"Sudah selesai ngerumpinya?" katanya begitu menohok relung hatiku. Saat ini yang aku lakukan hanya bisa menunduk, menatap lantai yang sering disapu sama Joko.
"Saya sangat tidak suka melihat karyawan bergosip di jam kerja seperti tadi. Apalagi kamu memiliki jabatan penting di kantor ini. Kalau semua karyawan seperti ini bisa-bisa kantor ini mengalami kerugian yang begitu besar. Rugi karena membayar karyawan yang malas bekerja." Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya benar-benar pedas mirip bon cabe level internasional. Nasib menjadi karyawan memang seperti ini, selalu salah di mata bos. Ada saja kesalahan yang ditemukan. Hal yang aku lakukan saat ini cuma bisa nunduk pasrah ditindas sama bos baru yang ternyata mirip iblis. "Jadwal saya hari ini apa?" Dengan gerakan perlahan, kepalaku mendongak menatap bos baru yang benar-benar mirip iblis, tapi kenapa dia di anugerahi wajah yang begitu tampan. Rasanya sangat tidak adil. "Meeting dengan Pak Edgar di kantor Sampoerna Strategic, Pak." "Oke." Hening. Aku bingung harus gimana saat ini. Dengan sedikit keberanian, aku mencoba pamit keluar untuk melanjutkan kerja. Namun, baru saja mulutku terbuka langsung dihajar habis oleh kata-kata telaknya. "Saya nggak suka karyawan yang letoi, pemalas, apalagi tukang ngerumpi seperti kamu saat ini. Saya butuh karyawan yang selalu siap bekerja saat dibutuhkan. Karyawan cekatan." Dengan cepat aku langsung berdiri tegap bak Tentara. "Ya, sudah sana keluar," usirnya dengan nada begitu ketus. Mendapat pengusiran seperti ini membuatku menelan ludah susah payah. Dengan cepat aku menunduk untuk pamit keluar sebelum benar-benar diusir lebih sadis lagi. Kini aku duduk sambil melamun menatap ke arah laptop yang tengah menyala. Entah kenapa baru satu hari mendapat bos baru rasanya tersiksa dunia akhirat begini. Belum genap delapan jam kerja, tapi rasanya sudah berabad-abad. Perasaan saat bekerja dengan Pak Haidar happy-happy aja nggak sampai buat kepikiran begini. Mana dikatain letoi pula. Kurang ajar. "Sial! Apa aku kasih obat tidur aja, ya, kopinya biar bisa anteng selama delapan jam kerja," gumamku memikirkan cara balas dendam terbaik. *** Gedung Sampoerna Strategic, Jakarta. Saat aku tengah mendengarkan, dan mencatat hal-hal penting dalam meeting. Sering sekali mendengar tawa hambar dari para pejabat tinggi seperti ini. Padahal obrolan mereka pun hanya seputaran bisnis, kerja sama, saham, dan berhubungan dengan perusahaan lainnya. Nggak ada lelucon yang lucu untuk ditertawakan, tapi mereka terkadang pura-pura tertawa sebagai wujud formalitas belaka. Benar-benar membosankan hidup dipenuhi kepalsuan seperti itu. "Oke, Pak. Minggu depan saya akan terbang ke Singapore untuk meninjau lokasi pembuatan resort di sana. Sekalian saya akan bertemu arsitek yang begitu hebat dalam mendesain bangunan," kata bosku menyakinkan investor di depannya. "Saya sangat percaya kinerja dari perusahaan Azekiel grup tidak pernah mengecewakan." "Terima kasih banyak, Pak." "Sama-sama." Melihat meeting yang telah selesai, aku langsung berdiri mengikuti arah bos yang sudah bersalaman dengan rekan bisnisnya. Aku pun langsung pamit sambil bersalaman sebagai wujud kesopanan, dan hormat kepada rekan bisnis atasan. Dalam perjalanan menuju mobil, aku benar-benar dibuat kesal setengah mampus. "Kamu pulang ke kantor sendiri naik taksi, saya sudah ada janji dengan istri untuk makan siang bersama di rumah." Rasanya ingin mengumpat saat ini, tapi aku tetap tersenyum ramah di depan bos. Bisa dipecat langsung kalau aku tempiling tuh bos yang seenak jidad ninggalin aku begini. "Baik, Pak." Aku menatap kepergian bos menuju ke arah mobilnya. Jangan