Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin.
Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake.
"Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith.
"Tidak apa-apa, untuk Eve juga."
"Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum.
Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen.
"Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen.
Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai.
"Baru saja sampai, itu apa?"
Daisy memberikan paperbag di tangannya pada Eve. "Aku mandi dulu. Jangan dihabiskan, ya, dia mau makan juga." Daisy menunjuk perutnya yang membesar.
Eve terkekeh. "Siap!" Ia mengacungkan jempol.
***
Kehilangan kedua orang tua secara bersamaan, harta benda yang diraup oleh bibinya sendiri dan mahkota yang direnggut paksa yang membuat kehidupan Daisy lengkap untuk hancur.
Siapa sangka, Daisy bisa kuat sampai detik ini karena sesuatu yang terbentuk dari kesalahan. Yang saat pertama kali dikabarkan dengan bahagia, justru membuat Daisy berusaha untuk melenyapkannya.
Siapa sangka, dia yang tumbuh membesar setiap harinya di perut Daisy jadi sumber kekuatan. Mau diajak susah dan mengerti ketika Daisy berbisik, "Jangan rewel, ya." Dan akan selalu membalas dengan tendangan kecil. Jika Daisy bersedih, ia akan menendang juga, seperti mengatakan bahwa, "Mama tidak boleh sedih, semua akan baik-baik saja."
Yang awalnya dibenci, sekarang menjadi sesuatu yang paling Daisy sayangi. Ia sempat berpikir, mungkin jika tidak ada bayi ini, Daisy akan mengakhiri hidupnya tepat pada hari ia diusir dari rumah.
"Sebentar lagi kau akan lahir, sayang."
Daisy merasakan tendangan si kecil pada sisi kanan perutnya ketika ia mengguyurkan air di sana.
Ini adalah akhir pekan yang cocok untuk melakukan quality time bersama bayinya. Daisy memanjakan sang buah hati dengan guyuran air hangat dan aroma terapi.
"Kau menyukainya, hm? Nanti jika kau sudah lahir ke dunia, kita akan bermain air bersama."
Tidak sabar rasanya, beberapa hari lagi Daisy akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum bayi di dalam perutnya lahir. Sebentar lagi, Daisy tidak akan merasakan membawa beban berat setiap dia melakukan apa pun.
"Daisy, lama sekali. Jadi pergi tidak?" Suara Eve terdengar bersama ketukan di pintu.
Sepertinya Daisy sudah terlalu lama berendam. "Iya, sebentar lagi aku selesai."
Daisy keluar dari bath up, melilit tubuh polosnya dengan handuk dan berjalan keluar kamar.
Hari ini, rencananya Daisy akan pergi berbelanja keperluan untuk bersalin dengan Eve.
***
Senang sekali, bisa membeli keperluan untuk bersalin. Meski agak lelah, Daisy tetap semangat berkeliling mall.
"Sudah?" tanya Eve, memasukkan beberapa barang ke bagasi mobil.
"Mau beli apa lagi, ini saja sudah cukup."
Eve mengangguk, ia menggandeng tangan Daisy untuk masuk lagi ke dalam mall. Mereka belum makan malam, Eve berinisiatif untuk membeli makan di restoran.
"Lusa, kau akan memeriksakan kandunganmu, kan? Kebetulan aku libur, nanti kutemani, ya."
Daisy memotong steak daging di depannya sebelum beralih pada Eve yang terlihat sangat bersemangat. Sahabatnya itu begitu antusias mengenai perkembangan janin di dalam perutnya. "Iya, pemeriksaan terakhir sebelum persalinan."
Mereka terdiam, menikmati daging panggang dan beberapa makanan pelengkap yang tersaji dengan lahap. Sesekali juga bicara tentang pekerjaan dan lainnya.
Tiba-tiba, Eve terlihat memegangi perutnya. "Daisy," panggil gadis itu lirih.
"Ada apa?"
"Bisa tunggu sebentar? Sepertinya aku harus ke toilet. Kau di sini dulu, ya, jangan ke mana-mana."
Daisy mengangguk, ia tertawa kecil ketika memperhatikan Eve yang berjalan tergesa menuju toilet restoran.
***
Pemandangan kota dari jendela kaca di lantai tiga ini begitu indah. Rembulan malam bertabur bintang menghiasi langit cerat malam ini.
