Saat lagi fokus di depan laptop. Seperti biasa, aku melihat Joko tengah berjalan ke arahku membawa peralatan kebersihan lengkap yang menempel di badannya. Meski begitu aku tetap aja penasaran ada info atau gosip apa yang akan Joko sampaikan. Terlebih Joko mengepel sambil bersiul riang gembira.
Joko berdeham yang membuatku menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyaku yang nggak bisa menahan rasa penasaran dalam diriku sendiri. “Gapapa.” “Kok cengar-cengir gitu sih.” “Lagi seneng aja.” “Kenapa emangnya? Dapat tip dari Mbak Sila?” Joko menggeleng dengan bibir tersenyum. Sumpah Joko bikin aku penasaran sampai ubun-ubun. Terpaksa aku mengeluarkan duit dua puluh ribu kembalian naik taksi online tadi. Aku sodorkan ke arah Joko dan langsung diterima dengan cepat. Kampret emang anak satu ini. “Mbak Sila tadi ngomel-ngomel sama anak baru, katanya mau ke kantor apa mangkal gitu.” Aku langsung menatap ke arah Joko dengan tatapan kesal yang ditahan. Kalau begini doang tadi Mbak Sila udah kasih kabar di chat kalau dirinya sedang kesal sama anak baru yang pakai baju seksi. “Ini doang Joko infonya?” Suaraku sedikit naik beberapa oktaf karena sudah nggak mampu menahan rasa kesal dalam tubuhku. “Iya,” jawabnya dengan santai. Sumpah Joko kayak nggak punya dosa banget saat ini. Dengan entengnya pun dia langsung pergi aja mau ninggalin aku yang tengah menatap kesal sama dia. “JOKOOOOO!!!” teriakku lantang. Bodoh amat kalau suaraku nanti serak. Sumpah rugi banget kasih dua puluh ribu sama Joko tapi infonya cuma segini doang. Joko langsung menoleh sambil meringis dengan watadosnya. “Udah tahu, ya?” “Balikin dua puluh ribu punyaku!" teriakku sambil menadahkan tangan ke arah Joko. Tapi, Joko langsung berbalik badan tanpa memedulikan kekesalanku. Kurang ajar bocah satu itu. Tak ingin moodnya tambah hancur, aku langsung mengambil napas dalam-dalam dan buang secara kasar. Kini tatapanku kembali manatap ke arah layar laptop. “Duh, sampai mana ini, lupa kan gara-gara Joko kampret.” Terpaksa aku mengecek satu-persatu kembali. Dan setelah paham, dengan cepat pula aku melanjutkan pekerjaan yang menumpuk. Punya boss dua tapi nggak ada di kantor seperti ini. Yang tua sibuk dengan bisnis tambang emas, yang muda sibuk ngurusin istrinya hamil. Stres banget asli. Kepala rasanya senut-senut ngehandle semua pekerjaan kantor. Merasa ngantuk, aku langsung telepon ke bagian pantry. Aku menyuruh Tapasya membuatkan kopi hitam. Setelah selesai dengan urusan pesan kopi, aku menatap ke arah kalender yang terpampang di samping laptop. Sial! Minggu kondangan pula. Siap-siap akan ditanya kapan nikah nih. Rasanya kok jadi malas datang kondangan begini, sih. Sumpah malas banget. “Nih, Mbak Kiki kopinya.” Suara Tapasya bikin aku kaget. Sumpah aku nggak dengar ada langkah kaki yang mendekat ke arah meja kerja. Aku melirik ke arah bawah, melihat kaki Tapasya, apakah napak tanah atau tidak. Dan, Alhamdulilahnya napak tanah. Oke dia manusia bukan hantu yang menyamar jadi OG. “Makasih,” balasku. “Eh, temenin saya di sini dong.” “Tapi saya ada—“ “Please ....” Tanganku langsung bertumpu di depan dada sebagai permohonan agar Tapasya mau menemani di lantai paling atas ini. Sumpah takut banget njir sendirian begini. Ternyata jadi boss itu ada belagu-belagunya, ya. Ruangan aja minta pisah sama yang