Amanda melerai perkelahian itu dengan berdiri di antara kedua orang yang masih saja terus saling menatap nyalang.“Kamu seperti anak kecil saja, Mas. tidak ingatkah ini di mana? Rumah sakit!” tukas Amanda dengan penekanan yang kuat. Namun, Fery masih saja tersulut emosi saat melihat Brian menyungging senyuman mengejek padanya.“Gue peringatkan elu, Brian! Menjauhlah dari Amanda! Atau elu terima akibatnya!” desis Fery dengan napas yang tersengal. Mereka hampir saja kembali berkelahi jika satpam tak menarik Brian agar meninggalkan tempat itu.Begitupun dengan Fery, Amanda dan Radit memintanya untuk segera ke klinik kebidanan.Radit menggelengkan kepalanya, merasa aneh dengan sikap Fery yang tak biasanya.“Kamu tau sendiri, kan, bagaimana selama ini dia menolak keberadaanku?” ujar Amanda yang duduk bersisian dengan Radit di kursi penunggu pasien. Hanya berjarak satu kursi kosong.Radit mengangguk pelan.“Dia terlalu egois, jika sekarang justru ingin menahanku. Padahal aku sudah mulai men
“Mana, sini kartu ATM-nya.” Narsih memaksa suaminya.Narto terlihat gugup. “I-itu ….”“Mana, sini!” bentak Narsih makin emosi.Narto malah garuk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Dia bingung harus bagaimana.“Mana, sini. aku mau ambil uang bagianku. Aku juga mau pegang uang kamu, biar nggak kecentilan lagi maen perempuan di belakang. Ayo sini!” Narsih menadahkan tangannya.Narto semakin tegang.“Kalau nggak dikasih, aku sunat kamu, Pak!” teriak Narsih dan membuat Narto terlonjak seketika sambil memegangi area sensitifnya.“Ja-jangan, dong, Bu. sadis amat,” pekik Narto ketakutan.“Kalau gitu, siniin cepaattt!” Narsih semakin geram melihat sikap suaminya.“I-iya, Bu. Sabar, sabar,” kata Narto lalu mengambil dompet di saku celananya. Kemudian mengeluarkan kartu itu dan memberikannya pada sang istri dengan takut.Narsih langsung menyambarnya. “Tau bakalan selingkuh, aku ambil dari awal. Jangan-jangan kamu sudah ngambil uang buat ngasih si Mimin itu, hah?” tuduh Narsih dan Narto
“Sudah selesai ngambil duitnya, Bu?” tanya Mamang Ojek yang menunggu sedari tadi. Narsih hanya bisa cemberut lalu meminta lelaki kurus itu untuk membawanya kembali ke kampung Suniagara.“Kok cemberut, Bu? ATM-nya kosong ya? kenapa nggak cari mesin ATM yang lain saja?” Mamang ojek masih nyerocos dan membuat Narsih semakin gondok.“Mang, bisa diem, nggak? Saya lagi emosi, ini,” bentak Narsih mengepalkan tangannya.Mamang Ojek langsung terdiam. Dia tak enak juga dengan Narsih yang sepertinya sangat emosi.“Maaf, nih, Bu. Saya pernah lihat suami Ibu pergi sama si Mimin ke kota. Ada yang bilang kalau Mimin beli mobil. Katanya pacarnya yang sekarang baik banget. Royal banget sampe mau ngasih mobil segala.”Mendengar nama Mimin disebut, Narsih semakin naik pitam. Dia mulai curiga dengan raibnya uang di rekening sang suami.“Beneran, Mang? Mamang denger dari siapa?” tanya Narsih berapi-api.“Ya, kabar burung, sih, Bu. Tapi kayaknya kabarnya beneran. Soalnya … yang bilang itu orang yang bisa d
“Di sini kamu rupanya, Narto!” bentak Narsih sudah di ujung emosi.“Iya, memangnya buat apa kamu nyariin aku?” Lelaki peot itu balik membentak. Dia bahkan berkacak pinggang.“Kamu nanyeeaa? Kamu bertanyeeaa tanyeeaaa kenapa aku sampai nyari ke sini?” Narsih mengikuti logatnya Dilan Cepmek.“Heleeh, kayak ABG saja kamu. udah, nggak usah berbelit-belit lagi, maumu apa?” gerutu Narto.“Iya, aku juga nggak akan mau berbelit-belit. Aku sudah muak dengan kelakuanmu yang selingkuh di belakangku. Bukan itu saja. Kamu juga ternyata menghabiskan uangku. Mana sini? Aku minta kamu kembalikan uangku!” Narsih berteriak-teriak.“Uangmu apa? sejak kapan kamu punya uang?” Narto berusaha menekan, walaupun sebenarnya dia ketakutan.“Uang apa, katamu? Uang mas kawin anakmu yang mau kita bagi tiga. Di mana sekarang?” bentak Narsih.“Kalau uangnya udah habis, mau apa kamu? mau ngusir aku? Mau minta cerai? Ayoklah. Kita cerai sekarang juga. Aku jatuhkan talak padamu saat ini juga. Kamu bukan lagi istriku mu
Karena keributan itu Radit bahkan terpaksa pulang dari rumah sakit. Sementara itu, Fery belum bisa pulang karena sedang ada pasien yang tak bisa ditinggalkan.Narsih dan Narto duduk berjauhan dan saling mendelik kesal. Lalu Yasmin duduk di dekat ibunya sambil menenangkan, karena Narsih terus-terusan hendak menyerang Narto.“Ini bagaimana ceritanya sampai ribut segala?” tanya Radit yang sejujurnya merasa kesal karena harus pulang di kala waktu kerjanya.“Itu, si Narto itu. Uangku malah dikasihin sama si janda gatel buat mas kawin,” jawab Narsih dengan delikan mautnya.Radit mengembus napas kasar. Dia lalu beralih pada sang ayah mertua.“Apa benar, Pak?” tanya Radit mengalihkan pandangan pada lelaki tua di sampingnya.Narto tampak gelagapan. Namun, akhirnya dia mengangguk juga.“Iya, Bapak memang mau ngawinin Mimin. Dia maunya Bapak ngasih mas kawin mobil. Ya sudah, Bapak belikan saja,” jawab Narto begitu entengnya.Radit lagi-lagi mengembuskan napas kasar sambil menggelengkan kepala.
“Bu, sabar, Bu. Jangan begini. Kalau Bapak terluka, bisa-bisa malah Ibu dituntut dan bisa masuk penjara,” ujar Yasmin menahan tangan sang ibu yang mau melemparkan vas bunga pada suaminya.Narsih menghentikan ayunan tangannya. Napasnya tersengal dengan dada yang naik turun.“Si Tua Bangka ini yang mestinya masuk penjara. Dia sudah mencuri uangku dan memberikannya pada si Jalang itu!” Narsih kembali berteriak.Radit memejamkan matanya. Setelah sekian lama hidupnya adem ayem, sekarang malah kacau gara-gara kehadiran orangtua istrinya itu. Kadang dia berharap jika kedua orangtua Yasmin tak perlu datang, jika hanya membuat keributan saja.“Begini, Pak. Maaf sekali. Saya sama sekali tidak mendukung perbuatan Bapak yang mau menikahi Mbak Mimin dan menceraikan Ibu. Tapi, saya juga tidak melarangnya. Hanya saja, saya tidak suka jika Bapak malah memberatkan orang lain. Dengan mengambil hak Bu Narsih, atau meminta kekurangan uang pada saya. Maaf, ini sangat konyol,” ungkap Radit dengan senyuman
Narto kembali ke rumah Yasmin dengan langkah gontai. Dadanya terasa sesak dan kesal hingga ke ubun-ubun. Uang dua ratus juta melayang begitu saja. Impian menikah dengan janda muda yang sangat cantik pun ikut melayang dengan uang yang sudah dikeluarkannya.“Mana si Miminnya?” tanya Narsih ketika melihat sang suami sudah kembali, tetapi hanya seorang diri.Bukannya menjawab, Narto malah diam dan duduk kembali di samping radit.“Kenapa, Pak?” tanya Radit tampak heran dan Narto hanya menggeleng pelan.“Kenapa pake geleng-geleng segala?” bentak Narsih masih penasaran.“Mimin nggak ada. Dia udah pergi,” jawab Narto dengan wajah yang kuyu.“Astagfirullah.” Yasmin mengusap wajahnya.“Pergi ke mana?” Narsih masih tak puas dengan jawaban dari mantan suaminya itu.Narto pun kembali menggeleng. “Nggak tau. Tadi ada yang bilang kalau si Mimin langsung pergi bawa tas gede naik motor sama laki-laki,” jawabnya dengan menundukan wajahnya.“Jadi, dia pergi ninggalin kamu? Terus, mobil itu gimana nasibn
Mereka menunggu dengan tak sabar. Terutama Narsih dan Narto.“Maaf, ya, Pak. Saya sama sekali tidak menyangka kalau Mbak Mimin itu penipu. Soalnya beliau datang ke sini, kan, dengan Bapak sendiri. Bapak yang menurut saat Mbak Mimin memilih mobil pilihannya,” jelas pegawai dealer pada Narto yang dari tadi mondar-mandir gelisah.Narsih langsung mendelik dengan bibir mencebik. Merasa jengkel pada Narto yang begitu mudah dikibuli wanita cantik.Hampir satu jam mereka menunggu kedatangan Mimin. Radit pun sengaja memarkir mobilnya di mini market sebelah, agar Mimin tak melihatnya. Dia takut jika janda cantik itu mengenali mobilnya, lalu kabur lagi.“Sebaiknya kita bersembunyi dulu,” cetus Radit memberi ide. “Nanti kalau Mbak Mimin sudah datang dan mengobrol dengan santai, baru Bapak sama Ibu keluar. Agar dia tak bisa mengelak lagi.”Semua yang ada di sana setuju dengan ide yang diberikan Radit. Memang benar, kemungkinan besar Mimin akan lari kalau saat masuk nanti dia melihat ada Narto dan