Aku benar-benar nggak nyangka banget kalau Ryan akan sebaik ini. Terlebih dia juga benar-benar nganterin aku sampai depan rumah bahkan dia ikutan turun dan bicara sama mama. Sikap dia yang seperti ini menambah poin plus di mataku.
Mungkin banyak orang yang mengatakan sikap Ryan yang suka banget mainin perempuan atau mereka suka sebut Ryan itu playboy mendadak tak berarti di mataku. Entahlah, mungkin mataku dibutakan sikap dewasa dia yang mendadak seperti ini, atau memang orang-orang hanya menilai Ryan dari luaran dan dari mulut ke mulut bukan karena mereka kenal Ryan dengan sendirinya.“Ryan, makasih banget, ya.”“Sama-sama. Kamu sebaiknya langsung istirahat.”“Iya, kamu juga.”Ryan hanya tersenyum saat aku mengatakan itu. Dia pun berdeham pelan sebelum akhirnya dia pamit pulang.“Yaudah kalau gitu aku pulang dulu, ya, bye.”“Bye.”Aku melambaikan tangan dadah ke arah Ryan saat mobilnya menyalakan bunyi klakson.Setelah selesai membereskan segala barang ke meja kerja sebelumnya, aku duduk sebentar karena merasa capek. Nggak kebayang jadi Pak Haidar harus keluar kota terus menerus. Belum lagi ke luar negeri untuk berbagai urusan. Selama kerja enam bulanan baru pernah diajak ke Singapore doang. Beliau lebih suka pergi sendiri—eh sama asisten pribadinya ding. Mungkin dia kasihan lihat aku yang baru kerja di sini. Ngeri nggak betah apa gimana, aku juga nggak tahu.“Ki.”“Eh, apa?”“Pak Haidar ada?”“Ada, kenapa?”“Dia nggak mau pergi gitu ke Papua urus tambang emas.”“Eh, dia itu udah dua bulanan bolak balik ke Papua. Bulan pertama dia udah bolak balik, nah bulan berikutnya kemarin rada lama di sana tiga minggu lebih.”“Ck! Kalau dia kembali rada nggak bebas nih. Pasti bakalan sering ditanya lah, sidak lah, eweeww.”“Kenapa emang, Yo, yang penting kita kerja bener aja.”Di saat aku lagi ngobrol sama Priyo, ternyata
Aku meringis menatap ke arah Ryan. Asli nggak enak banget udah ngambek sama dia. Padahal kita berdua baru aja temenan masa udah berantem kayak orang pacaran. “Ryan, maaf.” “Gapapa.” Rasanya sikapku nggak dewasa banget barusan. Masa tahu ada yang kagum sama Ryan mendadak diriku langsung kesel. Wajar nggak, sih, kalau temenan memiliki perasaan gini? Tak lama mobil Ryan memasuki parkiran restoran steak. Kita berdua langsung masuk dan memilih salah satu tempat duduk. Aku sama Ryan langsung memilih menu untuk makan siang. Bahkan aku sama Ryan tak ada jaim-jaimnya sama sekali saat memesan menu seperti kebanyakan orang yang tengah pedekate. Selesai memesan, kita berdua saling diam. Aku menatap ke arah Ryan yang sibuk bermain ponsel membuatku jadi bete kembali. Kenapa zaman sekarang orang lebih suka interaksi lewat hape? Kalau kumpul-kumpul pun kadang sibuk main hape masing-masing. Percuma nggak sih, nggak bisa menikmati ngobrol ngalor ngidul seperti zaman dulu—dimana gadget belum seram
