Saking lelahnya, akhirnya Fery terlelap juga di kamarnya. Meski tadi pikirannya tetap tertuju pada Amanda yang menasihatinya secara gamblang tentang pilihannya menikahi Yuni. Namun, tubuhnya tetap saja butuh istirahat.Cukup lama dia tertidur, karena semalam dia sama sekali tidak tidur. Hingga hampir magrib dia baru bangun. Itu pun karena mendengar keributan dari luar. Yuni pulang sambil marah-marah karena di jalan tadi ada yang menyerempetnya.“Memangnya kamu dari mana?” tanya Fery dengan wajah yang masih terlihat ngantuk. Yuni masih menggerutu sambil merengek karena tangannya terluka.“Aku habis jalan-jalan nyari baju buat kuliah nanti. Eh, di jalan ada ibu-ibu yang nyalip. Dasar emak-emak!” umpat Yuni dengan bibir mencucu.Fery menggelengkan kepalanya. Dia akhirnya meminta Suci untuk mengambilkan air hangat juga obat merah untuk mengobati istrinya.Saat membersihkan luka itu, Fery kembali teringat dengan kata-kata Amanda, jika dia sendiri yang memilih Yuni untuk menjadi istrinya. K
Yuni berulang kali bertemu dengan Yadi hanya untuk melakukan hal tak senonoh itu. Dia sengaja agar bisa segera hamil dan membuat Fery menerima dirinya dan melepaskan Amanda. Mereka bahkan bisa bertemu dan berhubungan badan seminggu dua kali.Yadi mulai mencari tahu alamat baru Yuni yang sekarang. Dia sengaja mengikuti Yuni saat wanita itu pulang dari kontrakannya. Yadi sangat penasaran tentang pekerjaan Yuni sekarang, karena wanita yang kini kembali menjadi pacarnya itu punya banyak uang.Dia kaget saat melihat dari kejauhan, jika Yuni masuk ke sebuah rumah bagus dan besar. Dia memicingkan matanya berusaha mencari tahu apa yang dilakukan Yuni di sana. Yadi mengira jika pacarnya itu mungkin saja bertamu ke rumah seseorang, tetapi saat melihat Yuni masuk tanpa mengetuk pintu, Yadi merasa yakin jika itu adalah rumah Yuni.“Lihat-lihat apa, Kang?” tanya seseorang yang kebetulan lewat dan melihat Yadi memperhatikan rumah Fery dari kejauhan.“Eh, i-itu, Pak, saya lagi ngeliatin pacar saya,”
Yadi menyungging senyum bahagia karena dia djanjikan diterima kerja di rumah sakit, tinggal mengumpulkan persyaratan. Surat lamaran juga CV dan yang lainnya. Rumah sakit itu memang sedang membutuhkan bagian cleaning serivice, karena beberapa orang mengundurkan diri. Yadi bahkan diminta untuk memulai bekerja di esok hari sebagai percobaan selama satu minggu.“Aku akan mencari tahu kenapa kamu melakukan ini, Yun. Aku tidak mau sampai dua kali kehilanganmu,” gumam Yadi lalu kembali pulang ke kontrakannya. Dia harus segera menyiapkan persyaratan untuk dibawa esok hari sambil masuk kerja.Sementara itu Yuni yang melihat suaminya pulang untuk makan siang, dia begitu bahagia. Setelah Suci kembali bekerja, rumah memang menjadi bersih, rapih dan selalu ada makanan enak. Walaupun Suci diperintahkan Amanda untuk mengurusi Fery saja, tetapi gadis itu tak bisa membiarkan Yuni dan Narsih kelaparan.“Kamu mau makan sekarang, Mas? Atau … mau sesuatu yang lain dulu?” tanya Yuni dengan delikan manja. D
Yadi masuk kerja pagi-pagi sekali. Dia langsung menyerahkan surat lamaran beserta persyaratan lainnya pada kepala GA. Di hari pertamanya dia langsung mengikuti salah satu cleaning service lain untuk belajar. Sebagai orang yang sudah terbiasa bekerja kasar, tidak sulit bagi Yadi untuk mengerjakannya. Di hari pertama juga dia sudah bisa mengikuti semua tugas yang diberikan.“Kerja kamu bagus, Yad. Pak Gondo pasti nerima kamu. Nggak cuman percobaan,” ujar salah satu cleaning service yang dari pagi mengajarinya.“Syukurlah kalau begitu. Aku seneng bisa bekerja di sini,” jawab Yadi dengan senyum bahagia. Jika benar dia diperpanjang untuk bekerja di sini, misinya untuk mengetahui soal Yuni akan tercapai.“Iya, aku juga betah, karena yang punya rumah sakit ini baik banget. Dokter Radit dan Dokter Fery, keduanya suka ngasih uang atau makanan kalau nggak sengaja lewat dan melihat kami bekerja.”“Oh, jadi Dokter Fery itu yang punya rumah sakit ini ya, To?” tanya Yadi begitu penasaran. Semakin