ditanya aku ke mana. Yang pasti aku langsung memesan taksi online. Sambil menunggu kedatangan taksi online aku duduk di pos satpam sambil melempar bahan gibah di grup. GIBAH SQUAD Kiki : Gaes aku ditinggalin sama bos baru dong. Kiki : Dia lebih memilih makan siang sama istrinya. Kiki : So sad. Sila : Hah, seriusan, Ki?" Kiki : Seriusan Mbak. Sila : Kasian amat anak perawan ditinggal. Hahaha. Priyo : Ada apa nih? Aku ketinggalan berita kayaknya. Sofiana : Mas Priyo gimana kondisi Bali? Priyo : Aman. Priyo : Kenapa tuh Kiki kok kesel? Rinto : Pak Haidar pensiun, dia dapat bos baru. Priyo : Duh siapa tuh, Bang? Jangan bilang lebih cakep dari aku! Sofiana : Jelas lebih cakep bos baru kita. Wong bosnya mirip Kevin Lutolf. Joko : Mijon mijon mijon Joko : Kacang kacang kacang Joko : Yang dingin yang dingin Sila : Joko buruan ke ruanganku! Sofiana : MAMPUS dipanggil Ratu! Priyo : Nggak sabar pengin balik. Tapi masih dua hari lagi tugas. Sofiana : Jangan lupa oleh-olehnya Mas Priyo. Priyo : Air laut mau? Sofiana : Dih kok air laut sih? asin dong. Priyo : Lagian ke Bali bukan liburan, di sini kerja disuruh Pak Haidar. Sofiana : Ya udah jangan ngomel dih. Priyo : Enggak. Sila : Jangan galak-galak sama Sopi, nanti nangis, aku yang repot. Priyo : Hehehe, enggak Mbak Sil. Priyo : Lha, si Kiki mana? Malahan ngilang tuh bocah. Sila : Lagi nangis kejer di jalan mungkin. Hahaha. Rinto : Kerja kerja kerja. Priyo : Siap Bang. Aku membaca semua chat-chat di grup yang cukup menghibur itu. Tak lama taksi yang dipesan datang. Dengan cepat pula aku langsung naik untuk menuju kantor sebelum jam makan siang tiba. Bisa ditinggal sama anak-anak GIBAH SQUAD kalau terlambat datang. Baru aja mau memejamkan mata, ponselku getar begitu tak sabaran. Keningku mengerut ketika nomor tak dikenal menelpon ke ponselku. Siapa nih? Penagih utang kah? Tawaran asuransi, atau ... tidak mungkin kalau jodoh aku udah tahu nomor teleponku dong. Haduh kacau kebanyakan ngehalu. Dengan cepat aku menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Siapa tahu itu telepon penting kan aku nggak tahu. Sebelum mengeluarkan suara emasku, aku berdeham terlebih dulu, biar apa coba? Ya, biar nanti terdengar sangat lembut lah. "Halo." Nah, pas! Suara aku lembut banget ajegile kalau didengar. Eh ... tapi, ada yang aneh nih. Kenapa orang di seberang langsung nerocos kek petasan lebaran sih. Sumpah dah, nggak ada henti-hentinya. Terpaksa aku mendengarkan suara yang mirip kaleng rombeng itu dengan kepala manggut-manggut, dan pas tahu dia yang menelepon pun bulu kuduk langsung meremang dengan sangat dahsyat sekali. Gila. Mampus. Mati deh. Yang dilakukanku hanya menggigiti bibir bawah dengan hati yang jedag-jedug macam mau ditembak gebetan. Begitu lah rasanya. Jantung kayak mau copot. Bahkan kaki mendadak lemas. Lebay? Emang itu yang kini tengah aku rasakan saat ini. Seluruh tubuh mendadak lemas macam orang kena mati rasa. "Jangan pingsan dulu, please," gumamku memohon dalam hati.Mataku terpejam mendengarkan sederet permintaan dari bos baru yang bikin pusing. Baru sehari kerja sama dia udah banyak banget tugasnya. Jemariku memijit pelipis yang terasa senut-senut. "Baik, Pak." Aku mengembuskan napas lega kala panggilan telepon dengan bos selesai. Kalau dipikir-pikir masih mending bekerja sama Pak Haidar. Setidaknya beliau masih punya hati sama bawahan. Sedangkan dia? baru sehari masuk jadi bos udah izin nggak masuk dengan alasan istrinya tengah hamil. Memang apa hubungannya kerja sama istri hamil? Sinting. Sampai di kantor, aku berjalan menuju ke arah meja kerja. Hal utama yang aku lakukan menelepon klien dari Singapore untuk membahas proyek resort di sana. Selesai menelepon klien untuk mengatur jadwal ulang, Aku mendapat telepon dari Pak Haidar, memintaku untuk mengurus konsep pesta baby shower calon cucunya. Pantes saja aku disuruh balik sendirian, ternyata istrinya lagi hamil beneran di rumah. Aku kira cuma alibi dia doang ngaku istrinya hamil. "Ki, yuk
