Mataku terpejam mendengarkan sederet permintaan dari bos baru yang bikin pusing. Baru sehari kerja sama dia udah banyak banget tugasnya. Jemariku memijit pelipis yang terasa senut-senut.
"Baik, Pak." Aku mengembuskan napas lega kala panggilan telepon dengan bos selesai. Kalau dipikir-pikir masih mending bekerja sama Pak Haidar. Setidaknya beliau masih punya hati sama bawahan. Sedangkan dia? baru sehari masuk jadi bos udah izin nggak masuk dengan alasan istrinya tengah hamil. Memang apa hubungannya kerja sama istri hamil? Sinting. Sampai di kantor, aku berjalan menuju ke arah meja kerja. Hal utama yang aku lakukan menelepon klien dari Singapore untuk membahas proyek resort di sana. Selesai menelepon klien untuk mengatur jadwal ulang, Aku mendapat telepon dari Pak Haidar, memintaku untuk mengurus konsep pesta baby shower calon cucunya. Pantes saja aku disuruh balik sendirian, ternyata istrinya lagi hamil beneran di rumah. Aku kira cuma alibi dia doang ngaku istrinya hamil. "Ki, yuk kantin." "Nanti dulu Mbak, kepalaku pusing banget." "Kenapa!?" "Bos baru gila banget, masuk sehari tapi aku disuruh ngurus resort sendiri di Singapore. Dia mau cuti panjang katanya." "Hah, seriusan, Ki?" "Seriusan, Mbak. Ini Pak Haidar barusan telepon katanya suruh ngurus acara konsep baby shower gitu buat calon cucunya." "Oh I see, berarti istri bos baru lagi melendung." "Yah, maybe. Sumpah stres banget nih. Ngurusin buat resort, ditambah tugas yang bukan job desk-ku. Apaan coba urusan keluarga masa aku juga yang urus." "Sabar-sabar, Ki. Yang penting bonus ngalir deras nanti." "Hahaha, amin. Pengin banget liburan ke Swiss." "Halah, kamu ke Swiss karena ngebet pengin ketemu Kevin Lutolf." "Hahaha, tahu aja deh Mbak Sila. Dia calon bapak anak-anakku tau." "Hidih, calon bapak anakmu tuh si Priyo." "Iyuh, ogah." "Jangan gitu, Ki. Priyo ada rasa sama kamu tuh." "Mbak, aku nggak mau berantem sama Sofi gara-gara cowok modelan Priyo." "Emang si Sofi beneran suka sama Priyo?" "Lha, dilihat dari gerak-gerik aja udah kelihatan." "Hmmm, I see. Yuk ah kantin. Cacingku udah pada demo nih. Kerja entar-entar aja Ki, perut diisi dulu yang penting." Akhirnya aku menuruti keinginan Mbak Sila buat ke kantin. Seperti biasa, aku selalu memesan soto ayam. Menu favorite-ku ketika makan di kantin kantor. Aku melihat Sofi yang tengah berdebat dengan Bang Rinto masalah drakor yang tengah booming. Bang Rinto ini udah nikah, sama kayak Mbak Sila. Mereka sama-sama udah punya anak satu. Kalau aku jomlo, eh single aja lebih enak diucapin. Sofi juga sama dia masih single, usia dia lebih muda setahun dari aku. Kalau Priyo itu seumuran sama aku. Makanya aku sama Priyo gampang banget nyambung kalau ngobrol. Sedangkan Joko itu masih bocah banget. Dia paling muda di antara kami semua. Makanya sering jadi bahan bully. Tapi, asyiknya Joko itu anak yang tidak mudah baper, atau gampang tersinggung. Seperti biasa kita selalu membicarakan hal yang tengah trending di kantor. Apalagi Mbak Sila tengah menggebu-gebu membicarakan anak buahnya sendiri yang boobsnya lebih gede dari Mbak Sila. Jujur aku juga belum lihat anak baru itu. Mbak Sila ini paling kesel sama orang yang boobsnya lebih gede dari dia. Aku juga heran sendiri sama Mbak Sila. Tapi, biarin aja itu urusan