Sesuai dugaannya, Yuni memang sudah menunggu di depan kontrakan kecil dan kumuh itu dengan muka masam.“Udah lama, Yun?” Yadi berpura-pura tidak tahu.“Lumayan. Kamu dari mana dulu?” Yuni balik bertanya.“Ini, aku beli nasi goreng dulu.” Yadi menunjukan bungkusan kantong keresek yang dia bawa. “Kita makan dulu, yuk,” ajaknya, lalu membuka pintu kontrakan.Yuni pun ikut masuk dan duduk di karpet plastik, menunggu Yadi membawakan piring. Mereka lalu makan bersama. Entah kenapa, rasanya jauh lebih nikmat ketimbang makan di rumah dengan melihat wajah Fery yang tak bersahabat.Yadi sesekali mencuri pandang, memperhatikan Yuni yang makan dengan lahap. Padahal Yadi yakin jika di rumah suaminya, Yuni bisa makan yang jauh lebih baik.Tak perlu waktu lama, mereka menghabiskan sebungkus nasi goreng itu hingga tandas tak bersisa. Sayang, Yadi memang hanya membeli satu bungkus saja. Memang itu yang mampu dia beli saat ini.“Kamu masih laper, ya, Yun?” tanya Yadi. Walaupun benar, tetapi Yuni tak me
“Apa? Yuni hamil? sejak kapan?” Fery tersentak kaget. sebenci-bencinya dia pada Yuni, tapi Fery tak akan menelantarkan seorang anak.“Oh … jadi kamu belum bilang sama suami kamu, Yun?” Narsih menoleh pada anaknya dan mengedip-ngedipkan matanya.Yuni melotot. Dia tak menyangka jika sang ibu bisa mencetuskan ide konyol itu. bagaimana jika sang suami meminta untuk mengetesnya. Namun, Narsih lagi-lagi mengedipkan mata memberikan isyarat agar Yuni ikut bersandiwara. Dia juga mencubit kaki Yuni agar otaknya mulai berpikir.“Oh, iya. aku memang belum bilang, soalnya Mas Fery terlalu sibuk sama Mbak Manda, Bu.”“Jadi … kamu beneran hamil, Yun?” tanya Fery mendekati istrinya.“I-iya, Mas,” jawab Yuni gugup, karena dia sendiri belum tau apakah sudah hamil atau belum.Fery menelan salivanya yang mendadak pahit. Rencananya untuk segera bercerai dengan Yuni justru akan terhambat. Dia mengingat-ngingat kapan terakhir kali berhubungan dengan istri keduanya itu. Rasanya sudah lama sekali dia tak meny
“Hei, siapa itu?” Narsih gegas ke luar untuk melihat siapa yang barusan menjatuhkan benda. Namun nihil tak ada siapapun di sana.“Apa mungkin Mas Fery, Bu?” tanya Yuni yang celingukan ke sekelilingnya. Namun, tak terlihat siapapun.“Nggak tau juga. Tapi kalau Fery, mungkin dia sudah melabrak kita kalau beneran dia dengar percakapan kita.”“Iya, lagian Mas Fery kayaknya udah ke kamar.”Keduanya saling tatap dengan beribu dugaan.“Suci?” keduanya menyebut nama itu berbarengan. Mereka kemudian berlari ke arah kamar Suci dan menggedornya.“Suci, Suci! Buka!” teriak Yuni.Di dalam sana, gadis yang tadi menguping itu sedang gemetar ketakutan. Dia benar-benar tak menyangka jika Yuni dan Narsih bisa sejahat itu.Untungnya tadi dia langsung lari saat menyenggol vas bunga yang terbuat dari kayu. Kemudian dia menutup diri dengan selimut.“Dobrak aja,” ucap Narsih. Namun, pada saat Yuni memutar handelnya, ternyata pintu itu tidak dikunci, karena Suci memang tak sempat menguncinya.“Nggak dikunci,
“Siapa yang bilang?” tanya Fery dengan mata sesekali menoleh kea rah kamar Yuni dengan ibunya.“Mmh, Bu Narsih sama Mbak Yuni sendiri yang bilang, dan saya nggak sengaja mendengar percakapan mereka. Katanya kehamilan itu ….” Belum sempat Suci menyelesaikan kalimatnya, Yuni keburu keluar dari kamarnya dengan penampilan yang biasa. Suci pun langsung menutup mulutnya karena Fery memberi isyarat agar dia diam.“Kamu seperti yang nggak mandi, Yun?” Fery menilik Yuni dari atas sampai bawah yang terlihat tak segar. Apalagi dia semalam sudah bergumul dengan Yadi, lalu pagi ini mendadak rasanya malas mandi. Saat menyentuh air perutnya langsung mual. Sangat aneh, padahal kehamilan itu baru diketahuinya semalam.“Iya, aku males banget, Mas. Nyentuh air langsung mual. Lagian kita kan, Cuma ke rumah sakit kamu, nggak jauh dari sini. Bukan mau ke mall yang bakalan ketemu banyak orang.” Yuni terlihat malas-malasan.Fery mendengkus. Jika saja dia tak memahami ibu-ibu hamil, mungkin dia sudah mengump
