Merasa tak ada pilihan lain membuatku terpaksa menghubungi Ryan. Asli Mbak Sila kejam banget turunin anak perawan tengah jalan begini. Tak ingin menjadi tatapan orang-orang, aku mencari ke arah pinggiran yang lumayan rame orang. Aku mendekat ke arah penjual asongan. “Mijon Mbak?” “Enggak.” Aku mencari nomor kontak Ryan di hape dan langsung menekan lambang bentuk telepon. Seperti dugaanku kalau Ryan begitu gercep angkat teleponnya. “Halo Shakira.” “Ryan ....” “Kamu di mana kok berisik banget, sih?” “Aku di jalan.” “Owh ... pantes berisik. Udah sampai mana? Cilandak?” “Bukan, aku di Cawang.” “HAH! Kok bisa sih sampai nyasar ke Jakarta Timur gitu?” “Ceritanya panjang, aku bingung naik angkutan umum ke sana.” “Oke, kamu di mana posisinya?” “Nggak tahu jalan apaan, jarang ke Jakarta Timur soalnya.” “Mainnya di selatan mulu sih. Yaudah kamu shareloc, biar aku jemput ke sana.” “Hmm ... makasih Ryan.” Saat sambungan teleponku sama Ryan terputus, dengan cepat aku langsung meng
Aku benar-benar nggak nyangka banget kalau Ryan akan sebaik ini. Terlebih dia juga benar-benar nganterin aku sampai depan rumah bahkan dia ikutan turun dan bicara sama mama. Sikap dia yang seperti ini menambah poin plus di mataku.Mungkin banyak orang yang mengatakan sikap Ryan yang suka banget mainin perempuan atau mereka suka sebut Ryan itu playboy mendadak tak berarti di mataku. Entahlah, mungkin mataku dibutakan sikap dewasa dia yang mendadak seperti ini, atau memang orang-orang hanya menilai Ryan dari luaran dan dari mulut ke mulut bukan karena mereka kenal Ryan dengan sendirinya.“Ryan, makasih banget, ya.”“Sama-sama. Kamu sebaiknya langsung istirahat.”“Iya, kamu juga.”Ryan hanya tersenyum saat aku mengatakan itu. Dia pun berdeham pelan sebelum akhirnya dia pamit pulang.“Yaudah kalau gitu aku pulang dulu, ya, bye.”“Bye.”Aku melambaikan tangan dadah ke arah Ryan saat mobilnya menyalakan bunyi klakson.
Setelah selesai membereskan segala barang ke meja kerja sebelumnya, aku duduk sebentar karena merasa capek. Nggak kebayang jadi Pak Haidar harus keluar kota terus menerus. Belum lagi ke luar negeri untuk berbagai urusan. Selama kerja enam bulanan baru pernah diajak ke Singapore doang. Beliau lebih suka pergi sendiri—eh sama asisten pribadinya ding. Mungkin dia kasihan lihat aku yang baru kerja di sini. Ngeri nggak betah apa gimana, aku juga nggak tahu.“Ki.”“Eh, apa?”“Pak Haidar ada?”“Ada, kenapa?”“Dia nggak mau pergi gitu ke Papua urus tambang emas.”“Eh, dia itu udah dua bulanan bolak balik ke Papua. Bulan pertama dia udah bolak balik, nah bulan berikutnya kemarin rada lama di sana tiga minggu lebih.”“Ck! Kalau dia kembali rada nggak bebas nih. Pasti bakalan sering ditanya lah, sidak lah, eweeww.”“Kenapa emang, Yo, yang penting kita kerja bener aja.”Di saat aku lagi ngobrol sama Priyo, ternyata
