“Bu, sabar, Bu. Jangan begini. Kalau Bapak terluka, bisa-bisa malah Ibu dituntut dan bisa masuk penjara,” ujar Yasmin menahan tangan sang ibu yang mau melemparkan vas bunga pada suaminya.Narsih menghentikan ayunan tangannya. Napasnya tersengal dengan dada yang naik turun.“Si Tua Bangka ini yang mestinya masuk penjara. Dia sudah mencuri uangku dan memberikannya pada si Jalang itu!” Narsih kembali berteriak.Radit memejamkan matanya. Setelah sekian lama hidupnya adem ayem, sekarang malah kacau gara-gara kehadiran orangtua istrinya itu. Kadang dia berharap jika kedua orangtua Yasmin tak perlu datang, jika hanya membuat keributan saja.“Begini, Pak. Maaf sekali. Saya sama sekali tidak mendukung perbuatan Bapak yang mau menikahi Mbak Mimin dan menceraikan Ibu. Tapi, saya juga tidak melarangnya. Hanya saja, saya tidak suka jika Bapak malah memberatkan orang lain. Dengan mengambil hak Bu Narsih, atau meminta kekurangan uang pada saya. Maaf, ini sangat konyol,” ungkap Radit dengan senyuman
Narto kembali ke rumah Yasmin dengan langkah gontai. Dadanya terasa sesak dan kesal hingga ke ubun-ubun. Uang dua ratus juta melayang begitu saja. Impian menikah dengan janda muda yang sangat cantik pun ikut melayang dengan uang yang sudah dikeluarkannya.“Mana si Miminnya?” tanya Narsih ketika melihat sang suami sudah kembali, tetapi hanya seorang diri.Bukannya menjawab, Narto malah diam dan duduk kembali di samping radit.“Kenapa, Pak?” tanya Radit tampak heran dan Narto hanya menggeleng pelan.“Kenapa pake geleng-geleng segala?” bentak Narsih masih penasaran.“Mimin nggak ada. Dia udah pergi,” jawab Narto dengan wajah yang kuyu.“Astagfirullah.” Yasmin mengusap wajahnya.“Pergi ke mana?” Narsih masih tak puas dengan jawaban dari mantan suaminya itu.Narto pun kembali menggeleng. “Nggak tau. Tadi ada yang bilang kalau si Mimin langsung pergi bawa tas gede naik motor sama laki-laki,” jawabnya dengan menundukan wajahnya.“Jadi, dia pergi ninggalin kamu? Terus, mobil itu gimana nasibn
Mereka menunggu dengan tak sabar. Terutama Narsih dan Narto.“Maaf, ya, Pak. Saya sama sekali tidak menyangka kalau Mbak Mimin itu penipu. Soalnya beliau datang ke sini, kan, dengan Bapak sendiri. Bapak yang menurut saat Mbak Mimin memilih mobil pilihannya,” jelas pegawai dealer pada Narto yang dari tadi mondar-mandir gelisah.Narsih langsung mendelik dengan bibir mencebik. Merasa jengkel pada Narto yang begitu mudah dikibuli wanita cantik.Hampir satu jam mereka menunggu kedatangan Mimin. Radit pun sengaja memarkir mobilnya di mini market sebelah, agar Mimin tak melihatnya. Dia takut jika janda cantik itu mengenali mobilnya, lalu kabur lagi.“Sebaiknya kita bersembunyi dulu,” cetus Radit memberi ide. “Nanti kalau Mbak Mimin sudah datang dan mengobrol dengan santai, baru Bapak sama Ibu keluar. Agar dia tak bisa mengelak lagi.”Semua yang ada di sana setuju dengan ide yang diberikan Radit. Memang benar, kemungkinan besar Mimin akan lari kalau saat masuk nanti dia melihat ada Narto dan
Acara mengambil mobil akhirnya justru berakhir dengan Mimin masuk rumah sakit karena disiksa habis-habisan oleh Narsih. Wajahnya babak belur dan sebagian rambutnya copot, saking kencangnya Narsih menarik.Dan mobil itu justru dibawa pergi oleh kekasihnya Mimin, karena Narto dan yang lainnya tak keburu mengejar. Lelaki itu sudah jauh membawa mobilnya.Amanda merasa heran dengan kedatangan pasien yang dibarengi oleh Radit juga mertua dari suaminya. apalagi pasien itu terlihat babak belur dan Narsih mencak-mencak.Fery yang tadi ada pasien melahirkan baru selesai dan mendengar kabar dari sahabatnya jika mertua mereka telah melakukan kekerasan pada seorang perempuan.Fery yang masih lelah pun mau tak mau mendatangi ruangan di mana Mimin dirawat. Dia geleng-geleng kepala saat melihat nasib wanita yang disiksa oleh Narsih.“Ini bagaimana ceritanya?” tanya Fery tak habis pikir dengan kelakuan mertuanya itu.“Panjang,” jawab Radit lirih dan mengajak Fery untuk keluar dari ruangan itu.“Mertua
“Eh, beraninya kamu, ya! saya ini jauh lebih tua dari kamu. nggak sepantasnya kamu nyindir begitu sama saya!” bentak Narsih tak terima.Amanda menyungging senyum. “Benar. Ibu ini jauh lebih tua dari saya. Seharusnya ibu bisa menegur putri Ibu saat mau merebut suami orang. Sekarang Ibu tahu bagaimana rasanya suami direbut orang dan diporotin.”“Hey! Anakku tidak seperti itu! Dia nggak matre kaya si Mimin ini,” sergah Narsih dengan mata melotot. Sementara Mimin manahan tawa melihat musuhnya beradu argumen dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Ya, mungkin anak Ibu tidak begitu, tapi ibu dan bapaknya yang begitu. Meminta mahar tiga ratus juga.” Amanda tertawa miris.“Itu suka-suka aku. Aku membesarkan Yuni bukan dengan uang sedikit. Lalu kalau aku minta mahar sebagai ganti dan calon suaminya sanggup, itu tidak apa-apa, kan?” ucapnya begitu enteng.Amanda mengulas senyum. “Berarti kalau Mbak ini meminta mahar yang banyak juga tidak apa-apa kalau Pak Narto sanggup memberinya.”Mendengar i
“Mau apa kamu balik lagi ke sini? kita, kan, sudah bercerai. Sana tungguin si Jalang itu. Urusi dia karena dia sebentar lagi jadi istri baru kamu.” Narsih tampak geram. Matanya melotot dengan tangan berkacak pinggang.“Aku lapar, Bu. Mau makan dulu.” Narsih terdengar memelas dengan suara yang lemah.“Makan saja sana sama si Jalang di rumah sakit. Aku nggak sudi lihat kamu di sini!” usir Narsih dengan jari telunjuk menjentik.Narto melongo dengan wajah yang sedih. “Ayolah, Bu. Bapak bener-bener lapar. Mau makan dulu,” pintanya.“Lagian kamu, kan, tau kalau Mimin itu sebenernya nggak ada niat buat kawin sama aku. Dia cuman mau duitku saja. Aku minta maaf, Bu. Aku sudah khilaf.”“Oh, begitu ya?” Narsih justru tertawa renyah. Merasa puas karena sudah melihat suaminya menyesal.“Kamu menyesal karena si Mimin ngelabuin kamu. Coba kalau dia beneran mau kawin sama kamu, udah pasti sekarang kamu pergi. Iya, kan?” tuduh Narsih sangat menohok.Narto sontak menunduk. Memang ada benarnya apa yang
Hari ini Fery pulang agak malam. Saat tiba di rumah, Amanda sudah menyiapkan makan malam sederhana, tapi menggugah selera. Dan seperti biasanya Yuni dan Narsih hanya bisa menelan ludah karena Amanda memasak hanya untuk porsi berdua.“Kalau kalian mau makan, masak saja sendiri. aku bukan pembantu kalian,” desis Amanda saat Yuni melihatnya masak dan menaruh hidangan itu ke meja dengan tatapan penuh harap.“Pelit amat,” gerutu Yuni dengan mencebikan bibirnya.“Cukup suamiku saja aku berbagi, untuk hal lain, jangan harap kamu akan mendapatkannya dariku,” balas Amanda dengan tatapan sinis.“Oh, iya, Yuni. Mungkin sebentar lagi aku tidak akan ada lagi di rumah ini. Aku akan segera melayangkan gugatan cerai. Dan aku sudah meminta Suci untuk kembali ke sini mengurus Mas Fery. Aku peringatkan kamu sekali lagi untuk tidak mengganggunya. Jika tidak … kamu bisa lihat apa yang bisa aku lakukan pada kamu nanti,” ancam Amanda.Yuni yang mendengar itu merasa senang juga kesal. Senang karena sebentar
“Kamu kenapa malah muntah-muntah begitu?” tanya Narsih yang melihat Yuni terus saja muntah-munta di wastafel.“Aku jijik, Bu. tadi Mas Fery nyuruh Yuni minum teh manis yang ada kencingnya. Huueek.” Yuni kembali muntah saat membayangkan minuman yang dicampur air kencing.“Lho, kok, bisa?” Narsih malahan bengong.“Ibu, sih, pake nyuruh tambah air kencing segala. Kalau ceritanya kaya gini, bukan Mas Fery yang tunduk padaku, yang ada aku malah jadi sakit. Tadi malahan aku denger kalau Mas fery nggak mau bercerai sama si Tonggos. Bagaimana ini?” Yuni menggerutu. Tangannya menyeka mulutnya dengan tisu.“Wah, wah, kamu harus segera bertindak, Yun. Jangan sampai gagal. Nanti pas Fery pulang, kamu harus bisa merayunya.” Narsih berbisik.“Iya, baiklah. Aku akan menyusun rencana dari sekarang. Kira-kira aku harus bikin minuman apa supaya Mas fery mau meminumnya. Jangan sampai dia menyuruhku meminumnya lagi. Aku jijik.” Yuni bergidik ngeri membayangkan meminum air seni.“Iya, kamu pikirkan baik