu oleh wanita yang berstatus istrinya itu. mana pernah Amanda berani bersikap seperti itu kepadanya.“Heh, denger, ya. Bagaimanapun juga, Amanda itu masih istriku. Dia itu datang jauh lebih awal dari kamu. Seharusnya dia yang marah karena aku menikah lagi sama kamu. Tidur tiap hari sama kamu, padahal semestinya aku bisa adil pada kalian. Tapi buktinya aku hanya ada di sini sama kamu!” Fery balas berteriak.Mendenngar ucapan suaminya, Yuni semakin terbelalak. Dia tak percay
Akhirnya, meski tubuhnya lelah, tetapi Fery tak bisa lelap meski matanya dia pejamkan sedemikian rupa. Berbagai posisi dia coba agar bisa tidur senyaman mungkin, tetapi pikirannya terus melayang pada Amanda. Kenapa sekarang mendadak tak ikhlas jika Brian mendekatinya?Pikirannya terus melayang, memikirkan bagaimana jika nanti Amanda benar-benar jatuh ke pelukan Brian dan meminta cerai padanya?Mata Fery kembali terbuka. Dia mengambil ponselnya dan membuka pesan dari Brian. Bukan ingin membaca pesan dari lelaki itu, tetapi dia ingin melihat foto yang dikirim oleh Brian. Foto yang menampilkan wajah Amanda yang sedang tersenyum manis.Otak Fery berkelana ke mana-mana. Dia tiba-tiba ingin marah pada Amanda karena wanita itu terkesan murahan saat berfoto dengan laki-laki lain, padahal Amanda adalah wanita bersuami.“Ternyata kamu wanita murahan. Baru dideketin cowok kaya si Brian aja langsung kelepek-kelepek,” gumamnya mengumpat pada orang yang tidak ada. Walaupun dia akui jika Brian adala
“Bapak lihat sendiri, kan, kalau Mas Fery nggak bisa jawab. Itu artinya memang benar kalau dia selingkuh.” Yuni kembali berteriak dalam rontaannya.“Terserah kamu saja. Aku lelah menghadapi kamu,” ucap Fery dengan suara lemah. Dia kemudian berbalik menuju pintu dan keluar dari rumah. Entah harus ke mana malam-malam begini, dalam keadaan tubuh yang sangat lelah seperti ini.Akhirnya Fery memutuskan untuk pergi ke rumah sakit saja. Dia memilih untuk tidur di sana. Lelaki itu tak pedulikan meski Yuni masih teriak-teriak seperti orang gila.Keesokan harinya, Radit mendapat kabar dari salah satu suster jika Fery ada di ruangannya sejak semalam. Lelaki tegap itu menautkan alisnya.“Semalam ada tindakan?” tanya Radit pada suster yang memberitahunya. Namun, wanita yang kerja shift malam tadi itu menggeleng.“Nggak, Dok. Dokter Fery sepertinya sengaja menginap di sini,” jawabnya dan semakin membuat Radit keheranan.“Menginap?” gumamnya lalu beranjak ke ruangan pribadi sahabatnya. Lelaki itu me
“Siapa?” tanya Fery tanpa mengeluarkan suara. Radit hanya mengibaskan tangannya, menyuruh agar Fery diam dulu.“Mbak Manda, ya? ok, besok Mbak bisa datang ke sini. Saya ada waktu sekitar pukul 2 siang. Mbak bisa langsung minta diantar ke ruang meeting,” jelas Radit dan tak mempedulikan temannya yang masih mengibas-ngibaskan tangan karena penasaran.“Iya, ok. Waalaikumsalam.” Radit mengakhiri sambungan teleponnya dan Fery langsung mencecarnya.“Manda? Manda siapa tadi?” tanya Fery terlihat begitu penasaran.“Ah, elu. Elu pikir di dunia ini yang namanya Manda itu cuman bini lu aja?” cibir Radit dengan tawa mengejek.Fery mendengkus pelan.“Lagian, kenapa elu jadi kaya yang semangat gitu denger nama Manda? Bukannya elu dulu paling males kalo yang berhubungan sama bini lu itu?” sindir Radit dan hanya dijawab dengan senyuman malas dari bibir Fery.“Ya, bukan begitu juga. Takutnya emang betulan bini gue.” Fery melengos malu.“Kalau iya emang kenapa? Mau ngapain emangnya?” Radit tertawa ja
