Share

004 - Kerja Lembur Bagaikan Quda

Mataku terpejam mendengarkan sederet permintaan dari bos baru yang bikin pusing. Baru sehari kerja sama dia udah banyak banget tugasnya. Jemariku memijit pelipis yang terasa senut-senut.

"Baik, Pak."

Aku mengembuskan napas lega kala panggilan telepon dengan bos selesai. Kalau dipikir-pikir masih mending bekerja sama Pak Haidar. Setidaknya beliau masih punya hati sama bawahan. Sedangkan dia? baru sehari masuk jadi bos udah izin nggak masuk dengan alasan istrinya tengah hamil. Memang apa hubungannya kerja sama istri hamil? Sinting.

Sampai di kantor, aku berjalan menuju ke arah meja kerja. Hal utama yang aku lakukan menelepon klien dari Singapore untuk membahas proyek resort di sana.

Selesai menelepon klien untuk mengatur jadwal ulang, Aku mendapat telepon dari Pak Haidar, memintaku untuk mengurus konsep pesta baby shower calon cucunya.

Pantes saja aku disuruh balik sendirian, ternyata istrinya lagi hamil beneran di rumah. Aku kira cuma alibi dia doang ngaku istrinya hamil.

"Ki, yuk kantin."

"Nanti dulu Mbak, kepalaku pusing banget."

"Kenapa!?"

"Bos baru gila banget, masuk sehari tapi aku disuruh ngurus resort sendiri di Singapore. Dia mau cuti panjang katanya."

"Hah, seriusan, Ki?"

"Seriusan, Mbak. Ini Pak Haidar barusan telepon katanya suruh ngurus acara konsep baby shower gitu buat calon cucunya."

"Oh I see, berarti istri bos baru lagi melendung."

"Yah, maybe. Sumpah stres banget nih. Ngurusin buat resort, ditambah tugas yang bukan job desk-ku. Apaan coba urusan keluarga masa aku juga yang urus."

"Sabar-sabar, Ki. Yang penting bonus ngalir deras nanti."

"Hahaha, amin. Pengin banget liburan ke Swiss."

"Halah, kamu ke Swiss karena ngebet pengin ketemu Kevin Lutolf."

"Hahaha, tahu aja deh Mbak Sila. Dia calon bapak anak-anakku tau."

"Hidih, calon bapak anakmu tuh si Priyo."

"Iyuh, ogah."

"Jangan gitu, Ki. Priyo ada rasa sama kamu tuh."

"Mbak, aku nggak mau berantem sama Sofi gara-gara cowok modelan Priyo."

"Emang si Sofi beneran suka sama Priyo?"

"Lha, dilihat dari gerak-gerik aja udah kelihatan."

"Hmmm, I see. Yuk ah kantin. Cacingku udah pada demo nih. Kerja entar-entar aja Ki, perut diisi dulu yang penting."

Akhirnya aku menuruti keinginan Mbak Sila buat ke kantin. Seperti biasa, aku selalu memesan soto ayam. Menu favorite-ku ketika makan di kantin kantor.

Aku melihat Sofi yang tengah berdebat dengan Bang Rinto masalah drakor yang tengah booming. Bang Rinto ini udah nikah, sama kayak Mbak Sila. Mereka sama-sama udah punya anak satu. Kalau aku jomlo, eh single aja lebih enak diucapin. Sofi juga sama dia masih single, usia dia lebih muda setahun dari aku. Kalau Priyo itu seumuran sama aku. Makanya aku sama Priyo gampang banget nyambung kalau ngobrol. Sedangkan Joko itu masih bocah banget. Dia paling muda di antara kami semua. Makanya sering jadi bahan bully. Tapi, asyiknya Joko itu anak yang tidak mudah baper, atau gampang tersinggung.

Seperti biasa kita selalu membicarakan hal yang tengah trending di kantor. Apalagi Mbak Sila tengah menggebu-gebu membicarakan anak buahnya sendiri yang boobsnya lebih gede dari Mbak Sila. Jujur aku juga belum lihat anak baru itu.

Mbak Sila ini paling kesel sama orang yang boobsnya lebih gede dari dia. Aku juga heran sendiri sama Mbak Sila. Tapi, biarin aja itu urusan Mbak Sila.

"Hape siapa tuh yang getar," seru Mbak Sila yang tengah menyuapkan makanan ke mulutnya.

Aku melirik ke arah ponselku sendiri, ternyata Pak Haidar yang telepon.

"Pak Haidar telepon," kataku sedikit gugup.

"Cepetan angkat, bos besar tuh."

Dengan perasaan takut, aku mengambil hape, dan berjalan menuju ke arah yang lebih sepi. Tanganku menggeser tombol hijau ke samping. Sebelum itu, aku berdehem supaya suaraku nggak terdengar serak.