lainnya begini. Nggak ngerti banget kalau sekretarisnya ini penakut. “Oke deh,” jawab Tapasya sedikit lesu. Aku tahu dia banyak kerjaan, tapi biarin aja kali ini aku egois. “Makasih banyak, nanti saya kasih tahu Joko buat gantiin kerjaan kamu.” Bagaimanapun aku nggak mau Tapasya ini dipecat gara-gara kerjaan dia terbengkalai. Terpaksa aku langsung chat Joko buat gantiin kerjaan Tapasya. Selesai Joko mengiyakan, dan tentu saja semua itu tidak gratis. Joko minta bayaran uang cash nanti pulang kerja. Benar-benar bocah satu itu mata duitan banget. Katanya sih duitnya mau dikumpulin buat dia masuk kuliah gitu, kalau dipikir-pikir kasihan juga sih hidup Joko mau kuliah harus kerja keras dulu begini. Entah kenapa aku mendadak keinget papa sama mama yang bekerja keras dulu buat kuliahin sampai lulus. Rasanya ingin balas budi sama mereka, tapi permintaan mereka terlalu sulit buat aku wujudin. Kalau mikirin jodoh, mendadak diriku langsung down. Entah kenapa rasanya susah banget dapat jodoh. Apa aku harus ikutan acara pencarian jodoh-jodoh yang di tv itu? Tapi, sumpah malu banget kalau sampai mukaku nongol di tv. Sudah pasti tetangga akan heboh dan gibahin keluargaku lagi. Ah, sial. “Kamu bisa bantu beresin map ini nggak? Tolong dilihat dari tahunnya, ya,” suruhku sama Tapasya. Gimanapun aku tetap sopan meski dia hanya OG, dia lebih senior di kantor ini dibanding aku. Anaknya pendiam dan nggak suka gosip macam Joko, makanya aku rada segan sama dia misal mau ngegosip bareng. “Semuanya Mbak?” “Iya, tolong ya.” Tapasya mengangguk dan aku langsung ngelanjutin kerjaan yang rasanya ingin banget tak bakar tuh laptop. Waktu terus berjalan hingga tak merasakan jika jam kantor telah usai. Tapasya sendiri pun sudah selesai mengerjakan apa yang tadi aku suruh. Kalau dipikir-pikir Tapasya ini cerdas anaknya, disuruh sekali dia langsung paham. Dengar dari Joko sih kalau Tapasya ini dulu sekolahnya suka ranking, tapi karena keterbatasan biaya jadi nggak lanjut kuliah dan memutuskan merantau ke Jakarta untuk cari uang. “Udah selesai Mbak Kiki?” “Udah kok, ini tinggal save aja.” “Kalau begitu saya pamit dulu, Mbak.” “Eh tunggu,” cegahku. Gimanapun aku kasihan sama ini anak. Hidupnya sendirian di Ibukota begini. Semua keluarganya ada di kampung. “Nih buat kamu.” “Nggak usah Mbak Kiki.” “Gapapa, ambil aja. Itung-itung itu rezeki kamu karena udah bantuin kerjaan saya. Lumayan kan buat makan nanti malam.” “Makasih Mbak Kiki.” “Sama-sama, kamu tinggal di mana?” “Di kebon kacang situ,” jawabnya sambil meringis. “Oh, belakang G.I situ, ya?” “Iya, Mbak.” “Sama siapa?” “Sendirian.” “Whoa, berani, ya. Kamu di Jakarta sendirian?” “Iya, Mbak. Di kampung bingung mau kerja apa. Meski ada pun gajinya kecil. Nanti nggak bisa kasih uang Emak sama Bapak.” Aku mengangguk paham. Rasanya aku sedikit malu sama Tapasya. Dia aja nggak banyak ngeluh. Bahkan dia berjuang di perantauan sendirian demi mencari uang untuk kedua orang tuanya di kampung. Sedangkan aku suka ngomel-ngomel sama mama kalau dia lagi minta sesuatu. Duh ... jadi baper sendiri kalau bahas orang tua. “Kampung kamu di mana?” “Purwokerto Mbak.” “Purwokerto itu Jawa Timur?” “Jawa Tengah Mbak, dekat sama Tegal.” “Ah, iya-iya.” Aku ngangguk aja deh, meski jujur aja nggak paham sama kota-kota yang disebutin Tapasya barusan. “Done, yuk