“Eh, beraninya kamu, ya! saya ini jauh lebih tua dari kamu. nggak sepantasnya kamu nyindir begitu sama saya!” bentak Narsih tak terima.Amanda menyungging senyum. “Benar. Ibu ini jauh lebih tua dari saya. Seharusnya ibu bisa menegur putri Ibu saat mau merebut suami orang. Sekarang Ibu tahu bagaimana rasanya suami direbut orang dan diporotin.”“Hey! Anakku tidak seperti itu! Dia nggak matre kaya si Mimin ini,” sergah Narsih dengan mata melotot. Sementara Mimin manahan tawa melihat musuhnya beradu argumen dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Ya, mungkin anak Ibu tidak begitu, tapi ibu dan bapaknya yang begitu. Meminta mahar tiga ratus juga.” Amanda tertawa miris.“Itu suka-suka aku. Aku membesarkan Yuni bukan dengan uang sedikit. Lalu kalau aku minta mahar sebagai ganti dan calon suaminya sanggup, itu tidak apa-apa, kan?” ucapnya begitu enteng.Amanda mengulas senyum. “Berarti kalau Mbak ini meminta mahar yang banyak juga tidak apa-apa kalau Pak Narto sanggup memberinya.”Mendengar i
“Mau apa kamu balik lagi ke sini? kita, kan, sudah bercerai. Sana tungguin si Jalang itu. Urusi dia karena dia sebentar lagi jadi istri baru kamu.” Narsih tampak geram. Matanya melotot dengan tangan berkacak pinggang.“Aku lapar, Bu. Mau makan dulu.” Narsih terdengar memelas dengan suara yang lemah.“Makan saja sana sama si Jalang di rumah sakit. Aku nggak sudi lihat kamu di sini!” usir Narsih dengan jari telunjuk menjentik.Narto melongo dengan wajah yang sedih. “Ayolah, Bu. Bapak bener-bener lapar. Mau makan dulu,” pintanya.“Lagian kamu, kan, tau kalau Mimin itu sebenernya nggak ada niat buat kawin sama aku. Dia cuman mau duitku saja. Aku minta maaf, Bu. Aku sudah khilaf.”“Oh, begitu ya?” Narsih justru tertawa renyah. Merasa puas karena sudah melihat suaminya menyesal.“Kamu menyesal karena si Mimin ngelabuin kamu. Coba kalau dia beneran mau kawin sama kamu, udah pasti sekarang kamu pergi. Iya, kan?” tuduh Narsih sangat menohok.Narto sontak menunduk. Memang ada benarnya apa yang
Hari ini Fery pulang agak malam. Saat tiba di rumah, Amanda sudah menyiapkan makan malam sederhana, tapi menggugah selera. Dan seperti biasanya Yuni dan Narsih hanya bisa menelan ludah karena Amanda memasak hanya untuk porsi berdua.“Kalau kalian mau makan, masak saja sendiri. aku bukan pembantu kalian,” desis Amanda saat Yuni melihatnya masak dan menaruh hidangan itu ke meja dengan tatapan penuh harap.“Pelit amat,” gerutu Yuni dengan mencebikan bibirnya.“Cukup suamiku saja aku berbagi, untuk hal lain, jangan harap kamu akan mendapatkannya dariku,” balas Amanda dengan tatapan sinis.“Oh, iya, Yuni. Mungkin sebentar lagi aku tidak akan ada lagi di rumah ini. Aku akan segera melayangkan gugatan cerai. Dan aku sudah meminta Suci untuk kembali ke sini mengurus Mas Fery. Aku peringatkan kamu sekali lagi untuk tidak mengganggunya. Jika tidak … kamu bisa lihat apa yang bisa aku lakukan pada kamu nanti,” ancam Amanda.Yuni yang mendengar itu merasa senang juga kesal. Senang karena sebentar
“Kamu kenapa malah muntah-muntah begitu?” tanya Narsih yang melihat Yuni terus saja muntah-munta di wastafel.“Aku jijik, Bu. tadi Mas Fery nyuruh Yuni minum teh manis yang ada kencingnya. Huueek.” Yuni kembali muntah saat membayangkan minuman yang dicampur air kencing.“Lho, kok, bisa?” Narsih malahan bengong.“Ibu, sih, pake nyuruh tambah air kencing segala. Kalau ceritanya kaya gini, bukan Mas Fery yang tunduk padaku, yang ada aku malah jadi sakit. Tadi malahan aku denger kalau Mas fery nggak mau bercerai sama si Tonggos. Bagaimana ini?” Yuni menggerutu. Tangannya menyeka mulutnya dengan tisu.“Wah, wah, kamu harus segera bertindak, Yun. Jangan sampai gagal. Nanti pas Fery pulang, kamu harus bisa merayunya.” Narsih berbisik.“Iya, baiklah. Aku akan menyusun rencana dari sekarang. Kira-kira aku harus bikin minuman apa supaya Mas fery mau meminumnya. Jangan sampai dia menyuruhku meminumnya lagi. Aku jijik.” Yuni bergidik ngeri membayangkan meminum air seni.“Iya, kamu pikirkan baik
