Pasien demi pasien yang ditanganinya seolah tak habis-habis. Jarum jam juga seakan lamban bergerak. Begitu rasanya ketika menunggu sesuatu yang sangat dinantikan. Entah kenapa rasanya begitu penasaran dengan seseorang bernama Amanda. Padahal dulu menurutnya sangat menjijikan.Deretan notifikasi yang masuk dari Brian tak dia hiraukan. Rasanya akan sangat menyebalkan untuk membaca pesan dari lelaki itu, yang isinya pasti tentang misinya mendekati Amanda. Fery ingin bilang agar Brian menghentikannya, tetapi rasa gengsi jauh lebih besar.Hingga waktunya tiba, Fery pun mendapat telpon dari Radit untuk datang ke ruangan meeting, karena tamu yang ditunggu sudah tiba.Lelaki bersneli putih itu gegas membereskan barang-barangnya sebelum dia beranjak ke ruang meeting dengan degup jantung yang berdebar kuat.Sangat lucu memang, dia tidak tahu siapa yang akan ditemuinya tetapi rasa grogi itu sudah menguasai sebegitu dahsyatnya.“Astagfirullah, kenapa gue ini?” gumamnya sambil menghela napas panja
Fery melengos dan melepaskan tangannya yang mencengkeram kuat pergelangan Amanda. Ucapan sang istri barusan seakan menohoknya dengan begitu dalam.“Kamu tidak tau siapa dia. Dia itu hanya laki-laki yang suka berpetualang.” Fery kembali mengingatkan.Amanda menyungging senyum manis sebelum akhirnya berucap. “Walaupun dia laki-laki yang suka berpetualang, setidaknya dia selalu bersikap baik padaku.”Mendengar itu Fery sontak menarik lagi tangan Amanda. “Dia bersikap baik seperti itu cuman agar kamu masuk ke dalam perangkapnya. Setelah dia mendapatkan kamu, kamu pasti akan dibuangnya begitu saja,” cecar Fery berapi-api.Amanda kembali tertawa kecil. “Apa pedulimu? Aku senang berteman dengan dia. Dan semua itu bukan urusanmu, kan?”“Tentu saja itu urusanku. Kamu itu istriku,” ucap Fery begitu geram.Jika saja itu bukan di rumah sakit, mungkin Amanda sudah tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan suaminya yang menurutnya sangat menggelikan itu. “Sejak kapan kamu menganggap aku istrimu? Luc
Suci menatap heran pada wanita cantik yang berdiri di belakang Fery. Dia bingung kenapa wanita itu melarangnya pergi dari rumah itu, padahal wanita itu sudah melihat kondisinya yang mengenaskan.“Bawa dia ke ruang perawatan. Kasihan sekali kalau dia harus pulang dalam kondisi seperti ini. luka bakarnya cukup serius,” ujar amanda yang membuat Suci semakin heran dan bertanya-tanya tentang wanita yang berdiri di depannya.“Iya,” jawab Fery lalu mengajak Suci pergi kembali ke ruang IGD agar mendapat perawatan dari dokter jaga. Sementara itu Amanda mengikuti dua orang itu di belakangnya.Fery diminta menunggu di luar sementara Suci diberikan pengobatan untuk luka bakarnya. Begitu juga dengan Amanda yang ikut menunggu agar tahu kondisi Suci setelah ini.“Kamu kenapa masih di sini? Bukannya mau pergi sama si Brian itu?” sindir Fery terdengar ketus.“Aku ingin tau bagaimana kondisi ART-mu itu. Dia dibawa ke rumahmu. Sudah seharusnya aku juga peduli, karena bagaimanapun juga kamu masih suamiku
Amanda tak punya pilihan lain selain menginap di rumah itu. Dan itu memang menjadi tujuannya sekarang untuk memberi pelajaran pada Yuni yang sudah berbuat semena-mena pada Suci. Namun, dia bisa kembali ke sana tanpa harus menunjukan jika dia mau. Semua ini atas dasar terpaksa karena kemalaman.Sepanjang perjalanan yang tak terlalu jauh ini Fery berkali-kali melirik pada Amanda yang menatap ke jalanan dari kaca jendela. Entah kenapa hati Fery merasakan getaran aneh.Sesampainya di halaman, Fery gegas turun dan membukakan pintu mobil untuk Amanda. Wanita itu menatap datar pada lelaki yang dulu begitu dipujanya. Merasa aneh, karena Fery bersikap begitu manis padanya.“Terima kasih,” ucap Amanda datar lalu turun.Fery mengikuti langkah Amanda setelah menutup pintu mobil dan menguncinya secara otomatis.Yuni yang sedari tadi mengintip dari balik gorden, begitu panas hatiny
Selesai membereskan kamar Fery yang berantakan, Amanda lantas mandi dan berganti baju. Dia memang membawa beberapa baju di tote bag-nya yang lumayan besar. Memang sudah jadi kebiasaannya jika akan bepergian jauh, dia akan membawa baju ganti. Karena dia tidak tahu kejadian apa yang akan dihadapinya nanti. Mungkin saja lagi makan lalu ketumpahan kuah, atau mungkin hujan hingga bajunya basah. Dan sekarang, dia merasa jika kebiasaannya itu memang sangat membantu dalam kondisi seperti ini.Rasa lapar mulai mengganggu. Awalnya Amanda berniat untuk membeli makanan ke luar, tetapi dalam keadaan hujan begini rasanya sangat malas. Lalu, dia pun memutuskan untuk memasak saja.Saat keluar kamar, dia melihat Fery yang selonjoran di sofa dengan mata terpejam, sementara itu Yuni cemberut karena sedari tadi ocehannya tak dipedulikan oleh sang suami.Mata Fery sontak terbuka saat mendengar pintu kamarnya terbuka. Dia tahu pasti siapa yang keluar dari sana.Matanya melotot saat melihat Amanda keluar d
Amanda menatap setiap sudut di kamar Fery. Ruangan yang selama hidup tak pernah menjamahnya selain saat ini, baik di rumah lama ataupun di rumah ini. Jangankan untuk tidur di atas kasur, bahkan Fery tak mengizinkan Amanda untuk masuk ke kamarnya. Selama ini, lelaki itu selalu membereskan kamarnya sendiri.Di atas nakas, terlihat sebuah bingkai foto yang menampilkan kebahagiaan Fery dan Yuni selepas ijab kabul. Amanda tersenyum miris. Pernikahannya dengan Fery yang sekian lama, tetapi lelaki itu tak pernah ingin menyimpan foto mereka di ruangannya.Amanda menelan salivanya yang terasa pahit. Hatinya teremas perih. Namun, bayangan Denis dengan wajahnya yang ceria kembali hadir, lengkap dengan setiap ucapan yang pernah dikatakan padanya.“Untuk apa menangisi orang yang bahkan tidak memikirkan kita? Hapus luka itu! Kembalikan pada pembuatnya. Kamu terlalu berharga untuk menangisi hal bodoh seperti itu.”“Kembalikan! Jangan sampai ada yang tersisa.” Kalimat itu kembali terngiang di telin
“Aaahhh.” Amanda semakin sengaja mendesah seolah sedang menikmati permainan Fery. Padahal matanya terus memperhatikan Yuni yang menahan amarah.“Kamu nafsu banget, Mas. Aahhh,” ucap Amanda makin sengaja. Dia meremas rambut Fery yang masih menciumi lehernya.Hampir saja Amanda terjerumus dengan permainannya sendiri saat Fery semakin ke bawah. Ini pertama kalinya dia merasakan sentuhan seorang lelaki. Begitu memabukkan.Beruntung Yuni yang sudah tak tahan merangsek masuk dan mencak-mencak.“Heh! Apa yang kalian lakukan? Dasar laki-laki kurang ajar!” Yuni melangkah cepat dan menarik tubuh Fery yang bergerak di atas tubuh Amanda.Fery yang ditarik paksa dalam keadaan nafsunya yang memuncak begitu tersulut amarah.Plak!“Elu tanya gue lagi ngapain, hah? Apa elu nggak liat kalau gue lagi bercinta sama istri pertama gue?” ucapan Fery terdengar kasar. Matanya melotot dengan dada yang naik turun karena napasnya yang tersengal.“Elu pikir cuman elu yang butuh sentuhan, hah?” Fery mulai terlihat
“Kamu kenapa malah mengubah rencana kita, Mas? Cuman gara-gara dia berubah seperti itu. Aslinya dia tetep cewek yang jelek. Kamu cuman dibodohi sama dia,” cecar Yuni yang terus mengekori Fery yang melangkah menuju sofa.“Terserah kamu saja, Yun. Aku capek.” Fery mengempaskan diri ke sofa, selonjoran dan memejamkan mata.“Cape? Kamu bilang capek? Terus kenapa tadi malah mau bercinta sama si Tonggos itu?” Yuni kembali mencecar Fery dengan pertanyaan.Fery menghela napas kasar, lalu kembali duduk. “Yun, aku beneran capek ngadepin kamu. tiap hari cuman bikin masalah. Nggak pagi, siang, malem, selalu aja bikin keributan. Apa kamu nggak cape?”“Kamu nggak nyadar ya, Mas, kalau kamu yang bikin aku kaya gini? Kamu kenapa malah bawa si Suci itu ke sini, seakan mau bikin aku cemburu aja.”“Astagfirullah, Yun. Kamu sendiri sadar nggak, kalau di rumah udah kaya di terminal? Sampah, remahan makanan di mana-mana. Aku pulang dalam keadaan capek, lalu lihat kondisi rumah berantakan seperti itu. Aku b
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas