Daisy sesekali menoleh pada pintu utama rumah sakit yang terbuat dari kaca transparan, menunggu pintu itu terbuka dan sosok lelaki yang ia tunggu datang. Lama sekali, ia jadi merasa sangat gugup dan berdebar. Ia mengalihkan perasaan aneh itu dengan mengetukkan ujung sepatunya ke lantai sembari meremas ujung dress yang ia kenakan.
Lama menunduk, Daisy merasakan tempat duduk di sebelahnya bergerak. Senyum manis Daisy muncul bersama lesung pipinya, ia mendongak. “Sudah selesai Ar—“
“Arthur?”
“Kenapa Daisy? Takut bertemu aku lagi?”
Daisy membulatkan mata, terkejut. Ia ingin sekali berlari dan berteriak meminta bantuan orang-orang, tapi tubuhnya seperti sedang terikat oleh tali yang tak terlihat. Tubuhnya sulit digerakkan dan dia hanya bisa terdiam di tempat.
“Lepaskan, lepaskan aku!” pekik Daisy, ketika seseorang di depannya menyeret dirinya keluar rumah sakit.
“Layton!”
Lelaki bernama Layton itu menghempaskan tangan Daisy kuat-kuat, ketika mereka sampai di area parkir yang cukup sepi. Ia berbalik, menatap Daisy yang terlihat sedang mengatur napas.
“Kau mau apa lagi? Aku sudah tidak punya apa-apa,” teriak Daisy. Ia muak bertemu Layton. “Berhenti mengusik hidupku, Layton!”
“Aku hanya ingin mengambil bayiku. Di mana dia?” tanya Layton, ada kilat kemarahan di mata coklat lelaki itu.
Daisy menggeleng pelan, ia berusaha tenang meski sebenarnya ingin meledak. “Bayimu? Bahkan kau tidak pernah menemuinya saat aku tengah mengandung, masih berani kau mengatakan jika dia bayimu?”
“Aku yang membuatnya susah payah!”
“Kau pikir, rahimku hanya sebagai tempat menabur benihmu?” teriak Daisy.
“Memang, kau adalah jalang tempat anak-anakku tumbuh.”
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Layton.
“Aku juga tidak akan sudi mengandung anak-anakmu!”
Layton tertawa sumbang, mengusap pipinya yang memerah karena tamparan Daisy. Lelaki itu meludah ke samping, sebelum mencengkeram dagu Daisy kuat hingga membuat wanita itu meringis menahan sakit.
“Lepaskan aku, Layton!” Daisy berusaha melepaskan cengkeraman Layton di dagunya. Air mata wanita itu sudah meluruh sejak tadi.
“Dasar wanita lemah, begini saja kau sudah menangis. Pantas saja, harta kedua orang tuamu dikuasai oleh Bibi Calyn, kau saja tidak punya kekuatan untuk melawan mereka selain menangis dan menangis!” Layton menyeringai.
Daisy semakin terisak.
“Aku hanya ingin bayiku, di mana dia sekarang?”
“Dia sudah meninggal!” teriak Daisy sangat kencang, hingga cengkeraman di dagunya perlahan mengendur.
Layton terlihat terkejut dan marah, ia mengepalkan tangannya kuat, dan tanpa perasaan menampar Daisy sampai wanita itu tersungkur ke tanah. “Dasar wanita tidak berguna!” tukas Layton. “Kenapa kau membunuh anakku, bodoh!”
Daisy menangis sejadi-jadinya.
“Kau memang tidak akan pernah pantas menjadi seorang ibu! Aku akan membunuhmu juga karena telah membunuh anakku!” murka Layton.
Tak tanggung-tanggung, Layton menendang perut bekas luka cesar Daisy berkali-kali. Sementara Daisy hanya bisa menjerit kuat karena merasakan rasa sakit yang teramat hingga tubuhnya bergetar.
“Jangan, jangan tendang perutku Layton. Sakit, ku mohon!” Daisy berusaha melindungi perutnya.
“Kau harus mati!”