“Ada apa ini? kok ribut segala?” Amanda yang sedang beres-beres di kamar langsung keluar. Teriakan Yuni benar-benar menggelegar seperti suara petir di tengah hujan deras.“I-itu, Bu. Mbak Manda nyimpen air kencing di dalam kulkas,” jelas Suci dengan polosnya. Amanda pun sontak mengerutkan kening, merasa aneh dengan kelakuan adik madunya itu yang semakin aneh saja.“Air kencing? Di kuklas?” tanyanya memastikan. Suci pun mengangguk cepat.“Terus?” Amanda kembali bertanya.“Terus, tadi nggak sengaja sama saya dibikin jadi teh manis. Saya kira itu teh yang sengaja Mbak Yuni bikin buat bikin teh manis,”jelas Suci.“Astagfirullah.” Amanda menggelenngkan kepala. “Lagian ngapain kamu pake nyimpen air kencing di kulkas segala, sih?” tanya Amanda sedikit berteriak pada Yuni yang berada di wastafel dapur.Wanita itu masih mencuci mukanya setelah muntah-muntah.“Suka-suka, aku lah,” jawab Yuni yang kembali berkumur karena masih merasa mual saat kembali ingat dia telah meminum air kencingnya sendi
Fery duduk dengan lesu di kursi makan. Jiwa raganya terasa lelah. Pekerjaannya yang menuntut ketelitian, lalu istri pertamanya yang memilih pergi, dan kelakuan istri barunya yang selalu membuat kesal.Fery mengembus napas kasar dengan tatapan kosong ke depan.“Pak Dokter mau makan?” tawar Suci dengan sopan dan membuyarkan lamunan Fery.“Eh, i-iya. Saya minta dulu air putih hangat, ya, Ci,” jawabnya.“Baik, Pak Dokter. Saya ambilkan dulu.” Suci berlalu ke dapur untuk mengambil segelas air hangat. Tak lama kembali dan menaruhnya tepat di hadapan lelaki itu.“Terima kasih,” ucap Fery lantas meneguk air itu dengan rakus. Dia memang sudah haus sejak tadi.“Silakan makan malam dulu, Pak Dokter. Saya dikasih tau sama Bu Manda makanan kesukaan Pak Dokter. Katanya ini baik untuk menghilangkan lelah.” Suci menyodorkan semangkuk sup ayam hangat.Fery melongo. Istri pertamanya itu masih saja memikirkan dirinya meski akan pergi. Bahkan membuat hatinya kembali berharap jika Amanda memang masih menc
“Gila aja, Bu! Gimana kalau sampai aku ketahuan sama Mas Fery? Bisa-bisa aku diusir dari sini.” Yuni menolak ide dari sang ibu.“Kalau kamu nggak hamil pun, kamu tetap akan ditendang ke jalanan sama si Fery. Ini justru untuk menyelamatkan pernikahan kamu. Biar dia terikat sama kamu kalau sudah ada anak di antara kalian,” cerocos Narsih begitu geram.“Sekarang kamu tinggal pilih, mau diusir sekarang atau nanti kalau ketahuan? Dengar! Ka-lau ke-ta-hu-an. Kalau nggak ketahuan, kamu dan Fery bakalan bertahan lama. Kamu bisa minta aset dulu yang banyak.” Narsih bahkan mengeja agar Yuni kembali mempertimbangkan keputusannya.“Tapi, Bu … kenapa nggak hamil sama Mas Fery aja biar aku nggak takut ketahuan?” Wajah Yuni menyiratkan ketakutan.“Dasar bodoh!” Narsih menoyor kepala putrinya itu. “Kalau gampang kamu sudah hamil dari kemarin-kemarin. Kamu sendiri bilang kalau si Fery udah nggak mau nyentuh kamu, gimana bisa bunting?” Narsih semakin naik darah.“I-iya, Bu. Nggak usah pake noyor segala
Brian menangkap wajah Amanda yang berubah cerah. Lelaki itu mengerutkan keningnya menebak-nebak siapa. Tak mungkin jika orang yang sedang berkirim pesan itu adalah Fery. Karena dia tahu jika Amanda mulai menjauh dari suaminya.“Siapa, sih?” Brian akhirnya tak kuasa menahan rasa penasaran.“Eh?” Amanda menoleh pada lelaki yang bibirnya kini cemberut menatap jalanan.“Kamu lagi chat sama siapa? kok, kayak yang bahagia banget,” lanjut Brian menunjukan rasa tak sukanya.“Oh, ini. Denis,” jawab Amanda dengan santainya. Tak peduli jika lelaki di sampingnya ini merasa sangat marah dan cemburu.“Denis?” tanya Brian lagi dengan kening yang berkerut.Amanda menjawab dengan gumaman, lalu berucap, “Iya. Dia adalah orang yang begitu mengesankan buatku. Dia tetap ramah dan baik meski penampilanku begitu menjijikan bagi yang lain. Dia memberiku semangat, saat orang lain justru mendorongku dalam keterpurukan.”Amanda menoleh pada lelaki yang masih saja mengerutkan keningnya. Brian baru menyadari sesu