Gerimis turun ketika Daisy dan Arthur sudah berada di depan rumah sakit. Arthur dengan cepat membawa Daisy menuju mobil dan mendudukkan gadis itu di kursi samping kemudi.
Hari ini Daisy sudah resmi keluar dari rumah sakit. Dia bisa melakukan pemulihan operasinya di rumah.
"Kau basah, ya?" tanya Arthur, mengusap rambut panjang Daisy.
"Tidak, aku tidak basah. Hanya gerimis kecil, kan?" Daisy melirik ke luar mobil.
"Iya benar, gerimis kecil." Arthur tertawa.
Lelaki dengan balutan jaket jeans itu berpamitan untuk mengambil kursi roda yang tertinggal. Daisy memang masih lemas, jadi dia harus dibantu dengan kursi roda.
Lega sekali, dia bisa menghirup udara segar setelah berhari-hari hanya mencium bau obat.
"Kau mau mampir ke suatu tempat?" tanya Arthur. Mobil sudah berada di jalan, berkumpul dengan kendaraan lain yang juga sedang melakukan perjalanan.
Arthur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Tidak ada, a
Erisya mengusap pipi Daisy lembut.Hari ini adalah pertemuan perdana mereka dengan status yang berbeda. Daisy kini telah menjadi calon istri Arthur dan Erisya sebentar lagi akan menjadi ibu mertuanya.Sejak kedatangannya, Daisy tidak berhenti menangis. Dia merasa tidak pernah pantas untuk menjadi pendamping seorang Arthur.Tapi, Erisya meyakinkan Daisy bahwa dia akan menerima gadis itu dengan baik karena Arthur sudah memilih Daisy sebagai wanita yang dicintainya. Erisya juga tidak terlalu peduli dengan masa lalu Daisy, karena semua hanyalah kecelakaan dan tanpa unsur kesengajaan.Wanita paruh baya itu juga mengerti bahwa sejatinya Daisy adalah gadis yang baik dan polos. Tidak ada alasan lain untuk tidak menerima Daisy yang sekarang hidup sebatang kara."Minum dulu," Arthur menyodorkan segelas air.Erisya masuk ke kamar setelah menerima telepon dari karyawannya tentang pesanan kue kering di toko. Ia berpesan pada Arthur untuk menjaga Daisy da
"Memangnya kau tidak ingin sarapan?"Seryl mengeratkan selimut yang membalut tubuh polosnya dengan Layton.Sudah hampir lima belas menit, Layton menahannya di ranjang. Lelaki itu memeluk Seryl dengan posesif."Lay?""Hm?""Aku buatkan sarapan dulu, tolong lepaskan," pinta Seryl."Ada Bibi. Lagipula masakanmu terkadang kacau, biar Bibi saja yang mengurus urusan dapur."Seryl mendengkus. Dia memang tidak bisa memasak, tapi dia sedang berusaha. Sejak kecil, Mama tidak pernah mengajarkan hal-hal tentang rumah tangga, jadi Seryl terlalu awam.Ucapan Layton memang menyakitkan sekali untuk dikatakan di depan para istri. Tapi, mau bagaimana lagi, memang watak laki-laki itu dari lahir sudah frontal dan keras."Lalu tugasku apa?" kesal Seryl."Melayaniku setiap malam.""Jadi, aku hanya pemuas nafsumu?" tanya Seryl."Istriku."Layton menarik tubuh Seryl untuk lebih dekat dengannya. Ia mendaratkan ciuman
Terkadang, hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Rencana yang kita susun, bisa saja tidak terwujud karena satu dan lain hal. Layton dan Seryl baru saja berbahagia dengan kehadiran janin kecil di rahim Seryl. Tapi, sesuatu hal yang tidak pernah ia prediksi sedang menunggunya. "Jika kau tidak bersalah, seharusnya ikut kami saja dulu. Biar kau jelaskan di kantor polisi nanti." Seorang polisi bertubuh kekar dan tegap bersikukuh membawa Layton ke kantor polisi. Sementara dua polisi lain yang ada di samping tubuh Layton masih memegangi kedua tangannya ke belakang, hendak memborgol. "Istriku sedang hamil, mana mungkin aku meninggalkannya di rumah sendirian!" bentak Layton. "Ini tugas dari atasan Pak, mohon pengertiannya. Agar kami bisa cepat menyelesaikan tugas kami." Suara tangisan Seryl membuatnya tak kuasa untuk tidak menoleh ke belakang. Menatap sang istri yang sedang meronta meminta dia dilepaskan. Mau bagaim
"Kau pulanglah sekarang."Layton mengusap pipi dingin Seryl dari balik sel. Berharap air mata sang istri tidak jatuh lagi pada pipi mulusnya."Aku tidak mau," isak Seryl.Seminggu setelah penahanan, Layton dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara karena tindakannya yang diduga ingin melenyapkan nyawa Daisy. Hubungan suami istri yang baru saja membaik harus terhalang dengan jeruji besi yang menjerat Layton.Hampir setiap hari, Seryl selalu menjenguknya di tahanan. Gadis cantik itu selalu menangisi Layton yang hanya bisa ia sentuh dari balik jeruji. Kasihan."Kau bisa lelah jika terus seperti ini. Kasihan bayi kita, sayang." Layton mencoba memberi pengertian."Aku tidak apa-apa."Seryl menggeleng. Lagi-lagi, hatinya begitu sakit ketika melihat pakaian tahanan yang dikenakan Layton. Kenapa kebahagiaannya harus tertunda karena kesalahan sang suami. Kenapa Daisy juga begitu tega melaporkan hal ini saat Seryl merasa bahagia atas kehadiran bay
Selebrasi kecil-kecilan karena Eve sudah berhasil membuka cabang kedai kopi di daerah lain. Ia mentraktir Daisy di salah satu restoran mahal dan membawakan beberapa oleh-oleh dari Selandia selepas honeymoon."Kau benar-benar tahu seleraku." Daisy tersenyum, menatap gantungan kunci dengan jam pasir kecil yang menggantung. Unik sekali."Aku, kan sahabatmu."Daisy terkekeh. "Lalu bagaimana, hasil honeymoon sudah keluar?"Eve berdecak. "Belum dicek.""Tenang-tenang." Daisy menepuk bahu Eve.Ia sangat mendukung program kehamilan yang sedang dilakukan Eve dan Austin. Daisy juga berharap mereka segera diberikan momongan.Mereka bercerita mengenai beberapa hal termasuk rencana pernikahan Daisy dan Arthur yang akan dilaksanakan satu bulan lagi. Eve sudah tidak sabar menunggu hari itu, apalagi Daisy.Ponsel Daisy bergetar di meja, panggilan masuk dari Arthur yang sedang bertugas di rumah sakit.[Kau ada di mana?]"Di restor
Seryl menarik napas dalam, memantapkan diri untuk masuk ke rumah besar yang dulu menjadi tempat tinggal Daisy dan orang tuanya.Rumah besar dan mewah layaknya istana ini begitu tak terurus sekarang. Hampir semua pembantu sudah meninggalkan istana megah ini karena Mama sudah tidak mampu untuk membayar.Benar, perusahaan yang dulu dikelola Papa Daisy hingga berjaya, akhirnya redup di tangan Mama. Karena keserahan Mama yang hanya memikirkan tentang uang, perusahaan tidak dikelola dengan baik dan dalam keadaan hampir bangkrut dengan hutang di mana-mana.Mama sendiri mengalami stroke ringan setengah tahun lalu. Melihat hutang atas namanya yang menumpuk dan beberapa aset harus dijual untuk membayar hutang tersebut.Seryl sendiri masih beruntung, karena ia memiliki bisnis kosmetik sendiri untuk mencukupi kebutuhannya."Nona Seryl, Ibu ada di dalam."Seryl tersenyum kecil kepada seorang pembantu yang membukakan pintu. "Terima kasih, Bi."Perl