Menikah itu bukan perkara siapa cepat dia dapat. Menikah itu soal ketepatan waktu. Menikah itu ibadah, jadi dia akan menghampirimu di waktu yang tepat. *** Bandara Internasional Changi, Singapura. Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta—Singapore. Aku bersama Pak Haidar mampir di salah satu coffe shop di bandara. Pak Haidar sepertinya paham kalau aku sangat ngantuk. Bahkan bisa aku lihat di kaca kalau kantung mataku benar-benar hitam seperti panda. "Tidur jam berapa, Ki?" "Jam enam, Pak." "Serius?" "Serius, Pak." "Maaf, Ki." "Gapapa, Pak. Lagian ini tugas saya." Bisa aku lihat kalau Pak Haidar sedikit merasa tidak enak mendengar kalau aku baru tidur jam enam pagi tadi, dan hebatnya jam delapan aku harus bangun. Dua jam aku memejamkan mata di dalam pesawat. Bisa kalian bayangkan betapa terasa melayang tubuhku saat ini. Tak lama, pelayan datang membawa dua cangkir kopi pesananku dan Pak Haidar. Kali ini aku memesan kopi americano. Sesekali minum kopi pahit biar kita nggak
Pertemuan dengan Ryan kemarin benar-benar membawa efek tersendiri dalam jantungku. Pagi ini yang aku lakukan cuma memegang dada, memastikan kalau diriku nggak jantungan. "Kenapa, Ki?" "Ah, enggak, Pak." Malu. Ya, aku malu banget sumpah lagi ngelamun tapi ketahuan sama boss besar. Terlebih pipi kayaknya panas banget pula. Buat goreng telur kayaknya mateng nih. Akhirnya aku berdeham pelan sebelum memutuskan untuk mengajak Pak Haidar buat ngobrol masalah proyek semalam yang dibahas. Terlebih proyek itu tidak bisa selesai di Singapura. Alhasil aku dan Pak Haidar kembali ke Jakarta pagi ini. "Pokoknya, saya serahkan ke kamu, Ki," kata beliau saat membahas proyek Singapore ini. "Iya, Pak." "Nanti saya di Papua itu kurang lebih sebulanan, jadi nanti tolong kamu ajari anak saya masalah kantor di sini. Dia belum terlalu mengusai perusahaan," ujar beliau menceritakan anaknya yang super duper tampan. "Baik, Pak." "Tidak salah kalau HR memilih kamu sebagai sekertaris saya. Sudah cantik.
“Assalamualaikum,” salamku dengan suara yang sedikit lirih. Sumpah ini capek banget. Badanku kayak mau rontok macam ketombe yang digaruk-garuk. “Lho, anak Mama kenapa lemes gitu?” “Capek.” “Makanya cari suami biar ada yang kasih duit.” Nah. Mulaikan pembahasan soal jodoh. Males banget asli. “Mana oleh-oleh?” tanya mama sambil menyodorkan telapak tangan ke depan wajahku. Melihat kelakuan mama hanya bisa embusin napas kasar. “Kiki kerja bukan liburan, Ma.” “Iya tapikan sekalian dong, Ki. Tempelan kulkas gitu.” “Duh, Ma, tempelan kulkas beli aja di tanah abang banyak.” “Aiss ... Mama pengin yang dari luar negeri biar bisa pamer sama tetangga.” Ck! Kumatkan jiwa pamer mama. Pengin marah tapi nanti jadi anak durhaka. Duh, serba salah jadi anak. “Yaudah kapan-kapan.” Senyum mama langsung mengembang lebar saat aku bilang kapan-kapan. Padahal jujur aja nggak tahu juga kapan-kapannya tahun berapa nanti. Merasa benar-benar letih, aku memilih masuk ke kamar dan langsung berbaring. Bo
