Share

003 - Tekanan Kerja Bikin Migren

"Sudah selesai ngerumpinya?" katanya begitu menohok relung hatiku. Saat ini yang aku lakukan hanya bisa menunduk, menatap lantai yang sering disapu sama Joko.

"Saya sangat tidak suka melihat karyawan bergosip di jam kerja seperti tadi. Apalagi kamu memiliki jabatan penting di kantor ini. Kalau semua karyawan seperti ini bisa-bisa kantor ini mengalami kerugian yang begitu besar. Rugi karena membayar karyawan yang malas bekerja."

Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya benar-benar pedas mirip bon cabe level internasional. Nasib menjadi karyawan memang seperti ini, selalu salah di mata bos. Ada saja kesalahan yang ditemukan. Hal yang aku lakukan saat ini cuma bisa nunduk pasrah ditindas sama bos baru yang ternyata mirip iblis.

"Jadwal saya hari ini apa?"

Dengan gerakan perlahan, kepalaku mendongak menatap bos baru yang benar-benar mirip iblis, tapi kenapa dia di anugerahi wajah yang begitu tampan. Rasanya sangat tidak adil.

"Meeting dengan Pak Edgar di kantor Sampoerna Strategic, Pak."

"Oke."

Hening.

Aku bingung harus gimana saat ini. Dengan sedikit keberanian, aku mencoba pamit keluar untuk melanjutkan kerja. Namun, baru saja mulutku terbuka langsung dihajar habis oleh kata-kata telaknya.

"Saya nggak suka karyawan yang letoi, pemalas, apalagi tukang ngerumpi seperti kamu saat ini. Saya butuh karyawan yang selalu siap bekerja saat dibutuhkan. Karyawan cekatan."

Dengan cepat aku langsung berdiri tegap bak Tentara.

"Ya, sudah sana keluar," usirnya dengan nada begitu ketus.

Mendapat pengusiran seperti ini membuatku menelan ludah susah payah. Dengan cepat aku menunduk untuk pamit keluar sebelum benar-benar diusir lebih sadis lagi.

Kini aku duduk sambil melamun menatap ke arah laptop yang tengah menyala. Entah kenapa baru satu hari mendapat bos baru rasanya tersiksa dunia akhirat begini. Belum genap delapan jam kerja, tapi rasanya sudah berabad-abad. Perasaan saat bekerja dengan Pak Haidar happy-happy aja nggak sampai buat kepikiran begini. Mana dikatain letoi pula. Kurang ajar.

"Sial! Apa aku kasih obat tidur aja, ya, kopinya biar bisa anteng selama delapan jam kerja," gumamku memikirkan cara balas dendam terbaik.

***

Gedung Sampoerna Strategic, Jakarta.

Saat aku tengah mendengarkan, dan mencatat hal-hal penting dalam meeting. Sering sekali mendengar tawa hambar dari para pejabat tinggi seperti ini. Padahal obrolan mereka pun hanya seputaran bisnis, kerja sama, saham, dan berhubungan dengan perusahaan lainnya. Nggak ada lelucon yang lucu untuk ditertawakan, tapi mereka terkadang pura-pura tertawa sebagai wujud formalitas belaka. Benar-benar membosankan hidup dipenuhi kepalsuan seperti itu.

"Oke, Pak. Minggu depan saya akan terbang ke Singapore untuk meninjau lokasi pembuatan resort di sana. Sekalian saya akan bertemu arsitek yang begitu hebat dalam mendesain bangunan," kata bosku menyakinkan investor di depannya.

"Saya sangat percaya kinerja dari perusahaan Azekiel grup tidak pernah mengecewakan."

"Terima kasih banyak, Pak."

"Sama-sama."

Melihat meeting yang telah selesai, aku langsung berdiri mengikuti arah bos yang sudah bersalaman dengan rekan bisnisnya. Aku pun langsung pamit sambil bersalaman sebagai wujud kesopanan, dan hormat kepada rekan bisnis atasan.

Dalam perjalanan menuju mobil, aku benar-benar dibuat kesal setengah mampus.

"Kamu pulang ke kantor sendiri naik taksi, saya sudah ada janji dengan istri untuk makan siang bersama di rumah."

