Saat ini kakiku tengah ragu melangkah ke dalam gedung resepsi pernikahan teman SMA—Cantika—Dia ternyata nikah sama Abangnya Ryan. Setelah hasil googling kemarin dan tahu silsilah mengenai keluarga Anggara ternyata memang benar yang menikah itu kakak kandungnya Ryan.
“Hai, Ki,” sapa salah satu teman SMA-ku yang datang sama suaminya. Bahkan suaminya tengah menggendong balita usia setahunan gitu.
“Hai,” balasku sambil meringis. Perasaanku mendadak nggak enak setelah saling sapa-sapaan. Apalagi temanku seperti mencari-cari seseorang di samping tubuhku.
“Sendirian aja? Mana calonnya nih!?”
Nah kan. Benar dugaanku. Males banget kalau datang ke kondangan itu ditanya masalah pasangan. Bisa nggak, sih, ngertiin perasaan jomlo sedikit saja. Meski kadang senyum, tapi jujur hatinya perih tahu.
“Belum ada, Rat,” jawabku apa adanya.
“Aduh kasihan banget, sih. Panji aja udah punya anak lho s
Jujur aja aku nggak nyangka banget bakalan bisa ketemu sama Kak Doni diacara kondangan seperti ini. Lagian terakhir ketemu pas dia main ke rumah habis itu nggak ada kontekan sama sekali.“Kok, kamu di sini, Ki?”“Lagi kondangan. Kak Doni ngapain di sini?”“Ya, aku juga kondangan.”Aku mengangguk paham. Mungkin Kak Doni itu temannya Surya, mempelai laki-laki. Tapi, ada hal yang bikin aku terkejut saat Kak Doni menyapa Ryan.“Hai, bro, kenapa di sini? Bukannya di sana sama keluarga.”“Males ah. Entar ditanya sama Ibu kapan nikah.”“Whoa, cocok nih,” seru Doni yang justru langsung menarik lenganku dan menghadapkan ke arah Ryan. Sumpah aku masih nggak paham dengan semua ini. “Kiki juga jomlo.”“Kak, apaan sih,” ketusku sewot sama Kak Doni.“Hahaha, ini lho, Ki. Teman yang aku ceritain sama kamu itu.”“Hah, maksudnya? Cowok bangsad yang suka gangguin istri sahabat Kak Doni?”Aku mendengar R
Aku melihat Panji berjalan mendekat ke arahku. Namun, tampak dia tak membawa anaknya. Entah ke siapa Panji menitipkan anaknya itu. “Ki.”“Ya.”“Bisa bicara sebentar?”“Bicara aja.”“Nyari tempat yang enak, mau?”Hah, nyari tempat yang enak? Apa nih maksudnya? Kenapa ambigu begini ucapannya.“Di depan sana ada kafe, mau?”Reflek kepalaku menatap ke arah kafe di seberang jalan gedung. Entah kenapa aku langsung mengangguk setuju.Dan di sinilah aku dan Panji saat ini, duduk berdua di dalam kafe. Kita berdua pun masih saling diam-diaman satu sama lain. Bahkan aku bisa melihat kalau Panji tengah berpikir saat ini.“Ki, sebelumnya aku minta maaf sama kamu. Beberapa tahun lalu aku—““Nggak usah dibahas.”“Tapi aku perlu bahas ini ....”“Kenapa? Kenapa bahas sesuatu yang sudah berlalu?”“Hidupku nggak tenang. Kepikiran kamu.”Hah! Omong kosong. Hidup nggak
Ryan menoleh menatap ke arahku yang tengah terkejut. “Ganti baju.”“Hah, emang kenapa sama baju kamu?”“Bukan aku tapi kamu.” Ryan menunjuk ke arah gaunku yang terkena tumpahan es krim tadi. Sial. Em ... tapikan aku nggak bawa baju ganti. Terus ganti pakai baju siapa?“Em ... Ryan, aku nggak bawa baju ganti,” kataku pelan.“Beli nanti di depan apartemen.”“Hah, maksudnya?”“Depan apartemenku ada mall, nanti kita beli di sana.”“Emang apartemen kamu di mana?”“SCBD.”Aku mengangguk aja. Ryan bilang depan apartemennya itu mall. Berarti dia tinggal di Capital Sudirman. Gila! Itu sih apartemen orang-orang berduit. Setelah lumayan menempuh beberapa menit. Akhirnya aku pun sampai di apartemen Capital. Ryan menuntunku untuk berjalan ke arah pintu lift yang khusus langsung sampai ke unitnya.Tak membutuhkan waktu lama, aku kini berada di dalam apartemen milik Ryan. Hal pertama yang aku lihat,
Kantor Azekiel Grup. Entah kenapa pagi ini aku merasa begitu semangat datang ke kantor. Padahal sebelum-belumnya itu ada rasa malas duluan mengingat perjalanan dari selatan ke pusat yang memakan waktu lumayan lama. Ting. Ryan : Semangat bekerja. Satu buah chat yang kini bikin aku senyam-senyum sendiri. Terlebih sikap Ryan kemarin yang bikin aku sangat kagum dalam menghadapi segala ucapan ajaib mama. Kiki : Iya, kamu baru bangun? Ryan : Hmm. Habis dari rumah kamu lanjut kerja sampai subuh. Kadang kasihan juga sama Ryan. Waktunya tidur, dia justru kerja sampai pagi. Belum lagi nanti pagi atau siangnya ketemu klien. Benar-benar pekerja keras banget. Kiki : Oh. Ryan : Nunggu balesan lama kirain ngetik apaan ternyata ‘oh’ doang. Kiki : Hehehe. Ryan : Makan siang bareng, mau? Melihat ajakan Ryan bikin aku bingung. Ini kenapa dia nggak ada basa basinya. Ngegas aja terus. Kiki : Maaf ... nggak bisa. Aku mau ketemu EO buat urus acara baby shower gitu. Ryan : Siapa yang hamil? Kik