"Siang, Pak, halo."

"Ki, jadwal Singapore bisa dimajukan?"

"Emm ... bisa, Pak."

"Tolong majukan besok saja, Ki. Soalnya saya juga harus pergi ke Papua buat urus di sana. Melvin anakku nggak mau terbang ke Singapore katanya. Jadi saya akan gantikan meeting dia sama kamu ke Singapore."

"HAH, besok Pak!?"

"Iya, besok jam 10 kita terbang ke Singapore. Kamu siapkan semua dokumennya, ya. Makasih, Ki."

"Iya, Pak."

Sumpah demi apapun aku mendadak lemas mendengar kalau proyek Singapore itu dimajukan. Sedangkan dokumen belum beres sama sekali. Jadwal meeting dengan klien terpaksa harus reschedule kembali.

Dengan cepat aku menghampiri meja yang terdapat Mbak Sila, dan lainnya. Aku buru-buru mengeluarkan uang untuk membayar soto ayam pesenanku.

"Nitip bayarin, aku harus kembali kerja sekarang."

"Kenapa sih, Ki? Gugup banget begitu kayak habis ketemu setan aja."

"Lebih serem dari setan, Bang."

"Whoa, Pak Haidar ngapain emangnya!?"

"Duh, pokoknya aku hectic banget nih, besok mana terbang ke Singapore."

"Bukannya masih minggu depan?"

"Dimajuin jadi besok, Bang. Kalau gitu aku permisi dulu."

Dengan langkah cepat aku berjalan menuju ruangan kerja. Hal pertama yang aku lakukan menelepon beberapa klien untuk reschedule acara meeting. Untung saja para klien bisa mengerti dengan kesibukan Pak Haidar. Di sini aku benar-benar bersyukur banget.

Kini aku menatap layar laptop, mulai mengerjakan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk meeting besok di Singapore.

***

Aku merasakan badan terasa pegel-pegel. Aku menatap arloji yang melingkar di pergelengan tanganku. Ternyata sudah jam delapan, dan aku masih di kantor.

Dengan cepat aku membereskan semua berkas-berkas kantor yang akan dibawa besok. Tak lupa juga aku membawa laptop kantor ke rumah. Biar nanti sisa kerjaan dilanjut di rumah saja.

Mataku melihat ke arah depan yang ternyata sudah sangat sepi. Aku baru sadar kalau di lantai ini hanya ada aku saja. Mendadak rasa parno dalam diriku muncul. Dengan gerakan serampangan aku langsung menyambar tas, dan berjalan cepat menuju ke arah lift.

Sesampai di lobby, aku melihat security yang tengah berjaga. Aku mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan jalan keluar kantor. Gimanapun juga aku manusia biasa yang punya rasa takut kalau ketemu setan.

"Baru pulang, Mbak Kiki?"

"Iya, Pak, kerjaan banyak."

"Hati-hati pulangnya, Mbak Kiki."

"Iya, Pak."

Aku buru-buru memesan taksi online. Aku nggak berani naik metromini, atau kopaja malam-malam begini meski masih jam delapan. Masalahnya aku pernah kecopetan dulu saat naik metromini. Mulai dari situ aku sedikit trauma.

Tak membutuhkan waktu lama, aku sudah dapat taksi online. Kurang lebih sepuluh menitan taksi online yang aku pesan datang.

"Sesuai aplikasi, Pak."

"Baik, Mbak."

Aku menyederkan tubuh ke penyangga kursi, tulang-tulangku terasa akan patah. Punggungku bahkan terasa sakit. Tak terasa mataku pun terpejam sejenak selama perjalanan menuju ke arah rumah.

***

"Makan dulu, Ki, pulang kerja jangan natap laptop lagi."

"Lagi kejar target, Ma."

"Target apa, sih? Tapi perut diisi dulu lha."

"Besok Kiki ke Singapore sama Bos."

"Lho kata kamu minggu depan."

"Dimajuin gitu, makanya Kiki lagi ngebut biar besok selesai sebelum jam sepuluh."

Mendadak aku tak mendengar suara mama lagi yang membujuk untuk makan. Tadi setelah sampai rumah hal yang aku lakukan hanya mandi kemudian langsung nyalain laptop lagi. Rambut pun aku nggak sempat nyisir, lagipula yang lihat juga mama doang. Jangan tanya kemana Papa. Dia selalu sibuk depan tv buat nonton sinetron. Semenjak papa pensiun dari kerjaan, hal yang dia lakukan hanya nonton tv saja. Kadang juga bantu-bantu mama ngepel, nyapu.

Di saat aku lagi fokus, tiba-tiba mama datang membawa segelas susu yang ditaruh di samping laptop.

