“Kamu bisa diam nggak, sih?” teriak Yuni sambil mengentakan kakinya seperti anak kecil. Dia tak terima dikatain seperti itu.“Terserah kamu sajalah.” Amanda mengedikan bahu lalu pergi ke belakang.Setelah selesai dari toilet, Amanda pun lantas ke dapur untuk membuat sarapan. Hanya akan membuat nasi goreng dengan sayuran.Di ruang TV masih terjadi keributan antara Narsih dan Narto.“Sekarang aku nggak mau peduli lagi sama kamu, Pak. Terserah kamu mau pacaran ato sampe kawin sama si Mimin itu juga. yang penting sekarang aku minta duit bagianku,” teriak Narsih.“Duit apaan?”“Duit mas kawin buat si Yuni. Bukannya kita udah sepakat kalau duit itu mau kita bagi tiga kalau kita setuju si Yuni kawin sama Fery.” Narsih begitu polosnya sampai keceplosan kalau uang mas kawin itu akan dibagi-bagi.Amanda yang mendengar hal itu di dapur hanya tersenyum miris sambil geleng-geleng kepala.“Mana bagianku yang seratus juta?” Narsih menadahkan tangannya.“Apaan seratus juta? Apanan kemarin jadinya du
“Demi menyingkirkan aku, kamu rela menggelontorkan uang sebanyak itu, Mas.” Amanda tersenyum manis. Fery begitu tertohok dengan kalimat itu.Mulutnya terdiam tak bisa menjawab.“Mas, cobain nasi goreng buatanku,” kata Yuni yang baru saja menyelesaikan membuat nasi gorengnya. Menyodorkan pada sang suami sepiring nasi goreng yang penampilannya acak adut.Fery merasa tertolong dengan kedatangan Yuni kali ini. Dia memberengut saat melihat nasi goreng yang dibawa istri keduanya itu. Sangat aneh dan tidak menggugah selera. Terlebih saat ini dia sedang menikmati nasi goreng buatan Amanda yang rasanya sangat enak.“Ayo, cobain, dong, Mas.” Yuni merengek. Tangannya mendorong-dorong piring berisi nasi goreng buatannya ke hadapan Fery.Amanda menatap keduanya bergantian dengan senyuman malas.“Mmhh, aku … aku udah kenyang,” ujar Fery beralasan. Padahal dia sama sekali tak berselera melihat penampakan nasi goreng buatan Yuni.“Aah, kamu ini, Mas. Kamu nggak mau ngehargain aku yang udah cape-cape
Amanda keluar dari kamar sudah dalam keadaan cantik dan wanngi. Rambutnya tergerai dengan ujungn yang ikal.Fery kembali terkesima dengan kecantika Amanda yang jauh dari biasa. Matanya yang besar dengan bulu mata yang lentik, bibir yang tampak ranum dengan gigi yang rapih. Ternyata perbaikan kontur gigi bisa membuat Amanda jadi terlihat sempurna.Sebuah tote bag dengan sebuah merek ternama tersampir di bahunya. Pakaian sederhana, tetapi sangat pas di tubuhnya yang tinggi langsing.“Ayo,” ajak Fery yang bangkit dari kursinya. Amanda hanya mengangguk kecil. Lalu terdengar teriakan dari kamar Narsih di mana Yuni mandi dan berganti pakaian.“Kamu mau ngapain?” tanya Fery dengan kening mengerut. Yuni langsung cemberut.“Ya sudah kamu ikut saja. Kamu bisa minta maaf sama Suci di sana,” sahut Amanda sengaja menantang.Yuni kembali cemberut. “Ngapain minta maaf?” katanya dengan wajah tanpa dosa.“Ngapain? Kamu bilang, ngapain?” Amanda terlihat kesal. “Dia bisa sampai begitu itu, karena kamu.
“Hai,” sapa Yuni pada Brian. Lelaki yang dasarnya mata keranjang itu tersenyum manis.“Hai,” sahutnya sambil menaikan sebalah alisnya.“Boleh kenalan?” tanya Yuni sambil senyam-senyum kecentilan. Brian pun menaikan alisnya. Wanita di hadapannya ini cukup cantik. Tentu saja dia tidak akan melewatkan jika hanya sekadar berkenalan.“Ya, tentu. Aku Brian,” ujar sang lelaki sambil mengulurkan tangannya.Yuni terlihat geer, tersipu malu. “Aku … Yuni,” balasnya dengan jantung yang mendadak bertalu kencang.“Silakan kalian lanjutkan mengobrol. Aku permisi,” kata Fery sambil berjalan melintasi dua orang yang sedang berhadapan. Menyenggol tangan Yuni yang sepertinya masih ingin berjabat dengan Brian.“Kamu kok gitu, Mas?” Yuni cemberut. Namun, tak ditanggapi Fery yang terus berjalan.“Kalian cocok, sama-sama gatel,” ucapnya sambil berlalu.Brian tertawa nyaring.“Kamu … temennya Mas Fery, ya?” tebak Yuni setelah Fery pergi.“Iya. kamu sendiri?” Brian menebak-nebak.“Aku istri keduanya Mas Fery
Amanda melerai perkelahian itu dengan berdiri di antara kedua orang yang masih saja terus saling menatap nyalang.“Kamu seperti anak kecil saja, Mas. tidak ingatkah ini di mana? Rumah sakit!” tukas Amanda dengan penekanan yang kuat. Namun, Fery masih saja tersulut emosi saat melihat Brian menyungging senyuman mengejek padanya.“Gue peringatkan elu, Brian! Menjauhlah dari Amanda! Atau elu terima akibatnya!” desis Fery dengan napas yang tersengal. Mereka hampir saja kembali berkelahi jika satpam tak menarik Brian agar meninggalkan tempat itu.Begitupun dengan Fery, Amanda dan Radit memintanya untuk segera ke klinik kebidanan.Radit menggelengkan kepalanya, merasa aneh dengan sikap Fery yang tak biasanya.“Kamu tau sendiri, kan, bagaimana selama ini dia menolak keberadaanku?” ujar Amanda yang duduk bersisian dengan Radit di kursi penunggu pasien. Hanya berjarak satu kursi kosong.Radit mengangguk pelan.“Dia terlalu egois, jika sekarang justru ingin menahanku. Padahal aku sudah mulai men
“Mana, sini kartu ATM-nya.” Narsih memaksa suaminya.Narto terlihat gugup. “I-itu ….”“Mana, sini!” bentak Narsih makin emosi.Narto malah garuk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Dia bingung harus bagaimana.“Mana, sini. aku mau ambil uang bagianku. Aku juga mau pegang uang kamu, biar nggak kecentilan lagi maen perempuan di belakang. Ayo sini!” Narsih menadahkan tangannya.Narto semakin tegang.“Kalau nggak dikasih, aku sunat kamu, Pak!” teriak Narsih dan membuat Narto terlonjak seketika sambil memegangi area sensitifnya.“Ja-jangan, dong, Bu. sadis amat,” pekik Narto ketakutan.“Kalau gitu, siniin cepaattt!” Narsih semakin geram melihat sikap suaminya.“I-iya, Bu. Sabar, sabar,” kata Narto lalu mengambil dompet di saku celananya. Kemudian mengeluarkan kartu itu dan memberikannya pada sang istri dengan takut.Narsih langsung menyambarnya. “Tau bakalan selingkuh, aku ambil dari awal. Jangan-jangan kamu sudah ngambil uang buat ngasih si Mimin itu, hah?” tuduh Narsih dan Narto
“Sudah selesai ngambil duitnya, Bu?” tanya Mamang Ojek yang menunggu sedari tadi. Narsih hanya bisa cemberut lalu meminta lelaki kurus itu untuk membawanya kembali ke kampung Suniagara.“Kok cemberut, Bu? ATM-nya kosong ya? kenapa nggak cari mesin ATM yang lain saja?” Mamang ojek masih nyerocos dan membuat Narsih semakin gondok.“Mang, bisa diem, nggak? Saya lagi emosi, ini,” bentak Narsih mengepalkan tangannya.Mamang Ojek langsung terdiam. Dia tak enak juga dengan Narsih yang sepertinya sangat emosi.“Maaf, nih, Bu. Saya pernah lihat suami Ibu pergi sama si Mimin ke kota. Ada yang bilang kalau Mimin beli mobil. Katanya pacarnya yang sekarang baik banget. Royal banget sampe mau ngasih mobil segala.”Mendengar nama Mimin disebut, Narsih semakin naik pitam. Dia mulai curiga dengan raibnya uang di rekening sang suami.“Beneran, Mang? Mamang denger dari siapa?” tanya Narsih berapi-api.“Ya, kabar burung, sih, Bu. Tapi kayaknya kabarnya beneran. Soalnya … yang bilang itu orang yang bisa d
“Di sini kamu rupanya, Narto!” bentak Narsih sudah di ujung emosi.“Iya, memangnya buat apa kamu nyariin aku?” Lelaki peot itu balik membentak. Dia bahkan berkacak pinggang.“Kamu nanyeeaa? Kamu bertanyeeaa tanyeeaaa kenapa aku sampai nyari ke sini?” Narsih mengikuti logatnya Dilan Cepmek.“Heleeh, kayak ABG saja kamu. udah, nggak usah berbelit-belit lagi, maumu apa?” gerutu Narto.“Iya, aku juga nggak akan mau berbelit-belit. Aku sudah muak dengan kelakuanmu yang selingkuh di belakangku. Bukan itu saja. Kamu juga ternyata menghabiskan uangku. Mana sini? Aku minta kamu kembalikan uangku!” Narsih berteriak-teriak.“Uangmu apa? sejak kapan kamu punya uang?” Narto berusaha menekan, walaupun sebenarnya dia ketakutan.“Uang apa, katamu? Uang mas kawin anakmu yang mau kita bagi tiga. Di mana sekarang?” bentak Narsih.“Kalau uangnya udah habis, mau apa kamu? mau ngusir aku? Mau minta cerai? Ayoklah. Kita cerai sekarang juga. Aku jatuhkan talak padamu saat ini juga. Kamu bukan lagi istriku mu