“Halo,” sapa lelaki yang hanya memakai kaos dan celana jeans itu dengan senyumnya yang ramah.Amanda masih melongo sambil menunjuk. Dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Bagaimana bisa kalian … kakak beradik?” tanya Amanda tergagap.“Tentu saja bisa,” jawab Darius. “Kamu saja yang nggak tau.” Lelaki itu tertawa diikuti oleh sang adik.Amanda pun tersipu malu. Entah kenapa bisa seperti itu. Padahal dia dan Denis tak ada hubungan apa-apa. Namun, semenjak pertemuan hari itu dia selalu teringat dengan semua kata-kata Denis yang memberikannya semangat.“Kalian ini,” desis Amanda mengerling dan berpura-pura marah. Kedua lelaki itu pun tertawa bersamaan.Denis menarik kursi tak jauh dari Amanda dan mengempaskan bokongnya di sana, saat ponsel Darius berdering dan lelaki itu pun gegas mengangkatnya. Dia memberi isyarat pada Amanda juga Denis jika dia pamit pergi dari sana sejenak. Amanda pun mengangguk. Walaupun hatinya tiba-tiba ketar-ketir karena ditinggal berdua dengan lelak
Amanda berulang kali membetulkan make up-nya. Rasanya masih saja terasa belum sempurna. Kenapa hatinya malah semakin berdebar cepat saat mengingat jika hari ini dia akan pergi ke luar dengan Denis.“Ya, Tuhan, tolong aku. Tunjukan apapun yang terbaik bagiku.”Amanda menghela napas panjang dan mengembusnya perlahan. Dia berulang kali menyemangati agar percaya diri. tak berselang lama terdengar bunyi klakson di depan rumah dan itu semakin membuat jantung Amanda berdebar cepat. Rasanya seperti seorang gadis remaja yang sedang jatuh cinta.“Aku tau ini salah, Mas. Tapi aku akan segera mengajukan gugatan cerai agar kita tak lagi punya beban,” gumam Amanda membayangkan Fery yang mungkin akan marah jika melihatnya jalan keluar dengan laki-laki lain. Namun, mengingat sikap Fery selama ini, Amanda terpaksa melakukannya.Amanda memejamkan mata sambil menghela napas sebelum membuka pintu dan menemui Denis yang sudah berdiri di depan pintu. Matanya melebar saat melihat Amanda yang terlihat begitu
Ponsel Amanda bordering nyaring. Wanita itu memicingkan mata dan berdecak malas saat melihat siapa penelepon itu.“Siapa?” tanya Denis.Amanda tampak kikuk lalu gegas menolak panggilan itu dan mematikan ponselnya.“Bukan siapa-siapa,” jawabnya gugup.“Fery?” tebak Denis tanpa tendeng aling-aling. Amanda pun tampak salah tingkah.“I-iya. Fery,” jawab Amanda masih terlihat gugup.Denis mengulum senyum lalu kembali menatap pada riak air sungai yang mengalir di depannya. Entah kenapa ada rasa bahagia yang menyelinap ke dalam dadanya.“Kapan kamu akan mengurus perceraianmu?” tanya Denis.“Secepatnya.” Amanda memandang kosong pada batu-batu yang tegar diterjang aliran air yang tak pernah berhenti. Denis manggut-manggut. “Jika ada yang bisa aku bantu, kamu jangan ragu untuk meminta bantuanku. Aku akan dengan senang hati membantumu.”“Terima kasih. Selama ini kamu sudah banyak membantuku,” jawab Amanda.Denis menautkan alisnya dan menoleh pada wanita di sampingnya. “Membantu? Kapan aku memb
Hati Fery begitu panas mendengar pengakuan istrinya yang mengatakan jika dia mencintai lelaki lain. walau hanya memakai kaos dan celana pendek, Fery pergi menembus pekatnya malam. dia tak pedulikan walau angin terasa begitu dingin menusuk tulang.Yuni yang mendengar kepergian suaminya di tengah malam buta merasa heran. Apalagi mendengar deru mesin mobil yang dijalankan seperti orang yang sedang balapan.“Mau ke mana dia malam-malam begini?” gumam Yuni sambil mengintip dari jendela kaca dan hanya bisa melihat kepulan asap dari knalpot mobil suaminya.Sementara itu, Fery yang menjalankan mobilnya seperti orang kesetanan, ingin cepat sampai di rumah yang dulu menjadi tempat tinggalnya dengan Amanda saat mereka masih di Jakarta. Lelaki itu merasa curiga jika sang istri membawa seorang lelaki ke rumah mereka.Hatinya sangat panas hingga menutupi pikiran jernihnya. Yang ada di otaknya saat ini hanyalah bayangan Amanda yang sedang bermesraan dengan lelaki bernama Denis itu. Pergumulan panas
Fery pun membersihkan diri di kamar mandi lain di rumah itu. Dia juga mengguyur tubuhnya di bawah guyuran air shower. Rasa sesal menyelimutinya. Namun, meski begitu ada rasa lega dalam dirinya saat mengetahui jika Amanda belum ada yang menyentuh selain dirinya.Meski seksi percintaannya terasa begitu hebat, tetapi melihat tangisan Amanda dia trenyuh juga. Dia mengakui kesalahannya.“Maaf, tapi aku tak bisa kehilangan kamu Amanda,” gumamnya dengan wajah menengadah hingga terkena guyuran air.Saat keluar dari kamar yang dulu memang menjadi kamarnya saat mereka tinggal bersama, Fery melihat Amanda ada di ruang makan sedang mengambil air panas dari dispenser. Lelaki itu perlahan mendekatinya.“Manda,” sapanya dengan suara pelan. Namun, wanita itu sama sekali tak bergeming. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Fery pun mengekor ke mana Amanda melangkah.“Manda, please, ngomong sama aku,” pinta Fery dengan memelas. Dia menarik pelan lengan Amanda, tapi langsung ditepis oleh pemiliknya.