Tanpa sadar, Daisy tersenyum tipis. Mengusap perutnya dan berkata dalam hati, "Sebentar lagi, kau juga dapat melihat bintang bersama Mama."
Kebahagiaan sederhana dari rembulan yang menarik perhatian Daisy tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, seseorang menarik tangannya dengan kasar, menyeretnya keluar dari restoran dengan langkah lebar yang membuat Daisy terseok-seok.
"Mau apa lagi kau menemuiku?" Daisy menjauhkan dirinya dari sosok ini.
Layton. Di hadapannya sedang berdiri Layton yang sekarang masih mencengkeram kuat pergelangan tangan gadis itu.
"Ayo, ikut aku! Kita melahirkan di tempatku saja."
Daisy menggeleng, memaksa lepas dari genggaman Layton. Ia berusaha mempertahankan diri untuk tidak mengikuti desakan Layton, pergi bersama lelaki ini bukanlah ide yang baik.
"Aku tidak mau!" tegas Daisy.
"Lepaskan aku! Jangan memaksa seperti ini."
Layton mendengkus, tidak peduli. Lelaki itu berbalik, menelisik penampilan Daisy yang kacau. Gadis dengan balutan dress sederhana dan jaket jeans itu meneteskan air mata. Lemah sekali, pikir Layton.
"Berhenti menangis. Aku hanya menginginkan anakku!" Layton mendorong Daisy.
Daisy sudah bersiap, ia pasti akan jatuh ke lantai dan membentur benda keras itu. Pasti akan terasa sakit dan mungkin juga menyakiti janinnya. Entah itu akan membawa hal buruk atau tidak. Ia sudah memejamkan mata, menunggu tubuhnya terhempas.
Tapi, nyatanya itu tidak terjadi.
"Kau kasar sekali pada wanita."
Suara itu.
Daisy memberanikan diri untuk membuka mata, lagi-lagi ia bertemu dengan mata hijau itu lagi.
"Kau tidak apa-apa?"
Daisy terdiam, tidak dapat mengatakan sepatah kata pun. Bibirnya kelu.
"Siapa kau, berani sekali ikut campur dengan urusanku?" Layton menantang.
"Arthur," ucap Daisy lirih.
Arthur justru tersenyum kecil, ia membawa tubuh Daisy ke belakang tubuhnya. Bertindak melindungi.
"Siapa pun aku, tidak ada urusannya denganmu!"
Layton tertawa, tawa yang begitu menyebalkan. "Rupanya kau sudah memiliki seorang kekasih, ya? Ini yang akan kau kenalkan sebagai ayah untuk anakku?"
Daisy meremas dress yang ia kenakan. Ia tidak dapat berkonsentrasi pada dua laki-laki yang masih saling menatap tajam. Perutnya kembali menegang, sakit sekali.
"Minggir, aku akan membawa Daisy pergi!"
"Tidak bisa!" Arthur menepis tangan Layton yang mencoba meraih Daisy.
Layton marah. Jemarinya terkepal dan urat-urat di lehernya menonjol. Lelaki ini hanya menghalangi rencananya saja, dan ia tidak dapat menunggu lama lagi.
"Apa urusanmu?!" kesal Layton. "Kau tidak punya hak atas Daisy."
"Apa pun hakku, itu bukan urusanmu!"
Arthur menghantam rahang Layton, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua saling tinju, dan Daisy tidak dapat melakukan apa pun. Berteriak pun rasanya sia-sia.
Ia hanya berharap Eve segera menemukannya. Untuk menghentikan kekacauan ini.