Mbak Sila. "Hape siapa tuh yang getar," seru Mbak Sila yang tengah menyuapkan makanan ke mulutnya. Aku melirik ke arah ponselku sendiri, ternyata Pak Haidar yang telepon. "Pak Haidar telepon," kataku sedikit gugup. "Cepetan angkat, bos besar tuh." Dengan perasaan takut, aku mengambil hape, dan berjalan menuju ke arah yang lebih sepi. Tanganku menggeser tombol hijau ke samping. Sebelum itu, aku berdehem supaya suaraku nggak terdengar serak. "Siang, Pak, halo." "Ki, jadwal Singapore bisa dimajukan?" "Emm ... bisa, Pak." "Tolong majukan besok saja, Ki. Soalnya saya juga harus pergi ke Papua buat urus di sana. Melvin anakku nggak mau terbang ke Singapore katanya. Jadi saya akan gantikan meeting dia sama kamu ke Singapore." "HAH, besok Pak!?" "Iya, besok jam 10 kita terbang ke Singapore. Kamu siapkan semua dokumennya, ya. Makasih, Ki." "Iya, Pak." Sumpah demi apapun aku mendadak lemas mendengar kalau proyek Singapore itu dimajukan. Sedangkan dokumen belum beres sama sekali. Jadwal meeting dengan klien terpaksa harus reschedule kembali. Dengan cepat aku menghampiri meja yang terdapat Mbak Sila, dan lainnya. Aku buru-buru mengeluarkan uang untuk membayar soto ayam pesenanku. "Nitip bayarin, aku harus kembali kerja sekarang." "Kenapa sih, Ki? Gugup banget begitu kayak habis ketemu setan aja." "Lebih serem dari setan, Bang." "Whoa, Pak Haidar ngapain emangnya!?" "Duh, pokoknya aku hectic banget nih, besok mana terbang ke Singapore." "Bukannya masih minggu depan?" "Dimajuin jadi besok, Bang. Kalau gitu aku permisi dulu." Dengan langkah cepat aku berjalan menuju ruangan kerja. Hal pertama yang aku lakukan menelepon beberapa klien untuk reschedule acara meeting. Untung saja para klien bisa mengerti dengan kesibukan Pak Haidar. Di sini aku benar-benar bersyukur banget. Kini aku menatap layar laptop, mulai mengerjakan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk meeting besok di Singapore. *** Aku merasakan badan terasa pegel-pegel. Aku menatap arloji yang melingkar di pergelengan tanganku. Ternyata sudah jam delapan, dan aku masih di kantor. Dengan cepat aku membereskan semua berkas-berkas kantor yang akan dibawa besok. Tak lupa juga aku membawa laptop kantor ke rumah. Biar nanti sisa kerjaan dilanjut di rumah saja. Mataku melihat ke arah depan yang ternyata sudah sangat sepi. Aku baru sadar kalau di lantai ini hanya ada aku saja. Mendadak rasa parno dalam diriku muncul. Dengan gerakan serampangan aku langsung menyambar tas, dan berjalan cepat menuju ke arah lift. Sesampai di lobby, aku melihat security yang tengah berjaga. Aku mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan jalan keluar kantor. Gimanapun juga aku manusia biasa yang punya rasa takut kalau ketemu setan. "Baru pulang, Mbak Kiki?" "Iya, Pak, kerjaan banyak." "Hati-hati pulangnya, Mbak Kiki." "Iya, Pak." Aku buru-buru memesan taksi online. Aku nggak berani naik metromini, atau kopaja malam-malam begini meski masih jam delapan. Masalahnya aku pernah kecopetan dulu saat naik metromini. Mulai dari situ aku sedikit trauma. Tak membutuhkan waktu lama, aku sudah dapat taksi online. Kurang lebih sepuluh menitan taksi online yang aku pesan datang. "Sesuai aplikasi, Pak." "Baik, Mbak." Aku menyederkan tubuh ke penyangga kursi, tulang-tulangku