"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?"
Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan.
"Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil.
Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?"
Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas.
Sebenarnya, ia berbohong.
Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah.
Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama.
***
"Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan.
Arthur membunyikan klakson sekali, sebelum membawa mobilnya pergi dari pelataran apartemen.
Daisy bergegas masuk dan naik ke lantai 20, apartemen Eve. Ketika pintu lift terbuka, ia tidak sengaja berpapasan dengan Austin.
"Baru pulang?" tanya Austin, bicaranya dingin sekali.
"Kau mau pulang, sudah berapa bertemu Eve?" Daisy tersenyum.
"Bukan urusanmu."
Austin masuk ke dalam lift, meninggalkan Daisy dalam kebingungan. Apa yang ditanyakan Daisy tadi salah? Kenapa lelaki itu terlihat marah.
"Eve, aku pulang." Daisy membuka pelan pintu apartemen.
Ia melihat Eve yang sedang membereskan cangkir kopi dan terlihat mengusap kasar air mata yang mengalir. Eve, habis menangis. Apakah bertengkar dengan Austin?
"Kau sudah pulang, aku membelikan kue untukku, di kulkas." Eve berjalan menuju dapur.
"Aku tadi bertemu Austin."
Eve tersenyum sekilas, ia tetap melanjutkan aktivitasnya mencuci dua cangkir.
"Apa semua baik-baik saja?"
Daisy melihat Eve menghapus air matanya lagi. "Kau tidak apa-apa, Eve?"
Menghela napas, Eve menggeleng. "Semua baik-baik saja, aku mandi dulu, ya."
Eve buru-buru masuk ke kamar setelah mengeringkan tangan. Heran, sepertinya ada yang salah antara Eve dan Austin. Tapi, Daisy tidak punya banyak keberanian untuk bertanya dan ikut campur urusan orang lain.
***
Suara percikan minyak dari ikan yang sedang digoreng Eve membuat gadis itu memekik. Ia berlindung dengan membawa tutup panci.
"Daisy, ini sudah siang!" teriaknya. Sejak tadi Daisy belum juga keluar dari kamar, padahal sebentar lagi waktunya gadis itu pergi bekerja.
Eve mematikan kompor ketika ikan yang ia goreng sudah menguning dan matang. Dengan cepat ia meniriskan ikan dan menaruhnya di piring saja.
Mungkin, Daisy kelelahan kemarin, jadi tidak bisa bangun pagi. Berinisiatif, Eve pergi ke kamar Daisy untuk membangunkannya.
"Astaga, Daisy! Bangun," teriak Eve. Ia membuka korden dan membiarkan cahaya matahari masuk.
Bagaimana bisa Daisy masih tertidur pulas dengan bantal dan selimut yang sudah terjatuh ke lantai.
"Kau tidak bekerja?" tanya Eve, mirip sekali seperti orang tua yang sedang memarahi anaknya karena susah dibangunkan untuk sekolah.
"Hm, pagi Eve." Daisy mengucek mata, menatap Eve dengan senyum yang mengembang.
"Kenapa kau tidak segera bangun? Ini sudah waktunya untuk bekerja."
"Aku tidak akan bekerja, Eve."
Eve menaikkan sebelah alis, "Kenapa?" tanya Eve bingung.
Menghela napas, Daisy turun dari ranjang. Memungut bantal dan selimut yang tercecer lalu merapikannya. Gadis itu menatap Eve sekilas yang sepertinya memang sudah menunggu jawabannya.
"Aku dipecat."
"Bagaimana bisa?"
Daisy mengedikkan bahu. Kemarin, ia dipanggil Nyonya pemilik restoran, tanpa basa-basi ia diberikan pesangon terakhir dan Nyonya meminta Daisy untuk tidak bekerja lagi mulai sekarang.
Jika ini memang ulah Layton dan Seryl, Daisy tidak apa-apa. Ia masih punya cukup uang untuk biaya persalinan sang buah hati. Biarkan saja orang-orang sirik dan sombong itu melakukan rencananya. Daisy tidak peduli.
