"Sudah selesai ngerumpinya?" katanya begitu menohok relung hatiku. Saat ini yang aku lakukan hanya bisa menunduk, menatap lantai yang sering disapu sama Joko.
"Saya sangat tidak suka melihat karyawan bergosip di jam kerja seperti tadi. Apalagi kamu memiliki jabatan penting di kantor ini. Kalau semua karyawan seperti ini bisa-bisa kantor ini mengalami kerugian yang begitu besar. Rugi karena membayar karyawan yang malas bekerja." Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya benar-benar pedas mirip bon cabe level internasional. Nasib menjadi karyawan memang seperti ini, selalu salah di mata bos. Ada saja kesalahan yang ditemukan. Hal yang aku lakukan saat ini cuma bisa nunduk pasrah ditindas sama bos baru yang ternyata mirip iblis. "Jadwal saya hari ini apa?" Dengan gerakan perlahan, kepalaku mendongak menatap bos baru yang benar-benar mirip iblis, tapi kenapa dia di anugerahi wajah yang begitu tampan. Rasanya sangat tidak adil. "Meeting dengan Pak Edgar di kantor Sampoerna Strategic, Pak." "Oke." Hening. Aku bingung harus gimana saat ini. Dengan sedikit keberanian, aku mencoba pamit keluar untuk melanjutkan kerja. Namun, baru saja mulutku terbuka langsung dihajar habis oleh kata-kata telaknya. "Saya nggak suka karyawan yang letoi, pemalas, apalagi tukang ngerumpi seperti kamu saat ini. Saya butuh karyawan yang selalu siap bekerja saat dibutuhkan. Karyawan cekatan." Dengan cepat aku langsung berdiri tegap bak Tentara. "Ya, sudah sana keluar," usirnya dengan nada begitu ketus. Mendapat pengusiran seperti ini membuatku menelan ludah susah payah. Dengan cepat aku menunduk untuk pamit keluar sebelum benar-benar diusir lebih sadis lagi. Kini aku duduk sambil melamun menatap ke arah laptop yang tengah menyala. Entah kenapa baru satu hari mendapat bos baru rasanya tersiksa dunia akhirat begini. Belum genap delapan jam kerja, tapi rasanya sudah berabad-abad. Perasaan saat bekerja dengan Pak Haidar happy-happy aja nggak sampai buat kepikiran begini. Mana dikatain letoi pula. Kurang ajar. "Sial! Apa aku kasih obat tidur aja, ya, kopinya biar bisa anteng selama delapan jam kerja," gumamku memikirkan cara balas dendam terbaik. *** Gedung Sampoerna Strategic, Jakarta. Saat aku tengah mendengarkan, dan mencatat hal-hal penting dalam meeting. Sering sekali mendengar tawa hambar dari para pejabat tinggi seperti ini. Padahal obrolan mereka pun hanya seputaran bisnis, kerja sama, saham, dan berhubungan dengan perusahaan lainnya. Nggak ada lelucon yang lucu untuk ditertawakan, tapi mereka terkadang pura-pura tertawa sebagai wujud formalitas belaka. Benar-benar membosankan hidup dipenuhi kepalsuan seperti itu. "Oke, Pak. Minggu depan saya akan terbang ke Singapore untuk meninjau lokasi pembuatan resort di sana. Sekalian saya akan bertemu arsitek yang begitu hebat dalam mendesain bangunan," kata bosku menyakinkan investor di depannya. "Saya sangat percaya kinerja dari perusahaan Azekiel grup tidak pernah mengecewakan." "Terima kasih banyak, Pak." "Sama-sama." Melihat meeting yang telah selesai, aku langsung berdiri mengikuti arah bos yang sudah bersalaman dengan rekan bisnisnya. Aku pun langsung pamit sambil bersalaman sebagai wujud kesopanan, dan hormat kepada