terasa akan patah. Punggungku bahkan terasa sakit. Tak terasa mataku pun terpejam sejenak selama perjalanan menuju ke arah rumah. *** "Makan dulu, Ki, pulang kerja jangan natap laptop lagi." "Lagi kejar target, Ma." "Target apa, sih? Tapi perut diisi dulu lha." "Besok Kiki ke Singapore sama Bos." "Lho kata kamu minggu depan." "Dimajuin gitu, makanya Kiki lagi ngebut biar besok selesai sebelum jam sepuluh." Mendadak aku tak mendengar suara mama lagi yang membujuk untuk makan. Tadi setelah sampai rumah hal yang aku lakukan hanya mandi kemudian langsung nyalain laptop lagi. Rambut pun aku nggak sempat nyisir, lagipula yang lihat juga mama doang. Jangan tanya kemana Papa. Dia selalu sibuk depan tv buat nonton sinetron. Semenjak papa pensiun dari kerjaan, hal yang dia lakukan hanya nonton tv saja. Kadang juga bantu-bantu mama ngepel, nyapu. Di saat aku lagi fokus, tiba-tiba mama datang membawa segelas susu yang ditaruh di samping laptop. "Beberapa minggu lalu Mama lihat laki-laki cakep banget." Aku tetap fokus mengerjakan pekerjaan, tapi tetap aja aku mendengarkan apa yang dikatakan sama mama. "Dia bule gitu, Ki. Dia nyolong mangga milik Bu Susan." Jemariku langsung berhenti menari di atas keyboard setelah mendengar ada bule nyolong mangga. Aku langsung menoleh menatap ke arah mama meminta penjelasan lebih. "Eh si bulenya ternyata mantu Jeng Rania." "Hah, maksudnya, Ma!?" "Iya, bule itu ternyata suaminya Kaila. Kamu kenal, kan?" Aku mengangguk pelan. Iya, aku kenal sama tuh bocah pecicilan. Tapi, seriusan suaminya bule? Emang sih tetangga bilang dia dijodohin gitu. Tapi, aku, kan, lagi balik ke Palembang saat itu. "Mama suka iri lihat Jeng Rania. Kedua anaknya udah pada nikah semua, sebentar lagi nambah cucu dari Kaila. Terus kamu kapan dong?" "Ma ...." "Iya, Mama tahu kok. Belum siap? Belum ada, atau belum apa, sih, Ki?" Bisa aku lihat terdapat gurat kesedihan di wajah mama. Bukan aku nggak mau nikah. Setiap perempuan pasti ingin menikah di usia ideal. Tapi, kalau memang Allah belum meridhoi kita berjodoh dengan seseorang kita bisa apa? Dengan cepat aku langsung memeluk mama, mengusap punggungnya agar tak usah sedih memikirkan soal pendamping hidupku. "Nggak usah sedih, semua jodoh, rezeki, maut, semuanya sudah diatur sama Allah. Kita hanya bisa pasrah aja dengan semuanya. Kiki nggak tahu mana yang akan datang terlebih dulu. Entah jodoh atau maut." "Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ki. Mama tuh pengin lihat kamu nikah, punya anak, Mama pengin nimang cucu sebelum nanti Mama meninggal." "Ssssssttt ... jangan ngomong gitu, Ma. Kiki selalu berdoa agar Mama sama Papa diberi umur panjang." "Kamu nikah aja sama Priyo," ceplos mama yang bikin aku langsung tersedak ludah sendiri. "Ih, yang benar aja, Ma. Priyo bukan kriteria Kiki." "Tuhkan, pantas jodoh kamu susah. Kamu tuh terlalu banyak pilah-pilih cowok." Aku mengambil napas sejenak sebelum jelasin hubunganku sama Priyo. "Bukan pilah-pilih, Ma. Tapi, Kiki sama Priyo hanya teman kerja aja. Nggak lebih. Lagian Priyo udah milik Sofi." "Tuhkan ... kamu kalah sama Sofi. Kamu nggak malu usia di bawah kamu udah pada nikah." Saat ini aku benar-benar harus extra sabar ngadepin mama yang ngebet banget pengin punya mantu. Aku juga bingung harus