“Shakira, ayo balik ke kantor. Katanya kamu ada meeting.”Aku tahu kalau Ryan ini lagi ngalihin pembicaraan. Lagian mulutku juga sompral banget pakai acara tanya majalah dewasa gitu.Terpaksa aku mengangguk setuju untuk segera kembali ke kantor. Dalam perjalanan menuju ke kantor pun tak ada obrolan antara aku sama Ryan. Mungkin Ryan masih malu karena kartunya dibongkar sama sepupunya sendiri kalau dia suka koleksi majalah porno.Sesampai di kantor, aku ngomong seperlunya saja yang direspon Ryan dengan anggukan. Pria itu kemudian langsung pamit pergi.Baru aja kakiku masuk lobby, suara cempreng Mbak Sila bikin kupingku budeg.“Kikiiiiiiii.”Kedua tanganku langsung menutupi telinga secara otomatis. Apalagi Mbak Sila lari ke arahku dan langsung menyeretku ke arah toilet.“Mbak Sila, ikut!” teriak Sofi yang masih berjalan jejer sama Bang Rinto dan Priyo.“Bentar, lagi ada urusan sama Kiki. Mending kalian naik aja du
Setelah pulang kerja, gue langsung mandi, makan, dan sekarang lagi istirahat di kamar. Tapi, tangan gue pegang hape terus sambil lihatin chat room sama Ryan. Kenapa Ryan nggak kirim pesan atau nggak telepon gitu.“Idih gile, kenapa jadi ngarepin chat dia sih,” dumel gue saat otak dan pikiran selalu bayangin Ryan. Padahal dia itu bukan siapa-siapa tapi kenapa jahat banget sih nyita waktu gue.Ting.Dengan buru-buru gue langsung menggeser layar untuk melihat notifikasi di hape. Pas tahu kalau itu cuma sms yang mengatakan kalau diri gue manang undian ratusan juta dari salah satu ol shop pun diri gue lemes. Bukan lemes karena menang. Tapi, lemes chat yang gue harapin nggak nongol-nongol. Mau chat duluan gengsi ah. Biarin ajalah.0857368xxx : Selamat no anda mendapatakan hadiah cek tunai Rp. 125jt, Pin (AAQ2099).Rasanya pengin memaki sama nomer-nomer nggak jelas yang suka kirim sms seperti ini. Benar-benar sangat mengganggu banget nggak sih
Tak ingin terlalu pusing memikirkan mulut petasan akhirnya aku memilih untuk melanjutkan revisi laporan. Tapi, tangan baru menempel keyboard jantungku udah dikagetkan dengan suaranya yang begitu khas. Suara yang berat, juga ngebas.“Anda Shakira, kan?”Lha, iya aku Shakira. Kan udah pernah kenalan. Duh, ini orang kayaknya amnesia dah.“Ah, iya. Betul sekali.”“Pak Haidar sudah bicara sama anda mengenai konsep baby shower belum?”“Pak Haidar hanya memberitahukan kalau saya disuruh mengurus konsep baby shower untuk calon cucunya.”“Yups, betul sekali. Sebaiknya kita bicarakan ini di kafe atau restoran?”“Emm ... kafe saja.”Sumpah aku merasa canggung banget ngobrol secara dekat sama boss baru. Tatapan matanya bikin kakiku langsung lemas mendadak. Melihat pahatan yang sangat sempurna di depan mata bikin otakku sedikit eror. Rasanya tuh lemes pengin pingsan dipelukannya gitu. Duh! Andai tuh boss jomlo. Sudah pasti a
Akhirnya gue sampai kantor juga meski pakai ojek online. Pergi dari kantor pakai mobil mewah kembali pakai motor. Benar-benar nggak balance banget.Wajah gue kusut banget. Bahkan orang-orang dilobby sekarang lagi lihatin gue dengan sangat ketara sekali. Rasanya pengin gue colok matanya satu persatu.“Mbak Kiki.”Gue melengos aja pas Joko nyapa. Gue lagi badmood tingkat dewa. Jadi jangan tegur-tegur gue apa sapa deh. Sama aja lo senggol gue bacok.Pas udah masuk lift gue langsung menyender dan membuang napas kasar berkali-kali. Padahal hal ini udah biasa kan kalau kacung ditinggal boss? Tapi kenapa gue bisa sekesal ini, ya?Ting.Rasanya kaki gue lemes banget buat jalan ke arah meja. Kalau bisa terbang rasanya pengin terbang aja. Kalau nggak ngilang aja deh kayak Jinny oh Jinny gitu jadi nggak capek jalan ke sono ke mari.“Kikiiiii.”Gue menoleh dan melihat Mbak Sila tengah berjalan ke arah gu
Gue nggak ngitung udah berapa kali tetesan air mata ini jatuh ke pipi. Bahkan bisa gue lihat kalau sopir taksi online itu terus menerus menatap gue dari kaca spion yang menggantung di depan.“Habis putus, ya, Mbak?”Hah! Wong edan! Putus sama siapa kalau pacar aja kagak punya. Dan yang gue lakuin cuma melengos aja mendengar pertanyaan dari sopir taksi. Malas gue jawab pertanyaan dia.“Sabar aja, Mbak, mungkin belum jodohnya.”Idih! Ini orang sotoy banget sih.“Pasti nanti akan dapat yang lebih baik.”Lebih baik gundulmu. Buktinya habis putus dari Panji sampai sekarang nggak nemu cowok yang baik. Sekarang dekat sama playboy, punya sahabat pun otaknya miring.“Mas, udah jangan ngomong lagi. Ngeri migren gue kumat.”“Maaf, Mbak.”Setelah gue menegur sopir taksi itu pun langsung diam dan fokus ke arah depan. Bukan nggak mau menghargai orang yang simpati sama kita. T
Bisa gue lihat kalu Ryan masih diam aja. Kayak orang malas ngejawab gitu. Bahkan kini tatapan matanya kayak orang lagi memohon sama gue. Lagian gue nggak bakalan luluh.“Chaca bilang gitu, ya?”“Hmm.”“Jadi sebenarnya yang diomongin Chaca betul kalau teman mainku emang banyak. Tapi itu dulu Shakira. Dan aku nggak ada niatan buat begitu sama kamu.”Gue pun hanya menatap ke arah Ryan. Menatap intens bola matanya untuk mencari kebohongan yang diucapkan sama Ryan. Tapi, kalau gue lihat tuh si Ryan udah ngomong jujur.“Terus sekarang masih?”“Kadang-kadang doang.”“Ehem! Mendingan sekarang kamu pergi aja sana ke Singapore, bila perlu nggak usah balik ke Indonesia aja.”“Lho kok kamu bilang begitu sih?”“Udah sana pergi.”“Kamu ngusir aku?”“Iya, udah sono pergi cepetan.”“Aku belum
Saat ini yang dilakukan Ryan hanya ingin mengejar istrinya. Memeluknya. Dan menenangkan hatinya yang pasti sangat kacau akibat kejadian tadi.“Sayang … maafin aku,” gumamnya sambil terus menyetir mobil dengan kecepatan penuh. Bahkan bisa sangat tergambar begitu jelas buku-buku jari milik Ryan sampai memutih.Ckiiiitzzz.“Sial! Kucing sialan kalau nyebrang nggak lihat-lihat.” Ryan memaki hewan tak bersalah itu. Ia pun mendesah lega karena tak menabrak kucing. Ryan kembali menarik persneling dan menginjak pedal gasnya untuk melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.Hatinya saat ini benar-benar bimbang. Ia benar-benar takut kalau Kiki akan mengadu sama orangtuanya nanti dan masalah akan semaki lebar dan runyam.Masih sambil menyetir pun Ryan mencoba menghubungi nomor istrinya, tapi lagi-lagi zonk yang didapatkan.“Sayang angkat dong,” gumamnya saat sambungan telepon miliknya tersambung. Tapi, tetap saja t