rekan bisnis atasan. Dalam perjalanan menuju mobil, aku benar-benar dibuat kesal setengah mampus. "Kamu pulang ke kantor sendiri naik taksi, saya sudah ada janji dengan istri untuk makan siang bersama di rumah." Rasanya ingin mengumpat saat ini, tapi aku tetap tersenyum ramah di depan bos. Bisa dipecat langsung kalau aku tempiling tuh bos yang seenak jidad ninggalin aku begini. "Baik, Pak." Aku menatap kepergian bos menuju ke arah mobilnya. Jangan ditanya aku ke mana. Yang pasti aku langsung memesan taksi online. Sambil menunggu kedatangan taksi online aku duduk di pos satpam sambil melempar bahan gibah di grup. GIBAH SQUAD Kiki : Gaes aku ditinggalin sama bos baru dong. Kiki : Dia lebih memilih makan siang sama istrinya. Kiki : So sad. Sila : Hah, seriusan, Ki?" Kiki : Seriusan Mbak. Sila : Kasian amat anak perawan ditinggal. Hahaha. Priyo : Ada apa nih? Aku ketinggalan berita kayaknya. Sofiana : Mas Priyo gimana kondisi Bali? Priyo : Aman. Priyo : Kenapa tuh Kiki kok kesel? Rinto : Pak Haidar pensiun, dia dapat bos baru. Priyo : Duh siapa tuh, Bang? Jangan bilang lebih cakep dari aku! Sofiana : Jelas lebih cakep bos baru kita. Wong bosnya mirip Kevin Lutolf. Joko : Mijon mijon mijon Joko : Kacang kacang kacang Joko : Yang dingin yang dingin Sila : Joko buruan ke ruanganku! Sofiana : MAMPUS dipanggil Ratu! Priyo : Nggak sabar pengin balik. Tapi masih dua hari lagi tugas. Sofiana : Jangan lupa oleh-olehnya Mas Priyo. Priyo : Air laut mau? Sofiana : Dih kok air laut sih? asin dong. Priyo : Lagian ke Bali bukan liburan, di sini kerja disuruh Pak Haidar. Sofiana : Ya udah jangan ngomel dih. Priyo : Enggak. Sila : Jangan galak-galak sama Sopi, nanti nangis, aku yang repot. Priyo : Hehehe, enggak Mbak Sil. Priyo : Lha, si Kiki mana? Malahan ngilang tuh bocah. Sila : Lagi nangis kejer di jalan mungkin. Hahaha. Rinto : Kerja kerja kerja. Priyo : Siap Bang. Aku membaca semua chat-chat di grup yang cukup menghibur itu. Tak lama taksi yang dipesan datang. Dengan cepat pula aku langsung naik untuk menuju kantor sebelum jam makan siang tiba. Bisa ditinggal sama anak-anak GIBAH SQUAD kalau terlambat datang. Baru aja mau memejamkan mata, ponselku getar begitu tak sabaran. Keningku mengerut ketika nomor tak dikenal menelpon ke ponselku. Siapa nih? Penagih utang kah? Tawaran asuransi, atau ... tidak mungkin kalau jodoh aku udah tahu nomor teleponku dong. Haduh kacau kebanyakan ngehalu. Dengan cepat aku menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Siapa tahu itu telepon penting kan aku nggak tahu. Sebelum mengeluarkan suara emasku, aku berdeham terlebih dulu, biar apa coba? Ya, biar nanti terdengar sangat lembut lah. "Halo." Nah, pas! Suara aku lembut banget ajegile kalau didengar. Eh ... tapi, ada yang aneh nih. Kenapa orang di seberang langsung nerocos kek petasan lebaran sih. Sumpah dah, nggak ada henti-hentinya. Terpaksa aku mendengarkan suara yang mirip kaleng rombeng itu dengan kepala manggut-manggut, dan pas tahu dia yang menelepon pun bulu kuduk langsung meremang dengan sangat dahsyat sekali. Gila. Mampus. Mati deh. Yang dilakukanku hanya menggigiti bibir bawah dengan hati yang jedag-jedug macam mau ditembak gebetan. Begitu lah rasanya. Jantung kayak mau copot. Bahkan kaki mendadak lemas. Lebay? Emang itu yang kini tengah aku rasakan saat ini. Seluruh tubuh mendadak lemas macam orang kena mati rasa. "Jangan pingsan dulu, please," gumamku memohon dalam hati.Mataku terpejam mendengarkan sederet permintaan dari bos baru yang bikin pusing. Baru sehari kerja sama dia udah banyak banget tugasnya. Jemariku memijit pelipis yang terasa senut-senut. "Baik, Pak." Aku mengembuskan napas lega kala panggilan telepon dengan bos selesai. Kalau dipikir-pikir masih mending bekerja sama Pak Haidar. Setidaknya beliau masih punya hati sama bawahan. Sedangkan dia? baru sehari masuk jadi bos udah izin nggak masuk dengan alasan istrinya tengah hamil. Memang apa hubungannya kerja sama istri hamil? Sinting. Sampai di kantor, aku berjalan menuju ke arah meja kerja. Hal utama yang aku lakukan menelepon klien dari Singapore untuk membahas proyek resort di sana. Selesai menelepon klien untuk mengatur jadwal ulang, Aku mendapat telepon dari Pak Haidar, memintaku untuk mengurus konsep pesta baby shower calon cucunya. Pantes saja aku disuruh balik sendirian, ternyata istrinya lagi hamil beneran di rumah. Aku kira cuma alibi dia doang ngaku istrinya hamil. "Ki, yuk
Menikah itu bukan perkara siapa cepat dia dapat. Menikah itu soal ketepatan waktu. Menikah itu ibadah, jadi dia akan menghampirimu di waktu yang tepat. *** Bandara Internasional Changi, Singapura. Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta—Singapore. Aku bersama Pak Haidar mampir di salah satu coffe shop di bandara. Pak Haidar sepertinya paham kalau aku sangat ngantuk. Bahkan bisa aku lihat di kaca kalau kantung mataku benar-benar hitam seperti panda. "Tidur jam berapa, Ki?" "Jam enam, Pak." "Serius?" "Serius, Pak." "Maaf, Ki." "Gapapa, Pak. Lagian ini tugas saya." Bisa aku lihat kalau Pak Haidar sedikit merasa tidak enak mendengar kalau aku baru tidur jam enam pagi tadi, dan hebatnya jam delapan aku harus bangun. Dua jam aku memejamkan mata di dalam pesawat. Bisa kalian bayangkan betapa terasa melayang tubuhku saat ini. Tak lama, pelayan datang membawa dua cangkir kopi pesananku dan Pak Haidar. Kali ini aku memesan kopi americano. Sesekali minum kopi pahit biar kita nggak
Pertemuan dengan Ryan kemarin benar-benar membawa efek tersendiri dalam jantungku. Pagi ini yang aku lakukan cuma memegang dada, memastikan kalau diriku nggak jantungan. "Kenapa, Ki?" "Ah, enggak, Pak." Malu. Ya, aku malu banget sumpah lagi ngelamun tapi ketahuan sama boss besar. Terlebih pipi kayaknya panas banget pula. Buat goreng telur kayaknya mateng nih. Akhirnya aku berdeham pelan sebelum memutuskan untuk mengajak Pak Haidar buat ngobrol masalah proyek semalam yang dibahas. Terlebih proyek itu tidak bisa selesai di Singapura. Alhasil aku dan Pak Haidar kembali ke Jakarta pagi ini. "Pokoknya, saya serahkan ke kamu, Ki," kata beliau saat membahas proyek Singapore ini. "Iya, Pak." "Nanti saya di Papua itu kurang lebih sebulanan, jadi nanti tolong kamu ajari anak saya masalah kantor di sini. Dia belum terlalu mengusai perusahaan," ujar beliau menceritakan anaknya yang super duper tampan. "Baik, Pak." "Tidak salah kalau HR memilih kamu sebagai sekertaris saya. Sudah cantik.