jelasin kayak gimana sama mama. Memang belum ketemu jodoh mau diapain juga susah. "Usaha dong, Ki. Yah?" Aku melepaskan pelukan mama, mencoba tersenyum di depan mama agar tak usah sedih lagi. "Iya, Ma. Kiki nanti usaha nyari suami." "Jangan iya-iya aja, Mama sama Papa ini udah tua, Ki. Kamu harus mikir ke situ. Jeng Rania aja cucu hampir dua. Dari Nasya satu, ini si Kaila lagi hamil juga. Mama suka malu ditanyain sama tetangga kapan kamu nikah." "Nggak usah pedulikan omongan tetangga, Ma." "Tapikan Mama pengin pamer cucu kayak ibu-ibu lain." "Iya Ma, iya." "Janji?" Aku diam sejenak, terpaksa aku berjanji sama mama akan mencari jodoh. "Iya, Janji." Bisa dilihat kalau mama langsung tersenyum begitu bahagia. Bahkan mama langsung cium keningku, dan pergi keluar kamar dengan senyum yang begitu lebar. Aku sendiri hanya bisa memijit pelipis yang terasa berdenyut. Tugas aku jadi nambah satu lagi. Cari jodoh. Kira-kira nyari jodoh di ol shop ada nggak, sih? Kalau ada udah aku beli satu biar mama nggak uring-uringan terus. Daripada pikiran bertambah ngelantur, kini aku memilih minum susu yang udah dibuatkan mama. Rasanya selalu enak. Manisnya pas. Kembali lagi aku manghadap ke arah laptop. Melanjutkan pekerjaan. Malam ini benar-benar aku kerja lembur bagai quda.Menikah itu bukan perkara siapa cepat dia dapat. Menikah itu soal ketepatan waktu. Menikah itu ibadah, jadi dia akan menghampirimu di waktu yang tepat. *** Bandara Internasional Changi, Singapura. Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta—Singapore. Aku bersama Pak Haidar mampir di salah satu coffe shop di bandara. Pak Haidar sepertinya paham kalau aku sangat ngantuk. Bahkan bisa aku lihat di kaca kalau kantung mataku benar-benar hitam seperti panda. "Tidur jam berapa, Ki?" "Jam enam, Pak." "Serius?" "Serius, Pak." "Maaf, Ki." "Gapapa, Pak. Lagian ini tugas saya." Bisa aku lihat kalau Pak Haidar sedikit merasa tidak enak mendengar kalau aku baru tidur jam enam pagi tadi, dan hebatnya jam delapan aku harus bangun. Dua jam aku memejamkan mata di dalam pesawat. Bisa kalian bayangkan betapa terasa melayang tubuhku saat ini. Tak lama, pelayan datang membawa dua cangkir kopi pesananku dan Pak Haidar. Kali ini aku memesan kopi americano. Sesekali minum kopi pahit biar kita nggak
Pertemuan dengan Ryan kemarin benar-benar membawa efek tersendiri dalam jantungku. Pagi ini yang aku lakukan cuma memegang dada, memastikan kalau diriku nggak jantungan. "Kenapa, Ki?" "Ah, enggak, Pak." Malu. Ya, aku malu banget sumpah lagi ngelamun tapi ketahuan sama boss besar. Terlebih pipi kayaknya panas banget pula. Buat goreng telur kayaknya mateng nih. Akhirnya aku berdeham pelan sebelum memutuskan untuk mengajak Pak Haidar buat ngobrol masalah proyek semalam yang dibahas. Terlebih proyek itu tidak bisa selesai di Singapura. Alhasil aku dan Pak Haidar kembali ke Jakarta pagi ini. "Pokoknya, saya serahkan ke kamu, Ki," kata beliau saat membahas proyek Singapore ini. "Iya, Pak." "Nanti saya di Papua itu kurang lebih sebulanan, jadi nanti tolong kamu ajari anak saya masalah kantor di sini. Dia belum terlalu mengusai perusahaan," ujar beliau menceritakan anaknya yang super duper tampan. "Baik, Pak." "Tidak salah kalau HR memilih kamu sebagai sekertaris saya. Sudah cantik.
