Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
“Pucat amat istrimu. Katanya pake tukang rias yang mahaal.” Walaupun berbisik, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas apa yang dikatakan oleh wanita yang baru saja resmi menjadi ibu mertuaku. Sesekali dia mendelik. Matanya seperti bola pingpong yang ditangkis. Mendelik sana-sini.Kupingnya pun kayaknya dia pertajam untuk mendengar omongan para tamu yang datang.“Pengantinnya pucet. Biasanya kalo pengantin itu lipennya merah. Ini mah apaan.”“Kayaknya sih, lagi tek dung. Makanya gak bercahaya sama sekali.”Duh, nyesel juga dengerin kata Mas Agus yang minta ngerayain pesta pernikahan kami di kapung halamannya. Begini jadinya.Orang-orang yang nggak ngerti tentang trend make up, mikirnya malah salah.Tamu mulai berdatangan lagi. Aku dan Mas Agus bangkit untuk bersalaman. Sepertinya ini dari keluarga jauhnya Mas Agus. Dia tersenyum ramah sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang membuat aku down.“Neng, pucet sekali. Nggak ada cahayanya. Lagi hamil?” Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku
POV Ibu Mertua“Bu Mae, menantunya pucet banget. Kayaknya udah nggak orisinil. Udah blong. Makanya nggak bercahaya. Coba lihat waktu nikahannya si Wiwin kemarin. Uuuh, cetar membahenol. Pantesnya penganten tuh, kayak gitu. Bukannya pucet kayak yang belum makan dua hari,” kata Bu Imah tetangga satu RT. Emang iya, riasan macam apa itu? Masa penganten dandanannya kayak gitu. Itu mah cocoknya buat dandanan sehari-hari. Aku lihat dandanannya Wiwin waktu nikahannya kemarin. Pipinya merona merah kayak tomat. Matanya bling-bling kayak pake lampu mercusuar. Bulu mata anti badai. Cocok itu kalau untuk pengantin. Beda dari yang lain. Padahal bayar tukang rias cuman 2 juta udah sama dekor. Ini mah apa? Sama penyanyi dangdut aja masih kerenan penyanyi dangdut. Bilangnya aja make up doang sampai sampai 5 juta. Belum dekor sama foto. Semua habis 20 juta. Belum buat biaya prasmanan. Habislah 50 juta. Dari mana duitnya kalau bukan dari Agus anakku. Mending kalau hasilnya bagus. Ini mah jadinya kaya
POV Maemunah (Ibu Mertua)“Eh, Bu Mae, si Ibu Hajat. Baru keliatan lagi,” sapa Bu Imah. Ketemu lagi di sini sama ibu-ibu ghibah. Nggak akan jauh-jauh, pasti mau ngomongin si Yasmin. Udah ketebak.“Eeh, Bu Imah. Iya, nih. Maklum, kemarin saya capek banget, Bu.” Aku pura-pura senyum, padahal di hati rasanya dongkol. Apalagi lihat si Imah itu senyum-senyum mengejek.“Denger-denger si Yasmin diusir sama Agus, ya, Bu? Berarti dugaan orang-orang bener, dong, ya, kalau si Yasmin udah nggak perawan?” Si Imah mengedip-ngedip matanya sambil nyenggol-nyenggol Bu Marsih.“kok bisa, sih, Bu Mae, Agus dapetin istri yang udah nggak perawan? Bukannya dia itu sarjana? Kerjanya aja jadi manajer. Masa iya cari istri aja nggak bisa milih yang mana masih segel, yang mana nggak,” katanya dengan bibir menyat-menyot.Nah, kan. Nggak akan jauh, ujung-ujungnya pasti menghina Agus sebagai laki-laki yang nggak becus milih calon istri. Gara-gara si Yasmin itu. Pasti Agus udah diguna-guna.“Ya, mana bisa dibedain
POV Yasmin“Dokter Radit?” Aku tak sadar memekik.“Iya. Apa Neng Yasmin kenal sama anak Ibu?” Wajahnya berbinar bahagia. Mungkin dia berpikir aku akan bisa mengantarkannya pada sang anak. Padahal aku juga tidak tahu alamatnya di mana. Duh, tau bakal begini, waktu itu aku mau minta nomor HP-nya. Aku kan, malu. Masa cewek tiba-tiba minta nomor HP sama cowok yang baru dikenal.“Emmh, dibilang kenal banget, sih, nggak. Cuman saya pernah satu bis sama dr.Adit waktu pulang dari rumah teman di Suniaraja.” AKu masih berbohong. Tak enak rasanya harus mengungkit kepicikan keluarga mantan suami. Biar saja itu jadi rahasiaku.“Oh, Ibu kira Neng Yasmin kenal sama anak Ibu.” Dia menghela napas. Mungkin kecewa karena tak bisa segera bertemu dengan anaknya.“Gini aja, Bu. Sekarang hujannya masih besar, jadi … Ibu menginap saja semalam di sini, ya? Besok pagi, sambil berangkat kerja saya antar Ibu ke rumah sakit Sentosa. Di sana pasti ada yang kenal sama anak Ibu,” ungkapku agar si ibu agak sedikit me
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas