“Kamu kenapa malah mengubah rencana kita, Mas? Cuman gara-gara dia berubah seperti itu. Aslinya dia tetep cewek yang jelek. Kamu cuman dibodohi sama dia,” cecar Yuni yang terus mengekori Fery yang melangkah menuju sofa.“Terserah kamu saja, Yun. Aku capek.” Fery mengempaskan diri ke sofa, selonjoran dan memejamkan mata.“Cape? Kamu bilang capek? Terus kenapa tadi malah mau bercinta sama si Tonggos itu?” Yuni kembali mencecar Fery dengan pertanyaan.Fery menghela napas kasar, lalu kembali duduk. “Yun, aku beneran capek ngadepin kamu. tiap hari cuman bikin masalah. Nggak pagi, siang, malem, selalu aja bikin keributan. Apa kamu nggak cape?”“Kamu nggak nyadar ya, Mas, kalau kamu yang bikin aku kaya gini? Kamu kenapa malah bawa si Suci itu ke sini, seakan mau bikin aku cemburu aja.”“Astagfirullah, Yun. Kamu sendiri sadar nggak, kalau di rumah udah kaya di terminal? Sampah, remahan makanan di mana-mana. Aku pulang dalam keadaan capek, lalu lihat kondisi rumah berantakan seperti itu. Aku b
“Bagaimana kalau aku ingin memperbaiki ini semua?” tanya Fery berusaha mempertahankan.“Untuk apa?” Amanda balik bertanya.“Bukankah pernikahan kita sudah cukup lama? Orangtuaku juga sangat menyayangimu. Tidak akan sulit bagi kita untuk memulainya lagi dari awal.” Fery terlihat memohon.Amanda ingin menolak, tetapi bukan dengan cara seperti ini dia akan membalas sakit hatinya pada Fery. Harus sesuatu yang lebih menyakitkan dan menyenangkan. Jika dia langsung menolak Fery, dipastikan Yuni akan bersorak senang. Dia ingin membalas yang lebih menyakitkan lagi pada Yuni yang sudah begitu buruk menghinanya.Jika dia berpura-pura menerima Fery, Yuni pasti akan kebakaran rambut. Amanda akan sengaja memperlihatkan bagaimana rasanya melihat suami bermesraan dengan wanita lain.“Mmmh, jujur aku masih belum yakin. Kamu selama ini begitu membenciku, lalu tiba-tiba bersikap baik dan bilang ingin mencoba dari awal. Hanya karena kamu lihat fiskku berubah lebih baik.” Meski berniat menerima, tetapi Am
“Aku mau mencoba lagi sama kamu, tapi dengan syarat … kita tidak ada hubungan badan—““Lho, kok, gitu?” sela Fery yang tak terima.“Masa suami istri nggak ada hubungan badan?” lanjutnya tak setuju. Wajahnya ditekuk.“Dengar! Bukankah selama ini kita tidak pernah melakukannya? Lagi pula semua ini aku minta hanya sampai aku benar-benar bisa nerima kamu dan yakin kalau kamumemang sudah berubah. Aku tidak mau kalau nanti aku hamil, gendut dan kamu berpaling sama cewek lain.” Amanda kembali menyindir.“Nggak mungkin, lah. Aku udah biasa lihat wanita hamil dan semuanya pasti gendut. Minimal perutnya,” sahut Fery.Amanda tersenyum malas.“Atau … pake kondom aja,” cetus Fery memberi ide.Amanda sontak menggelengkan kepalanya. “Syarat adalah syarat. Kalau kamu memang mau memulai lagi denganku, kamu harus nerima semua syarat itu. Kalau tidak … ya aku tidak memaksa. Aku akan segera ajukan gugatan cerai.”“Iya, iya. Aku mau, aku mau,” potong Fery yang ketakutan jika istri pertamanya itu benar-ben
Yuni menangis ketakutan sambil berlari keluar dari kamar sang suami, menuju kamar orangtuannya.Narsih yang melihat itu menautkan alisnya heran. “Kamu kenapa, Yuni?” tanyanya.“Kenapa lagi kalau bukan si Jelek itu.” Yuni menggerutu sambil mengentakan kakinya kesal.“Si Jelek? Dia kan jadi cantik. Apa beneran itu istri pertamanya Fery?” tanya Narsih seakan sulit untuk percaya jika kakak madu dari putrinya itu bisa jadi cantik.“Beneran lah, Bu. Aku juga heran dia bisa jadi begitu. Aku pikir dia bakalan jelek seumur hidup.” Yuni mendengkus kesal sambil mengempaskan pinggulnya di tepian ranjang.“Habis berapa duit kira-kira dia ya, Yun?” telisik Narsih tampak penasaran. Dia mendekati sang putri untuk mencari tahu.“Memangnya kenapa?” wanita itu mendelik.“Ibu juga pengen, Yun. Operasi plastik di mana ya, kira-kira?” tanya Narsih lagi dengan mata berbinar.“Hah? Ibu mau operasi plastik? Yang bener aja?” pekik Yuni menggeser tubuhnya sambil mencebikan bibir.“Udah tua, juga, mau ngapain?”