"Beberapa minggu lalu Mama lihat laki-laki cakep banget."

Aku tetap fokus mengerjakan pekerjaan, tapi tetap aja aku mendengarkan apa yang dikatakan sama mama.

"Dia bule gitu, Ki. Dia nyolong mangga milik Bu Susan."

Jemariku langsung berhenti menari di atas keyboard setelah mendengar ada bule nyolong mangga. Aku langsung menoleh menatap ke arah mama meminta penjelasan lebih.

"Eh si bulenya ternyata mantu Jeng Rania."

"Hah, maksudnya, Ma!?"

"Iya, bule itu ternyata suaminya Kaila. Kamu kenal, kan?"

Aku mengangguk pelan. Iya, aku kenal sama tuh bocah pecicilan. Tapi, seriusan suaminya bule? Emang sih tetangga bilang dia dijodohin gitu. Tapi, aku, kan, lagi balik ke Palembang saat itu.

"Mama suka iri lihat Jeng Rania. Kedua anaknya udah pada nikah semua, sebentar lagi nambah cucu dari Kaila. Terus kamu kapan dong?"

"Ma ...."

"Iya, Mama tahu kok. Belum siap? Belum ada, atau belum apa, sih, Ki?"

Bisa aku lihat terdapat gurat kesedihan di wajah mama. Bukan aku nggak mau nikah. Setiap perempuan pasti ingin menikah di usia ideal. Tapi, kalau memang Allah belum meridhoi kita berjodoh dengan seseorang kita bisa apa?

Dengan cepat aku langsung memeluk mama, mengusap punggungnya agar tak usah sedih memikirkan soal pendamping hidupku.

"Nggak usah sedih, semua jodoh, rezeki, maut, semuanya sudah diatur sama Allah. Kita hanya bisa pasrah aja dengan semuanya. Kiki nggak tahu mana yang akan datang terlebih dulu. Entah jodoh atau maut."

"Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ki. Mama tuh pengin lihat kamu nikah, punya anak, Mama pengin nimang cucu sebelum nanti Mama meninggal."

"Ssssssttt ... jangan ngomong gitu, Ma. Kiki selalu berdoa agar Mama sama Papa diberi umur panjang."

"Kamu nikah aja sama Priyo," ceplos mama yang bikin aku langsung tersedak ludah sendiri.

"Ih, yang benar aja, Ma. Priyo bukan kriteria Kiki."

"Tuhkan, pantas jodoh kamu susah. Kamu tuh terlalu banyak pilah-pilih cowok."

Aku mengambil napas sejenak sebelum jelasin hubunganku sama Priyo.

"Bukan pilah-pilih, Ma. Tapi, Kiki sama Priyo hanya teman kerja aja. Nggak lebih. Lagian Priyo udah milik Sofi."

"Tuhkan ... kamu kalah sama Sofi. Kamu nggak malu usia di bawah kamu udah pada nikah."

Saat ini aku benar-benar harus extra sabar ngadepin mama yang ngebet banget pengin punya mantu. Aku juga bingung harus jelasin kayak gimana sama mama. Memang belum ketemu jodoh mau diapain juga susah.

"Usaha dong, Ki. Yah?"

Aku melepaskan pelukan mama, mencoba tersenyum di depan mama agar tak usah sedih lagi.

"Iya, Ma. Kiki nanti usaha nyari suami."

"Jangan iya-iya aja, Mama sama Papa ini udah tua, Ki. Kamu harus mikir ke situ. Jeng Rania aja cucu hampir dua. Dari Nasya satu, ini si Kaila lagi hamil juga. Mama suka malu ditanyain sama tetangga kapan kamu nikah."

"Nggak usah pedulikan omongan tetangga, Ma."

"Tapikan Mama pengin pamer cucu kayak ibu-ibu lain."

"Iya Ma, iya."

"Janji?"

Aku diam sejenak, terpaksa aku berjanji sama mama akan mencari jodoh.

"Iya, Janji."

Bisa dilihat kalau mama langsung tersenyum begitu bahagia. Bahkan mama langsung cium keningku, dan pergi keluar kamar dengan senyum yang begitu lebar. Aku sendiri hanya bisa memijit pelipis yang terasa berdenyut. Tugas aku jadi nambah satu lagi. Cari jodoh.

Kira-kira nyari jodoh di ol shop ada nggak, sih? Kalau ada udah aku beli satu biar mama nggak uring-uringan terus.

Daripada pikiran bertambah ngelantur, kini aku memilih minum susu yang udah dibuatkan mama. Rasanya selalu enak. Manisnya pas.

Kembali lagi aku manghadap ke arah laptop. Melanjutkan pekerjaan. Malam ini benar-benar aku kerja lembur bagai quda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status