Yadi menunduk dalam. Hatinya hancur berkeping dengan semua hinaan Yuni barusan. Dulu, alasan Yuni memutuskannya karena hal yang sama. Wanita itu ingin mencari lelaki mapan, katanya. Tak ingin melanjutkan hubungan dengan lelaki tanpa masa depan.Yadi sebetulnya lelaki yang manis. Apalagi jika sedikit dipoles dengan skin care dan pakaian yang bagus. Sayangnya pekerjaan kasar membuatnya menjadi kumal.“Dengar! Aku tidak mau kalau sampai di sini ada yang tau kalau kita pernah ada hubungan. Ingat, kamu bukan siapa-siapa aku.” Yuni kembali mengancam Yadi sebelum akhirnya pergi dengan pongahnya.Wanita itu tersenyum bangga saat melihat ruang klinik tempat suaminya praktek. Dia sempat membayangkan bagaimana jika dirinya benar-benar menjadi istri dari Yadi dan hidup susah di kontrakan sepetak. Yuni memutar bola matanya.“Jangan pernah bermimpi, kamu, Yadi,” gumamnya lalu berdecih kesal. Tangan lentiknya kemudian membuka pintu klinik tanpa mengetuknya.Fery menoleh ke arah pintu, lalu meminta
“Terima kasih banyak, Yadi. Kamu sudah menolong saya membongkar kebusukan Yuni. Eh, maaf, bukan maksud saya menghinanya.” Fery tampak salah tingkah karena telah menghina Yuni di depan lelaki yang sangat mencintai wanita itu.Yadi menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Pak Dokter. Semua itu memang benar. Rencana Yuni memang busuk dan saya juga tidak mendukungnya,” jawabnya tulus.“Lalu, rencana kamu ke depannya apa? apa kamu masih mau bekerja di sini?” tanya Fery.Yadi tampak bingung untuk menjawab. Dia merasa serba salah dan tak enak hati pada Fery.“Kalau kamu masih mau bekerja di sini, saya akan dukung kamu. saya juga akan menaikan gaji kamu dari yang tercantum di perjanjian kontrak. Tapi, jika kamu berencana mencari kerja lain, saya pun tak akan memaksa. Itu adalah hak kamu untuk memilih,” lanjut lelaki bersneli putih itu.“Saya juga bingung, Pak Dokter. Saya butuh pekerjaan ini.” Yadi masih terlihat bingung.“Kalau begitu, teruslah bekerja di sini, saya tidak akan melarang kamu. dan so
Fery terbahak mendengar permintaan Yuni yang tak masuk akal itu. Dia tahu jika saat ini, mantan istrinya itu sedang memanfaatkan situasi untuk memerasnya. Namun, Fery tidak akan kalah langkah dengan kepicikan Yuni.“Boleh saja kamu menuntut rumah dan uang, tapi kita berperang di pengadilan. Kamu silakan menuntut apapun dariku. Kalau kamu bisa memenangkannya di pengadilan, aku akan berikan apapun yang kamu minta. Tapi selama kamu hanya mennggertakku dengan ancaman, jangan harap kamu bisa mendapatkan rumah ataupun uang dariku.”Fery berucap dengan tegas. Tatapannya nyalang tanpa rasa takut sedikit pun.Yuni gentar. Hatinya mulai ketar-ketir.“Kalau begitu, aku akan sebarluaskan gosip kalau kamu menikahi aku hanya karena ingin lepas dari si Tonggos itu. Aku juga mau nyebarin kalau kamu sering jahatin aku, nggak peduli sama aku, sampai aku harus mencari pelarian pada lelaki lain.”Fery kembali terbahak mendengnar ancaman Yuni itu.“Boleh. Sebarkan saja. Aku tidak takut.” Fery balik menanta
Radit selesai melaksanakan salat, lalu melipat sajadahnya saat ponselnya bordering nyaring. Dia menautkan alisnya saat melihat di layar nama Fery terpampang.“Ada apa Fery nelpon jam segini?” gumamnya. Namun, tak urung diangkatnya juga.“Halo, Fer. Ada apa elu nelpon jam segini?” tanya Radit.“Sorry gue ganggu waktu istirahat elu, Dit. Gue cuman mau bilang kalau tadi gue usir Yuni dan ibunya dari sini. dan kemarin malam gue udah jatuhin talak sama dia.” Kalimat Fery terjeda.“Hah? Kok bisa?” Radit terperanjat kaget.“Iya, Dit. Tadi siang gue tau rahasia besar. Kebusukan Yuni yang sudah nggak bisa lagi gue tolerir. Yuni selingkuh dengan lelaki lain sampe hamil. Tapi dia mau menuduhkan kehamilan itu sebagai anak gue,” jelas Fery.“Lho, lho, gimana ceritanya ini? kalian, kan, suami istri. Ya mungkin saja kalau janin itu memang anak lu, Fer.” Radit terdnengar heran dengan penjelasan sahabatnya itu.“Ya, elu emang wajar berkata seperti itu, Dit. Tapi … gue udah lama nggak nyentuh dia. Se