pulang.” Aku langsung beresin barang-barang dan masukin ke tas. Selesai beres-beres dan merasa tak ada yang tertinggal pun, aku bersama Tapasya langsung saja berjalan menuju ke arah lift. Kita berdua pun saling diam di dalam lift hingga berhenti dan menampakkan geng Gibah Squad. Meski hanya ada Mbak Sila sama Bang Rinto doang sih, karena Sofi nggak masuk karena masuk angin. “Lho Ki, sama Tapasya. Anandi mana?” ledek Bang Rinto kepada Tapasya yang hanya direspon dengan senyuman. Tapasya sendiri keluar lift karena harus mengambil tasnya yang ditinggal di dalam pantry. Saat ini di dalam lift hanya tinggal tiga orang saja. Mbak Sila langsung menyandarkan tubuhnya ke belakang lift. Bisa aku tebak kalau dia tengah kesal. “Kenapa, Mbak?” “Boss baru kayak kampret.” “Hah, kenapa dia?” tanyaku penasaran. Sebab seharian ini dia nggak ada telepon ke aku, ternyata teleponnya ke Mbak Sila. Hahaha. Rasanya ingin tertawa ngakak di atas penderitaan Mbak Sila. “Dia telepon sambil ngomel-ngomel.” “Ngomel kenapa?” “Laporan keuangan katanya minus. Panas dingin terima telepon dia. Sumpah, Ki, aku nggak jadi jodohin kamu sama dia. Turunan iblis itu boss, mending Pak Haidar sumpah deh.” “Hahaha, akhirnya kamu ngerasain juga. Selama ini aku udah diomel-omelin sama dia terus. Mana dikatain kalau kerja letoi pula. Sakit hati banget aku tuh. Dia sih enak tinggal nyuruh-nyuruh doang.” “Dan yang bikin kesel tuh si Chyta. Kerjanya nggak becus banget.” “Siapa dia? Baru dengar ada staf namanya Chyta.” “Anak baru, Ki, yang bikin Mbak Sila uring-uringan terus,” sambar Bang Rinto. “Oh ... yang boobsnya lebih gede dari Mbak Sila?” Mbak Sila pun mengangguk pasrah. Pokoknya aku paham banget apa yang dirasain Mbak Sila. Kena semprot boss baru itu bikin sport jantung. Wajahnya sih emang tampan banget, nggak bisa muna juga. Tapi, kelakuan dia Astagfirullah banget. Benar-benar setan banget. Nggak bisa dibantah sedikit pun, kok istrinya betah sih nikah sama laki-laki modelan begitu. Kalau aku mungkin bakalan angkat tangan deh. Ting. Aku terkejut saat lift terbuka ternyata sudah ada Joko yang berdiri di depan pintu lift lobby. “Ngapain di sini?” kini Mbak Sila yang bertanya saat melihat Joko yang sudah bersiap-siap akan pulang. “Nunggu Mbak Kiki.” “Eh Ki, nggak dapat jodoh kok malahan embat Joko sih, jangan lha Ki, dia masih kecil kencing aja masih berdiri kan, Jok?” Mbak Sila benar-benar bikin aku malu sumpah. Mana suara dia kencang banget kayak toa Masjid pula. Resepsionis aja sampai menoleh ke arah gerombolanku. “Enggak lha, gila aja. Aku masih waras Mbak,” sahutku dengan cepat. “Bisnis apaan kalian berdua?” kini giliran Bang Rinto yang mulai kepo. Bapak satu anak ini emang benar-benar ngeselin banget. Meski udah bapak-bapak tapi mulutnya bocor banget kayak ember. “Nggak bisnis apa-apa, udah lha sana pulang duluan kalian. Aku mau ada urusan sama Joko.” Tak ingin membuang waktu, aku langsung menarik Joko ke arah depan lobby dengan cepat. Saat sampai di pos satpam, aku langsung kasih uang sama Joko. Tak lama aku menyetop taksi untuk pulang ke rumah. Masalah Mbak Sila dan Bang Rinto yang kepo pun aku abaikan, palingan juga mereka berdua akan kejar Joko buat kasih tahu. GIBAH SQUAD. Sila : Joko ada bisnis apaan sama Kiki? Aku tadi lihat kamu dikasih duit. Hayoo bisnis apa. Sila : Bisnis haram, ya? Sila : Pasti disuruh Kiki buat kondangan besok nih? Sila : Ki, please ... waras dong kalau mau ajak kondangan. Jangan anak bau kencur macam Joko. Rinto : Biarin aja sih, Mbak. Rinto : Mungkin Kiki sukanya yang berondong. Hahaha. Sila : Kampret mereka berdua nggak ada yang nongol di grup. Merasa ponsel dalam tas getar terus menerus membuatku membuka room chat grup. Saat membaca chat Mbak Sila dan Bang Rinto yang tengah penasaran aku hanya terkikik sendiri. Kiki : Yeee ... kepo kalian berdua. Kiki : Mau tahu aja urusan anak muda. Kiki : Hahaha ulalalala. Sila : Oh gitu, oke deh. Nggak seru kalian berdua. Kiki : Kasih uang aja Mbak, tadi Joko gantiin kerjaan Tapasya. Sila : Kenapa kamu yang bayar? Kiki : Tapasya aku suruh nemenin tadi di atas. Lama-lama aku takut kerja sendirian di lantai atas. Pengin pindah ke lantai bawah lagi deh. Sila : Hahaha, resiko, Ki. Boss baru emang suka yang aneh-aneh. Sila : Minta ruangan terpisah segala. Pak Haidar aja satu lantai sama kita-kita. Kiki : Makanya itu Mbak, rada takut aku tuh. Sila : Nikmatin aja deh. Aku aja masih deg-degan kalau ingat dia ngomel di telepon. Sumpah pengin aku obrak abrik itu bewoknya. Kiki : Berani? Sila : Enggak. Ngeri dipecat. Mana cicilan mobil sama rumah belum lunas. Kiki : Hmmm, nurut aja deh kita jadi kacung. Gimanapun kita butuh duit dia. Sila : KAMPRET! KAPAN AKU JADI BOSSSSSS. Kiki : Capslock jebol. Sila : Bodo amat, kzl sama boss baru. Aku tak melanjutkan chat di grup. Karena saat ini aku merasa ngantuk mendadak. Terpaksa aku merem di dalam taksi. Mana jalan Thamrin—Sudirman macet parah. Dan seperti biasa, baru memejamkan mata tapi ponselku udah bergetar dengan begitu hebat. “Mama ngapain telepon?” gumamku saat melihat id penelepon. Tak ingin membuat mama mengomel nantinya, aku langsung menggeser tombol hijau ke samping. “Halo, Ma.” “Di mana, Ki?” “Di jalan.” “Udah sampai mana?” “Baru sampai Komdak.” “Masih jauh dong.” “Iya, Ma. Emang ada apa sih?” “Ada tamu yang nyariin kamu.” “Siapa?” “Pokoknya dia tampan banget. Mama nggak tahu dia siapa. Dia baru pertama kali ke sini deh.” “Siapa sih? Kok nggak ada yang kasih kabar mau main ke rumah.” “Nggak tahu, tadi dia sebutin nama tapi Mama lupa lagi,” ujar Mama dari seberang telepon. “Yaudah Mama matiin teleponnya, nggak enak tamunya ditinggal sendirian.” “Oh, oke Ma.” Saat sambungan telepon terputus, aku langsung berpikir keras saat ini. Kira-kira tamu siapa yang datang ke rumah sore-sore begini.Pas sampai depan rumah, aku langsung membayar taksi, dan berjalan secepat mungkin karena penasaran dengan tamu yang datang ke rumah. “Assalamualaikum,” salamku saat akan masuk rumah dan mataku langsung terbelalak nggak percaya siapa yang datang. “Hai adik manis,” katanya seperti biasa. Dengan cepat pula aku langsung menghampiri kakak ketemu gedeku, dan memeluknya erat. Sumpah, aku kangen banget sama dia. Mana sekarang dia sibuk banget ngurusin kafe yang cabangnya di mana-mana pula. “Kok bisa ada di sini sih? Sengaja ke sini apa gimana?” “Tadi nganterin cewekku main ke rumah temannya, di situ sih deketan.” “Oh ... sumpah aku kangen banget sama kamu, Kak.” Seperti biasa, dia selalu mengusap-ngusap kepalaku selayaknya adik kecilnya. Bahkan aku nggak peduli ada mama yang memperhatikan gerak-gerikku, yang mungkin baginya sangat terlihat murahan. Tapi, biarin ajalah. Toh, dia itu sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. “Ma, kenalin ini Kak Doni. Temen Kiki. Pas Kiki baru masuk ku