***
Berhubung ia sudah terbebas dari pekerjaan. Daisy menghabiskan waktu untuk memanjakan sang buah hati yang ada di perut dengan berendam. Alunan musik santai yang terputar, semakin menambah semangat Daisy untuk bermanja di dalam air hangat dengan aroma terapi kesukaannya. Eve sedang pergi untuk mengurus kuliah lanjutan, jadi dia hanya sendirian di apartemen.
"Kau berendam?" Eve bertanya ketika sambungan telepon tersambung dan terdengar musik klasik yang sering Daisy putarkan untuk janin di dalam kandungannya.
"Iya."
"Sudah berapa lama, jangan sampai kau kedinginan seperti kemarin."
Daisy tertawa. Kemarin ia memang sampai ketiduran di kamar mandi dan berakhir demam karena terlalu lama berendam. "Tenang saja, baru lima menit."
"Jangan lama-lama, Daisy."
Suara bel yang terdengar membuat Daisy mengalihkan fokusnya pada suara protes Eve. Gadis itu mengatakan ingin membukakan tamu untuk seorang tamu, jadi ia mematikan panggilan telepon.
***
Daisy melihat dari monitor pemantau, tidak ada siapa-siapa di luar. Untuk memastikan, ia segera membuka pintu apartemen dan menemukan sekotak bingkisan berwarna hitam dengan pita putih.
"Eve membeli barang online, lagi?" tanya Daisy, lebih ke dirinya sendiri.
Ia membawa kotak hitam itu ke dalam. Lalu tanpa sengaja Daisy membaca nama si penerima.
"Kenapa namaku ada di sini?
Gadis dengan balutan dress motif bunga-bunga itu mencoba mengingat kembali. Sepertinya beberapa bulan terakhir ia tidak pernah memesan barang online.
Ragu, Daisy membuka kotak itu perlahan. Rasa penasaran membuatnya terlalu cepat membukanya. Di dalam kotak itu, ada satu kotak kecil lagi dengan warna hijau tanpa pita.
"Pakaian bayi?" Daisy membentangkan pakaian bayi berwarna biru dari dalam kotak. Lucu sekali, pakaian itu bergambar beruang.
Daisy beralih pada kotak kedua, namun ketika ia membukanya, hanya ada selembar kertas. Mungkin, ini dari Layton? Pikir Daisy.
Membuka lipatan kertas pelan-pelan, Daisy menemukan tulisan yang membuatnya sama sekali tidak senang. Ia dengan cepat meremas kertas itu menjadi gumpalan.
"Tidak, aku tidak akan mau menyerahkan bayi ini pada mereka." Daisy menggeleng.
Daisy membuang semua isi dari kotak hitam itu dan mengurung dirinya di kamar.
***
Besoknya.
Seseorang tengah memperhatikan dari kejauhan bagaimana Daisy sedang berlari pagi bersama Eve. Wajah yang tertutup masker, topi hitam dan jaket kulit membuatnya tidak dapat dikenali dengan mudah.
Sebenarnya, sejak awal Eve sudah merasa tidak nyaman. Radar waspada dalam dirinya muncul, ketika ia merasa ada yang tidak beres di sekitarnya. Percaya atau tidak, Eve memang peka terhadap apa yang terjadi.
"Kenapa?" tanya Daisy, setelah menenggak minumannya.
Eve menggeleng. "Aku tidak nyaman." Gadis itu menatap sekeliling taman.
"Seperti sejak tadi ada yang memperhatikan."
Daisy tertawa. "Mungkin hanya kekhawatiranmu saja. Tidak ada apa-apa di sini."
Dua sahabat itu mengalihkan fokus mereka dengan kembali berlari.
Sementara seseorang yang sejak tadi bersembunyi dibalik pohon besar menelepon seseorang.
"Sepertinya dia sangat menjaga kehamilannya."
"Aku akan terus mengikutinya sampai kau puas, Tuan."
Waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Daisy sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah sangat membesar dan tidak dapat ditutupi lagi. Ia juga tidak bisa bergerak leluasa.Setelah dipecat dari pekerjaan waiter di restoran kemarin. Daisy membantu tetangga apartemen Eve untuk menghias kue tart. Sebentar lagi ia akan melahirkan, paling tidak ia harus memiliki uang untuk biaya bersalin."Daisy," panggil Eve. Ketika membuka pintu kamar, Daisy sedang duduk di tepi ranjang sambil memijat pinggangnya.Hampir setiap malam, Eve selalu melihat Daisy memijat pinggangnya, terkadang gadis itu juga mengigau dalam tidur. Kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir pasti membuat Daisy mudah lelah. Seharusnya ia sudah berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk bersalin.Eve menyodorkan beberapa lembar uang pada sahabatnya itu. "Ini apa?" tanya Daisy, ia tidak langsung menerima uang itu."Sedikit, untuk membantu biaya persalinanmu."Daisy me
“Aku akan pergi, jika Austin keberatan aku ada di sini,” kata Daisy.Kedua pasangan itu saling tatap. Eve menatap tajam Austin, sementara Austin merasa bersalah dengan ucapannya.Eve dan Austin tidak menyadari kedatangan Daisy. Gadis itu berdiri di balik pintu apartemen, mendengar pertengkaran mereka tentang pernikahan yang masih tertunda. Daisy memang sengaja membuka pintu kamar Eve, ia sudah tidak tahan mendengar mereka saling meninggikan suara.“Austin hanya sedang lelah, dia tidak sengaja mengatakan itu, Daisy.” Eve tidak tega melihat Daisy berlinang air mata. Satu tangan gadis itu memegang perut bagian bawahnya dengan napas terengah.Daisy meringis. “Aku memang hanya benalu, aku tahu itu. Maaf, selama ini hanya bisa merepotkan kalian saja.”
Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin. Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake. "Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith. "Tidak apa-apa, untuk Eve juga." "Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum. Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen. "Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen. Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai. "Baru saja sampai, itu apa?"
"Daisy?"Eve menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana sahabatnya pergi. Daisy sudah berjanji akan berada di restoran itu, menunggunya. Tapi sekarang gadis itu justru tidak ada.Garpu dan pisau steak yang terjatuh di lantai membuat Eve sedikit curiga. Daisy pergi bukan karena kemauannya sendiri.Eve khawatir."Pak Satpam!" Eve berlari kecil ketika melihat seorang satpam berjalan di luar restoran.Ia menceritakan kronologi hilangnya Daisy dan meminta tolong untuk dicarikan. Eve juga menunjukkan foto terakhir sahabatnya yang dia ambil melalui ponsel tadi ketika berbelanja.Eve harap, ia segera menemukan Daisy.***Keadaan tidak dapat terkendali. Sekuat tenaga Daisy berteriak, pertengkaran ini tidak juga berhenti. Keringat dingin yang terus mengucur membuatnya berpegangan pada pot besar di belakang tubuhnya.Jika terus seperti ini, ia bisa saja pingsan. Tidak ada yang melihatnya kesakitan. Arthur dan Layto