Beberapa saat, Layton begitu terkejut melihat darah yang begitu banyak keluar dari paha dalam Daisy. Lalu sebagian lagi merembes di perut wanita itu, yang menyebabkan dress putih yang ia kenakan berwarna kemerahan. Daisy tersengal, tubuhnya bergetar hebat karena rasa sakit yang tidak berhenti menghunjam tubuhnya.
“Tolong!” ucap Daisy lirih, ia menatap Layton yang berlari tunggang langgang meninggalkannya dengan mata mengabur.
Ini sudah di ujung ajal.
Semakin Daisy mencoba menarik napas, rasa sakitnya semakin menjadi.
Daisy tahu, ia tidak akan ditemukan dengan mudah oleh seseorang, karena Layton membawanya ke tempat parkir yang begitu sepi. Tidak ada orang di sini, tidak ada yang tahu ia kesakitan, tidak akan ada yang menolongnya.
Pada akhirnya, Daisy akan mati di tempat ini, sendirian. Mungkin, jika nanti seseorang menemukannya, itu karena bau menyengat dari tubuhnya yang membusuk.
Astaga, dia akan mati mengenaskan.
Pemikiran buruk itu terus memenuhi isi kepala Daisy, ia benar-benar sudah putus asa dan berharap mati di tempat ini.
Lebih baik seperti itu, dia akan bertemu Mama dan Papa di sana. Ia akan bertemu Alden—putranya, dan bermain bersama di atas sana. Dia tidak perlu menahan sakit di payudaranya yang penuh karena asinya yang keluar percuma. Dia tidak akan merasa sakit untuk pemulihan pasca operasi cesar. Dia tidak akan merepotkan Eve lagi, dia akan terlepas dari rasa sakit yang setiap hari menghantuinya.
Sampai tiba-tiba, seseorang menariknya dalam dekapan. “Daisy!”
Mata hijau itu lagi—Arthur. Daisy dapat melihat dengan jelas kekhawatiran di mata hijau meneduhkan milik Arthur.
Sekali gerak, Arthur menggendong tubuh lemas Daisy. Lelaki itu berjalan setengah berlari menuju rumah sakit, sesekali kepalanya ia tolehkan ke bawah untuk melihat kondisi Daisy.
“Biarkan aku mati, biarkan aku mati!” racau Daisy.
Sebelum Daisy benar-benar kehilangan batas kesadarannya, sayup-sayup ia mendengar suara Arthur yang terdengar bagai gema di kepalanya.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati! Aku mencintaimu, Daisy.”
Tanpa disadari, terkadang waktu berlalu dengan cepat. Seperti baru saja kemarin Daisy diantar Mama untuk mendaftar pertama kali di salah satu universitas pilihannya. Dan hari ini, ia justru sudah menunggu pengumuman nilai dan kelulusan.Dengan hati berdebar, kaki Daisy melangkah mendekati papan pengumuman yang dipadati oleh mahasiswa dan mahasiswi kampusnya, mereka semua berkerumun untuk melihat hasil nilai kelulusan.Dari beberapa raut wajah yang Daisy temui, ada beberapa mahasiswa yang memasang wajah penuh bahagia—seperti baru saja memenangkan sebuah lotre. Beberapa lagi ada yang menekuk wajahnya, dan bahkan menangis.Jelas saja, Daisy berdebar bercampur takut. Was-was sekali dengan nilainya sendiri, karena jujur, semester terakhir ini ia tidak terlalu banyak belajar, ia sibuk mempelajari bisnis yang dikelola Papa.Papa bilang, ia harus bisa sedikit bisnis, karena sebentar lagi Daisy akan menggantikan Papa memimpin perusahaan.