“Assalamualaikum,” salamku dengan suara yang sedikit lirih. Sumpah ini capek banget. Badanku kayak mau rontok macam ketombe yang digaruk-garuk. “Lho, anak Mama kenapa lemes gitu?” “Capek.” “Makanya cari suami biar ada yang kasih duit.” Nah. Mulaikan pembahasan soal jodoh. Males banget asli. “Mana oleh-oleh?” tanya mama sambil menyodorkan telapak tangan ke depan wajahku. Melihat kelakuan mama hanya bisa embusin napas kasar. “Kiki kerja bukan liburan, Ma.” “Iya tapikan sekalian dong, Ki. Tempelan kulkas gitu.” “Duh, Ma, tempelan kulkas beli aja di tanah abang banyak.” “Aiss ... Mama pengin yang dari luar negeri biar bisa pamer sama tetangga.” Ck! Kumatkan jiwa pamer mama. Pengin marah tapi nanti jadi anak durhaka. Duh, serba salah jadi anak. “Yaudah kapan-kapan.” Senyum mama langsung mengembang lebar saat aku bilang kapan-kapan. Padahal jujur aja nggak tahu juga kapan-kapannya tahun berapa nanti. Merasa benar-benar letih, aku memilih masuk ke kamar dan langsung berbaring. Bo
Saat lagi fokus di depan laptop. Seperti biasa, aku melihat Joko tengah berjalan ke arahku membawa peralatan kebersihan lengkap yang menempel di badannya. Meski begitu aku tetap aja penasaran ada info atau gosip apa yang akan Joko sampaikan. Terlebih Joko mengepel sambil bersiul riang gembira. Joko berdeham yang membuatku menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyaku yang nggak bisa menahan rasa penasaran dalam diriku sendiri. “Gapapa.” “Kok cengar-cengir gitu sih.” “Lagi seneng aja.” “Kenapa emangnya? Dapat tip dari Mbak Sila?” Joko menggeleng dengan bibir tersenyum. Sumpah Joko bikin aku penasaran sampai ubun-ubun. Terpaksa aku mengeluarkan duit dua puluh ribu kembalian naik taksi online tadi. Aku sodorkan ke arah Joko dan langsung diterima dengan cepat. Kampret emang anak satu ini. “Mbak Sila tadi ngomel-ngomel sama anak baru, katanya mau ke kantor apa mangkal gitu.” Aku langsung menatap ke arah Joko dengan tatapan kesal yang ditahan. Kalau begini doang tadi Mbak Sila udah kasih ka
Pas sampai depan rumah, aku langsung membayar taksi, dan berjalan secepat mungkin karena penasaran dengan tamu yang datang ke rumah. “Assalamualaikum,” salamku saat akan masuk rumah dan mataku langsung terbelalak nggak percaya siapa yang datang. “Hai adik manis,” katanya seperti biasa. Dengan cepat pula aku langsung menghampiri kakak ketemu gedeku, dan memeluknya erat. Sumpah, aku kangen banget sama dia. Mana sekarang dia sibuk banget ngurusin kafe yang cabangnya di mana-mana pula. “Kok bisa ada di sini sih? Sengaja ke sini apa gimana?” “Tadi nganterin cewekku main ke rumah temannya, di situ sih deketan.” “Oh ... sumpah aku kangen banget sama kamu, Kak.” Seperti biasa, dia selalu mengusap-ngusap kepalaku selayaknya adik kecilnya. Bahkan aku nggak peduli ada mama yang memperhatikan gerak-gerikku, yang mungkin baginya sangat terlihat murahan. Tapi, biarin ajalah. Toh, dia itu sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. “Ma, kenalin ini Kak Doni. Temen Kiki. Pas Kiki baru masuk ku
Sumpah aku benar-benar syok saat melihat siapa wanita bernama Zemira itu. Dia itu anaknya Tante Rania yang selalu jadi bahan perbandingan mama sama aku. “Kenal, Ki?” tanya Kak Doni yang melihatku diam dengan ekspresi begitu terkejut. Bahkan aku mengangguk pelan sebagai jawaban. “Kenal Kak, inikan Nasya.” “Ah, iya lupa. Orang-orang panggil dia Nasya.” “Dia nikah sama sahabatnya Kak Doni?” tanyaku dengan rasa penasaran. Kenapa hidup aku jadi berputar-putar dengan orang yang itu-itu saja. Circle kehidupanku rasanya ada yang nggak beres nih. “Iya, nikah sama Naren sahabat kecilku. Aku salut sama perjuangan cinta mereka, Ki. Kuat dan kokoh banget.” “Kenapa? Denger-denger dari tetangga yang hamilin Nasya masih saudara suaminya. Emang benar, Kak?” “Iya benar, masih saudara sepupu.” “Ih, gila ya,” komentarku mengenai kehidupan yang dialami oleh Nasya. Setahu aku juga Nasya ini dulu kuliah dan putus di tengah jalan karena hamil duluan. Dan nasib dia sekarang malahan jauh lebih baik diba
Entah kenapa aku mendadak deg-degan melihat ada Ryan yang duduk di kursi tunggu. Kira-kira dia mau ketemu sama siapa? Semua boss besar nggak ada di kantor saat ini. Bahkan aku mengabaikan Mbak Sila yang tengah menatapku dengan penuh tanda tanya. “Ada apa?” tanya Mbak Sila kembali. “Itu ada arsitek yang aku ceritain Mbak, dia yang duduk di sana sendirian.” Mbak Sila langsung menoleh dan memperhatikan Ryan kembali. Bahkan bisa aku lihat kalau mata ganjen Mbak Sila udah mulai beraksi. “Itu cakep banget, Ki. Udah pepet aja sih.” “Apaan sih, Mbak.” Aku merasa kalau Sofi, Priyo, bahkan Bang Rinto yang berjalan di depan pun ikutan berhenti dan menoleh ke arahku dan Mbak Sila. “Kalian bisik-bisik apaan sih?” tanya Priyo yang merasa curiga terhadapku dan Mbak Sila. “Ada cowok ganteng,” ceplos Mbak Sila yang bikin aku memejamkan mata. Sumpah ini mulut Mbak Sila mirip banget sama keran bocor. “Mana?” tanya Priyo kembali. “Itu yang lagi duduk di kursi tunggu,” kata Mbak Sila. Kini semu
Menatap makhluk ciptaan di depannya membuat Kiki menahan napas sejenak. Apalagi laki-laki itu begitu sempurna dipenilaian matanya. Wajah tampan yang dibumbui cambang tipis yang menambah kesan maskulin dan jantan. Bola matanya yang berwarna biru terang membuat setiap tatapannya selalu membuat merasa terpakau, hidung mancung, rahang tegas, semuanya benar-benar menunjukkan pahatan Tuhan yang begitu sempurna.“Silakan keluar Manda,” katanya yang justru membuat Kiki langsung tersadar dari lamunannya.Kepala Kiki menoleh mengikuti arah gerak tubuh Manda yang membungkuk sebagai rasa hormat dan berbalik badan untuk keluar ruangan dengan jalannya yang begitu anggun.Merasa di ruangan hanya tinggal mereka berdua membuat hati Kiki tanpa sadar merasa deg-degan sendiri. Bahkan berkali-kali Kiki sudah menelan ludahnya sendiri dengan sedikit susah payah. Kakinya saat ini mendadak terasa lemas karena ditatap begitu tajam oleh bola mata berwarna biru terang itu
Kiki tampak berpikir yang membuat Ryan semakin penasaran dibuatnya. Jangan bilang istrinya bakalan ketularan sama Sila yang begitu rempong. Meski tak terlalu akrab atau dekat pun Ryan sudah paham karakter perempuan model Sila itu. Perempuan cerewet yang kalau ada diskonan akan heboh satu komplek.“Aku nggak jawab iya atau tidak, sih, soalnya kan besok hari pertama kerja juga jadi nggak tahu deh.”“Emang dia ngajakin kamu berburu diskon apa?”“Kebutuhan pokok gitu.”Ryan mengerutkan keningnya bingung. Lagipula selama hidup di dunia juga Ryan tak pernah mendetail apa saja yang tengah diskonan apalagi kalau ada tanggal cantik seperti 10.10, 11.11, 12.12, pokoknya yang kembar-kembar gitu deh. Dan, pantes aja kalau emaknya suka heboh sendiri jika habis belanja. Katanya murah lah, katanya beli satu gratis satu. Entahlah.“Yaudah kamu tolak aja, lagian besok hari pertama kerja juga kan?”“Tapi a