Dua orang itu masih menyikut perempuan yang nyeplos tadi.“Ayo, bilang, di mana Ceu Mimin itu? Biar saya susul ke sana,” ulang Narsih mulai kesal karena perempuan itu malah diam karena disikut teman-temannya.“Eh, denger. Kalau mau bilang di mana Ceu Mimin itu, nanti saya kasih kamu uang seratus ribu,” tawar Narsih mengiming-imingi.Perempuan bernama Yanti itu sontak matanya berbinar. Tanggal segini, ada yang menawari uang, rasanya bagai ada yang ngasih senter di tengah malam yang gelap. Dia tak peduli meski dua temannya masih terus menyikut agar dia tak mengatakan yang sejujurnya.“Beneran, Bu?” tanya Yanti bersemangat. “Kalau beneran, saya anterin Ibu sampe depan rumahnya Ceu Mimin.”“Beneran, lah. Ini sebentar.” Narsih merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua lembar berwarna biru. Untung saja tadi dia membawa uang itu yang tadinya buat jaga-jaga takut ada tukang makanan. Wanita paruh baya itu lalu menyodorkannya pada Yanti.Namun, Narsih langsung menarik lagi tangannya saat Yanti
“Bapak ngapain lari nggak pakai baju?” tanya Radit menilik sang ayah mertua dengan heran.Narto tampak kikuk, bingung untuk menjawab. “Emmh, itu, Nak Adit. Bapak … Bapak … lagi … lari pagi. Biar sehat,” jawabnya yang tiba-tiba mendapat ide karena melihat setelan yang dikenakan Radit juga tubuh sang menantu yang dibasahi keringat.“Oh, begitu. Tapi kenapa nggak pake baju, Pak?”“Eh, itu … soalnya Bapak kegerahan, Nak Adit. Jadi buka baju,” jawabnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya pada dada.“Ooh, begitu. Ya, sudah. Silakan Bapak lanjutkan saja lari paginya. Saya mau bersiap-siap dulu. Permisi.” Radit hendak pergi saat dia mendengar teriakan dari arah belakangnya. Suara yang dihapalnya sebagai suara Narsih sang ibu mertua.“Hei, tunggu! Ketangkep kau sekarang. Mau lari ke mana?!” teriaknya dengan suara yang terengah-engah.Radit lantas menoleh ke belakang dan memang ada Narsih di sana yang juga berlari dengan napas tersengal. Keningnya langsung mengerut karena mendengar ucapan wanit
“Kamu bisa diam nggak, sih?” teriak Yuni sambil mengentakan kakinya seperti anak kecil. Dia tak terima dikatain seperti itu.“Terserah kamu sajalah.” Amanda mengedikan bahu lalu pergi ke belakang.Setelah selesai dari toilet, Amanda pun lantas ke dapur untuk membuat sarapan. Hanya akan membuat nasi goreng dengan sayuran.Di ruang TV masih terjadi keributan antara Narsih dan Narto.“Sekarang aku nggak mau peduli lagi sama kamu, Pak. Terserah kamu mau pacaran ato sampe kawin sama si Mimin itu juga. yang penting sekarang aku minta duit bagianku,” teriak Narsih.“Duit apaan?”“Duit mas kawin buat si Yuni. Bukannya kita udah sepakat kalau duit itu mau kita bagi tiga kalau kita setuju si Yuni kawin sama Fery.” Narsih begitu polosnya sampai keceplosan kalau uang mas kawin itu akan dibagi-bagi.Amanda yang mendengar hal itu di dapur hanya tersenyum miris sambil geleng-geleng kepala.“Mana bagianku yang seratus juta?” Narsih menadahkan tangannya.“Apaan seratus juta? Apanan kemarin jadinya du
“Demi menyingkirkan aku, kamu rela menggelontorkan uang sebanyak itu, Mas.” Amanda tersenyum manis. Fery begitu tertohok dengan kalimat itu.Mulutnya terdiam tak bisa menjawab.“Mas, cobain nasi goreng buatanku,” kata Yuni yang baru saja menyelesaikan membuat nasi gorengnya. Menyodorkan pada sang suami sepiring nasi goreng yang penampilannya acak adut.Fery merasa tertolong dengan kedatangan Yuni kali ini. Dia memberengut saat melihat nasi goreng yang dibawa istri keduanya itu. Sangat aneh dan tidak menggugah selera. Terlebih saat ini dia sedang menikmati nasi goreng buatan Amanda yang rasanya sangat enak.“Ayo, cobain, dong, Mas.” Yuni merengek. Tangannya mendorong-dorong piring berisi nasi goreng buatannya ke hadapan Fery.Amanda menatap keduanya bergantian dengan senyuman malas.“Mmhh, aku … aku udah kenyang,” ujar Fery beralasan. Padahal dia sama sekali tak berselera melihat penampakan nasi goreng buatan Yuni.“Aah, kamu ini, Mas. Kamu nggak mau ngehargain aku yang udah cape-cape