Share

005 - Singapore

Menikah itu bukan perkara siapa cepat dia dapat.

Menikah itu soal ketepatan waktu.

Menikah itu ibadah, jadi dia akan menghampirimu di waktu yang tepat.

***

Bandara Internasional Changi, Singapura.

Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta—Singapore. Aku bersama Pak Haidar mampir di salah satu coffe shop di bandara. Pak Haidar sepertinya paham kalau aku sangat ngantuk. Bahkan bisa aku lihat di kaca kalau kantung mataku benar-benar hitam seperti panda.

"Tidur jam berapa, Ki?"

"Jam enam, Pak."

"Serius?"

"Serius, Pak."

"Maaf, Ki."

"Gapapa, Pak. Lagian ini tugas saya."

Bisa aku lihat kalau Pak Haidar sedikit merasa tidak enak mendengar kalau aku baru tidur jam enam pagi tadi, dan hebatnya jam delapan aku harus bangun. Dua jam aku memejamkan mata di dalam pesawat. Bisa kalian bayangkan betapa terasa melayang tubuhku saat ini.

Tak lama, pelayan datang membawa dua cangkir kopi pesananku dan Pak Haidar. Kali ini aku memesan kopi americano. Sesekali minum kopi pahit biar kita nggak kaget saat menjalani kehidupan yang pahit ini.

Aroma kopi yang mengepul membuat indra penciumanku terangsang. Dengan cepat aku mengambil cangkir dan menyeruput kopi sedikit demi sedikit, menikmati rasa kopi yang melewati lidah hingga tembus ke kerongkongan.

"Masih ngantuk?"

"Ah, tidak Pak."

Terpaksa aku berbohong di depan Pak Haidar. Jujur saja aku masih ngantuk banget pengin tidur. Bisa aku lihat kalau Pak Haidar sudah berdiri dari kursinya. Artinya kita harus siap untuk pergi ke tempat meeting sekarang juga.

Aku buru-buru menelepon pihak hotel untuk konfirmasi mengenai sopir, dan penginapan nantinya. Ternyata pihak hotel sudah mengirim sopir untuk kami.

"Gimana?"

"Mereka sudah kirim sopir, Pak. Katanya menunggu di penjemputan."

"Ya sudah kalau gitu kita jalan ke sana."

Aku melihat langkah kaki Pak Haidar yang terlihat begitu cepat. Nggak heran kalau perusahaan Pak Haidar bisa maju pesat seperti sekarang karena memang Pak Haidar orang yang benar-benar cekatan. Sudah berumur saja jalannya bisa cepat banget dibanding aku yang masih muda.

***

Setelah sampai hotel pun, Pak Haidar menyuruhku untuk istirahat sebentar karena beliau tak tega melihat mata aku yang sisa lima watt. Awalnya aku menolak karena acara meeting sebentar lagi, tetapi Pak Haidar menelepon langsung rekan bisnisnya untuk memundurkan waktu, dan akan bertemu meeting nanti malam. Jujur aja aku dengar seperti itu merasa nggak enak sendiri sama Pak Haidar. Aku takut dianggap karyawan belagu dan songong.

Namun tetap saja Pak Haidar tak mendengarkan protesanku. Beliau tetap saja keras kepala menyuruhku untuk tidur. Dengan terpaksa kini aku langsung merebahkan diri di atas kasur yang begitu empuk. Mataku langsung terpejam begitu saja.

Beberapa jam kemudian.

Drrt ... Drrt ... Drrt.

Telingaku mendengar suara getaran ponsel yang memang aku letakkan di atas nakas. Masih dengan rasa yang begitu mengantuk tanganku mulai meraba-raba ke arah nakas. Aku menggeser tombol hijau ke samping tanpa memedulikan siapa yang menelepon.

"Halo."

"Masih tidur, Ki?"

"Astaga," Aku terkejut ketika Pak Haidar yang menelepon. Dengan cepat pula aku langsung duduk. Mataku melotot ketika melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah enam petang. Aku langsung merutuki diri dalam hati sambil mendengarkan segala perkataan yang diucapkan oleh Pak Haidar.

"Baik, Pak."

Aku mendesah lega ketika Pak Haidar tak memarahi. Dengan gerakan cepat aku meloncat dari kasur menuju ke arah kamar mandi.

Bego banget, kenapa bisa tidur kayak kebo begini, sih.

Kurang lebih dua puluh menitan mandi, aku sholat magrib terlebih dulu. Aku berdoa supaya meeting kali ini bisa lancar selancar jalan tol.

Selesai sholat, aku berdandan secantik mungkin. Tak lupa memakai pakaian begitu formal. Kemeja putih dikombinasi dengan rok span selutut berwarna cream. Tak lupa juga aku menutupi kemeja putih dengan blazer berwarna senada dengan rok yang aku pakai.

Sebelum keluar kamar, aku semprot parfum keseluruh tubuh agar wangi.

***

"Maaf banget, ya, Pak," kataku meminta maaf karena telat bangun tidur. Jujur aja aku nggak enak sama Pak Haidar. Baliau yang atasan tapi malah menungguku mandi dan lainnya.

"Tidak apa-apa, Ki."

Aku pun langsung menyiapkan dokumen serta menyalakan laptop. Tak lama aku mendengar suara bariton seseorang menyapa Pak Haidar. Kepalaku langsung mendongak menatap orang yang ... benar-benar sangat tampan. Jujur aja hatiku langsung merasa deg-degan.

"Sudah lama menunggu, Pak? Maaf tadi ada urusan sebentar," katanya sambil tersenyum begitu manis.

Sumpah demi neptunus itu cowok cakep banget anjir. Aku memperhatikan cowok itu yang tengah bersalaman dan kemudian menatap ke arahku.

"Ryan," katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.

"Sha-sha-shakira," balasku terbata. Dengan hati yang masih deg-degan aku menerima uluran tangannya.

Aku melihat cowok bernama Ryan itu duduk di ujung meja. Dengan cepat aku langsung membuka topik meeting malam ini.

"Jadi perusahaan kita nanti akan membangun sebuah resort di daerah universal studio. Dan, perusahaan kami ingin memiliki konsep yang sangat nyaman untuk pengunjung. Misi kami ingin para pengunjung itu betah saat menempati resort kami," ujarku panjang lebar.

Tak lama, Pak Haidar pun ikut membuka suara keinginannya. Cowok bernama Ryan pun hanya diam mendengarkan perkataan demi perkataan Pak Haidar.

"Oke, kalau mendengar keinginan dari Pak Haidar yang seperti itu. Saya memiliki konsep untuk membuat kolam renang outdoor, serta akan ada pemandangan akuarium yang membuat para pengunjung begitu nyaman."

"Oke, saya setuju saja," sahut Pak Haidar menanggapi pembicaraan cowok bernama Ryan itu.

Yang aku lakukan hanya mencatat poin-poin penting yang dibicarakan oleh Pak Haidar juga cowok bernama Ryan itu. Dan, aku baru tahu kalau Ryan ini seorang arsitek.

Selang berapa menit, datang laki-laki paruh baya bernama Abimana yang akan menjadi partner perusahaan Pak Haidar untuk pengolahan resort di Singaporenya.

Aku memperhatikan ketiga laki-laki yang tengah berdiskusi dengan begitu serius hingga tak terasa memakan waktu cukup lama.

"Oke, jadi saya sih setuju saja apa yang menurut Pak Haidar katakan pasti itu yang terbaik," ujar laki-laki paruh baya bernama Abimana itu.

"Oke, jadi keputusan seperti itu saja, ya, Pak. Kalau begitu sebaiknya kita makan terlebih dulu. Nggak terasa kita sudah berdiskusi cukup lama," kata Pak Haidar sambil terkekeh.

Aku melihat Ryan yang sibuk dengan tabletnya. Entah apa yang tengah dimainkan. Sepertinya sih tengah menggambar konsep resortnya. Entahlah.

Kini pelayan restoran pun datang untuk mencatat berbagai menu pesanan di meja 07 yang dibuat untuk meeting barusan. Aku pun ikut memesan, tak lupa kalau ketiga laki-laki itu selalu memesan wine.