Setelah dari Ansell, Kiki kini tengah tiduran di sofa sambil memegang ponselnya. Bahkan bibirnya terus tersenyum lebar bahkan tertawa karena merasa chat dengan Mbak Sila membuat dirinya semakin tambah nggak waras.Sila : Pokoknya besok kudu temenin berburu diskonan 12.12.Kiki : Besok gue kerja untuk yang pertama kali.Kiki : Gue nggak mau dipecat di hari pertama kerja.Sila : Shit! Si Manda ngapa nyuruh lo cepet masuk, sih. Senin depan kek harusnya.Kiki : Protes aja sono sama tetangga lo.Sila : Dia masih muda banget lho. Usianya baru 23an.Kiki : Pantes aja mukanya terlihat unyu bahkan sangat glowing.Sila : Skincare-nya nggak pernah lepas. Kerjaan ABG kan ngoles-ngoles muka terus biar kinclong.Kiki : Apalah kita yang udah emak-emak.Sila : Apaan lo, belum juga beranak masih bisa perawatan. Nah kalau gue banyak mikirin kebutuhan.Kiki : Divisi keuangan kayak orang susah lo, Mbak.Sila : Anjir, gue kerja kan duitnya di
Setelah berhasil membuat malu Kiki, Ryan pun ikut mengantar kedua orang tuanya sampai parkiran apartemen. Kiki yang masih malu memilih di dalam apartemen dan langsung mencari ponselnya. Di sana Kiki tercengang melihat tiga panggilan tak terjawab dan sisanya hanya notifikasi chat whatsApp dari anak-anak gibah squad.“Telepon dari siapa nih?” gumamnya sambil melihat nomor panggilan itu sendiri. Kiki menerka-nerka melihat kode nomor rumah itu. Masih memikirkan siapa yang menelpon sambil menggenggam ponsel, Kiki dibuat terkejut dengan getaran ponselnya. Matanya melotot melihat nomor yang sedang dipikirkan tiba-tiba menghubunginya kembali, dan dengan cepat Kiki langsung menggeser tombol hijau ke samping.“Halo,” jawabnya lembut.“Halo selamat siang, kami dari Ansell Grup ingin memberitahukan kalau saudari Shakira Intan Ayu diminta untuk melakukan tes interview besok pagi pukul 10.00 wib. Apakah saudari bisa hadir?”
Mendengarkan ucapan suaminya yang begitu ngaco membuat Kiki langsung menautkan kedua alisnya. “Maksud kamu apa ngomong begitu?”“Sepertinya ….”“Ssssst … aku nggak mau dengar.”“Sayang.”“Ryan.” Kiki menarik napasnya dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. “Apa dengan kesalahan yang nggak pernah aku lakukan secara sadar membuat kamu ingin pisah?”Ryan menggelengkan kepalanya dengan kencang. Dia tak mau pisah dengan istrinya. Tapi, entah kenapa kalau ingat hal itu selalu membuat hatinya panas terbakar.“Kalau kamu nggak mau pisah, tolong kamu ingat masalah kita dulu. Sebetulnya aku malas ungkit-ungkit masa lampau yang sudah terjadi. Tapi, di saat kamu melakukan salah dengan berbohong saja aku bisa percaya dan tetap bertahan sama kamu meski saat itu ingin sekali berpisah. Aku coba terus berpikir dan mungkin memang itu ujian untuk rumah tangga kita kar