Saat lagi fokus di depan laptop. Seperti biasa, aku melihat Joko tengah berjalan ke arahku membawa peralatan kebersihan lengkap yang menempel di badannya. Meski begitu aku tetap aja penasaran ada info atau gosip apa yang akan Joko sampaikan. Terlebih Joko mengepel sambil bersiul riang gembira. Joko berdeham yang membuatku menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyaku yang nggak bisa menahan rasa penasaran dalam diriku sendiri. “Gapapa.” “Kok cengar-cengir gitu sih.” “Lagi seneng aja.” “Kenapa emangnya? Dapat tip dari Mbak Sila?” Joko menggeleng dengan bibir tersenyum. Sumpah Joko bikin aku penasaran sampai ubun-ubun. Terpaksa aku mengeluarkan duit dua puluh ribu kembalian naik taksi online tadi. Aku sodorkan ke arah Joko dan langsung diterima dengan cepat. Kampret emang anak satu ini. “Mbak Sila tadi ngomel-ngomel sama anak baru, katanya mau ke kantor apa mangkal gitu.” Aku langsung menatap ke arah Joko dengan tatapan kesal yang ditahan. Kalau begini doang tadi Mbak Sila udah kasih ka
Pas sampai depan rumah, aku langsung membayar taksi, dan berjalan secepat mungkin karena penasaran dengan tamu yang datang ke rumah. “Assalamualaikum,” salamku saat akan masuk rumah dan mataku langsung terbelalak nggak percaya siapa yang datang. “Hai adik manis,” katanya seperti biasa. Dengan cepat pula aku langsung menghampiri kakak ketemu gedeku, dan memeluknya erat. Sumpah, aku kangen banget sama dia. Mana sekarang dia sibuk banget ngurusin kafe yang cabangnya di mana-mana pula. “Kok bisa ada di sini sih? Sengaja ke sini apa gimana?” “Tadi nganterin cewekku main ke rumah temannya, di situ sih deketan.” “Oh ... sumpah aku kangen banget sama kamu, Kak.” Seperti biasa, dia selalu mengusap-ngusap kepalaku selayaknya adik kecilnya. Bahkan aku nggak peduli ada mama yang memperhatikan gerak-gerikku, yang mungkin baginya sangat terlihat murahan. Tapi, biarin ajalah. Toh, dia itu sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. “Ma, kenalin ini Kak Doni. Temen Kiki. Pas Kiki baru masuk ku
Sumpah aku benar-benar syok saat melihat siapa wanita bernama Zemira itu. Dia itu anaknya Tante Rania yang selalu jadi bahan perbandingan mama sama aku. “Kenal, Ki?” tanya Kak Doni yang melihatku diam dengan ekspresi begitu terkejut. Bahkan aku mengangguk pelan sebagai jawaban. “Kenal Kak, inikan Nasya.” “Ah, iya lupa. Orang-orang panggil dia Nasya.” “Dia nikah sama sahabatnya Kak Doni?” tanyaku dengan rasa penasaran. Kenapa hidup aku jadi berputar-putar dengan orang yang itu-itu saja. Circle kehidupanku rasanya ada yang nggak beres nih. “Iya, nikah sama Naren sahabat kecilku. Aku salut sama perjuangan cinta mereka, Ki. Kuat dan kokoh banget.” “Kenapa? Denger-denger dari tetangga yang hamilin Nasya masih saudara suaminya. Emang benar, Kak?” “Iya benar, masih saudara sepupu.” “Ih, gila ya,” komentarku mengenai kehidupan yang dialami oleh Nasya. Setahu aku juga Nasya ini dulu kuliah dan putus di tengah jalan karena hamil duluan. Dan nasib dia sekarang malahan jauh lebih baik diba
Entah kenapa aku mendadak deg-degan melihat ada Ryan yang duduk di kursi tunggu. Kira-kira dia mau ketemu sama siapa? Semua boss besar nggak ada di kantor saat ini. Bahkan aku mengabaikan Mbak Sila yang tengah menatapku dengan penuh tanda tanya. “Ada apa?” tanya Mbak Sila kembali. “Itu ada arsitek yang aku ceritain Mbak, dia yang duduk di sana sendirian.” Mbak Sila langsung menoleh dan memperhatikan Ryan kembali. Bahkan bisa aku lihat kalau mata ganjen Mbak Sila udah mulai beraksi. “Itu cakep banget, Ki. Udah pepet aja sih.” “Apaan sih, Mbak.” Aku merasa kalau Sofi, Priyo, bahkan Bang Rinto yang berjalan di depan pun ikutan berhenti dan menoleh ke arahku dan Mbak Sila. “Kalian bisik-bisik apaan sih?” tanya Priyo yang merasa curiga terhadapku dan Mbak Sila. “Ada cowok ganteng,” ceplos Mbak Sila yang bikin aku memejamkan mata. Sumpah ini mulut Mbak Sila mirip banget sama keran bocor. “Mana?” tanya Priyo kembali. “Itu yang lagi duduk di kursi tunggu,” kata Mbak Sila. Kini semu