Suara tepuk tangan begitu riuh terdengar ketika cincin sudah tersemat di jari manis Daisy. Gadis dengan balutan gaun putih gading itu tersenyum tak kalah manis dari cincin yang baru saja bertengger di jari manisnya.Daisy juga melakukan hal yang sama pada jari manis Arthur. Lelaki bermata hijau meneduhkan yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya.Acara pernikahan mereka berjalan lancar. Semua tamu undangan ikut berbahagia melihat dua sejoli itu akhirnya menjadi suami istri yang sah. Mereka akan memulai lembaran baru bersama sampai Tuhan memisahkan. Seperti sumpah dan janji mereka.Hal yang membuat Daisy menitikkan air mata setelah ia tahan begitu lama adalah Mama Erisya yang berjalan setengah berlari menuju altar, hanya untuk memeluknya erat dan mengucapkan terima kasih.Ini keliru, seharusnya bukan Mama yang mengucapkan terima kasih, melainkan Daisy yang harus berterima kasih karena Mama dan Arthur mau menerimanya dengan baik, meski tahu masa lalunya t
Seminggu kemudian ...."Ada lagi, sayang?" tanya Erisya.Daisy menggeleng sambil tersenyum kecil, menerima seprai baru yang diambilkan Mama dari lemarinya.Setelah pernikahan megah itu, kini semua aktivitas kembali berjalan normal meski banyak yang harus diubah dari kehidupan Daisy.Sekarang Daisy lebih banyak mencoba resep masakan dan membantu Mama di dapur. Ketika Arthur bertugas di rumah sakit, ia menyiapkan pakaian kerja suaminya dan membawakan bekal. Masih banyak lagi perubahan semenjak mereka menikah."Arthur pulang malam ini, sayang?"Daisy mengedikkan bahu. "Dia belum mengabariku lagi, Ma. Terakhir kali siang tadi."Arthur memang bertugas sejak kemarin sore dan mengatakan pada Daisy ia menginap di rumah sakit untuk memantau keadaan pasien yang kemarin di operasi."Ya sudah, Mama mengantuk sekali. Jangan menunggu Arthur sampai malam, ya, kau juga harus istirahat." Erisya menepuk bahu Daisy, sebelum berlalu ke kamarnya.
"Bagaimana jika honeymoon bersama?"Austin yang ada di sebelah Arthur sampai tersedak ketika sang istri mengatakan hal itu.Mereka berempat---Arthur, Daisy, Eve, dan Austin. Sedang makan malam bersama di sebuah restoran yang tidak jauh dari toko kue Daisy. Reunian dadakan, setelah hampir empat bulan tidak bertemu karena Eve menemani Austin ke luar negeri."Honeymoon lagi?" Austin agaknya keberatan. "Bulan kemarin kau sudah memintanya, sayang."Daisy yang mulai tahu akan ada perdebatan di antara pasangan itu, akhirnya bersuara. "Honeymoon, ke mana?""Ya, ke mana saja. Berempat.""Aku keberatan," sahut Arthur yang sejak tadi hanya diam, menyimak.Daisy sebenarnya ingin protes, tetapi ketika ia tahu mata Arthur mengarah ke mana, ia tidak jadi protes. "Aku tidak bisa untuk beberapa bulan ini.""Ya, tidak seru sekali." Eve menghela napas, kecewa."Tunggu sampai bayiku lahir dulu," ucap Daisy.Kehamilannya sudah memasuk
"Aku sudah memaafkan mereka," ungkap Daisy, mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya bersama Arthur. Arthur yang hanya terpejam, mengangguk singkat. "Aku tahu kau sangat baik," bisiknya, mengecup puncak kepala Daisy begitu lama. "Mungkin, hukuman itu membuat Layton dan Seryl tidak bisa menikmati kebersamaan merawat anak mereka. Aku sering berpikir, apakah aku terlalu jahat menjebloskan lelaki itu ke penjara?" Arthur terkekeh. "Tidak ada yang jahat. Itu sudah menjadi tanggung jawab Layton. Berani berbuat berarti berani menanggung konsekuensi, sayang." Sejenak, Daisy menikmati usapan lembut Arthur di perut besarnya. Sebelum merespon ucapan Arthur. "Termasuk Seryl juga?" "Ya, Seryl dan mamanya juga pantas mendapatkan semuanya. Kau sudah lama tersiksa, sayang. Sekarang giliranmu bahagia, bukan?" Balas dendam bukan solusi terbaik untuk sebuah masalah. Meski Daisy sempat kesal dan membenci, bagaimana pun juga Seryl adalah keluarga.