Merasa tak mendapatkan jawaban dari suaminya, Kiki pun langsung berjalan mendekat dan memeluk Ryan dari belakang.“Tumben jam segini udah bangun.” Kiki pun menciyum baju Ryan yang terasa begitu wangi. Kiki memeluk Ryan sambil memejamkan matanya.Kiki terkejut saat Ryan justru melepaskan tangannya agar terlepas. Kiki membuka matanya sambil mengerutkan kening bingung.“Mas, aku buatin sarapan, ya.”“Nggak usah.”“Buatin kopi kalau gitu.”“Nggak usah.”“Kenapa? Kamu puasa?” tanya Kiki sambil tersenyum meledek suaminya yang mendadak tak banyak omong ini. Kiki merasa heran dengan sikap suaminya yang aneh seperti ini. “Kamu lagi banyak kerjaan, ya?” tanyanya lagi.“Hmm.”“Lembur?”“Enggak.”“Sukur deh jadi aku nggak bosan di apartemen sendirian.”Kiki pun terus mengikuti keman
Setelah selesai mengelap serta mengganti pakaian milik istrinya, Kini Ryan langsung menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh Kiki. Setelah itu Ryan memilih pergi keluar kamar.Di saat sudah berada di luar kamar, ia langsung mencari duduk di sofa sambil menduga-duga hal apa yang sudah istrinya dan Priyo lakukan di mobil apalagi dirinya melihat dengan posisi yang begitu sangat menjengkelkan seperti tadi.“Aaaarggghh, fak!”Tangannya pun mengepal kuat sambil ia tonjok-tonjokkan di sofa karena hatinya masih kesal juga panas.Merasa pusing juga galau, Ryan langsung menelepon Priyo meminta bertemu empat mata saja. Jikapun akan adu jotos nantinya yang pasti Kiki tak lihat juga tak berada di lokasi yang membuatnya kepikiran.“Oke, gue tunggu lo di sana.” Ryan mematikan sambungan teleponnya dengan sangat kesal.Dengan cepat pula ia langsung keluar apartemen untuk bertemu dengan Priyo di salah satu kafe Jakarta. Ryan sendi
Keduanya kini merasakan panas di sekujur tubuh. Terlebih Kiki yang memang sedang naik-naiknya rasa hasrat itu di tubuhnya.Disaat tangan Kiki sudah akan membuka ritsleting celana milik Priyo, dengan cepat pula Priyo menahannya. Kewarasan yang hampir saja hilang tiba-tiba kembali menyadarkan dirinya.“Astagfirullahaladzim,” katanya mencoba menyadarkan diri. Dengan cepat pula Priyo langsung menahan tubuh Kiki yang terus menyerang dirinya. “Ki, sadar,” tambahnya sambil menepuk pipi milik Kiki pelan.Priyo benar-benar tak menduga kalau sahabatnya akan seganas ini ternyata. Sekuat tenaga ia menahan Kiki dan terus menolak meski rasa ingin memasuki dan merasakan itu ada.Masih dengan posisi Kiki duduk di pangkuannya, Priyo langsung merogoh saku celananya yang terdapat ponsel dirinya.Dan, untungnya ia pernah menyimpan nomor Ryan sewaktu apartemennya digerebek di saat mereka berdua mendapat masalah. Dengan cepat pula Priyo lan
Tak terasa gibah squad kini sudah duduk hampir empat jam sendiri di La Moda Jakarta. Bahkan mereka semua sudah kenyang makan ditambah ngobrol ngalor ngidul dan lebih parahnya mereka memesan wine. Joko yang anak bawang pun hanya bisa melihat kelakuan orang-orang dewasa di sekitarnya.“Eh, gue kalau belum kawin bakalan pepet para bos dah,” ceplos Sila.“Kayak laku aja lo,” sahut Rinto.“Remehin lo. Gini-gini gue jago goyang di ranjang tahu.”“Hissst … urusan ranjang lo bawa-bawa, Mbak,” cela Kiki.“Iyahlah, para laki-laki itu paling suka perempuan jago ranjang. Iyakan Priyo?” todong Sila ke arah Priyo dengan pertanyaan yang membuatnya menelan ludah susah payah.“Apaan sih, Mbak, gue kan belum pernah rasain,” jawabnya gugup.“Masa?” Sila menatap Priyo sambil tersenyum. Ia pun tertawa dan mengambil gelas yang berisi wine.Kondisi Sila y