Aku meringis menatap ke arah Ryan. Asli nggak enak banget udah ngambek sama dia. Padahal kita berdua baru aja temenan masa udah berantem kayak orang pacaran. “Ryan, maaf.” “Gapapa.” Rasanya sikapku nggak dewasa banget barusan. Masa tahu ada yang kagum sama Ryan mendadak diriku langsung kesel. Wajar nggak, sih, kalau temenan memiliki perasaan gini? Tak lama mobil Ryan memasuki parkiran restoran steak. Kita berdua langsung masuk dan memilih salah satu tempat duduk. Aku sama Ryan langsung memilih menu untuk makan siang. Bahkan aku sama Ryan tak ada jaim-jaimnya sama sekali saat memesan menu seperti kebanyakan orang yang tengah pedekate. Selesai memesan, kita berdua saling diam. Aku menatap ke arah Ryan yang sibuk bermain ponsel membuatku jadi bete kembali. Kenapa zaman sekarang orang lebih suka interaksi lewat hape? Kalau kumpul-kumpul pun kadang sibuk main hape masing-masing. Percuma nggak sih, nggak bisa menikmati ngobrol ngalor ngidul seperti zaman dulu—dimana gadget belum seram
“Shakira, ayo balik ke kantor. Katanya kamu ada meeting.”Aku tahu kalau Ryan ini lagi ngalihin pembicaraan. Lagian mulutku juga sompral banget pakai acara tanya majalah dewasa gitu.Terpaksa aku mengangguk setuju untuk segera kembali ke kantor. Dalam perjalanan menuju ke kantor pun tak ada obrolan antara aku sama Ryan. Mungkin Ryan masih malu karena kartunya dibongkar sama sepupunya sendiri kalau dia suka koleksi majalah porno.Sesampai di kantor, aku ngomong seperlunya saja yang direspon Ryan dengan anggukan. Pria itu kemudian langsung pamit pergi.Baru aja kakiku masuk lobby, suara cempreng Mbak Sila bikin kupingku budeg.“Kikiiiiiiii.”Kedua tanganku langsung menutupi telinga secara otomatis. Apalagi Mbak Sila lari ke arahku dan langsung menyeretku ke arah toilet.“Mbak Sila, ikut!” teriak Sofi yang masih berjalan jejer sama Bang Rinto dan Priyo.“Bentar, lagi ada urusan sama Kiki. Mending kalian naik aja du
Setelah pulang kerja, gue langsung mandi, makan, dan sekarang lagi istirahat di kamar. Tapi, tangan gue pegang hape terus sambil lihatin chat room sama Ryan. Kenapa Ryan nggak kirim pesan atau nggak telepon gitu.“Idih gile, kenapa jadi ngarepin chat dia sih,” dumel gue saat otak dan pikiran selalu bayangin Ryan. Padahal dia itu bukan siapa-siapa tapi kenapa jahat banget sih nyita waktu gue.Ting.Dengan buru-buru gue langsung menggeser layar untuk melihat notifikasi di hape. Pas tahu kalau itu cuma sms yang mengatakan kalau diri gue manang undian ratusan juta dari salah satu ol shop pun diri gue lemes. Bukan lemes karena menang. Tapi, lemes chat yang gue harapin nggak nongol-nongol. Mau chat duluan gengsi ah. Biarin ajalah.0857368xxx : Selamat no anda mendapatakan hadiah cek tunai Rp. 125jt, Pin (AAQ2099).Rasanya pengin memaki sama nomer-nomer nggak jelas yang suka kirim sms seperti ini. Benar-benar sangat mengganggu banget nggak sih
Tak ingin terlalu pusing memikirkan mulut petasan akhirnya aku memilih untuk melanjutkan revisi laporan. Tapi, tangan baru menempel keyboard jantungku udah dikagetkan dengan suaranya yang begitu khas. Suara yang berat, juga ngebas.“Anda Shakira, kan?”Lha, iya aku Shakira. Kan udah pernah kenalan. Duh, ini orang kayaknya amnesia dah.“Ah, iya. Betul sekali.”“Pak Haidar sudah bicara sama anda mengenai konsep baby shower belum?”“Pak Haidar hanya memberitahukan kalau saya disuruh mengurus konsep baby shower untuk calon cucunya.”“Yups, betul sekali. Sebaiknya kita bicarakan ini di kafe atau restoran?”“Emm ... kafe saja.”Sumpah aku merasa canggung banget ngobrol secara dekat sama boss baru. Tatapan matanya bikin kakiku langsung lemas mendadak. Melihat pahatan yang sangat sempurna di depan mata bikin otakku sedikit eror. Rasanya tuh lemes pengin pingsan dipelukannya gitu. Duh! Andai tuh boss jomlo. Sudah pasti a
Akhirnya gue sampai kantor juga meski pakai ojek online. Pergi dari kantor pakai mobil mewah kembali pakai motor. Benar-benar nggak balance banget.Wajah gue kusut banget. Bahkan orang-orang dilobby sekarang lagi lihatin gue dengan sangat ketara sekali. Rasanya pengin gue colok matanya satu persatu.“Mbak Kiki.”Gue melengos aja pas Joko nyapa. Gue lagi badmood tingkat dewa. Jadi jangan tegur-tegur gue apa sapa deh. Sama aja lo senggol gue bacok.Pas udah masuk lift gue langsung menyender dan membuang napas kasar berkali-kali. Padahal hal ini udah biasa kan kalau kacung ditinggal boss? Tapi kenapa gue bisa sekesal ini, ya?Ting.Rasanya kaki gue lemes banget buat jalan ke arah meja. Kalau bisa terbang rasanya pengin terbang aja. Kalau nggak ngilang aja deh kayak Jinny oh Jinny gitu jadi nggak capek jalan ke sono ke mari.“Kikiiiii.”Gue menoleh dan melihat Mbak Sila tengah berjalan ke arah gu
Hari ini Adeeva mendapat kabar jika Leonel tinggal di sebuah apartemen milik Darrel. Ternyata kehidupan Leonel selama seminggu ini ditanggung oleh Darrel. Dengan cepat pula Alex langsung menjemput Adeeva dan segera menuju ke kawasan El Born.Alex bilang jika Darrel memiliki apartemen di kawasan yang sangat sepi. Katanya dia lebih suka ketenangan dibanding hirup pikuk keramaian kota.Bahkan kawasan ini dihiasi jalan-jalan sempit hingga tampak sangat misterius. Tak pelak juga tempat ini banyak terdapat kafe kecil di sekitarnya untuk menikmati berbagai jenis minuman juga hidangan catalan.Mereka berdua pun memillih memarkirkan mobil di bahu jalan depan gedung apartemen. Alex dan Adeeva langsung berjalan menuju ke unit Darrel.Alex yang sudah pernah ke sini dan mengetahui password sahabatnya langsung memencetkan sederet password hingga suara ‘klik’ terdengar di telinganya juga Adeeva.“Alex … apa tidak apa-apa kita masuk?
