Koper kecil berisi segepok uang dengan jumlah yang tidak sedikit, mampu membuat Layton terdiam begitu lama di tempatnya duduk. Ia seperti terjatuh dalam imajinasi di kepalanya, tentang apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.
“Bagaimana, kau menerima tawaranku atau tidak?” tanya seorang wanita dengan kacamata mahal yang bertengger angkuh di hidung mancungnya.Layton mengusap dagunya yang dipenuhi bulu-bulu halus. “Tawaran yang cukup menarik.”“Uang ini sangat cukup untuk membayar utang perusahaanmu yang menggunung, aku jamin kau tidak akan jadi bangkrut.”Sekilas, Layton terperangah. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang perusahaannya yang hampir bangkrut karena utangnya di mana-mana. Padahal Layton tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, bahkan keluarganya saja tidak tahu.“Bagaimana? Kau hanya perlu menyakitinya, itu saja. Jangan terlalu lama berpikir, kau membuang waktuku terlalu banyak!”Layton menimang keputusannya lagi, di satu sisi ia membutuhkan uang ini untuk perusahaannya, di satu sisi ia juga tidak mungkin tega menyakiti seseorang yang sudah menemaninya kurang lebih satu tahun ini.“Kau lihat, Layton. Aku jauh lebih menarik dari gadis sombong itu!” wanita di depan Layton bersuara, merasa dia harus menegaskan bahwa dia jauh lebih menarik dari penampilan dan paras. Tubuhnya juga jauh lebih berisi dan seksi.“Aku menerima tawaranmu.”“Bagus.” Wanita di depan Layton menyeringai, ia mendekatkan tubuhnya pada Layton dan berbisik penuh sensual. Hingga Layton juga tanpa ragu menunjukkan seringainya.“Aku menunggu kau menempati janjimu itu, manis.” Layton terkekeh pelan, mengambil koper berisi uang dan mengusap pipi wanita itu dengan lembut.***
Dua bulan setelah kepergian Mama dan Papa. Daisy berusaha melakukan aktivitasnya seperti biasa, ia hanya menganggap Mama dan Papa masih baik-baik saja dan sedang berada di luar kota untuk mengurus bisnisnya. Ia hanya berusaha mengalihkan pikiran agar tidak berlarut dalam kesedihan.“Ah, pegal sekali,” keluh Daisy. Ia sedang berkutat pada tumpukan berkas yang perlu dibubuhi tanda tangannya. Berkas dari perusahaan Papa yang tadi dikirim oleh sekretaris perusahaan, tentang pengalihan harta warisan, perusahaan, dan masih banyak lagi.Eve yang ada di sebelah Daisy menoleh, menutup laptopnya sebentar, sebelum akhirnya berfokus pada sahabatnya yang sedang menyandarkan punggungnya di sofa.“Apa kau tidak bosan di rumah terus?” tanya Eve.
Daisy menggeleng. “Aku malas keluar.”“Ayolah, sekali saja mencari kesenangan di luar. Aku lihat tadi ada diskon parfum kesukaanmu.”“Parfumku masih banyak, Eve,” jawab Daisy, ia sibuk menyusun berkas yang tadi sudah ditanda tangani.Eve menghela napas, percuma saja mengajak Daisy mencari kesenangan ketika gadis itu tidak menginginkannya. Akhirnya ia menyerah membujuk Daisy keluar. “Aku mau tidur siang kalau begitu,” putus Eve.“Eve,” panggil Daisy.Gadis berusia 22 tahun itu menoleh pada Daisy, “Apa?” tanyanya.“Aku ingin makan pizza. Nanti setelah kau bangun, bagaimana jika kita pergi ke restoran favorit kita?” tawar Daisy.Eve tersenyum. “Kenapa tidak sejak tadi kau mengatakan itu?”“Baru ingin.”“Sekarang saja, ya.”Daisy menutup berkas terakhir yang sudah ia bubuhi tanda tangan, lalu menoleh pada Eve yang menunggu jawabannya di undakan tangga pertama menuju lantai dua. “Aku ganti baju dulu.”“Siap bos!”***
Memandangi penampilannya sekali lagi di cermin, dan Eve siap pergi bersama Daisy. Dengan penuh semangat, ia membuka pintu kamar Daisy setelah berhasil memakai sepatunya. Tetapi, langkahnya terhenti ketika mendengar keributan kecil di lantai bawah. Setahu Eve, ia tadi meninggalkan Daisy di bawah seorang diri.Ketika melongok ke bawah, Eve melihat Daisy yang baru saja merobek sebuah kertas di depan Bibi Calyn—surat pengalihan kuasa. Entah sejak kapan Bibi Calyn ada di rumah ini. Ia tahu, ini sudah di luar batas, tidak seharusnya Eve mendengar masalah keluarga Daisy sampai sejauh ini.Tapi, gadis itu sudah sangat tahu bagaimana jahatnya Bibi Calyn. Bagaimana wanita paruh baya itu selalu berusaha untuk menjatuhkan keluarga Daisy dengan segala cara. Ia juga tahu, wanita itu akan mengandalkan segala cara untuk merebut harta dan kekuasaan dari ahli waris terakhir keluarga Xavier—Daisy.“Kau tidak bisa semudah itu mengambil harta orang tuaku, Bibi!” sentak Daisy.“Kau masih terlalu muda, Sayang. Kau tidak terlalu mengerti bisnis, aku tahu itu.” Bibi Calyn berusaha meyakinkan Daisy.“Kau itu licik! Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan harta milik orang tuaku padamu!” suara Daisy meninggi.Bibi Calyn tersenyum, meremehkan. “Aku hanya menawarkan bantuan, sombong sekali kau, Daisy.”Daisy mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, berusaha menahan diri untuk tidak menampar wanita di depannya. “Ya, aku memang sombong. Aku bisa menyelesaikan segala urusan sendiri, tanpa bantuanmu!”Setelah mengatakan itu, Daisy berlari menaiki tangga. Ia langsung menyeret Eve untuk masuk kembali ke dalam kamar, tidak peduli bagaimana Bibi Calyn berteriak memanggil namanya.“Dasar anak tidak tahu di untung!” kesal Calyn.Geram sekali, sulit mendapatkan hati Daisy yang keras seperti Papanya. Daisy sudah terdoktrin sejak dini mengenai rencananya untuk menghancurkan keluarga gadis itu. Maka, dengan mati-matian pula Daisy melindungi harta keluarga.“Lihat saja, aku akan mencari bukti kuat untuk mengambil semua kekayaan ini.”***
Daisy merasa tidak enak hati karena mengingkari janjinya untuk pergi dengan Eve hari ini. Tapi, perasaannya sedang tidak baik-baik saja sekarang, ia merasa tertekan dengan perkataan Bibi Calyn.“Kau akan melakukan apa setelah ini?” tanya Eve, memecah keheningan.Ia berbalik, menatap Daisy yang sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk.“Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak mengerti hukum dan sebagainya. Orang kepercayaan Papa juga sudah meninggal beberapa hari yang lalu.”Semuanya beruntun, seperti hal ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Daisy juga merasa janggal dengan kematian orang tuanya, meski polisi sudah mengatakan jika itu murni kecelakaan beruntun.Menghela napas, Eve ikut duduk di sebelah Daisy. Ia juga mencoba mencari jalan keluar untuk masalah ini. Berkas berharga dan aset dalam rumah ini setidaknya harus diamankan dari Bibi Calyn.“Eve, aku tahu,” ucap Daisy tiba-tiba.“Apa, kau tahu apa?” desak Eve.Daisy tersenyum simpul, seperti baru saja mendapat pencerahan. Ia mendekatkan tubuhnya pada Eve, membisikkan sesuatu di telinga gadis itu dan berharap keputusannya ini benar.Seulas senyum tercetak di bibir Daisy dan Eve. "Aku setuju, Daisy."
