Amanda menatap setiap sudut di kamar Fery. Ruangan yang selama hidup tak pernah menjamahnya selain saat ini, baik di rumah lama ataupun di rumah ini. Jangankan untuk tidur di atas kasur, bahkan Fery tak mengizinkan Amanda untuk masuk ke kamarnya. Selama ini, lelaki itu selalu membereskan kamarnya sendiri.Di atas nakas, terlihat sebuah bingkai foto yang menampilkan kebahagiaan Fery dan Yuni selepas ijab kabul. Amanda tersenyum miris. Pernikahannya dengan Fery yang sekian lama, tetapi lelaki itu tak pernah ingin menyimpan foto mereka di ruangannya.Amanda menelan salivanya yang terasa pahit. Hatinya teremas perih. Namun, bayangan Denis dengan wajahnya yang ceria kembali hadir, lengkap dengan setiap ucapan yang pernah dikatakan padanya.“Untuk apa menangisi orang yang bahkan tidak memikirkan kita? Hapus luka itu! Kembalikan pada pembuatnya. Kamu terlalu berharga untuk menangisi hal bodoh seperti itu.”“Kembalikan! Jangan sampai ada yang tersisa.” Kalimat itu kembali terngiang di telin
“Aaahhh.” Amanda semakin sengaja mendesah seolah sedang menikmati permainan Fery. Padahal matanya terus memperhatikan Yuni yang menahan amarah.“Kamu nafsu banget, Mas. Aahhh,” ucap Amanda makin sengaja. Dia meremas rambut Fery yang masih menciumi lehernya.Hampir saja Amanda terjerumus dengan permainannya sendiri saat Fery semakin ke bawah. Ini pertama kalinya dia merasakan sentuhan seorang lelaki. Begitu memabukkan.Beruntung Yuni yang sudah tak tahan merangsek masuk dan mencak-mencak.“Heh! Apa yang kalian lakukan? Dasar laki-laki kurang ajar!” Yuni melangkah cepat dan menarik tubuh Fery yang bergerak di atas tubuh Amanda.Fery yang ditarik paksa dalam keadaan nafsunya yang memuncak begitu tersulut amarah.Plak!“Elu tanya gue lagi ngapain, hah? Apa elu nggak liat kalau gue lagi bercinta sama istri pertama gue?” ucapan Fery terdengar kasar. Matanya melotot dengan dada yang naik turun karena napasnya yang tersengal.“Elu pikir cuman elu yang butuh sentuhan, hah?” Fery mulai terlihat
“Kamu kenapa malah mengubah rencana kita, Mas? Cuman gara-gara dia berubah seperti itu. Aslinya dia tetep cewek yang jelek. Kamu cuman dibodohi sama dia,” cecar Yuni yang terus mengekori Fery yang melangkah menuju sofa.“Terserah kamu saja, Yun. Aku capek.” Fery mengempaskan diri ke sofa, selonjoran dan memejamkan mata.“Cape? Kamu bilang capek? Terus kenapa tadi malah mau bercinta sama si Tonggos itu?” Yuni kembali mencecar Fery dengan pertanyaan.Fery menghela napas kasar, lalu kembali duduk. “Yun, aku beneran capek ngadepin kamu. tiap hari cuman bikin masalah. Nggak pagi, siang, malem, selalu aja bikin keributan. Apa kamu nggak cape?”“Kamu nggak nyadar ya, Mas, kalau kamu yang bikin aku kaya gini? Kamu kenapa malah bawa si Suci itu ke sini, seakan mau bikin aku cemburu aja.”“Astagfirullah, Yun. Kamu sendiri sadar nggak, kalau di rumah udah kaya di terminal? Sampah, remahan makanan di mana-mana. Aku pulang dalam keadaan capek, lalu lihat kondisi rumah berantakan seperti itu. Aku b
“Bagaimana kalau aku ingin memperbaiki ini semua?” tanya Fery berusaha mempertahankan.“Untuk apa?” Amanda balik bertanya.“Bukankah pernikahan kita sudah cukup lama? Orangtuaku juga sangat menyayangimu. Tidak akan sulit bagi kita untuk memulainya lagi dari awal.” Fery terlihat memohon.Amanda ingin menolak, tetapi bukan dengan cara seperti ini dia akan membalas sakit hatinya pada Fery. Harus sesuatu yang lebih menyakitkan dan menyenangkan. Jika dia langsung menolak Fery, dipastikan Yuni akan bersorak senang. Dia ingin membalas yang lebih menyakitkan lagi pada Yuni yang sudah begitu buruk menghinanya.Jika dia berpura-pura menerima Fery, Yuni pasti akan kebakaran rambut. Amanda akan sengaja memperlihatkan bagaimana rasanya melihat suami bermesraan dengan wanita lain.“Mmmh, jujur aku masih belum yakin. Kamu selama ini begitu membenciku, lalu tiba-tiba bersikap baik dan bilang ingin mencoba dari awal. Hanya karena kamu lihat fiskku berubah lebih baik.” Meski berniat menerima, tetapi Am
