Amanda keluar dari kamar sudah dalam keadaan cantik dan wanngi. Rambutnya tergerai dengan ujungn yang ikal.Fery kembali terkesima dengan kecantika Amanda yang jauh dari biasa. Matanya yang besar dengan bulu mata yang lentik, bibir yang tampak ranum dengan gigi yang rapih. Ternyata perbaikan kontur gigi bisa membuat Amanda jadi terlihat sempurna.Sebuah tote bag dengan sebuah merek ternama tersampir di bahunya. Pakaian sederhana, tetapi sangat pas di tubuhnya yang tinggi langsing.“Ayo,” ajak Fery yang bangkit dari kursinya. Amanda hanya mengangguk kecil. Lalu terdengar teriakan dari kamar Narsih di mana Yuni mandi dan berganti pakaian.“Kamu mau ngapain?” tanya Fery dengan kening mengerut. Yuni langsung cemberut.“Ya sudah kamu ikut saja. Kamu bisa minta maaf sama Suci di sana,” sahut Amanda sengaja menantang.Yuni kembali cemberut. “Ngapain minta maaf?” katanya dengan wajah tanpa dosa.“Ngapain? Kamu bilang, ngapain?” Amanda terlihat kesal. “Dia bisa sampai begitu itu, karena kamu.
“Hai,” sapa Yuni pada Brian. Lelaki yang dasarnya mata keranjang itu tersenyum manis.“Hai,” sahutnya sambil menaikan sebalah alisnya.“Boleh kenalan?” tanya Yuni sambil senyam-senyum kecentilan. Brian pun menaikan alisnya. Wanita di hadapannya ini cukup cantik. Tentu saja dia tidak akan melewatkan jika hanya sekadar berkenalan.“Ya, tentu. Aku Brian,” ujar sang lelaki sambil mengulurkan tangannya.Yuni terlihat geer, tersipu malu. “Aku … Yuni,” balasnya dengan jantung yang mendadak bertalu kencang.“Silakan kalian lanjutkan mengobrol. Aku permisi,” kata Fery sambil berjalan melintasi dua orang yang sedang berhadapan. Menyenggol tangan Yuni yang sepertinya masih ingin berjabat dengan Brian.“Kamu kok gitu, Mas?” Yuni cemberut. Namun, tak ditanggapi Fery yang terus berjalan.“Kalian cocok, sama-sama gatel,” ucapnya sambil berlalu.Brian tertawa nyaring.“Kamu … temennya Mas Fery, ya?” tebak Yuni setelah Fery pergi.“Iya. kamu sendiri?” Brian menebak-nebak.“Aku istri keduanya Mas Fery
Amanda melerai perkelahian itu dengan berdiri di antara kedua orang yang masih saja terus saling menatap nyalang.“Kamu seperti anak kecil saja, Mas. tidak ingatkah ini di mana? Rumah sakit!” tukas Amanda dengan penekanan yang kuat. Namun, Fery masih saja tersulut emosi saat melihat Brian menyungging senyuman mengejek padanya.“Gue peringatkan elu, Brian! Menjauhlah dari Amanda! Atau elu terima akibatnya!” desis Fery dengan napas yang tersengal. Mereka hampir saja kembali berkelahi jika satpam tak menarik Brian agar meninggalkan tempat itu.Begitupun dengan Fery, Amanda dan Radit memintanya untuk segera ke klinik kebidanan.Radit menggelengkan kepalanya, merasa aneh dengan sikap Fery yang tak biasanya.“Kamu tau sendiri, kan, bagaimana selama ini dia menolak keberadaanku?” ujar Amanda yang duduk bersisian dengan Radit di kursi penunggu pasien. Hanya berjarak satu kursi kosong.Radit mengangguk pelan.“Dia terlalu egois, jika sekarang justru ingin menahanku. Padahal aku sudah mulai men
“Mana, sini kartu ATM-nya.” Narsih memaksa suaminya.Narto terlihat gugup. “I-itu ….”“Mana, sini!” bentak Narsih makin emosi.Narto malah garuk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Dia bingung harus bagaimana.“Mana, sini. aku mau ambil uang bagianku. Aku juga mau pegang uang kamu, biar nggak kecentilan lagi maen perempuan di belakang. Ayo sini!” Narsih menadahkan tangannya.Narto semakin tegang.“Kalau nggak dikasih, aku sunat kamu, Pak!” teriak Narsih dan membuat Narto terlonjak seketika sambil memegangi area sensitifnya.“Ja-jangan, dong, Bu. sadis amat,” pekik Narto ketakutan.“Kalau gitu, siniin cepaattt!” Narsih semakin geram melihat sikap suaminya.“I-iya, Bu. Sabar, sabar,” kata Narto lalu mengambil dompet di saku celananya. Kemudian mengeluarkan kartu itu dan memberikannya pada sang istri dengan takut.Narsih langsung menyambarnya. “Tau bakalan selingkuh, aku ambil dari awal. Jangan-jangan kamu sudah ngambil uang buat ngasih si Mimin itu, hah?” tuduh Narsih dan Narto
“Sudah selesai ngambil duitnya, Bu?” tanya Mamang Ojek yang menunggu sedari tadi. Narsih hanya bisa cemberut lalu meminta lelaki kurus itu untuk membawanya kembali ke kampung Suniagara.“Kok cemberut, Bu? ATM-nya kosong ya? kenapa nggak cari mesin ATM yang lain saja?” Mamang ojek masih nyerocos dan membuat Narsih semakin gondok.“Mang, bisa diem, nggak? Saya lagi emosi, ini,” bentak Narsih mengepalkan tangannya.Mamang Ojek langsung terdiam. Dia tak enak juga dengan Narsih yang sepertinya sangat emosi.“Maaf, nih, Bu. Saya pernah lihat suami Ibu pergi sama si Mimin ke kota. Ada yang bilang kalau Mimin beli mobil. Katanya pacarnya yang sekarang baik banget. Royal banget sampe mau ngasih mobil segala.”Mendengar nama Mimin disebut, Narsih semakin naik pitam. Dia mulai curiga dengan raibnya uang di rekening sang suami.“Beneran, Mang? Mamang denger dari siapa?” tanya Narsih berapi-api.“Ya, kabar burung, sih, Bu. Tapi kayaknya kabarnya beneran. Soalnya … yang bilang itu orang yang bisa d
“Di sini kamu rupanya, Narto!” bentak Narsih sudah di ujung emosi.“Iya, memangnya buat apa kamu nyariin aku?” Lelaki peot itu balik membentak. Dia bahkan berkacak pinggang.“Kamu nanyeeaa? Kamu bertanyeeaa tanyeeaaa kenapa aku sampai nyari ke sini?” Narsih mengikuti logatnya Dilan Cepmek.“Heleeh, kayak ABG saja kamu. udah, nggak usah berbelit-belit lagi, maumu apa?” gerutu Narto.“Iya, aku juga nggak akan mau berbelit-belit. Aku sudah muak dengan kelakuanmu yang selingkuh di belakangku. Bukan itu saja. Kamu juga ternyata menghabiskan uangku. Mana sini? Aku minta kamu kembalikan uangku!” Narsih berteriak-teriak.“Uangmu apa? sejak kapan kamu punya uang?” Narto berusaha menekan, walaupun sebenarnya dia ketakutan.“Uang apa, katamu? Uang mas kawin anakmu yang mau kita bagi tiga. Di mana sekarang?” bentak Narsih.“Kalau uangnya udah habis, mau apa kamu? mau ngusir aku? Mau minta cerai? Ayoklah. Kita cerai sekarang juga. Aku jatuhkan talak padamu saat ini juga. Kamu bukan lagi istriku mu
Karena keributan itu Radit bahkan terpaksa pulang dari rumah sakit. Sementara itu, Fery belum bisa pulang karena sedang ada pasien yang tak bisa ditinggalkan.Narsih dan Narto duduk berjauhan dan saling mendelik kesal. Lalu Yasmin duduk di dekat ibunya sambil menenangkan, karena Narsih terus-terusan hendak menyerang Narto.“Ini bagaimana ceritanya sampai ribut segala?” tanya Radit yang sejujurnya merasa kesal karena harus pulang di kala waktu kerjanya.“Itu, si Narto itu. Uangku malah dikasihin sama si janda gatel buat mas kawin,” jawab Narsih dengan delikan mautnya.Radit mengembus napas kasar. Dia lalu beralih pada sang ayah mertua.“Apa benar, Pak?” tanya Radit mengalihkan pandangan pada lelaki tua di sampingnya.Narto tampak gelagapan. Namun, akhirnya dia mengangguk juga.“Iya, Bapak memang mau ngawinin Mimin. Dia maunya Bapak ngasih mas kawin mobil. Ya sudah, Bapak belikan saja,” jawab Narto begitu entengnya.Radit lagi-lagi mengembuskan napas kasar sambil menggelengkan kepala.
“Bu, sabar, Bu. Jangan begini. Kalau Bapak terluka, bisa-bisa malah Ibu dituntut dan bisa masuk penjara,” ujar Yasmin menahan tangan sang ibu yang mau melemparkan vas bunga pada suaminya.Narsih menghentikan ayunan tangannya. Napasnya tersengal dengan dada yang naik turun.“Si Tua Bangka ini yang mestinya masuk penjara. Dia sudah mencuri uangku dan memberikannya pada si Jalang itu!” Narsih kembali berteriak.Radit memejamkan matanya. Setelah sekian lama hidupnya adem ayem, sekarang malah kacau gara-gara kehadiran orangtua istrinya itu. Kadang dia berharap jika kedua orangtua Yasmin tak perlu datang, jika hanya membuat keributan saja.“Begini, Pak. Maaf sekali. Saya sama sekali tidak mendukung perbuatan Bapak yang mau menikahi Mbak Mimin dan menceraikan Ibu. Tapi, saya juga tidak melarangnya. Hanya saja, saya tidak suka jika Bapak malah memberatkan orang lain. Dengan mengambil hak Bu Narsih, atau meminta kekurangan uang pada saya. Maaf, ini sangat konyol,” ungkap Radit dengan senyuman