Kring ... kring ....Bel yang menandakan pelanggan baru saja masuk ke dalam toko kue kembali terdengar. Daisy menunjukkan senyum manisnya dan berdiri dari tempatnya duduk."Selamat datang di toko DaisyMilk, ada yang bisa saya bantu?"Daisy memberikan buku menu yang berisi bermacam-macam roti yang ada di toko ini. Toko kue peninggalan Mama Erisya yang sedikit diubah Arthur menjadi toko minimalis.Setelah usia kandungan Daisy memasuki enam bulan. Ia diberi kesibukan untuk mengurus toko bernama DaisyMilk ini bersama empat karyawan lain yang bertugas di dapur."Baik, satu kue tart yang akan diambil besok, ya. Mohon dicek kembali pesanan anda."Daisy menyodorkan tulisan pesanan yang sudah ia tulis di note pada pelanggan.Sudah pukul dua lewat lima belas menit. Waktunya Daisy untuk pulang ke rumah, tetapi masih ada beberapa pesanan yang belum dicek ulang."Nona, lebih baik istirahat saja. Nanti biar saya yang menyelesaikan pesanan."
Dokter dan beberapa perawat mencoba untuk menenangkan Seryl yang histeris karena kontraksi. Sementara Daisy sudah tidak tahan lagi harus terus berdiri dengan tangan yang di genggam Seryl kuat-kuat. "Dokter, aku sudah tidak kuat," lirih Daisy, memegang perutnya sendiri yang sejak tadi kram. Arthur sedang keluar untuk menelepon polisi. Tidak ada keluarga lain yang bisa dihubungi dan satu-satunya orang yang dapat menemani Seryl melahirkan adalah Layton. "Nona, kau bisa duduk dulu di sini. Perutmu kram?" Daisy mengangguk. Seorang suster memberikan kursi pada Daisy dan membantu gadis itu untuk duduk. Jeritan Seryl sama sekali tidak bisa membuatnya tenang. Daisy diselimuti rasa khawatir juga mengenai persalinan ini. Tadi, ia sempat mendengar percakapan Arthur dengan dokter yang menangani Seryl. Ketuban yang pecah dini, membuat bayi di dalam rahim Seryl kekurangan oksigen. "Daisy," panggil Arthur. Bagaimana?" "Perizinan
2 bulan kemudian .... Arthur menatap setiap inci rumah peninggalan Erisya. Menyerap semua memori dan memutarnya kembali dalam kepala. Kenangan demi kenangan muncul, bagai skenario indah yang Tuhan ciptakan untuk Arthur. "Jika memang belum siap, kenapa terburu-buru?" Daisy mengusap bahu Arthur sebagai bentuk menenangkan. "Menunggu terlalu lama akan semakin membuatku sulit melepaskan ini semua, Daisy." Arthur memilih untuk menjual rumah peninggalan Erisya, karena tidak ada yang akan menempati rumah itu. Ia sudah bertekad untuk pindah ke rumah sederhana yang dibangun untuk Daisy. "Apa kita pindah lagi saja di sini? Kita bisa menjual rumah baru kita, sayang," putus Daisy. "Tidak, kita harus bisa merelakan Mama dan semua kenangannya." Dua bulan kepergian Mama, baik Arthur dan Daisy, mereka sama-sama merasakan ruang kosong di hati masing-masing. Mereka kehilangan sosok yang paling berjasa dan dicintai. Terlalu larut dalam kes
"Mama!"Arthur berlari sekuat tenaga untuk bisa cepat sampai di ruang rawat inap Mama. Ia bahkan sampai menabrak beberapa perawat hingga peralatan medis yang mereka bawa terjatuh.Dia tidak peduli lagi, Arthur terus berlari.Tapi, ternyata sudah terlambat.Tubuh Mama sudah ditutup dengan kain putih, dengan Daisy yang menangis meraung-raung memeluk jasad Mama. Entah sejak kapan gadis itu ada di sini, Arthur bahkan lupa jika Daisy ada di sini. Ia terlalu kalut.Arthur berjalan perlahan untuk mendekat. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidupnya. "Mama." Hanya itu yang bisa ia keluarkan, berharap ketika Arthur memanggil Mamanya lagi, beliau akan menjawab dengan suara merdunya."Mama," panggil Arthur sekali lagi, membuka penutup kain di wajah Mama dengan tangan yang gemetar.Arthur dapat melihat wajah Mama yang begitu pucat dan bibir yang sudah membiru. Sakit sekali, sesak sekali. Lelaki itu tidak dapat menggambarkan bagaimana ha