Fery kembali ke Suniagara keesokan harinya. Meski lelah dia paksakan juga karena Amanda tak mau kehadirannya di sana. lelaki itu memilih untuk beristirahat di rest area sembari menuju perjalanan pulang. Meski sakit, dia harus menerima keputusan Amanda yang bersikukuh ingin bercerai.Awalnya memang susah untuk Fery memejamkan matanya. Namun, karena saking lelahnya akhirnya dia terlelap juga saat istirahat di rest area. Jika dia memaksakan untuk melanjutkan perjalanan, Fery takut justru akan membahayakan keselamatannya.Amanda hadir dalam mimpinya. Wanita itu pergi dengan lelaki bernama Denis saat putusan pengadilan diputuskan. Amanda tertawa renyah, begitupun dengan Denis yang menertawakannya seolah mengejek.“Mandaaa!” Fery meneriakan nama sang istri dalam tidurnya hingga dia terbangun dengan peluh yang membasahi wajah. Napasnya tersengal. Rasanya begitu sakit saat mengingat mimpi tadi. Mimpi yang serasa nyata.“Oh my God. Amanda, kenapa harus semenyakitkan ini saat aku kehilanganmu,”
Yuni pergi ke kota diam-diam dengan sepeda motornya. Dia janjian dengan lelaki itu di sebuah kafe.Saat tiba di tempat yang dijanjikan, Yuni melihat motor yang dulu sering mengatar jemputnya. Motor yang sejujurnya sudah jelek dan karena kemiskinan lelaki itu Yuni meninggalkannya.Yuni celingak celinguk mencari keberadaan Yadi. Lalu, di pojokan sana dia melihat lelaki tinggi kurus dengan hoodie hitam sedang duduk sambil memainkan ponselnya.“Ah, itu dia,” gumam Yuni lantas menghampiri sang mantan kekasih.“Hai,” sapa Yuni saat sudah berada dekat dengan meja di mana Yadi berada. Lelaki itu sontak mengangkat wajahnya dan tersenyum semringah.“Hai, Yuni,” katanya sambil berdiri dan mengulurkan tangan. Yuni pun mmebalasnya. Mereka kemudian duduk kembali dan Yadi menawarkan sesuatu untuk dipesan.“Hmmm ….” Yuni membolak balik buku menu untuk melihat makanan apa yang kira-kira cocok di lidahnya. Sementara itu sang lelaki memperhatikan dengan rasa khawatir jika Yuni memesan sesuatu yang mahal
Saking lelahnya, akhirnya Fery terlelap juga di kamarnya. Meski tadi pikirannya tetap tertuju pada Amanda yang menasihatinya secara gamblang tentang pilihannya menikahi Yuni. Namun, tubuhnya tetap saja butuh istirahat.Cukup lama dia tertidur, karena semalam dia sama sekali tidak tidur. Hingga hampir magrib dia baru bangun. Itu pun karena mendengar keributan dari luar. Yuni pulang sambil marah-marah karena di jalan tadi ada yang menyerempetnya.“Memangnya kamu dari mana?” tanya Fery dengan wajah yang masih terlihat ngantuk. Yuni masih menggerutu sambil merengek karena tangannya terluka.“Aku habis jalan-jalan nyari baju buat kuliah nanti. Eh, di jalan ada ibu-ibu yang nyalip. Dasar emak-emak!” umpat Yuni dengan bibir mencucu.Fery menggelengkan kepalanya. Dia akhirnya meminta Suci untuk mengambilkan air hangat juga obat merah untuk mengobati istrinya.Saat membersihkan luka itu, Fery kembali teringat dengan kata-kata Amanda, jika dia sendiri yang memilih Yuni untuk menjadi istrinya. K