Sesuai dugaannya, Yuni memang sudah menunggu di depan kontrakan kecil dan kumuh itu dengan muka masam.“Udah lama, Yun?” Yadi berpura-pura tidak tahu.“Lumayan. Kamu dari mana dulu?” Yuni balik bertanya.“Ini, aku beli nasi goreng dulu.” Yadi menunjukan bungkusan kantong keresek yang dia bawa. “Kita makan dulu, yuk,” ajaknya, lalu membuka pintu kontrakan.Yuni pun ikut masuk dan duduk di karpet plastik, menunggu Yadi membawakan piring. Mereka lalu makan bersama. Entah kenapa, rasanya jauh lebih nikmat ketimbang makan di rumah dengan melihat wajah Fery yang tak bersahabat.Yadi sesekali mencuri pandang, memperhatikan Yuni yang makan dengan lahap. Padahal Yadi yakin jika di rumah suaminya, Yuni bisa makan yang jauh lebih baik.Tak perlu waktu lama, mereka menghabiskan sebungkus nasi goreng itu hingga tandas tak bersisa. Sayang, Yadi memang hanya membeli satu bungkus saja. Memang itu yang mampu dia beli saat ini.“Kamu masih laper, ya, Yun?” tanya Yadi. Walaupun benar, tetapi Yuni tak me
“Apa? Yuni hamil? sejak kapan?” Fery tersentak kaget. sebenci-bencinya dia pada Yuni, tapi Fery tak akan menelantarkan seorang anak.“Oh … jadi kamu belum bilang sama suami kamu, Yun?” Narsih menoleh pada anaknya dan mengedip-ngedipkan matanya.Yuni melotot. Dia tak menyangka jika sang ibu bisa mencetuskan ide konyol itu. bagaimana jika sang suami meminta untuk mengetesnya. Namun, Narsih lagi-lagi mengedipkan mata memberikan isyarat agar Yuni ikut bersandiwara. Dia juga mencubit kaki Yuni agar otaknya mulai berpikir.“Oh, iya. aku memang belum bilang, soalnya Mas Fery terlalu sibuk sama Mbak Manda, Bu.”“Jadi … kamu beneran hamil, Yun?” tanya Fery mendekati istrinya.“I-iya, Mas,” jawab Yuni gugup, karena dia sendiri belum tau apakah sudah hamil atau belum.Fery menelan salivanya yang mendadak pahit. Rencananya untuk segera bercerai dengan Yuni justru akan terhambat. Dia mengingat-ngingat kapan terakhir kali berhubungan dengan istri keduanya itu. Rasanya sudah lama sekali dia tak meny
“Hei, siapa itu?” Narsih gegas ke luar untuk melihat siapa yang barusan menjatuhkan benda. Namun nihil tak ada siapapun di sana.“Apa mungkin Mas Fery, Bu?” tanya Yuni yang celingukan ke sekelilingnya. Namun, tak terlihat siapapun.“Nggak tau juga. Tapi kalau Fery, mungkin dia sudah melabrak kita kalau beneran dia dengar percakapan kita.”“Iya, lagian Mas Fery kayaknya udah ke kamar.”Keduanya saling tatap dengan beribu dugaan.“Suci?” keduanya menyebut nama itu berbarengan. Mereka kemudian berlari ke arah kamar Suci dan menggedornya.“Suci, Suci! Buka!” teriak Yuni.Di dalam sana, gadis yang tadi menguping itu sedang gemetar ketakutan. Dia benar-benar tak menyangka jika Yuni dan Narsih bisa sejahat itu.Untungnya tadi dia langsung lari saat menyenggol vas bunga yang terbuat dari kayu. Kemudian dia menutup diri dengan selimut.“Dobrak aja,” ucap Narsih. Namun, pada saat Yuni memutar handelnya, ternyata pintu itu tidak dikunci, karena Suci memang tak sempat menguncinya.“Nggak dikunci,
“Siapa yang bilang?” tanya Fery dengan mata sesekali menoleh kea rah kamar Yuni dengan ibunya.“Mmh, Bu Narsih sama Mbak Yuni sendiri yang bilang, dan saya nggak sengaja mendengar percakapan mereka. Katanya kehamilan itu ….” Belum sempat Suci menyelesaikan kalimatnya, Yuni keburu keluar dari kamarnya dengan penampilan yang biasa. Suci pun langsung menutup mulutnya karena Fery memberi isyarat agar dia diam.“Kamu seperti yang nggak mandi, Yun?” Fery menilik Yuni dari atas sampai bawah yang terlihat tak segar. Apalagi dia semalam sudah bergumul dengan Yadi, lalu pagi ini mendadak rasanya malas mandi. Saat menyentuh air perutnya langsung mual. Sangat aneh, padahal kehamilan itu baru diketahuinya semalam.“Iya, aku males banget, Mas. Nyentuh air langsung mual. Lagian kita kan, Cuma ke rumah sakit kamu, nggak jauh dari sini. Bukan mau ke mall yang bakalan ketemu banyak orang.” Yuni terlihat malas-malasan.Fery mendengkus. Jika saja dia tak memahami ibu-ibu hamil, mungkin dia sudah mengump
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas