“Bagaimana kalau aku ingin memperbaiki ini semua?” tanya Fery berusaha mempertahankan.“Untuk apa?” Amanda balik bertanya.“Bukankah pernikahan kita sudah cukup lama? Orangtuaku juga sangat menyayangimu. Tidak akan sulit bagi kita untuk memulainya lagi dari awal.” Fery terlihat memohon.Amanda ingin menolak, tetapi bukan dengan cara seperti ini dia akan membalas sakit hatinya pada Fery. Harus sesuatu yang lebih menyakitkan dan menyenangkan. Jika dia langsung menolak Fery, dipastikan Yuni akan bersorak senang. Dia ingin membalas yang lebih menyakitkan lagi pada Yuni yang sudah begitu buruk menghinanya.Jika dia berpura-pura menerima Fery, Yuni pasti akan kebakaran rambut. Amanda akan sengaja memperlihatkan bagaimana rasanya melihat suami bermesraan dengan wanita lain.“Mmmh, jujur aku masih belum yakin. Kamu selama ini begitu membenciku, lalu tiba-tiba bersikap baik dan bilang ingin mencoba dari awal. Hanya karena kamu lihat fiskku berubah lebih baik.” Meski berniat menerima, tetapi Am
“Aku mau mencoba lagi sama kamu, tapi dengan syarat … kita tidak ada hubungan badan—““Lho, kok, gitu?” sela Fery yang tak terima.“Masa suami istri nggak ada hubungan badan?” lanjutnya tak setuju. Wajahnya ditekuk.“Dengar! Bukankah selama ini kita tidak pernah melakukannya? Lagi pula semua ini aku minta hanya sampai aku benar-benar bisa nerima kamu dan yakin kalau kamumemang sudah berubah. Aku tidak mau kalau nanti aku hamil, gendut dan kamu berpaling sama cewek lain.” Amanda kembali menyindir.“Nggak mungkin, lah. Aku udah biasa lihat wanita hamil dan semuanya pasti gendut. Minimal perutnya,” sahut Fery.Amanda tersenyum malas.“Atau … pake kondom aja,” cetus Fery memberi ide.Amanda sontak menggelengkan kepalanya. “Syarat adalah syarat. Kalau kamu memang mau memulai lagi denganku, kamu harus nerima semua syarat itu. Kalau tidak … ya aku tidak memaksa. Aku akan segera ajukan gugatan cerai.”“Iya, iya. Aku mau, aku mau,” potong Fery yang ketakutan jika istri pertamanya itu benar-ben
Yuni menangis ketakutan sambil berlari keluar dari kamar sang suami, menuju kamar orangtuannya.Narsih yang melihat itu menautkan alisnya heran. “Kamu kenapa, Yuni?” tanyanya.“Kenapa lagi kalau bukan si Jelek itu.” Yuni menggerutu sambil mengentakan kakinya kesal.“Si Jelek? Dia kan jadi cantik. Apa beneran itu istri pertamanya Fery?” tanya Narsih seakan sulit untuk percaya jika kakak madu dari putrinya itu bisa jadi cantik.“Beneran lah, Bu. Aku juga heran dia bisa jadi begitu. Aku pikir dia bakalan jelek seumur hidup.” Yuni mendengkus kesal sambil mengempaskan pinggulnya di tepian ranjang.“Habis berapa duit kira-kira dia ya, Yun?” telisik Narsih tampak penasaran. Dia mendekati sang putri untuk mencari tahu.“Memangnya kenapa?” wanita itu mendelik.“Ibu juga pengen, Yun. Operasi plastik di mana ya, kira-kira?” tanya Narsih lagi dengan mata berbinar.“Hah? Ibu mau operasi plastik? Yang bener aja?” pekik Yuni menggeser tubuhnya sambil mencebikan bibir.“Udah tua, juga, mau ngapain?”
Dua orang itu masih menyikut perempuan yang nyeplos tadi.“Ayo, bilang, di mana Ceu Mimin itu? Biar saya susul ke sana,” ulang Narsih mulai kesal karena perempuan itu malah diam karena disikut teman-temannya.“Eh, denger. Kalau mau bilang di mana Ceu Mimin itu, nanti saya kasih kamu uang seratus ribu,” tawar Narsih mengiming-imingi.Perempuan bernama Yanti itu sontak matanya berbinar. Tanggal segini, ada yang menawari uang, rasanya bagai ada yang ngasih senter di tengah malam yang gelap. Dia tak peduli meski dua temannya masih terus menyikut agar dia tak mengatakan yang sejujurnya.“Beneran, Bu?” tanya Yanti bersemangat. “Kalau beneran, saya anterin Ibu sampe depan rumahnya Ceu Mimin.”“Beneran, lah. Ini sebentar.” Narsih merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua lembar berwarna biru. Untung saja tadi dia membawa uang itu yang tadinya buat jaga-jaga takut ada tukang makanan. Wanita paruh baya itu lalu menyodorkannya pada Yanti.Namun, Narsih langsung menarik lagi tangannya saat Yanti
“Bapak ngapain lari nggak pakai baju?” tanya Radit menilik sang ayah mertua dengan heran.Narto tampak kikuk, bingung untuk menjawab. “Emmh, itu, Nak Adit. Bapak … Bapak … lagi … lari pagi. Biar sehat,” jawabnya yang tiba-tiba mendapat ide karena melihat setelan yang dikenakan Radit juga tubuh sang menantu yang dibasahi keringat.“Oh, begitu. Tapi kenapa nggak pake baju, Pak?”“Eh, itu … soalnya Bapak kegerahan, Nak Adit. Jadi buka baju,” jawabnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya pada dada.“Ooh, begitu. Ya, sudah. Silakan Bapak lanjutkan saja lari paginya. Saya mau bersiap-siap dulu. Permisi.” Radit hendak pergi saat dia mendengar teriakan dari arah belakangnya. Suara yang dihapalnya sebagai suara Narsih sang ibu mertua.“Hei, tunggu! Ketangkep kau sekarang. Mau lari ke mana?!” teriaknya dengan suara yang terengah-engah.Radit lantas menoleh ke belakang dan memang ada Narsih di sana yang juga berlari dengan napas tersengal. Keningnya langsung mengerut karena mendengar ucapan wanit
“Kamu bisa diam nggak, sih?” teriak Yuni sambil mengentakan kakinya seperti anak kecil. Dia tak terima dikatain seperti itu.“Terserah kamu sajalah.” Amanda mengedikan bahu lalu pergi ke belakang.Setelah selesai dari toilet, Amanda pun lantas ke dapur untuk membuat sarapan. Hanya akan membuat nasi goreng dengan sayuran.Di ruang TV masih terjadi keributan antara Narsih dan Narto.“Sekarang aku nggak mau peduli lagi sama kamu, Pak. Terserah kamu mau pacaran ato sampe kawin sama si Mimin itu juga. yang penting sekarang aku minta duit bagianku,” teriak Narsih.“Duit apaan?”“Duit mas kawin buat si Yuni. Bukannya kita udah sepakat kalau duit itu mau kita bagi tiga kalau kita setuju si Yuni kawin sama Fery.” Narsih begitu polosnya sampai keceplosan kalau uang mas kawin itu akan dibagi-bagi.Amanda yang mendengar hal itu di dapur hanya tersenyum miris sambil geleng-geleng kepala.“Mana bagianku yang seratus juta?” Narsih menadahkan tangannya.“Apaan seratus juta? Apanan kemarin jadinya du
“Demi menyingkirkan aku, kamu rela menggelontorkan uang sebanyak itu, Mas.” Amanda tersenyum manis. Fery begitu tertohok dengan kalimat itu.Mulutnya terdiam tak bisa menjawab.“Mas, cobain nasi goreng buatanku,” kata Yuni yang baru saja menyelesaikan membuat nasi gorengnya. Menyodorkan pada sang suami sepiring nasi goreng yang penampilannya acak adut.Fery merasa tertolong dengan kedatangan Yuni kali ini. Dia memberengut saat melihat nasi goreng yang dibawa istri keduanya itu. Sangat aneh dan tidak menggugah selera. Terlebih saat ini dia sedang menikmati nasi goreng buatan Amanda yang rasanya sangat enak.“Ayo, cobain, dong, Mas.” Yuni merengek. Tangannya mendorong-dorong piring berisi nasi goreng buatannya ke hadapan Fery.Amanda menatap keduanya bergantian dengan senyuman malas.“Mmhh, aku … aku udah kenyang,” ujar Fery beralasan. Padahal dia sama sekali tak berselera melihat penampakan nasi goreng buatan Yuni.“Aah, kamu ini, Mas. Kamu nggak mau ngehargain aku yang udah cape-cape
Amanda keluar dari kamar sudah dalam keadaan cantik dan wanngi. Rambutnya tergerai dengan ujungn yang ikal.Fery kembali terkesima dengan kecantika Amanda yang jauh dari biasa. Matanya yang besar dengan bulu mata yang lentik, bibir yang tampak ranum dengan gigi yang rapih. Ternyata perbaikan kontur gigi bisa membuat Amanda jadi terlihat sempurna.Sebuah tote bag dengan sebuah merek ternama tersampir di bahunya. Pakaian sederhana, tetapi sangat pas di tubuhnya yang tinggi langsing.“Ayo,” ajak Fery yang bangkit dari kursinya. Amanda hanya mengangguk kecil. Lalu terdengar teriakan dari kamar Narsih di mana Yuni mandi dan berganti pakaian.“Kamu mau ngapain?” tanya Fery dengan kening mengerut. Yuni langsung cemberut.“Ya sudah kamu ikut saja. Kamu bisa minta maaf sama Suci di sana,” sahut Amanda sengaja menantang.Yuni kembali cemberut. “Ngapain minta maaf?” katanya dengan wajah tanpa dosa.“Ngapain? Kamu bilang, ngapain?” Amanda terlihat kesal. “Dia bisa sampai begitu itu, karena kamu.
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas