Share

006 - Back To Jakarta

Pertemuan dengan Ryan kemarin benar-benar membawa efek tersendiri dalam jantungku. Pagi ini yang aku lakukan cuma memegang dada, memastikan kalau diriku nggak jantungan.

"Kenapa, Ki?"

"Ah, enggak, Pak."

Malu.

Ya, aku malu banget sumpah lagi ngelamun tapi ketahuan sama boss besar. Terlebih pipi kayaknya panas banget pula. Buat goreng telur kayaknya mateng nih.

Akhirnya aku berdeham pelan sebelum memutuskan untuk mengajak Pak Haidar buat ngobrol masalah proyek semalam yang dibahas. Terlebih proyek itu tidak bisa selesai di Singapura. Alhasil aku dan Pak Haidar kembali ke Jakarta pagi ini.

"Pokoknya, saya serahkan ke kamu, Ki," kata beliau saat membahas proyek Singapore ini.

"Iya, Pak."

"Nanti saya di Papua itu kurang lebih sebulanan, jadi nanti tolong kamu ajari anak saya masalah kantor di sini. Dia belum terlalu mengusai perusahaan," ujar beliau menceritakan anaknya yang super duper tampan.

"Baik, Pak."

"Tidak salah kalau HR memilih kamu sebagai sekertaris saya. Sudah cantik. Badan oke, mana cerdas, dan yang penting ... seksi."

Sumpah, aku benar-benar terkejut saat Pak Haidar ngomong gitu barusan. Emang sih awalnya beliau memujiku, tapi pas akhiran terkesan mata keranjang tuh boss.

Ck! Ternyata, nggak tua nggak muda namanya boss sama saja. Mereka suka banget menilai sesuatu dari fisik.

"Ngomong-ngomong kamu udah punya pacar belum, Ki?"

Lha, kenapa beliau mendadak tanya begitu? Beliau mau ngelamarku gitu? Oh My God. Beliau itu cocoknya jadi bapakku bukan suami. Haduh, bisa diketawain Bu Tejo kalau begini.

"Hehehe, belum, Pak," jawabku sambil meringis ke arah Pak Haidar yang tengah mesam mesem sendiri. Entah apa yang sedang beliau pikirkan. Yang pasti, please ... jangan coba-coba lamar aku, Pak.

"Saya punya klien. Dia masih muda. Ya ... seusia anak saya lah, kalau kamu mau atau ada minat nanti saya kenalkan, gimana?"

Lha, kenapa boss-ku mendadak jadi biro jodoh begini, sih.

"Hehehe, tidak usah, Pak. Lagipula saya juga nggak terlalu memikirkan pasangan untuk saat ini. Saya lagi mau fokus bekerja dulu."

Dusta.

Biarin aja mulutku berdusta saat ini. Padahal aku lagi ngebet cari jodoh buat dikenalin ke mama. Tapi apa daya, gengsi yang aku miliki terlalu tinggi buat ngaku di depan Pak Haidar.

"Oh ... begitu, yasudah kalau kamu nggak mau."

Mendengar Pak Haidar yang menyerah seperti itu membuatku tersenyum tipis. Tapi ingat, masih sangat terlihat ramah tamah pokoknya. Nggak berani aku jutekin boss. Apalagi beliau boss besar. Owner sekaligus CEO perusahaan yang bentar lagi lengser jabatannya. Sebetulnya sih udah lengser kemarin. Berhubung anaknya cuti jadi beliau terpaksa masuk lagi.

Saat ini mataku ngantuk banget. Rasanya pengin merem banget. Tapi, nggak enak sama Pak Haidar yang tengah duduk di sampingku. Mana beliau sibuk cek-cek email kalau aku perhatiin. Benar-benar dah ini orang udah berumur tapi gila kerjanya nggak diragukan lagi.

Dua jam kemudian.

Setelah memakan waktu dua jam lebih, akhirnya kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Dan, tujuan utama kami langsung ke kantor. Rasanya ingin protes sekali supaya bisa pulang ke rumah. Tapi semua itu hanya bisa dipendam saja dalam hati. Aku sadar diri karena masih jadi kacung di perusahaan.

"Nanti kamu langsung urus saja, Ki. Sama sekalian penerbangan saya ke Papua."

Ya Allah, Pak. Ngopi-ngopi dulu kek, masa langsung kerja lagi.

Dalam perjalanan menuju kantor, aku memilih diam bersama sopir di depan. Pak Haidar sibuk teleponan entah dengan siapa. Nggak peduli juga diriku.

Kurang lebih dua jam di perjalanan bikin pinggangku rada sakit. Udah dari Singapure dua jaman lebih, ditambah menuju kantor dua jam juga. Empat jam waktuku habis di jalan doang. Kalau begini terus gimana mau dapat jodoh. Benar-benar tua di jalan.

Saat sampai di kantor, aku berjalan cepat menuju ke arah lobby. Dan sialnya malahan ketemu GIBAH SQUAD. Pasti mereka habis pada makan siang nih. Secara ini jam istirahat.

"Hai, Ki," teriak Sofi.

Bibirku langsung tersenyum lebar seperti ada mesin otomatisnya gitu.

"Tumben cepet," kini giliran suara Mbak Sila yang coba ngomong ke aku.

"Iya, kerja rodi nih."

"Tapi gede, kan?" Goda Mbak Sila sambil menaik turunkan alisnya menggodaku. Kayak anak ABG sumpah dia, padahal dia udah emak-emak.

"Betisku nih yang gede, Mbak."

"Hahaha, gapapa dah kalau itu. Yang penting jangan saingin boobs-ku."

"Hahaha, Mbak Sila benar-benar dah jadi duta boobs," celetuk Sofi yang langsung ditempeleng Mbak Sila.

Melihat teman-teman kantor, capek dan sakit pinggangku mendadak hilang. Ya, meski cuma 0,1% doang sih, mayanlah.

"Si boss mau kemana tuh?" tanya Bang Rinto yang mulai mendadak kepo melihat Pak Haidar pergi lagi. Aku hanya mengangkat bahu tak tahu. Lagi pula aku bukan istrinya yang harus tahu beliau 24 jam harus di mana, sama siapa, berbuat apa, dih ngapa mendadak jadi nyanyi lagunya babang tamvan, sih.

Saat di dalam lift. Aku melihat Sofi yang tengah girang seperti ibu-ibu dapat arisan.

"Besok Mas Priyo pulang," ujar Sofi yang merasa girang kalau Priyo akan pulang dinas dari Bali.

"Tembak aja udah," kata Bang Rinto.

"Nah setuju tuh, emansipasi wanita, Sof," dukung Mbak Sila dengan semangat membaranya. "Nanti keburu diembat sama Kiki lho," tambah Mbak Sila mengkompori.

"Dih, kok aku sih, Mbak," balasku tak terima. Lagipula Priyo bukan tipe cowok idamanku juga.

"Huft! Kayaknya emang Mas Priyo suka sama Kiki deh," kata Sofi yang aku lihat langsung cemberut. Bahkan aura bahagianya langsung mendadak ilang 100%.

Melihat aura Sofi yang tak mengenakkan membuatku langsung menarik tubuh Sofi lebih mendekat.

"Nggak usah dengerin Mbak Sila, aku gak suka sama Priyo."

Bisa dilihat dari netra mataku kalau Sofi langsung menoleh dengan wajah girang kembali. Bahkan senyumnya tak pudar-pudar.

"Serius, ya, jangan tikung lho."

"Ededeh, dua wanita jomlo tengah memadu janji. Hahaha."

Mbak Sila kini tengah tertawa ngakak melihatku sama Sofi yang tengah melakukan janji supaya jangan ada saling tikung menikung nantinya.

Lagian Sofi bisa baper banget deh sama omongan Mbak Sila yang suka ngawur itu.

Ting.

Pintu lift terbuka, dan Bang Rinto keluar terlebih dulu disusul oleh Mbak Sila dan Sofi. Mereka bertiga pun melambaikan tangan dadah dengan kompak ke arahku.

"Daaah ... hati-hati di atas sendirian."

Ck! sial. Mbak Sila hobi banget nakutin. Dia tahu aja kalau aku ini orangnya penakut. Tapi kadang suka heran sama diri sendiri pas lembur, rasa takutnya tuh mendadak hilang. Bablas. Entah pergi ke mana.

Ting.

Kini giliranku keluar lift dan berjalan menuju ke arah meja kerja dengan lesu.

"Kerja lagi kerja lagi, gimana mau dapat jodoh," dumelku saat menaruh tas kerja. Untung saja sopir kantor mau mengantarkan koper ke alamat rumah langsung. Huft. Kopernya pulang orangnya masih nyangkut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status