“Assalamualaikum,” salamku dengan suara yang sedikit lirih. Sumpah ini capek banget. Badanku kayak mau rontok macam ketombe yang digaruk-garuk. “Lho, anak Mama kenapa lemes gitu?” “Capek.” “Makanya cari suami biar ada yang kasih duit.” Nah. Mulaikan pembahasan soal jodoh. Males banget asli. “Mana oleh-oleh?” tanya mama sambil menyodorkan telapak tangan ke depan wajahku. Melihat kelakuan mama hanya bisa embusin napas kasar. “Kiki kerja bukan liburan, Ma.” “Iya tapikan sekalian dong, Ki. Tempelan kulkas gitu.” “Duh, Ma, tempelan kulkas beli aja di tanah abang banyak.” “Aiss ... Mama pengin yang dari luar negeri biar bisa pamer sama tetangga.” Ck! Kumatkan jiwa pamer mama. Pengin marah tapi nanti jadi anak durhaka. Duh, serba salah jadi anak. “Yaudah kapan-kapan.” Senyum mama langsung mengembang lebar saat aku bilang kapan-kapan. Padahal jujur aja nggak tahu juga kapan-kapannya tahun berapa nanti. Merasa benar-benar letih, aku memilih masuk ke kamar dan langsung berbaring. Bo
Saat lagi fokus di depan laptop. Seperti biasa, aku melihat Joko tengah berjalan ke arahku membawa peralatan kebersihan lengkap yang menempel di badannya. Meski begitu aku tetap aja penasaran ada info atau gosip apa yang akan Joko sampaikan. Terlebih Joko mengepel sambil bersiul riang gembira. Joko berdeham yang membuatku menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyaku yang nggak bisa menahan rasa penasaran dalam diriku sendiri. “Gapapa.” “Kok cengar-cengir gitu sih.” “Lagi seneng aja.” “Kenapa emangnya? Dapat tip dari Mbak Sila?” Joko menggeleng dengan bibir tersenyum. Sumpah Joko bikin aku penasaran sampai ubun-ubun. Terpaksa aku mengeluarkan duit dua puluh ribu kembalian naik taksi online tadi. Aku sodorkan ke arah Joko dan langsung diterima dengan cepat. Kampret emang anak satu ini. “Mbak Sila tadi ngomel-ngomel sama anak baru, katanya mau ke kantor apa mangkal gitu.” Aku langsung menatap ke arah Joko dengan tatapan kesal yang ditahan. Kalau begini doang tadi Mbak Sila udah kasih ka
Pas sampai depan rumah, aku langsung membayar taksi, dan berjalan secepat mungkin karena penasaran dengan tamu yang datang ke rumah. “Assalamualaikum,” salamku saat akan masuk rumah dan mataku langsung terbelalak nggak percaya siapa yang datang. “Hai adik manis,” katanya seperti biasa. Dengan cepat pula aku langsung menghampiri kakak ketemu gedeku, dan memeluknya erat. Sumpah, aku kangen banget sama dia. Mana sekarang dia sibuk banget ngurusin kafe yang cabangnya di mana-mana pula. “Kok bisa ada di sini sih? Sengaja ke sini apa gimana?” “Tadi nganterin cewekku main ke rumah temannya, di situ sih deketan.” “Oh ... sumpah aku kangen banget sama kamu, Kak.” Seperti biasa, dia selalu mengusap-ngusap kepalaku selayaknya adik kecilnya. Bahkan aku nggak peduli ada mama yang memperhatikan gerak-gerikku, yang mungkin baginya sangat terlihat murahan. Tapi, biarin ajalah. Toh, dia itu sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. “Ma, kenalin ini Kak Doni. Temen Kiki. Pas Kiki baru masuk ku
