“Gila aja, Bu! Gimana kalau sampai aku ketahuan sama Mas Fery? Bisa-bisa aku diusir dari sini.” Yuni menolak ide dari sang ibu.“Kalau kamu nggak hamil pun, kamu tetap akan ditendang ke jalanan sama si Fery. Ini justru untuk menyelamatkan pernikahan kamu. Biar dia terikat sama kamu kalau sudah ada anak di antara kalian,” cerocos Narsih begitu geram.“Sekarang kamu tinggal pilih, mau diusir sekarang atau nanti kalau ketahuan? Dengar! Ka-lau ke-ta-hu-an. Kalau nggak ketahuan, kamu dan Fery bakalan bertahan lama. Kamu bisa minta aset dulu yang banyak.” Narsih bahkan mengeja agar Yuni kembali mempertimbangkan keputusannya.“Tapi, Bu … kenapa nggak hamil sama Mas Fery aja biar aku nggak takut ketahuan?” Wajah Yuni menyiratkan ketakutan.“Dasar bodoh!” Narsih menoyor kepala putrinya itu. “Kalau gampang kamu sudah hamil dari kemarin-kemarin. Kamu sendiri bilang kalau si Fery udah nggak mau nyentuh kamu, gimana bisa bunting?” Narsih semakin naik darah.“I-iya, Bu. Nggak usah pake noyor segala
Brian menangkap wajah Amanda yang berubah cerah. Lelaki itu mengerutkan keningnya menebak-nebak siapa. Tak mungkin jika orang yang sedang berkirim pesan itu adalah Fery. Karena dia tahu jika Amanda mulai menjauh dari suaminya.“Siapa, sih?” Brian akhirnya tak kuasa menahan rasa penasaran.“Eh?” Amanda menoleh pada lelaki yang bibirnya kini cemberut menatap jalanan.“Kamu lagi chat sama siapa? kok, kayak yang bahagia banget,” lanjut Brian menunjukan rasa tak sukanya.“Oh, ini. Denis,” jawab Amanda dengan santainya. Tak peduli jika lelaki di sampingnya ini merasa sangat marah dan cemburu.“Denis?” tanya Brian lagi dengan kening yang berkerut.Amanda menjawab dengan gumaman, lalu berucap, “Iya. Dia adalah orang yang begitu mengesankan buatku. Dia tetap ramah dan baik meski penampilanku begitu menjijikan bagi yang lain. Dia memberiku semangat, saat orang lain justru mendorongku dalam keterpurukan.”Amanda menoleh pada lelaki yang masih saja mengerutkan keningnya. Brian baru menyadari sesu
“Halo,” sapa lelaki yang hanya memakai kaos dan celana jeans itu dengan senyumnya yang ramah.Amanda masih melongo sambil menunjuk. Dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Bagaimana bisa kalian … kakak beradik?” tanya Amanda tergagap.“Tentu saja bisa,” jawab Darius. “Kamu saja yang nggak tau.” Lelaki itu tertawa diikuti oleh sang adik.Amanda pun tersipu malu. Entah kenapa bisa seperti itu. Padahal dia dan Denis tak ada hubungan apa-apa. Namun, semenjak pertemuan hari itu dia selalu teringat dengan semua kata-kata Denis yang memberikannya semangat.“Kalian ini,” desis Amanda mengerling dan berpura-pura marah. Kedua lelaki itu pun tertawa bersamaan.Denis menarik kursi tak jauh dari Amanda dan mengempaskan bokongnya di sana, saat ponsel Darius berdering dan lelaki itu pun gegas mengangkatnya. Dia memberi isyarat pada Amanda juga Denis jika dia pamit pergi dari sana sejenak. Amanda pun mengangguk. Walaupun hatinya tiba-tiba ketar-ketir karena ditinggal berdua dengan lelak
Amanda berulang kali membetulkan make up-nya. Rasanya masih saja terasa belum sempurna. Kenapa hatinya malah semakin berdebar cepat saat mengingat jika hari ini dia akan pergi ke luar dengan Denis.“Ya, Tuhan, tolong aku. Tunjukan apapun yang terbaik bagiku.”Amanda menghela napas panjang dan mengembusnya perlahan. Dia berulang kali menyemangati agar percaya diri. tak berselang lama terdengar bunyi klakson di depan rumah dan itu semakin membuat jantung Amanda berdebar cepat. Rasanya seperti seorang gadis remaja yang sedang jatuh cinta.“Aku tau ini salah, Mas. Tapi aku akan segera mengajukan gugatan cerai agar kita tak lagi punya beban,” gumam Amanda membayangkan Fery yang mungkin akan marah jika melihatnya jalan keluar dengan laki-laki lain. Namun, mengingat sikap Fery selama ini, Amanda terpaksa melakukannya.Amanda memejamkan mata sambil menghela napas sebelum membuka pintu dan menemui Denis yang sudah berdiri di depan pintu. Matanya melebar saat melihat Amanda yang terlihat begitu