"Daisy?"Eve menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana sahabatnya pergi. Daisy sudah berjanji akan berada di restoran itu, menunggunya. Tapi sekarang gadis itu justru tidak ada.Garpu dan pisau steak yang terjatuh di lantai membuat Eve sedikit curiga. Daisy pergi bukan karena kemauannya sendiri.Eve khawatir."Pak Satpam!" Eve berlari kecil ketika melihat seorang satpam berjalan di luar restoran.Ia menceritakan kronologi hilangnya Daisy dan meminta tolong untuk dicarikan. Eve juga menunjukkan foto terakhir sahabatnya yang dia ambil melalui ponsel tadi ketika berbelanja.Eve harap, ia segera menemukan Daisy.***Keadaan tidak dapat terkendali. Sekuat tenaga Daisy berteriak, pertengkaran ini tidak juga berhenti. Keringat dingin yang terus mengucur membuatnya berpegangan pada pot besar di belakang tubuhnya.Jika terus seperti ini, ia bisa saja pingsan. Tidak ada yang melihatnya kesakitan. Arthur dan Layto
"Austin benar-benar punya selera yang norak!"Eve melempar ponsel ke kasur, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang ada di kamar Daisy."Mana ada yang mau memakai gaun sesederhana itu," omelnya lagi.Daisy yang sedang melipat beberapa pakaian bayi, tertawa pelan. "Kau mau gaun yang seperti apa untuk pernikahanmu?""Yang pasti agak mewah.""Kau saja tidak pernah memakai gaun, Eve."Eve menggaruk tengkuknya. "Kau benar juga, tapi ini acara penting. Sekali seumur hidup. Meski aku tidak pernah memakai gaun, aku ingin memeras uang Austin agar membelikanku gaun mahal."Sebelum menjawab Eve, Daisy memasukkan pakaian bayi yang sudah ia lipat rapi ke dalam koper kecil. Persiapan terakhir untuk hari persalinannya sudah ia siapkan. Tinggal menunggu beberapa hari, ia bisa memeluk buah hatinya."Kau benar, kau harus berdandan yang cantik dan memakai gaun mahal."Eve tersenyum puas mendengar jawaban Daisy. Gadis yang sedang m
Jika waktu bisa diputar, Daisy ingin kembali pada masa awal kehamilannya. Meski setiap hari ia harus tersiksa dengan morning sickness, setidaknya dia tahu janinnya hidup dan baik-baik saja.Saat itu, dia banyak mengidam hal-hal aneh. Seperti meminta Austin untuk mengecat kukunya, mengajak Eve makan pedas hingga sakit perut, dan masih banyak lagi.Setiap malam, teman bicara Daisy hanya janin itu. Tempatnya meminta saran, mengeluh, menangis, dan tertawa.Daisy rindu sekali tendangan kuat dari janinnya jika dia sedang meminta saran. Sekarang, ia merasa sangat hampa, tidak ada lagi teman bicara. Ketika Daisy memegang perutnya, perut itu sudah berbeda, perutnya sudah rata."Bagaimana?" Ini sudah ketiga kalinya Eve bertanya.Daisy menatap lurus langit-langit rawat inapnya dalam diam. Waktu demi waktu berlalu dan Daisy harus memutuskan ia atau tidak. Tidak baik menunda pemakaman, kasihan Alden yang menunggu."Ya sudah, kau istirahat di sini saja. B
Terkadang, Eve merasa kasihan pada Daisy yang masih berusaha merelakan bayinya. Tapi, sesuatu yang berhubungan dengan bayi itu tidak akan pernah hilang pada diri Daisy. Bukan hanya bekas operasi yang akan terus ada, kini masalahnya ada pada asi yang diproduksi payudaranya yang sering merembes.Padahal Arthur sudah memberi beberapa obat untuk menghentikan itu. Sudah seminggu sejak operasi, obatnya belum juga bereaksi."Mau di keluarkan saja?" tanya Eve, memperhatikan Daisy yang meringis menahan nyeri.Daisy menggeleng. "Arthur bilang, itu justru akan membuat asinya semakin banyak keluar.""Lalu bagaimana?""Aku tidak tau." Daisy kembali bersandar pada kepala ranjang.Eve memeras handuk yang sudah dicelupkan air dingin, lalu memberikannya pada Daisy untuk diletakkan di payudara gadis itu.Keduanya sama-sama diam, berpikir."Aku bingung," keluh Eve."Aku juga."Daisy menarik napas dalam, sesekali meremas payudaranya