“Aku mau mencoba lagi sama kamu, tapi dengan syarat … kita tidak ada hubungan badan—““Lho, kok, gitu?” sela Fery yang tak terima.“Masa suami istri nggak ada hubungan badan?” lanjutnya tak setuju. Wajahnya ditekuk.“Dengar! Bukankah selama ini kita tidak pernah melakukannya? Lagi pula semua ini aku minta hanya sampai aku benar-benar bisa nerima kamu dan yakin kalau kamumemang sudah berubah. Aku tidak mau kalau nanti aku hamil, gendut dan kamu berpaling sama cewek lain.” Amanda kembali menyindir.“Nggak mungkin, lah. Aku udah biasa lihat wanita hamil dan semuanya pasti gendut. Minimal perutnya,” sahut Fery.Amanda tersenyum malas.“Atau … pake kondom aja,” cetus Fery memberi ide.Amanda sontak menggelengkan kepalanya. “Syarat adalah syarat. Kalau kamu memang mau memulai lagi denganku, kamu harus nerima semua syarat itu. Kalau tidak … ya aku tidak memaksa. Aku akan segera ajukan gugatan cerai.”“Iya, iya. Aku mau, aku mau,” potong Fery yang ketakutan jika istri pertamanya itu benar-ben
Yuni menangis ketakutan sambil berlari keluar dari kamar sang suami, menuju kamar orangtuannya.Narsih yang melihat itu menautkan alisnya heran. “Kamu kenapa, Yuni?” tanyanya.“Kenapa lagi kalau bukan si Jelek itu.” Yuni menggerutu sambil mengentakan kakinya kesal.“Si Jelek? Dia kan jadi cantik. Apa beneran itu istri pertamanya Fery?” tanya Narsih seakan sulit untuk percaya jika kakak madu dari putrinya itu bisa jadi cantik.“Beneran lah, Bu. Aku juga heran dia bisa jadi begitu. Aku pikir dia bakalan jelek seumur hidup.” Yuni mendengkus kesal sambil mengempaskan pinggulnya di tepian ranjang.“Habis berapa duit kira-kira dia ya, Yun?” telisik Narsih tampak penasaran. Dia mendekati sang putri untuk mencari tahu.“Memangnya kenapa?” wanita itu mendelik.“Ibu juga pengen, Yun. Operasi plastik di mana ya, kira-kira?” tanya Narsih lagi dengan mata berbinar.“Hah? Ibu mau operasi plastik? Yang bener aja?” pekik Yuni menggeser tubuhnya sambil mencebikan bibir.“Udah tua, juga, mau ngapain?”
Dua orang itu masih menyikut perempuan yang nyeplos tadi.“Ayo, bilang, di mana Ceu Mimin itu? Biar saya susul ke sana,” ulang Narsih mulai kesal karena perempuan itu malah diam karena disikut teman-temannya.“Eh, denger. Kalau mau bilang di mana Ceu Mimin itu, nanti saya kasih kamu uang seratus ribu,” tawar Narsih mengiming-imingi.Perempuan bernama Yanti itu sontak matanya berbinar. Tanggal segini, ada yang menawari uang, rasanya bagai ada yang ngasih senter di tengah malam yang gelap. Dia tak peduli meski dua temannya masih terus menyikut agar dia tak mengatakan yang sejujurnya.“Beneran, Bu?” tanya Yanti bersemangat. “Kalau beneran, saya anterin Ibu sampe depan rumahnya Ceu Mimin.”“Beneran, lah. Ini sebentar.” Narsih merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua lembar berwarna biru. Untung saja tadi dia membawa uang itu yang tadinya buat jaga-jaga takut ada tukang makanan. Wanita paruh baya itu lalu menyodorkannya pada Yanti.Namun, Narsih langsung menarik lagi tangannya saat Yanti
“Bapak ngapain lari nggak pakai baju?” tanya Radit menilik sang ayah mertua dengan heran.Narto tampak kikuk, bingung untuk menjawab. “Emmh, itu, Nak Adit. Bapak … Bapak … lagi … lari pagi. Biar sehat,” jawabnya yang tiba-tiba mendapat ide karena melihat setelan yang dikenakan Radit juga tubuh sang menantu yang dibasahi keringat.“Oh, begitu. Tapi kenapa nggak pake baju, Pak?”“Eh, itu … soalnya Bapak kegerahan, Nak Adit. Jadi buka baju,” jawabnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya pada dada.“Ooh, begitu. Ya, sudah. Silakan Bapak lanjutkan saja lari paginya. Saya mau bersiap-siap dulu. Permisi.” Radit hendak pergi saat dia mendengar teriakan dari arah belakangnya. Suara yang dihapalnya sebagai suara Narsih sang ibu mertua.“Hei, tunggu! Ketangkep kau sekarang. Mau lari ke mana?!” teriaknya dengan suara yang terengah-engah.Radit lantas menoleh ke belakang dan memang ada Narsih di sana yang juga berlari dengan napas tersengal. Keningnya langsung mengerut karena mendengar ucapan wanit