Aku melihat wajah Priyo yang langsung berubah pias. Tak ingin adanya keributan antar gibah squad membuat aku langsung mengalihkan pembicaraan Mbak Sila itu. “Mbak, yakin nih mau resign misal ada lowongan dekat rumah?” Mbak Sila pun langsung menoleh ke arahku. Hatiku bersukur karena bisa mengalihkan tatapan Mbak Sila yang dari tadi menatap ke arah Priyo. “Iya, Ki, tapi bingung lagi nih.” “Udah lah, dikerjain pelan-pelan aja di sini.” “Betul apa kata Kiki,” sambar Bang Rinto. “Iya nih, nyari gaji yang lumayan zaman sekarang susah. Duh mumet akika,” oceh Mbak Sila dengan gaya khasnya yang memang sedikit rempong itu. Tak membutuhkan waktu lama, semua pesanan dari gibah squad datang. Mereka langsung menukar piring yang salah naruh tempat. “Ini coto punya Priyo," kataku sambil menyingkirkan mangkuk berisi coto pesanan Priyo. Sedangkan pesananku berada di depan Mbak Sila. Setelah acara tuker-tukeran menu sesuai pesanan selesai, kini kami semua langsung menyantap makanan dengan lahap.
Aku siap cerita sama Mbak Sila mengenai Ryan saat mengantarkan ke rumah. Dimana saat itu mama tengah berada di depan pintu. Flasback on. “Ada mama lagi,” kataku yang masih bisa didengar oleh Ryan. Sebab tak lama Ryan justru menyahuti perkataanku. “Kenapa? Yaudah aku silatuhrahmi aja sekalian.” “Ih, jangan deh. Ngeri nanti mamaku kalau ngomong ngaco.” “Ngaco gimana?” Di saat aku lagi debat sama Ryan, tiba-tiba aja mama udah ngetuk pintu penumpang yang terdapat aku duduk di sana. Lha, mampus mau ngusir malahan mama nyamperin ke sini. Tok. Tok. Tok. “Ki, Kiki, kan?” Aku menoleh ke Ryan sebentar sebelum membuka pintu penumpang. Bisa aku lihat senyum mama yang begitu mengembang. “Kamu pulang sama si—Masya Allah, kok tampan banget begini, Ki?” Mama langsung aja menatap ke arah Ryan. Beda sama aku yang justru memejamkan mata menahan malu. “Sore tante, saya Ryan temannya Shakira.” “Sore juga, oh ... teman toh, kirain cem-cemannya Kiki, ehehehe.” “Mama ....” Sumpah aku malu banget
Merasa tak ada pilihan lain membuatku terpaksa menghubungi Ryan. Asli Mbak Sila kejam banget turunin anak perawan tengah jalan begini. Tak ingin menjadi tatapan orang-orang, aku mencari ke arah pinggiran yang lumayan rame orang. Aku mendekat ke arah penjual asongan. “Mijon Mbak?” “Enggak.” Aku mencari nomor kontak Ryan di hape dan langsung menekan lambang bentuk telepon. Seperti dugaanku kalau Ryan begitu gercep angkat teleponnya. “Halo Shakira.” “Ryan ....” “Kamu di mana kok berisik banget, sih?” “Aku di jalan.” “Owh ... pantes berisik. Udah sampai mana? Cilandak?” “Bukan, aku di Cawang.” “HAH! Kok bisa sih sampai nyasar ke Jakarta Timur gitu?” “Ceritanya panjang, aku bingung naik angkutan umum ke sana.” “Oke, kamu di mana posisinya?” “Nggak tahu jalan apaan, jarang ke Jakarta Timur soalnya.” “Mainnya di selatan mulu sih. Yaudah kamu shareloc, biar aku jemput ke sana.” “Hmm ... makasih Ryan.” Saat sambungan teleponku sama Ryan terputus, dengan cepat aku langsung meng
Aku benar-benar nggak nyangka banget kalau Ryan akan sebaik ini. Terlebih dia juga benar-benar nganterin aku sampai depan rumah bahkan dia ikutan turun dan bicara sama mama. Sikap dia yang seperti ini menambah poin plus di mataku.Mungkin banyak orang yang mengatakan sikap Ryan yang suka banget mainin perempuan atau mereka suka sebut Ryan itu playboy mendadak tak berarti di mataku. Entahlah, mungkin mataku dibutakan sikap dewasa dia yang mendadak seperti ini, atau memang orang-orang hanya menilai Ryan dari luaran dan dari mulut ke mulut bukan karena mereka kenal Ryan dengan sendirinya.“Ryan, makasih banget, ya.”“Sama-sama. Kamu sebaiknya langsung istirahat.”“Iya, kamu juga.”Ryan hanya tersenyum saat aku mengatakan itu. Dia pun berdeham pelan sebelum akhirnya dia pamit pulang.“Yaudah kalau gitu aku pulang dulu, ya, bye.”“Bye.”Aku melambaikan tangan dadah ke arah Ryan saat mobilnya menyalakan bunyi klakson.