Dengan tekad yang kuat pun akhirnya Doni menuruti perintah Kiki dengan menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh dan mobil langsung berjalan secepat kilat.Ckiiitttzzz.BRUG.“Kak, gila apa rem mendadak begini,” dumel Kiki yang merasa dahinya terkena dasbor mobil. Ia tadi lupa memakai sabuk pengaman. “Haduh sakit banget.”Doni tak menghiraukan ocehan Kiki, yang dipikirkan oleh otaknya tuh apakah Ryan masih hidup apa udah … sial!“Ki, coba lihat kebelakang. Apakah suami lo masih hidup atau—“Kiki yang masih merasa kesakitan dahinya pun menatap ke arah spion dan melihat kalau Ryan tengah ditolong berdiri oleh wanita itu.“Masih hidup, udah biarin aja.”Doni langsung bernapas lega, matanya pun langsung melirik ke arah spion untuk memastikan ucapan yang dikatakan oleh Kiki itu benar. Ia langsung mendesah lega kala memang benar si Ryan masih hidup. Sepertinya
Doni pun langsung menancapkan gasnya penuh pas sudah berada di jalan tol. Ia bisa melihat Kiki dari ekor matanya kalau adik ketemu gedenya itu tengah cemas.“Lo mendingan tidur aja.”Kiki menggeleng. “Nggak bisa.”“Entar kalau udah sampai gue bangunin.”Tetap saja Kiki bebal untuk dikasih nasihat oleh Doni. Kiki lebih memilih mengabaikan dan tetap memperhatikan jalanan menuju ke arah Bandung.Beberapa jam kemudian.Kini mobil Doni sudah memasuki kawasan Bandung. Ia mulai mengaktipkan gps mobilnya karena tak hapal dengan jalanan kota kembang itu.Terik matahari yang tadi begitu menyengat pun kini mulai terlihat berjalan ke ufuk barat. Kiki bahkan sampai melupakan jadwal makan siangnya hari ini.“Lo belum makan, kan?”“Nggak laper.”“Tapikan lo butuh tenaga, Ki.”“Iya tapi gue nggak laper, Kak.”“Ini udah jam empa
Doni yang tengah fokus menyetir pun sangat terkejut dengan pertanyaan Kiki yang sangat tiba-tiba sekali. Ia menoleh dan melihat Kiki yang tengah menatapnya lekat. Doni pun berdeham pelan.“Lo nggak lagi kesam—““Hahahaha.”Suara tawa Kiki langsung menghentikan pertanyaan dari Doni. Ia bernapas lega kala mengetahui kalau pertanyaan itu hanya iseng semata.“Sial lo,” maki Doni.“Nggak mungkin lha, Kak, lo bukan tipe gue.”“Anjim! Tipe lo modelan Panji sama Ryan yang suka selingkuh?”“Ck! Nggak usah bahas kelakuan minus mereka.”“Hahahaha, meski wajah gue standar aja tapi gue setia.”“Iyain deh biar cepat.” Kiki pun hanya memutarkan bola matanya malas mendengar pujian Doni yang ditunjukkan untuk dirinya sendiri itu.“Gue pikir tapi serius, gila!”“Kalau itu serius kenapa?”&ldquo
Paham akan kode yang diberikan oleh Doni pun membuat Kiki langsung berjalan lebih mendekat ke arahnya. Doni sendiri berdeham sebelum bertanya kepada wanita separuh baya yang mengenakan baju daster itu.“Permisi Ibu, apa bisa ketemu Rena?”“Rena?”Doni dan Kiki pun mengangguk secara bersamaan. Ia menunggu jawaban dari ibu paruh baya yang tidak Doni kenali. Lagipula wajah mamanya si Rena nggak kayak gitu dulu.“Anak durhaka itu? Udah minggat dia.”Kiki pun makin nggak ngerti dengan jawaban ambigu dari ibu-ibu di depannya itu. “Maksudnya Bu?”“Ya, udah pergi dari sini kurang lebih setahun yang lalu lha.”“Pergi ke mana, ya, Bu?” tanya Kiki yang semakin penasaran.“Kalau nggak salah ke Bandung sama pacarnya.”Mendengar kata ‘Bandung’ membuat Kiki mendadak lemas, tangannya pun langsung meraih telapak tangan Doni. Ia menggenggam kua