“Asal kamu tau, ya. Mas Fery itu sudah punya bini. Ini bininya. Jangan kegatelan kamu!” bentak Yuni dan menarik rambut panjang suci hingga gadis itu meringis kesakitan. Tangannya berusaha menahan tangan Yuni yang semakin kencang menarik rambutnya.“Ma-af, Mbak, saya ini mau kerja di sini,” sahut Suci dengan suara yang terdengar hampir menangis. “Bohong! Ini pasti hanya akal-akalan kalian saja, iya, kan?!” teriak Yuni kalap. Tangannya semakin kencang saja menarik rambut Suci yang panjang terurai.“Yuni, sudah cukup!” bentak Fery yang berbalik menghadap istrinya.“Dia itu yang mau kerja di sini, buat beres-beres rumah. Kamu sendiri nggak bisa bersihin rumah, kan. Makanya aku cari pembantu buat beres-beres sama masak.”Mendengar itu Yuni mulai mengendurkan tarikan tangannya, sehingga Suci kembali berdiri tegak sambil mengelus kepalanya yang terasa sakit karena tarikan Yuni tadi.Yuni masih menatap tajam pada dua orang yang baru datang itu. Rasa curiganya masih ada meski tak sebesar tad
“Maumu apa, sih?” tanya Fery terdengar penuh emosi. Hidupnya kini begitu serba salah. Tidak ada pembantu salah, karena rumahnya begitu kacau, berantakan dan kotor. Ada pembantu masih juga salah, karena sang istri begitu rewel dan cemburuan.“Kamu mulai berani bentak-bentak aku, ya, Mas. Kamu sudah mulai bosan sama aku? Padahal kita baru juga beberapa bulan nikah. Kamu memang buaya. Dasar laki-laki durjana!” teriak Yuni.Fery terbelalak. Sungguh buruk sekali perangai istri keduanya ini. Menyesal? Apakah bisa dia menyesal setelah sejauh ini?Ternyata dia terlalu terburu-buru mengambil keputusan untuk menikah lagi, yang hasilnya bukan lebih baik, tapi justru lebih buruk. Hidupnya kini bagai makan buah simalakama. Serba salah.“Coba kamu pikir, dari tadi siapa yang duluan membentak? Aku atau kamu?” tanya Fery mulai naik pitam. Dia sudah tak pedulikan lagi meski ada ibu mertuanya di ruang TV. Persetan kalaupun harus bertengkar dengan mereka semua. Kepalanya sudah mau pecah menghadapi sikap
“Lalu, gimana urusan perceraian elu sama Amanda? Apa udah diajuin?” tanya Radit.“Gue mau pikir-pikir lagi, deh, soal bercerai dari Amanda,” jawab Fery tanpa mengungkapkan alasannya.“Memangnya elu bisa nerima Amanda setelah ini? Bukannya elu jijik lihat muka dia?” sindir Radit dengan kekehan mengejek, karena selama ini Fery selalu mengeluhkan wajah Amanda yang buruk.Fery melengos. Temannya saja masih mengingat hinaan dia untuk istri pertamanya itu. Lalu, apakah mungkin Amanda akan bisa melupakannya? Ah, betapa rumit hidupnya kini.Tanpa menjawab pertanyaan Radit, Fery pun beranjak pergi. “Gue pulang dulu, ya. capek banget,” ujarnya. Radit hanya menyungging senyum dan menggelengkan kepalanya.“Dikira cantik aja cukup,” gumamnya lalu lelaki itu pun melangkah pulang.**Fery ragu untuk kembali ke rumah. Malas rasanya bertemu dengan Yuni dan segala rongrongannya yang membuat jiwanya semakin penat. Sangat menyebalkan. Fery pun memutuskan untuk kembali menginap di rumah sakit.“Dokter Fer
Pasien demi pasien yang ditanganinya seolah tak habis-habis. Jarum jam juga seakan lamban bergerak. Begitu rasanya ketika menunggu sesuatu yang sangat dinantikan. Entah kenapa rasanya begitu penasaran dengan seseorang bernama Amanda. Padahal dulu menurutnya sangat menjijikan.Deretan notifikasi yang masuk dari Brian tak dia hiraukan. Rasanya akan sangat menyebalkan untuk membaca pesan dari lelaki itu, yang isinya pasti tentang misinya mendekati Amanda. Fery ingin bilang agar Brian menghentikannya, tetapi rasa gengsi jauh lebih besar.Hingga waktunya tiba, Fery pun mendapat telpon dari Radit untuk datang ke ruangan meeting, karena tamu yang ditunggu sudah tiba.Lelaki bersneli putih itu gegas membereskan barang-barangnya sebelum dia beranjak ke ruang meeting dengan degup jantung yang berdebar kuat.Sangat lucu memang, dia tidak tahu siapa yang akan ditemuinya tetapi rasa grogi itu sudah menguasai sebegitu dahsyatnya.“Astagfirullah, kenapa gue ini?” gumamnya sambil menghela napas panja