Awan mendung yang bergumul di langit, menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Gemuruh petir terdengar bersahutan, menambah kesan kelabu untuk malam ini.Brankar pesakitan itu terus didorong melewati lorong-lorong rumah sakit. Sampai pada akhirnya berhenti, setelah berhasil masuk ke dalam ruang unit gawat darurat.Tepat ketika pintu ruangan itu ditutup. Hujan deras mengguyur kota, membasahi sebagian bumi dan membuat beberapa orang berusaha menghindarinya."Duduk dulu." Suara berat seseorang menyentak lamunan Daisy."Aku tidak mau," tolak Daisy, ia tetap berdiri di depan pintu UGD yang tertutup rapat.Air mata gadis itu terus mengalir, bersama tubuhnya yang menggigil kedinginan karena terkena gerimis malam ini."Kau kedinginan, aku tidak mau kau ikut sakit juga setelah ini. Tolong dengarkan aku sebentar.""Tapi, Arthur----" Daisy tidak dapat meneruskan ucapannya karena tangisnya semakin pecah."Tidak apa-apa, tidak akan
Seorang wanita tidak akan bisa hidup tanpa lipstik, itu menurut Arthur. Meski Daisy tidak pernah berdandan yang berlebihan, dia selalu mengedepankan lipstik ke mana pun dia pergi."Kau mau beli di mana, sayang?"Arthur masih menghentikan mobilnya di pinggir jalan, menunggu Daisy menemukan lipstiknya yang tiba-tiba saja tidak ada di dalam tas gadis itu.Mall besar dan toko kosmetik sudah terlewat jauh dari jalan ini. Bisa putar balik, tetapi acara mereka untuk makan siang bersama Mama akan berantakan. Mama sudah menunggu mereka di rumah sejak tadi."Ceroboh sekali aku meninggalkan benda itu.""Di kamarku, memang tidak ada kosmetik yang kau simpan di sana?" tanya Arthur."Tidak ada, sayang. Aku sudah membawa semuanya ke rumah baru kita."Arthur mengetukkan jemarinya di setir. "Kita bisa membelinya, ketika akan mengunjungi Bibi Calyn nanti, bagaimana?" putus Arthur."Ya sudah, aku tidak memakai lipstik juga tidak apa-apa." Daisy m
Seryl masih belum bisa menghubungi Daisy, entah kenapa ponsel gadis itu tidak aktif berhari-hari.Kecemasan terhadap kondisi Mama yang semakin menurun membuat Seryl sering merasakan kontraksi palsu pada kehamilannya yang genap berusia enam bulan."Bagaimana ini." Seryl berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Mama.Mencoba memutar otak untuk bisa menemukan Daisy, setelah gadis itu pindah dari rumah ibu mertuanya. Seryl dengar, Daisy dan Arthur membeli rumah di suatu tempat yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Arthur bekerja.Lama Seryl berpikir, seseorang dari kejauhan memanggil namanya."Sedang apa kau di sini, Seryl?"Seperti mendapatkan sebotol air di gurun pasir, Seryl sangat senang bisa bertemu Eve tanpa sengaja. Meski gadis ini kelihatan sangat tidak menyukai Seryl, tetapi Eve masih mau menyapanya."Kau tahu di mana, Daisy?"Eve mengedikkan bahu. "Untuk apa bertanya, dia sudah bahagia dengan suaminya."Nada b