Dipeluknya gundukan tanah itu dengan air mata yang tetap mengalir deras. Tidak peduli awan hitam yang menggantung di langit, Daisy terus menangis meronta di samping makam kedua orang tuanya, meminta mereka untuk kembali meski mustahil akan terjadi. Angin yang berembus menerbangkan tiap helai rambut panjang Daisy, seperti pertanda bahwa ia memang harus mengikhlaskan kepergian mereka menuju alam kekal.Seharusnya, Daisy tidak memaksa mereka untuk pulang dan menghadiri wisudanya, jika ia tahu pada akhirnya akan seperti ini. Lebih baik ia berjauhan dengan kedua orang tuanya, tapi mereka tetap ada. Daripada dekat, namun mereka tak bernyawa. Daisy benar-benar menyesali keputusannya meminta mereka pulang.“Daisy sudah memakai gaun yang kalian inginkan, gaun warna hitam. Apakah ini kejutan yang kalian berikan padaku? Kalian pulang dengan keadaan seperti ini, Ma, Pa.” Gadis itu meremas gumpalan tanah di bawah lututnya."Kenapa ketika aku ingin kal
Koper kecil berisi segepok uang dengan jumlah yang tidak sedikit, mampu membuat Layton terdiam begitu lama di tempatnya duduk. Ia seperti terjatuh dalam imajinasi di kepalanya, tentang apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.“Bagaimana, kau menerima tawaranku atau tidak?” tanya seorang wanita dengan kacamata mahal yang bertengger angkuh di hidung mancungnya.Layton mengusap dagunya yang dipenuhi bulu-bulu halus. “Tawaran yang cukup menarik.”“Uang ini sangat cukup untuk membayar utang perusahaanmu yang menggunung, aku jamin kau tidak akan jadi bangkrut.”Sekilas, Layton terperangah. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang perusahaannya yang hampir bangkrut karena utangnya di mana-mana. Padahal Layton tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, bahkan keluarganya saja tidak tahu.“Bagaimana? Kau hanya perlu menyakitinya, itu saja. Jangan terlalu lama berpikir, kau memb
Tidak ada pilihan lain, selain menceritakan masalah serius ini pada Layton. Setidaknya, Daisy memiliki harapan jika Layton mau mendampinginya untuk mengurus segala surat-surat. Ayah Layton bertugas sebagai hakim di salah satu departemen, ia bisa sesekali menanyakan langkah apa yang harus ia ambil untuk mempertahankan harta orang tuanya nanti, melalui perantara Layton. Layton membaca berkas yang diserahkan Daisy padanya. “Biar kusimpan di sini, dengan aman, Sayang,” ucapnya menenangkan. Daisy mengangguk sekilas. “Kau baik-baik saja?” tanya Layton, mengusap sisi wajah Daisy. “Aku jauh lebih baik dari sebelumnya, Lay.” Mereka berdua sedang berada di unit apartemen milik Layton. Daisy sengaja datang jauh-jauh ke apartemen itu untuk menyampaikan semua masalah yang sedang ia hadapi pada kekasihnya. Selama hampir satu tahun ia menjalin hubungan dengan lelaki bermata coklat itu, Daisy memiliki tempat keluh kesah, selain
“Dia tertidur di apartemenku.”Dini hari, Layton baru mengantarkan Daisy pulang dengan kondisi gadis itu yang tertidur. Eve membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Layton yang menggendong tubuh Daisy masuk. Ia membukakan pintu kamar mereka, dan menunggu Layton selesai membaringkan Daisy.“Pakaiannya sedikit basah karena kehujanan, kau ganti, ya.”“Bagaimana dengan rencana Daisy, kau menyetujuinya?” tanya Eve, menahan Layton di depan pintu.Layton mengangguk kecil. “Gampang, aku akan mengurusnya nanti. Kau tenang saja.”“Aku pulang dulu!” ucap Layton, terlihat tergesa.Mengedikkan bahu, Eve memilih masuk ke dalam rumah, memastikan setiap pintu di rumah besar itu sudah terkunci, lalu naik ke lantai atas.Eve masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian Daisy, dan ia mulai curiga ketika tak sengaja melihat bibir bawah Daisy yang sedikit robek
Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.“Kau dari mana saja, sayang?”Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rum
“Selamat menikmati.”Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pad
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i