Kondisi seperti ini sudah nggak asing bagiku. Yang terpenting kata mama harus bisa jaga diri di saat para bos-bos tengah minum alkohol. Soalnya takut mereka yang tak sadar akan berbuat macam-macam yang tidak diinginkan. Meski jujur aja sampai detik ini ketika menemani Pak Haidar meeting dengan berbagai klien aku tetap mendapat perlakuan baik dari para klien.

"Cheers," seru Pak Haidar yang mengangkat gelas berkaki agar semuanya bersulang.

Selesai makan, dan sedikit minum-minum. Kini Pak Haidar dan Pak Abimana pergi ke arah Marina Bay Sands untuk berkunjung ke Casino.

Aku? tentu saja masih di restoran bersama Ryan itu. Masih berlanjut membahas soal gambaran yang akan ditunjukkan oleh Ryan.

"Ini gambaran secara kasar aja, nanti saya tunjukkan kalau sudah bagus," katanya sambil memperlihatkan tabletnya ke arahku.

"Oke, memang butuh waktu berapa lama?"

"Kurang lebih semingguan."

"Hah!?" Aku terkejut mendengar waktu yang dibutuhkan oleh Ryan. " Apa nggak bisa lebih cepat? Soalnya besok saya dan Pak Haidar sudah kembali ke Jakarta."

"Its oke, saya pun besok kembali ke Jakarta."

"Lho, kamu ada kerjaan di Jakarta juga?"

"Kurang lebih seperti itu."

"Ya udah kalau gitu saya minta nomor ponsel kamu buat atur ketemu di Jakarta nanti."

Aku langsung mencatat nomor ponsel Ryan. Merasa sudah tak ada yang dibahas lagi, aku langsung pamit pergi.

"Sepertinya meeting kali ini cukupkan saja sampai di sini. Lagi pula para bos-bos saja sudah pergi terlebih dulu, hehehe."

"Iya, seperti itulah orang kalau memiliki jabatan. Tinggal alihkan saja kepada bawahan."

"Hehehe, iya betul."

Aku langsung berdiri. Aku menatap Ryan begitu canggung. Bingung antara mau salaman atau tidak.

"Kenapa?" tanyanya sambil mengerutkan kedua alisnya menatapku.

"Ah, gapapa. Kalau begitu selamat malam."

Aku langsung pergi meninggalkan restoran dengan hati yang begitu lega. Karena proses meeting kali ini bisa lancar. Aku melihat arloji yang menempel sudah menunjukkan waktu cukup larut. Sudah pukul sebelas malam.

"Tunggu."

Aku menoleh ke arah belakang. Ternyata itu suara Ryan yang menyuruhku berhenti.

"Iya."

"Maaf sedikit mengganggu, kamu pulang sendirian?"

"Iya."

"Mau saya antar?"

"Nggak usah, saya bisa pulang sendiri kok."

"Tapi ini udah malam banget. Bahaya buat cewek seperti kamu."

"Iya saya tahu ini udah malam, dan saya nggak mengatakan kalau ini siang, kan?"

Aku melihat Ryan terkekeh. Senyumnya begitu manis. Dengan cepat pula aku menyadarkan diri sebelum Ryan melihat kalau aku kagum melihat ketampanannya.

"Kamu ternyata ada bakat melawak."

"Ah nggak juga, lagipula saya bukan anaknya Sule atau Andre."

"Tuh kan, kamu sangat lucu."

Tanpa disadari ucapan Ryan bikin perutku mendadak mulas. Bukan ingin buang air besar tetapi terasa geli seperti ada yang menggelitikinya. Pipiku bahkan terasa panas dengan sendirinya.

"Ya sudah kalau begitu hati-hati, Shakira," katanya sambil tersenyum manis.

Aku pun mengangguk sebagai respon.

Tak ingin ketahuan, dengan cepat aku berbalik badan dan berjalan kencang menuju gedung sebelah. Di mana aku dan Pak Haidar menginap.

Setelah berjalan cukup lumayan, aku akhirnya sampai di dalam kamar hotel yang aku tempati. Bibirku langsung tersenyum begitu lebar. Tangan pun memegang dada, merasa jantungan saat ini.

Apa aku jatuh cinta pada pandangan pertama!?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status