Satu minggu sudah Adeeva melalui hari-harinya begitu berat. Bukan hanya dirinya saja, namun Marinka merasakan hal yang sama.Leonel bahkan tidak masuk kantor sudah semingguan ini. Parahnya, semua kunci mobil, ATM, beserta semua fasilitas lainnya dikirim ke mansion Marinka.Perempuan paruh baya itu merasa sedih dengan sikap Leonel yang sangat gegabah ini. Adeeva pun terus menguatkan Marinka. Entah dengan apa pria itu hidup saat ini jika semua fasilitas dikembalikan kepada Marinka.“Mom, dia pasti nanti kembali. Kau tenang saja, ya.”Marinka mengangguk dan kembali menguatkan Adeeva untuk tetap tabah dalam menghadapi ujian ini. Adeeva pun mendadak dapat telepon dari Indonesia—Bunda Kiki menelepon tiada henti yang membuat Adeeva mengerut bingung.Merasa penasaran membuat Adeeva mengangkat telepon itu dan menyapa bundanya dengan suara yang dibuat seceria mungkin agar tidak ketahuan.“Halo, Bunda,” sapanya dengan nada
Rasa-rasanya saat ini Leonel masih belum bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya jika ia bukanlah anak dari Marinka. Apalagi sikap Marinka sangat lembut dan benar-benar menunjukkan kasih sayangnya dengan tulus.Seusai mendengarkan kejujuran Marinka, Leonel langsung pamit pergi meninggalkan mansion. Bahkan saat berpapasan dengan Adeeva pun ia rasanya sangat malu menatap perempuan itu. Bahkan Leonel tidak berani menyapa atau mengajaknya bicara. Leonel terlalu malu. Sifat gengsi yang dimilikki masih menguasai otaknya hingga membuat Leonel tidak melakukan itu semua.Kini tujuannya pergi ke apartemen. Leonel berpikir jika ia sudah tidak pantas lagi menikmati kemewahan yang diberikan oleh Marinka. Leonel terlalu malu kepada perempuan itu. Leonel kesal karena diapit oleh dua perempuan sebaik Marinka juga Adeeva. Rasa-rasanya ia tidak pantas berada di dekat mereka berdua. Kedua perempuan itu hanya pantas berada dilingkungan orang-orang baik saja. Sedangnya dirinya? Hanya ora
Mendengar kenyataan pahit membuat Leonel merasa terpukul luar biasa. Apalagi ia tak pernah menduga jika selama ini Marinka bukanlah orangtua kandungnya. Sialnya, pria yang sangat Leonel benci justru mengalirkan darah brengseknya sangat deras kepadanya. Leonel hancur, kecewa, juga merasa patah mengetahui ini semua.Bahkan untuk pulang saat ini pun membuat Leonel merasa malu sendiri. Terlebih ia sudah sangat kejam memperlakukan Adeeva beberapa hari silam.“Bodoh! Kau benar-benar bodoh Leonel!” makinya merutuk.Tak lama sosok Elizabeth pun datang dengan cengiran khasnya. Perempuan itu langsung duduk di sampingnya dan mencium pipi seperti biasa.“Kenapa kau sangat kacau sekali habis berhadapan dengan wanita antah berantah itu? Apa kau kalah darinya?” cecar Elizabeth ingin tahu hasil perseteruan Leonel dengan Adeeva itu.Tak memedulikan pertanyaan Elizabeth membuat Leonel segera bergegas pergi untuk menanyakan kebenaran kepada Ma
Adeeva merasa kesal diabaikan terus menerus hingga akhirnya ia segera bergegas pergi ke kamar mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang.Terlebih setelah mengeluarkan segala unek-uneknya kepada Leonel, pria itu tidak menanggapi sedikitpun dan justru memilih pergi meninggalkannya tanpa belas kasihan sedikitpun.Adeeva menghubungi Emilia untuk menemani dirinya malam ini karena merasa sangat benar-benar frustasi dengan kehidupan yang dijalaninya ini.Setelah menelepon dan berjanjian dengan Emilia di salah satu bar kota, kini Adeeva segera mengganti pakaiannya. Adeeva menatap gaun berwarna merah terang dengan belahan paha yang begitu sangat tinggi sekali. Tak hanya itu saja, pakaiannya pun mengusung belahan dada yang cukup terbuka dan punggung yang terbuka. Hanya ada ikatan dua saja di belakang punggung.Adeeva segera mengambil dan memakainya. Tak lupa juga ia berdandan selayaknya jalang. Adeeva memakai make-up tebal, dan lipstik merah cabai yang sangat be