Rasanya ingin mengumpat saat ini, tapi aku tetap tersenyum ramah di depan bos. Bisa dipecat langsung kalau aku tempiling tuh bos yang seenak jidad ninggalin aku begini.

"Baik, Pak."

Aku menatap kepergian bos menuju ke arah mobilnya. Jangan ditanya aku ke mana. Yang pasti aku langsung memesan taksi online. Sambil menunggu kedatangan taksi online aku duduk di pos satpam sambil melempar bahan gibah di grup.

GIBAH SQUAD

Kiki : Gaes aku ditinggalin sama bos baru dong.

Kiki : Dia lebih memilih makan siang sama istrinya.

Kiki : So sad.

Sila : Hah, seriusan, Ki?"

Kiki : Seriusan Mbak.

Sila : Kasian amat anak perawan ditinggal. Hahaha.

Priyo : Ada apa nih? Aku ketinggalan berita kayaknya.

Sofiana : Mas Priyo gimana kondisi Bali?

Priyo : Aman.

Priyo : Kenapa tuh Kiki kok kesel?

Rinto : Pak Haidar pensiun, dia dapat bos baru.

Priyo : Duh siapa tuh, Bang? Jangan bilang lebih cakep dari aku!

Sofiana : Jelas lebih cakep bos baru kita. Wong bosnya mirip Kevin Lutolf.

Joko : Mijon mijon mijon

Joko : Kacang kacang kacang

Joko : Yang dingin yang dingin

Sila : Joko buruan ke ruanganku!

Sofiana : MAMPUS dipanggil Ratu!

Priyo : Nggak sabar pengin balik. Tapi masih dua hari lagi tugas.

Sofiana : Jangan lupa oleh-olehnya Mas Priyo.

Priyo : Air laut mau?

Sofiana : Dih kok air laut sih? asin dong.

Priyo : Lagian ke Bali bukan liburan, di sini kerja disuruh Pak Haidar.

Sofiana : Ya udah jangan ngomel dih.

Priyo : Enggak.

Sila : Jangan galak-galak sama Sopi, nanti nangis, aku yang repot.

Priyo : Hehehe, enggak Mbak Sil.

Priyo : Lha, si Kiki mana? Malahan ngilang tuh bocah.

Sila : Lagi nangis kejer di jalan mungkin. Hahaha.

Rinto : Kerja kerja kerja.

Priyo : Siap Bang.

Aku membaca semua chat-chat di grup yang cukup menghibur itu. Tak lama taksi yang dipesan datang. Dengan cepat pula aku langsung naik untuk menuju kantor sebelum jam makan siang tiba. Bisa ditinggal sama anak-anak GIBAH SQUAD kalau terlambat datang.

Baru aja mau memejamkan mata, ponselku getar begitu tak sabaran. Keningku mengerut ketika nomor tak dikenal menelpon ke ponselku.

Siapa nih?

Penagih utang kah? Tawaran asuransi, atau ... tidak mungkin kalau jodoh aku udah tahu nomor teleponku dong. Haduh kacau kebanyakan ngehalu.

Dengan cepat aku menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Siapa tahu itu telepon penting kan aku nggak tahu.

Sebelum mengeluarkan suara emasku, aku berdeham terlebih dulu, biar apa coba? Ya, biar nanti terdengar sangat lembut lah.

"Halo."

Nah, pas! Suara aku lembut banget ajegile kalau didengar. Eh ... tapi, ada yang aneh nih. Kenapa orang di seberang langsung nerocos kek petasan lebaran sih. Sumpah dah, nggak ada henti-hentinya.

Terpaksa aku mendengarkan suara yang mirip kaleng rombeng itu dengan kepala manggut-manggut, dan pas tahu dia yang menelepon pun bulu kuduk langsung meremang dengan sangat dahsyat sekali.

Gila.

Mampus.

Mati deh.

Yang dilakukanku hanya menggigiti bibir bawah dengan hati yang jedag-jedug macam mau ditembak gebetan. Begitu lah rasanya. Jantung kayak mau copot. Bahkan kaki mendadak lemas.

Lebay?

Emang itu yang kini tengah aku rasakan saat ini. Seluruh tubuh mendadak lemas macam orang kena mati rasa.

"Jangan pingsan dulu, please," gumamku memohon dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status