Sumpah aku benar-benar syok saat melihat siapa wanita bernama Zemira itu. Dia itu anaknya Tante Rania yang selalu jadi bahan perbandingan mama sama aku. “Kenal, Ki?” tanya Kak Doni yang melihatku diam dengan ekspresi begitu terkejut. Bahkan aku mengangguk pelan sebagai jawaban. “Kenal Kak, inikan Nasya.” “Ah, iya lupa. Orang-orang panggil dia Nasya.” “Dia nikah sama sahabatnya Kak Doni?” tanyaku dengan rasa penasaran. Kenapa hidup aku jadi berputar-putar dengan orang yang itu-itu saja. Circle kehidupanku rasanya ada yang nggak beres nih. “Iya, nikah sama Naren sahabat kecilku. Aku salut sama perjuangan cinta mereka, Ki. Kuat dan kokoh banget.” “Kenapa? Denger-denger dari tetangga yang hamilin Nasya masih saudara suaminya. Emang benar, Kak?” “Iya benar, masih saudara sepupu.” “Ih, gila ya,” komentarku mengenai kehidupan yang dialami oleh Nasya. Setahu aku juga Nasya ini dulu kuliah dan putus di tengah jalan karena hamil duluan. Dan nasib dia sekarang malahan jauh lebih baik diba
Entah kenapa aku mendadak deg-degan melihat ada Ryan yang duduk di kursi tunggu. Kira-kira dia mau ketemu sama siapa? Semua boss besar nggak ada di kantor saat ini. Bahkan aku mengabaikan Mbak Sila yang tengah menatapku dengan penuh tanda tanya. “Ada apa?” tanya Mbak Sila kembali. “Itu ada arsitek yang aku ceritain Mbak, dia yang duduk di sana sendirian.” Mbak Sila langsung menoleh dan memperhatikan Ryan kembali. Bahkan bisa aku lihat kalau mata ganjen Mbak Sila udah mulai beraksi. “Itu cakep banget, Ki. Udah pepet aja sih.” “Apaan sih, Mbak.” Aku merasa kalau Sofi, Priyo, bahkan Bang Rinto yang berjalan di depan pun ikutan berhenti dan menoleh ke arahku dan Mbak Sila. “Kalian bisik-bisik apaan sih?” tanya Priyo yang merasa curiga terhadapku dan Mbak Sila. “Ada cowok ganteng,” ceplos Mbak Sila yang bikin aku memejamkan mata. Sumpah ini mulut Mbak Sila mirip banget sama keran bocor. “Mana?” tanya Priyo kembali. “Itu yang lagi duduk di kursi tunggu,” kata Mbak Sila. Kini semu
Saat ini kakiku tengah ragu melangkah ke dalam gedung resepsi pernikahan teman SMA—Cantika—Dia ternyata nikah sama Abangnya Ryan. Setelah hasil googling kemarin dan tahu silsilah mengenai keluarga Anggara ternyata memang benar yang menikah itu kakak kandungnya Ryan.“Hai, Ki,” sapa salah satu teman SMA-ku yang datang sama suaminya. Bahkan suaminya tengah menggendong balita usia setahunan gitu.“Hai,” balasku sambil meringis. Perasaanku mendadak nggak enak setelah saling sapa-sapaan. Apalagi temanku seperti mencari-cari seseorang di samping tubuhku.“Sendirian aja? Mana calonnya nih!?”Nah kan. Benar dugaanku. Males banget kalau datang ke kondangan itu ditanya masalah pasangan. Bisa nggak, sih, ngertiin perasaan jomlo sedikit saja. Meski kadang senyum, tapi jujur hatinya perih tahu.“Belum ada, Rat,” jawabku apa adanya.“Aduh kasihan banget, sih. Panji aja udah punya anak lho s