Merasa berisik karena ponselnya berdering terus menerus membuat Leonel mengesah kesal. Buru-buru ia langsung bangkit dari ranjang dan melihat ponselnya yang ternyata telepon dari Adeeva. Leonel berdecak sebal, namun ia tetap mengangkatnya.“Ya, halo.”“Kau di mana? Apa kau baik-baik saja?”“Hm, baik-baik saja. Kenapa?”“Sukurlah kalau begitu. Aku sudah selesai menjalankan operasinya dengan lancar.”“Oh.”“Leonel.”“Hm.”“Apa kau tidak berniat untuk menjengukku? Aku mendadak merindukanmu.”“Aku sibuk banyak kerjaan.”“Oh, begitu, ya. Ya sudah kalau begitu kau jangan lupa makan, dan tetap jaga kesehatanmu, ya.”“Hm.”“Selamat istirahat Leonel.”“Hm.”Nit.“Siapa yang menelepon?” tanya Elizabeth yang masih berlindung
Pagi ini Adeeva akan melakukan operasi. Namun, tetap saja Leonel tidak mendampingi di sampingnya saat ini.Adeeva berusaha tegar karena merasa masih banyak orang yang mendukungnya juga sangat menyayanginya saat ini seperti Marinka.Perempuan paruh baya itu pun terus mendampingi Adeeva sebelum nanti waktunya menjalani operasi yang membuat Adeeva akan kehilangan semua harapan menjadi seorang ibu. Adeeva sudah membulatkan ini semua demi kebaikan dirinya ke depan. Meski tidak bisa memberikan keturunan, tapi Adeeva yakin jika suatu saat nanti akan ada orang yang menerima segala kekurangan dirinya dengan sangat tulus.“Thanks you, Mom.”Marinka tersenyum dan menggenggam tangan Adeeva kuat. Entah kenapa melihat menantunya seperti itu mendadak membuat Marinka sedih.Marinka merasa ada persamaan di antara dirinya juga Adeeva. Merasakan nasib buruk menimpa dirinya juga Adeeva yang divonis tidak bisa memberikan keturunan. Namun, Marink
Pagi ini Adeeva mencoba tetap ceria di meja makan. Meski jika mengingat perlakuan Leonel semalam yang tidak manusiawi membuatnya sangat sakit hati sekali. Namun, sebisa mungkin Adeeva tetap tersenyum di depan Marinka. Perempuan paruh baya itu sangatlah baik kepadanya hingga Adeeva tidak tega harus menceritakan semua kelakuan Leonel kepadanya semalam.Namun, tiba-tiba ada sebuah kertas melayang di depan wajah Adeeva yang membuat Adeeva langsung mengambil dan mengerut bingung.“Aku sudah setuju untuk operasimu. Cepatlah lakukan agar kau sehat kembali,” celetuk Leonel dari belakang tubuh Adeeva.Mendengar suara itu membuat Adeeva merasa berdebar. Bukan berdebar karena cinta, melainkan karena takut kepada Leonel.Bayang-bayang semalam benar-benar membuatnya trauma dengan pria yang kini duduk di sampingnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.“Ta—““—tidak usah menolak. Lakukan tindakan medis untuk kebai
Merasa akan percuma menyembunyikan ini kepada Adeeva, akhirnya Leonel mencoba mengatakan dan menjelaskan dengan bahasa yang muda diterima oleh Adeeva.“Dokter mengatakan jika kau harus menjalani operasi pengangkatan rahim, Adeeva.”Adeeva langsung melongo tidak percaya. Kenapa ujian dalam hidupnya terus menerus seperti ini. Apalagi ini menyangkut harga dirinya sebagai seorang perempuan. Apa jadinya jika nanti rahimnya diangkat. Yang artinya tidak akan bisa memberikan keturunan lagi untuk Leonel?“Tapi kenapa harus sampai diangkat segala? Aku tidak mau,” tolak Adeeva, tegas.“Dokter mengatakan jika ada benjolan di rahimmu, dan itu bisa membesar sebesar kepala. Dokter sudah mengecek kalau itu merupakan tumor atau mioma uteri, Adeeva. Makanya aku bingung saat ditanya keputusan oleh Dokter soal operasa itu.”“Aku tidak mau Leonel,” tolak Adeeva sekali lagi. Matanya langsung mengeluarkan air mata yang cuku