Sumpah aku benar-benar syok saat melihat siapa wanita bernama Zemira itu. Dia itu anaknya Tante Rania yang selalu jadi bahan perbandingan mama sama aku. “Kenal, Ki?” tanya Kak Doni yang melihatku diam dengan ekspresi begitu terkejut. Bahkan aku mengangguk pelan sebagai jawaban. “Kenal Kak, inikan Nasya.” “Ah, iya lupa. Orang-orang panggil dia Nasya.” “Dia nikah sama sahabatnya Kak Doni?” tanyaku dengan rasa penasaran. Kenapa hidup aku jadi berputar-putar dengan orang yang itu-itu saja. Circle kehidupanku rasanya ada yang nggak beres nih. “Iya, nikah sama Naren sahabat kecilku. Aku salut sama perjuangan cinta mereka, Ki. Kuat dan kokoh banget.” “Kenapa? Denger-denger dari tetangga yang hamilin Nasya masih saudara suaminya. Emang benar, Kak?” “Iya benar, masih saudara sepupu.” “Ih, gila ya,” komentarku mengenai kehidupan yang dialami oleh Nasya. Setahu aku juga Nasya ini dulu kuliah dan putus di tengah jalan karena hamil duluan. Dan nasib dia sekarang malahan jauh lebih baik diba
Entah kenapa aku mendadak deg-degan melihat ada Ryan yang duduk di kursi tunggu. Kira-kira dia mau ketemu sama siapa? Semua boss besar nggak ada di kantor saat ini. Bahkan aku mengabaikan Mbak Sila yang tengah menatapku dengan penuh tanda tanya. “Ada apa?” tanya Mbak Sila kembali. “Itu ada arsitek yang aku ceritain Mbak, dia yang duduk di sana sendirian.” Mbak Sila langsung menoleh dan memperhatikan Ryan kembali. Bahkan bisa aku lihat kalau mata ganjen Mbak Sila udah mulai beraksi. “Itu cakep banget, Ki. Udah pepet aja sih.” “Apaan sih, Mbak.” Aku merasa kalau Sofi, Priyo, bahkan Bang Rinto yang berjalan di depan pun ikutan berhenti dan menoleh ke arahku dan Mbak Sila. “Kalian bisik-bisik apaan sih?” tanya Priyo yang merasa curiga terhadapku dan Mbak Sila. “Ada cowok ganteng,” ceplos Mbak Sila yang bikin aku memejamkan mata. Sumpah ini mulut Mbak Sila mirip banget sama keran bocor. “Mana?” tanya Priyo kembali. “Itu yang lagi duduk di kursi tunggu,” kata Mbak Sila. Kini semu
Saat ini kakiku tengah ragu melangkah ke dalam gedung resepsi pernikahan teman SMA—Cantika—Dia ternyata nikah sama Abangnya Ryan. Setelah hasil googling kemarin dan tahu silsilah mengenai keluarga Anggara ternyata memang benar yang menikah itu kakak kandungnya Ryan.“Hai, Ki,” sapa salah satu teman SMA-ku yang datang sama suaminya. Bahkan suaminya tengah menggendong balita usia setahunan gitu.“Hai,” balasku sambil meringis. Perasaanku mendadak nggak enak setelah saling sapa-sapaan. Apalagi temanku seperti mencari-cari seseorang di samping tubuhku.“Sendirian aja? Mana calonnya nih!?”Nah kan. Benar dugaanku. Males banget kalau datang ke kondangan itu ditanya masalah pasangan. Bisa nggak, sih, ngertiin perasaan jomlo sedikit saja. Meski kadang senyum, tapi jujur hatinya perih tahu.“Belum ada, Rat,” jawabku apa adanya.“Aduh kasihan banget, sih. Panji aja udah punya anak lho s