"Austin benar-benar punya selera yang norak!"Eve melempar ponsel ke kasur, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang ada di kamar Daisy."Mana ada yang mau memakai gaun sesederhana itu," omelnya lagi.Daisy yang sedang melipat beberapa pakaian bayi, tertawa pelan. "Kau mau gaun yang seperti apa untuk pernikahanmu?""Yang pasti agak mewah.""Kau saja tidak pernah memakai gaun, Eve."Eve menggaruk tengkuknya. "Kau benar juga, tapi ini acara penting. Sekali seumur hidup. Meski aku tidak pernah memakai gaun, aku ingin memeras uang Austin agar membelikanku gaun mahal."Sebelum menjawab Eve, Daisy memasukkan pakaian bayi yang sudah ia lipat rapi ke dalam koper kecil. Persiapan terakhir untuk hari persalinannya sudah ia siapkan. Tinggal menunggu beberapa hari, ia bisa memeluk buah hatinya."Kau benar, kau harus berdandan yang cantik dan memakai gaun mahal."Eve tersenyum puas mendengar jawaban Daisy. Gadis yang sedang m
Jika waktu bisa diputar, Daisy ingin kembali pada masa awal kehamilannya. Meski setiap hari ia harus tersiksa dengan morning sickness, setidaknya dia tahu janinnya hidup dan baik-baik saja.Saat itu, dia banyak mengidam hal-hal aneh. Seperti meminta Austin untuk mengecat kukunya, mengajak Eve makan pedas hingga sakit perut, dan masih banyak lagi.Setiap malam, teman bicara Daisy hanya janin itu. Tempatnya meminta saran, mengeluh, menangis, dan tertawa.Daisy rindu sekali tendangan kuat dari janinnya jika dia sedang meminta saran. Sekarang, ia merasa sangat hampa, tidak ada lagi teman bicara. Ketika Daisy memegang perutnya, perut itu sudah berbeda, perutnya sudah rata."Bagaimana?" Ini sudah ketiga kalinya Eve bertanya.Daisy menatap lurus langit-langit rawat inapnya dalam diam. Waktu demi waktu berlalu dan Daisy harus memutuskan ia atau tidak. Tidak baik menunda pemakaman, kasihan Alden yang menunggu."Ya sudah, kau istirahat di sini saja. B
Terkadang, Eve merasa kasihan pada Daisy yang masih berusaha merelakan bayinya. Tapi, sesuatu yang berhubungan dengan bayi itu tidak akan pernah hilang pada diri Daisy. Bukan hanya bekas operasi yang akan terus ada, kini masalahnya ada pada asi yang diproduksi payudaranya yang sering merembes.Padahal Arthur sudah memberi beberapa obat untuk menghentikan itu. Sudah seminggu sejak operasi, obatnya belum juga bereaksi."Mau di keluarkan saja?" tanya Eve, memperhatikan Daisy yang meringis menahan nyeri.Daisy menggeleng. "Arthur bilang, itu justru akan membuat asinya semakin banyak keluar.""Lalu bagaimana?""Aku tidak tau." Daisy kembali bersandar pada kepala ranjang.Eve memeras handuk yang sudah dicelupkan air dingin, lalu memberikannya pada Daisy untuk diletakkan di payudara gadis itu.Keduanya sama-sama diam, berpikir."Aku bingung," keluh Eve."Aku juga."Daisy menarik napas dalam, sesekali meremas payudaranya
Setiap tarikan napas, seperti siksaan nyata bagi Daisy. Lama sekali ajal menjemputnya, padahal sejak tadi Daisy sudah kesulitan bernapas. Keringat sebesar butir jagung membasahi pelipisnya, bersama air mata yang terus mengalir tanpa henti. Ia sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini.Tidak kuat.Sampai tiba-tiba, seseorang merengkuh tubuhnya."Daisy?!"Mata hijau itu lagi."Sakit," rintih Daisy.Arthur menyandarkan kepala Daisy di lengannya. "Kau aman sekarang," ucapnya, mengusap pipi pucat Daisy.Lelaki itu menekan perut Daisy untuk menahan pendarahannya agar tidak keluar lebih banyak. Sementara Daisy sudah meremas kaus Arthur sebagai bentuk ketakutannya."Tahan sebentar, ya."Sekali gerak, Arthur berhasil membawa Daisy ke dalam gendongannya. Lelaki itu berlari menuju rumah sakit lagi. Samar-samar, Daisy dapat melihat rahang kokoh Arthur yang mengeras."Biarkan aku mati, Arthur.""Biarkan aku mati," racau D