Kini Doni dan Kiki sudah berada di jalanan menuju ke arah Radio Dalam. Yang dilakukan Kiki hanya menggigiti bibir bawahnya karena merasa takut jika memang dugaan dan feeling-nya benar.“Kak, gue takut banget.”“Lo tenang aja, kalau dia sakitin lo nanti bakalan gue kasih bogem.”“Kalau itu benar, dia nikahin gue buat apa?”“Nah itu gue nggak tahu juga. Soalnya semenjak lulus SMA tuh gue nggak paham kabar anak-anak. Soalnya gue sibuk kuliah sama urusin bisnis kafe. Teman gue yang awet sampai detik ini juga Naren doang.”“Sama Ryan enggak?”“Sama dia juga baru-baru ini doang, Ki, dulu kan dia tinggal di Singapore gitu kan? Balik ke Jakarta kalau ada proyek doang.”Kiki pun kembali menatap ke arah jalanan yang memang tengah padat-padatnya kendaraan. Ia pun mengecek ponselnya dan sangat terkejut saat melihat puluhan panggilan tak terjawab dari nomor kantor bahkan ada n
Doni benar-benar sangat terkejut mendengarkan penuturan dari Kiki. Ia pun langsung beranjak dari kursi kebesarannya dan mendekat ke arah Kiki.“Bayarin taksi,” cicitnya.“Iya nanti gue bayarin.”“Sekarang Kak.”Doni hanya bisa mengembuskan napas pasrah. “Yaudah lo di sini dulu gue mau keluar buat bayarin ongkos taksi lo.”Kiki sendiri hanya mengangguk lemah. Tak terasa tangan Doni pun mengusap kepala Kiki dengan begitu lembut.“Lo sebaiknya duduk dulu di sana.” Doni menunjuk ke arah sofa yang memang tersedia di dalam ruangan kerja miliknya.Sambil menunggu Doni kembali membuat Kiki berjalan pelan ke arah sofa dan duduk sambil bersandar. Air matanya pun terus menetes tiada henti. Hatinya sakit kalau mengingat Ryan yang bisa tertawa begitu lepas tadi.Kiki menatap ke arah pintu saat mendengar pintu itu terbuka. Ia melihat pelayan kafe Doni yang tengah membawa minum ke ar
Ryan langsung menutup tubuh istrinya yang polos, ia pun duduk di pinggiran ranjang sambil menatap ke arah lantai.“Kamu kenapa?”“Kenapa apanya?”“Kenapa seperti kedebong pisang tadi?”“Emang kenapa?”“Aku nggak suka sayang, aku merasa lagi main sama patung.”“Terus kamu penginnya aku gimana?”“Kamu nggak kayak biasanya Shakira.”“Aku kan udah bilang lagi capek. Tapi, kamu terus minta dan minta. Apa boleh buat kalau aku diam aja kayak kedebong.”“Sudah lah, terserah kamu saja.”Ryan langsung meraih boxernya yang tergeletak di lantai. Ia memakainya dengan gerakan cepat dan memilih keluar kamar karena merasa kesal dengan permainan malam ini. Istrinya benar-benar beda banget malam ini. Dia lebih banyak diam nggak seperti biasanya kalau dipancing langsung membalas dengan liar juga. Ini udah dikasih pemanasan lam
Entah kenapa Melviano mendadak kasihan dengan sekertarisnya itu. Apalagi baru pulang bulan madu sudah diselingkuhi. Mendingan dirinya kemana-mana. Laki-laki setia yang susah dicari, rasanya Melviano ingin kasih tahu istrinya kalau ada laki-laki lebih brengsek darinya.“Tinggal kan saja laki-laki seperti itu.”Kiki menatap ke arah Melviano. “Saya nggak mau jadi janda, Mr.”Melviano berdeham pelan. “Terserah kamu sih, tapi saya nggak mau urusan rumah tangga dibawa ke kantor seperti ini. Kamu harus bisa professional.”“Iya, Mr.”“Nanti kalau si Joko Susanto datang suruh masuk ke ruangan saya langsung.”“Baik, Mr.”Melviano pun langsung berjalan ke arah ruangan kerjanya yang memang didesain begitu luas dibanding ruang kerja milik Haidar.Yang dilakukan Melviano di dalam ruangan saat ini adalah menghubungi nomor ponsel istrinya. Ia akan memberitahukan kalau diri