Jujur aja aku nggak nyangka banget bakalan bisa ketemu sama Kak Doni diacara kondangan seperti ini. Lagian terakhir ketemu pas dia main ke rumah habis itu nggak ada kontekan sama sekali.“Kok, kamu di sini, Ki?”“Lagi kondangan. Kak Doni ngapain di sini?”“Ya, aku juga kondangan.”Aku mengangguk paham. Mungkin Kak Doni itu temannya Surya, mempelai laki-laki. Tapi, ada hal yang bikin aku terkejut saat Kak Doni menyapa Ryan.“Hai, bro, kenapa di sini? Bukannya di sana sama keluarga.”“Males ah. Entar ditanya sama Ibu kapan nikah.”“Whoa, cocok nih,” seru Doni yang justru langsung menarik lenganku dan menghadapkan ke arah Ryan. Sumpah aku masih nggak paham dengan semua ini. “Kiki juga jomlo.”“Kak, apaan sih,” ketusku sewot sama Kak Doni.“Hahaha, ini lho, Ki. Teman yang aku ceritain sama kamu itu.”“Hah, maksudnya? Cowok bangsad yang suka gangguin istri sahabat Kak Doni?”Aku mendengar R
Aku melihat Panji berjalan mendekat ke arahku. Namun, tampak dia tak membawa anaknya. Entah ke siapa Panji menitipkan anaknya itu. “Ki.”“Ya.”“Bisa bicara sebentar?”“Bicara aja.”“Nyari tempat yang enak, mau?”Hah, nyari tempat yang enak? Apa nih maksudnya? Kenapa ambigu begini ucapannya.“Di depan sana ada kafe, mau?”Reflek kepalaku menatap ke arah kafe di seberang jalan gedung. Entah kenapa aku langsung mengangguk setuju.Dan di sinilah aku dan Panji saat ini, duduk berdua di dalam kafe. Kita berdua pun masih saling diam-diaman satu sama lain. Bahkan aku bisa melihat kalau Panji tengah berpikir saat ini.“Ki, sebelumnya aku minta maaf sama kamu. Beberapa tahun lalu aku—““Nggak usah dibahas.”“Tapi aku perlu bahas ini ....”“Kenapa? Kenapa bahas sesuatu yang sudah berlalu?”“Hidupku nggak tenang. Kepikiran kamu.”Hah! Omong kosong. Hidup nggak
Ryan menoleh menatap ke arahku yang tengah terkejut. “Ganti baju.”“Hah, emang kenapa sama baju kamu?”“Bukan aku tapi kamu.” Ryan menunjuk ke arah gaunku yang terkena tumpahan es krim tadi. Sial. Em ... tapikan aku nggak bawa baju ganti. Terus ganti pakai baju siapa?“Em ... Ryan, aku nggak bawa baju ganti,” kataku pelan.“Beli nanti di depan apartemen.”“Hah, maksudnya?”“Depan apartemenku ada mall, nanti kita beli di sana.”“Emang apartemen kamu di mana?”“SCBD.”Aku mengangguk aja. Ryan bilang depan apartemennya itu mall. Berarti dia tinggal di Capital Sudirman. Gila! Itu sih apartemen orang-orang berduit. Setelah lumayan menempuh beberapa menit. Akhirnya aku pun sampai di apartemen Capital. Ryan menuntunku untuk berjalan ke arah pintu lift yang khusus langsung sampai ke unitnya.Tak membutuhkan waktu lama, aku kini berada di dalam apartemen milik Ryan. Hal pertama yang aku lihat,
Kantor Azekiel Grup. Entah kenapa pagi ini aku merasa begitu semangat datang ke kantor. Padahal sebelum-belumnya itu ada rasa malas duluan mengingat perjalanan dari selatan ke pusat yang memakan waktu lumayan lama. Ting. Ryan : Semangat bekerja. Satu buah chat yang kini bikin aku senyam-senyum sendiri. Terlebih sikap Ryan kemarin yang bikin aku sangat kagum dalam menghadapi segala ucapan ajaib mama. Kiki : Iya, kamu baru bangun? Ryan : Hmm. Habis dari rumah kamu lanjut kerja sampai subuh. Kadang kasihan juga sama Ryan. Waktunya tidur, dia justru kerja sampai pagi. Belum lagi nanti pagi atau siangnya ketemu klien. Benar-benar pekerja keras banget. Kiki : Oh. Ryan : Nunggu balesan lama kirain ngetik apaan ternyata ‘oh’ doang. Kiki : Hehehe. Ryan : Makan siang bareng, mau? Melihat ajakan Ryan bikin aku bingung. Ini kenapa dia nggak ada basa basinya. Ngegas aja terus. Kiki : Maaf ... nggak bisa. Aku mau ketemu EO buat urus acara baby shower gitu. Ryan : Siapa yang hamil? Kik