Setiap tarikan napas, seperti siksaan nyata bagi Daisy. Lama sekali ajal menjemputnya, padahal sejak tadi Daisy sudah kesulitan bernapas. Keringat sebesar butir jagung membasahi pelipisnya, bersama air mata yang terus mengalir tanpa henti. Ia sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini.Tidak kuat.Sampai tiba-tiba, seseorang merengkuh tubuhnya."Daisy?!"Mata hijau itu lagi."Sakit," rintih Daisy.Arthur menyandarkan kepala Daisy di lengannya. "Kau aman sekarang," ucapnya, mengusap pipi pucat Daisy.Lelaki itu menekan perut Daisy untuk menahan pendarahannya agar tidak keluar lebih banyak. Sementara Daisy sudah meremas kaus Arthur sebagai bentuk ketakutannya."Tahan sebentar, ya."Sekali gerak, Arthur berhasil membawa Daisy ke dalam gendongannya. Lelaki itu berlari menuju rumah sakit lagi. Samar-samar, Daisy dapat melihat rahang kokoh Arthur yang mengeras."Biarkan aku mati, Arthur.""Biarkan aku mati," racau D
"Harus dengan pasangan, ya, Dok?"Dokter tersenyum kecil dan mengangguk. "Bisa saja dengan laki-laki lain, jika Nona mau?"Seryl membaca deretan kata pada buku panduan kecil yang tadi diberikan Dokter Wendy. Ia tersenyum canggung. Pikirannya berkelana, bagaimana cara membujuk Layton untuk melakukan proses ini dengannya?"Saya pikirkan dulu, Dok."Setelah berbasa-basi sebentar, Seryl keluar dari ruang periksa. Ia memasukkan buku panduan mengenai prosedur bayi tabung ke dalam tasnya. Menoleh ke kanan dan kiri, Seryl berharap tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dia lakukan.Ketika Seryl sedang mencari kunci mobil di dalam tas, ia tidak sengaja mendengar para perawat dan dokter sedang gaduh di belakangnya."Pasien kenapa, Dok?""Pendarahan pasca operasi cesar."Seryl menutup mulutnya sendiri, ia tidak sengaja melihat darah berceceran di lantai. Lalu pandangannya beralih pada seseorang yang dibaringkan di brankar. Tampak
Lelah sekali, berpura-pura tetap terpejam dan terus mendengar obrolan orang-orang di sekitarnya. Ia harus menahan rintihan ketika bekas luka operasinya nyeri. Ia juga harus menahan tubuhnya untuk tidak bergerak ketika gatal.Ya, Daisy sudah terbangun dua hari yang lalu. Dia mendengar Austin, Eve, dan Arthur yang sedang mendiskusikan untuk membawa kasus yang menimpanya ke jalur hukum.Ketika Daisy tahu knop pintu dibuka perlahan, dia membuka mata."Daisy," panggil Eve. Dia terburu-buru berjalan mendekat. Pakaiannya yang sangat rapi membuat Daisy berpikir, apakah dia sudah berhasil melaporkan Layton ke polisi."Ah." Daisy memegang perutnya. Ini bukan akting, perutnya sungguhan berdenyut nyeri.Eve dengan sigap membantu Daisy untuk bersandar pada ranjang, gadis itu segera memanggil Arthur. Mulanya Daisy sempat menolak ketika Eve hendak pergi menemui Arthur.Tapi, si mata hijau itu sepertinya punya koneksi yang baik. Tiba-tiba saja dia sudah ada
Gerimis turun ketika Daisy dan Arthur sudah berada di depan rumah sakit. Arthur dengan cepat membawa Daisy menuju mobil dan mendudukkan gadis itu di kursi samping kemudi. Hari ini Daisy sudah resmi keluar dari rumah sakit. Dia bisa melakukan pemulihan operasinya di rumah. "Kau basah, ya?" tanya Arthur, mengusap rambut panjang Daisy. "Tidak, aku tidak basah. Hanya gerimis kecil, kan?" Daisy melirik ke luar mobil. "Iya benar, gerimis kecil." Arthur tertawa. Lelaki dengan balutan jaket jeans itu berpamitan untuk mengambil kursi roda yang tertinggal. Daisy memang masih lemas, jadi dia harus dibantu dengan kursi roda. Lega sekali, dia bisa menghirup udara segar setelah berhari-hari hanya mencium bau obat. "Kau mau mampir ke suatu tempat?" tanya Arthur. Mobil sudah berada di jalan, berkumpul dengan kendaraan lain yang juga sedang melakukan perjalanan. Arthur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. "Tidak ada, a