Daisy memeluk sahabatnya sekali lagi. "Terima kasih sudah mau mendengar segala keluh kesahku, Eve."
"Dengan senang hati, Daisy."
Eve mengakhiri pelukan mereka. Ia menatap Daisy sekilas sebelum bertanya. "Masalahnya sudah menemukan titik terang. Jadi, bisakah kau menepati janjimu untuk makan pizza denganku sekarang?"
"Oke, untuk hari ini."
Tidak ada pilihan lain, selain menceritakan masalah serius ini pada Layton. Setidaknya, Daisy memiliki harapan jika Layton mau mendampinginya untuk mengurus segala surat-surat. Ayah Layton bertugas sebagai hakim di salah satu departemen, ia bisa sesekali menanyakan langkah apa yang harus ia ambil untuk mempertahankan harta orang tuanya nanti, melalui perantara Layton. Layton membaca berkas yang diserahkan Daisy padanya. “Biar kusimpan di sini, dengan aman, Sayang,” ucapnya menenangkan. Daisy mengangguk sekilas. “Kau baik-baik saja?” tanya Layton, mengusap sisi wajah Daisy. “Aku jauh lebih baik dari sebelumnya, Lay.” Mereka berdua sedang berada di unit apartemen milik Layton. Daisy sengaja datang jauh-jauh ke apartemen itu untuk menyampaikan semua masalah yang sedang ia hadapi pada kekasihnya. Selama hampir satu tahun ia menjalin hubungan dengan lelaki bermata coklat itu, Daisy memiliki tempat keluh kesah, selain
“Dia tertidur di apartemenku.”Dini hari, Layton baru mengantarkan Daisy pulang dengan kondisi gadis itu yang tertidur. Eve membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Layton yang menggendong tubuh Daisy masuk. Ia membukakan pintu kamar mereka, dan menunggu Layton selesai membaringkan Daisy.“Pakaiannya sedikit basah karena kehujanan, kau ganti, ya.”“Bagaimana dengan rencana Daisy, kau menyetujuinya?” tanya Eve, menahan Layton di depan pintu.Layton mengangguk kecil. “Gampang, aku akan mengurusnya nanti. Kau tenang saja.”“Aku pulang dulu!” ucap Layton, terlihat tergesa.Mengedikkan bahu, Eve memilih masuk ke dalam rumah, memastikan setiap pintu di rumah besar itu sudah terkunci, lalu naik ke lantai atas.Eve masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian Daisy, dan ia mulai curiga ketika tak sengaja melihat bibir bawah Daisy yang sedikit robek
Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.“Kau dari mana saja, sayang?”Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rum
“Selamat menikmati.”Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pad
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i
Empat bulan kemudian ... Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak. “Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.” Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang. “Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?” “Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.” Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya. “Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banya
"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?" Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan. "Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil. Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?" Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas. Sebenarnya, ia berbohong. Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah. Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama. *** "Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan. Arthur membunyikan klak
Waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Daisy sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah sangat membesar dan tidak dapat ditutupi lagi. Ia juga tidak bisa bergerak leluasa.Setelah dipecat dari pekerjaan waiter di restoran kemarin. Daisy membantu tetangga apartemen Eve untuk menghias kue tart. Sebentar lagi ia akan melahirkan, paling tidak ia harus memiliki uang untuk biaya bersalin."Daisy," panggil Eve. Ketika membuka pintu kamar, Daisy sedang duduk di tepi ranjang sambil memijat pinggangnya.Hampir setiap malam, Eve selalu melihat Daisy memijat pinggangnya, terkadang gadis itu juga mengigau dalam tidur. Kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir pasti membuat Daisy mudah lelah. Seharusnya ia sudah berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk bersalin.Eve menyodorkan beberapa lembar uang pada sahabatnya itu. "Ini apa?" tanya Daisy, ia tidak langsung menerima uang itu."Sedikit, untuk membantu biaya persalinanmu."Daisy me