Ponsel Amanda bordering nyaring. Wanita itu memicingkan mata dan berdecak malas saat melihat siapa penelepon itu.“Siapa?” tanya Denis.Amanda tampak kikuk lalu gegas menolak panggilan itu dan mematikan ponselnya.“Bukan siapa-siapa,” jawabnya gugup.“Fery?” tebak Denis tanpa tendeng aling-aling. Amanda pun tampak salah tingkah.“I-iya. Fery,” jawab Amanda masih terlihat gugup.Denis mengulum senyum lalu kembali menatap pada riak air sungai yang mengalir di depannya. Entah kenapa ada rasa bahagia yang menyelinap ke dalam dadanya.“Kapan kamu akan mengurus perceraianmu?” tanya Denis.“Secepatnya.” Amanda memandang kosong pada batu-batu yang tegar diterjang aliran air yang tak pernah berhenti. Denis manggut-manggut. “Jika ada yang bisa aku bantu, kamu jangan ragu untuk meminta bantuanku. Aku akan dengan senang hati membantumu.”“Terima kasih. Selama ini kamu sudah banyak membantuku,” jawab Amanda.Denis menautkan alisnya dan menoleh pada wanita di sampingnya. “Membantu? Kapan aku memb
Hati Fery begitu panas mendengar pengakuan istrinya yang mengatakan jika dia mencintai lelaki lain. walau hanya memakai kaos dan celana pendek, Fery pergi menembus pekatnya malam. dia tak pedulikan walau angin terasa begitu dingin menusuk tulang.Yuni yang mendengar kepergian suaminya di tengah malam buta merasa heran. Apalagi mendengar deru mesin mobil yang dijalankan seperti orang yang sedang balapan.“Mau ke mana dia malam-malam begini?” gumam Yuni sambil mengintip dari jendela kaca dan hanya bisa melihat kepulan asap dari knalpot mobil suaminya.Sementara itu, Fery yang menjalankan mobilnya seperti orang kesetanan, ingin cepat sampai di rumah yang dulu menjadi tempat tinggalnya dengan Amanda saat mereka masih di Jakarta. Lelaki itu merasa curiga jika sang istri membawa seorang lelaki ke rumah mereka.Hatinya sangat panas hingga menutupi pikiran jernihnya. Yang ada di otaknya saat ini hanyalah bayangan Amanda yang sedang bermesraan dengan lelaki bernama Denis itu. Pergumulan panas
Fery pun membersihkan diri di kamar mandi lain di rumah itu. Dia juga mengguyur tubuhnya di bawah guyuran air shower. Rasa sesal menyelimutinya. Namun, meski begitu ada rasa lega dalam dirinya saat mengetahui jika Amanda belum ada yang menyentuh selain dirinya.Meski seksi percintaannya terasa begitu hebat, tetapi melihat tangisan Amanda dia trenyuh juga. Dia mengakui kesalahannya.“Maaf, tapi aku tak bisa kehilangan kamu Amanda,” gumamnya dengan wajah menengadah hingga terkena guyuran air.Saat keluar dari kamar yang dulu memang menjadi kamarnya saat mereka tinggal bersama, Fery melihat Amanda ada di ruang makan sedang mengambil air panas dari dispenser. Lelaki itu perlahan mendekatinya.“Manda,” sapanya dengan suara pelan. Namun, wanita itu sama sekali tak bergeming. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Fery pun mengekor ke mana Amanda melangkah.“Manda, please, ngomong sama aku,” pinta Fery dengan memelas. Dia menarik pelan lengan Amanda, tapi langsung ditepis oleh pemiliknya.
Fery kembali ke Suniagara keesokan harinya. Meski lelah dia paksakan juga karena Amanda tak mau kehadirannya di sana. lelaki itu memilih untuk beristirahat di rest area sembari menuju perjalanan pulang. Meski sakit, dia harus menerima keputusan Amanda yang bersikukuh ingin bercerai.Awalnya memang susah untuk Fery memejamkan matanya. Namun, karena saking lelahnya akhirnya dia terlelap juga saat istirahat di rest area. Jika dia memaksakan untuk melanjutkan perjalanan, Fery takut justru akan membahayakan keselamatannya.Amanda hadir dalam mimpinya. Wanita itu pergi dengan lelaki bernama Denis saat putusan pengadilan diputuskan. Amanda tertawa renyah, begitupun dengan Denis yang menertawakannya seolah mengejek.“Mandaaa!” Fery meneriakan nama sang istri dalam tidurnya hingga dia terbangun dengan peluh yang membasahi wajah. Napasnya tersengal. Rasanya begitu sakit saat mengingat mimpi tadi. Mimpi yang serasa nyata.“Oh my God. Amanda, kenapa harus semenyakitkan ini saat aku kehilanganmu,”
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas