Suara tepuk tangan begitu riuh terdengar ketika cincin sudah tersemat di jari manis Daisy. Gadis dengan balutan gaun putih gading itu tersenyum tak kalah manis dari cincin yang baru saja bertengger di jari manisnya.
Daisy juga melakukan hal yang sama pada jari manis Arthur. Lelaki bermata hijau meneduhkan yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya.
Acara pernikahan mereka berjalan lancar. Semua tamu undangan ikut berbahagia melihat dua sejoli itu akhirnya menjadi suami istri yang sah. Mereka akan memulai lembaran baru bersama sampai Tuhan memisahkan. Seperti sumpah dan janji mereka.
Hal yang membuat Daisy menitikkan air mata setelah ia tahan begitu lama adalah Mama Erisya yang berjalan setengah berlari menuju altar, hanya untuk memeluknya erat dan mengucapkan terima kasih.
Ini keliru, seharusnya bukan Mama yang mengucapkan terima kasih, melainkan Daisy yang harus berterima kasih karena Mama dan Arthur mau menerimanya dengan baik, meski tahu masa lalunya t
Seminggu kemudian ...."Ada lagi, sayang?" tanya Erisya.Daisy menggeleng sambil tersenyum kecil, menerima seprai baru yang diambilkan Mama dari lemarinya.Setelah pernikahan megah itu, kini semua aktivitas kembali berjalan normal meski banyak yang harus diubah dari kehidupan Daisy.Sekarang Daisy lebih banyak mencoba resep masakan dan membantu Mama di dapur. Ketika Arthur bertugas di rumah sakit, ia menyiapkan pakaian kerja suaminya dan membawakan bekal. Masih banyak lagi perubahan semenjak mereka menikah."Arthur pulang malam ini, sayang?"Daisy mengedikkan bahu. "Dia belum mengabariku lagi, Ma. Terakhir kali siang tadi."Arthur memang bertugas sejak kemarin sore dan mengatakan pada Daisy ia menginap di rumah sakit untuk memantau keadaan pasien yang kemarin di operasi."Ya sudah, Mama mengantuk sekali. Jangan menunggu Arthur sampai malam, ya, kau juga harus istirahat." Erisya menepuk bahu Daisy, sebelum berlalu ke kamarnya.
Baru kali ini, Daisy tahu bahwa Papa Arthur sebenarnya masih ada. Arthur cenderung tidak pernah menceritakan lebih detail mengenai keluarganya. Mungkin juga, hal itu membawa luka lama yang dipendam Arthur sendirian.Mama dan Papanya bercerai ketika ia duduk di bangku SMP. Mereka memutuskan berpisah karena kesulitan ekonomi. Arthur lebih memilih ikut Mamanya karena tidak kurang dekat dengan Papa.Rencananya, hari ini mereka berdua akan pergi ke rumah Papa sebelum ke Paris untuk honeymoon yang tidak direncanakan."Hati-hati di jalan, ya."Erisya terlihat begitu berat melepaskan Arthur dan Daisy. Terlihat dari raut khawatir yang tidak bisa ditutupi.Sejak tadi Erisya sibuk bolak-balik ke kamar, atau mengingatkan Daisy mengenai barang yang mungkin tertinggal.Daisy dan Arthur akan menginap beberapa hari di rumah Papa dan meninggalkan Mama sendirian. Awalnya Arthur berpikir untuk mengajak Mama sekalian liburan, tapi Mama menolak secara halus deng
"Kau sudah makan?" Seryl menganggukkan kepalanya, ia masih bertopang dagu, memperhatikan bagaimana Layton memakan masakannya dengan lahap. Tubuh lelaki itu yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu membuat Seryl merasa sangat iba. Apalagi rambut Layton yang mulai panjang dan gondrong, menandakan ia tak mengurus diri selama di tahanan. "Makan yang banyak, Lay." Seryl menaruh ayam di piring Layton lagi. Matanya sudah berkaca-kaca, merasa tak tahan melihat Layton jadi seperti ini. Terlepas dari perlakuan kasar laki-laki itu dulu, Seryl sangat menyayangi Layton. Layton menghentikan kunyahannya, ketika mendengar suara isak tangis Seryl. "Kau menangis?" tanya Layton, menaruh sendoknya dan memeluk tubuh sang istri. "Untuk apa menangis, sayang? Aku baik-baik saja di sini. Ssstt ... sudah-sudah." Seryl menenggelamkan wajahnya di dada Layton, ia meremas kuat kaus lelaki itu untuk menyalurkan segala rasa sedihnya selama
Seryl masih belum bisa menghubungi Daisy, entah kenapa ponsel gadis itu tidak aktif berhari-hari.Kecemasan terhadap kondisi Mama yang semakin menurun membuat Seryl sering merasakan kontraksi palsu pada kehamilannya yang genap berusia enam bulan."Bagaimana ini." Seryl berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Mama.Mencoba memutar otak untuk bisa menemukan Daisy, setelah gadis itu pindah dari rumah ibu mertuanya. Seryl dengar, Daisy dan Arthur membeli rumah di suatu tempat yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Arthur bekerja.Lama Seryl berpikir, seseorang dari kejauhan memanggil namanya."Sedang apa kau di sini, Seryl?"Seperti mendapatkan sebotol air di gurun pasir, Seryl sangat senang bisa bertemu Eve tanpa sengaja. Meski gadis ini kelihatan sangat tidak menyukai Seryl, tetapi Eve masih mau menyapanya."Kau tahu di mana, Daisy?"Eve mengedikkan bahu. "Untuk apa bertanya, dia sudah bahagia dengan suaminya."Nada b
Seorang wanita tidak akan bisa hidup tanpa lipstik, itu menurut Arthur. Meski Daisy tidak pernah berdandan yang berlebihan, dia selalu mengedepankan lipstik ke mana pun dia pergi."Kau mau beli di mana, sayang?"Arthur masih menghentikan mobilnya di pinggir jalan, menunggu Daisy menemukan lipstiknya yang tiba-tiba saja tidak ada di dalam tas gadis itu.Mall besar dan toko kosmetik sudah terlewat jauh dari jalan ini. Bisa putar balik, tetapi acara mereka untuk makan siang bersama Mama akan berantakan. Mama sudah menunggu mereka di rumah sejak tadi."Ceroboh sekali aku meninggalkan benda itu.""Di kamarku, memang tidak ada kosmetik yang kau simpan di sana?" tanya Arthur."Tidak ada, sayang. Aku sudah membawa semuanya ke rumah baru kita."Arthur mengetukkan jemarinya di setir. "Kita bisa membelinya, ketika akan mengunjungi Bibi Calyn nanti, bagaimana?" putus Arthur."Ya sudah, aku tidak memakai lipstik juga tidak apa-apa." Daisy m
Awan mendung yang bergumul di langit, menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Gemuruh petir terdengar bersahutan, menambah kesan kelabu untuk malam ini.Brankar pesakitan itu terus didorong melewati lorong-lorong rumah sakit. Sampai pada akhirnya berhenti, setelah berhasil masuk ke dalam ruang unit gawat darurat.Tepat ketika pintu ruangan itu ditutup. Hujan deras mengguyur kota, membasahi sebagian bumi dan membuat beberapa orang berusaha menghindarinya."Duduk dulu." Suara berat seseorang menyentak lamunan Daisy."Aku tidak mau," tolak Daisy, ia tetap berdiri di depan pintu UGD yang tertutup rapat.Air mata gadis itu terus mengalir, bersama tubuhnya yang menggigil kedinginan karena terkena gerimis malam ini."Kau kedinginan, aku tidak mau kau ikut sakit juga setelah ini. Tolong dengarkan aku sebentar.""Tapi, Arthur----" Daisy tidak dapat meneruskan ucapannya karena tangisnya semakin pecah."Tidak apa-apa, tidak akan
"Mama!"Arthur berlari sekuat tenaga untuk bisa cepat sampai di ruang rawat inap Mama. Ia bahkan sampai menabrak beberapa perawat hingga peralatan medis yang mereka bawa terjatuh.Dia tidak peduli lagi, Arthur terus berlari.Tapi, ternyata sudah terlambat.Tubuh Mama sudah ditutup dengan kain putih, dengan Daisy yang menangis meraung-raung memeluk jasad Mama. Entah sejak kapan gadis itu ada di sini, Arthur bahkan lupa jika Daisy ada di sini. Ia terlalu kalut.Arthur berjalan perlahan untuk mendekat. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidupnya. "Mama." Hanya itu yang bisa ia keluarkan, berharap ketika Arthur memanggil Mamanya lagi, beliau akan menjawab dengan suara merdunya."Mama," panggil Arthur sekali lagi, membuka penutup kain di wajah Mama dengan tangan yang gemetar.Arthur dapat melihat wajah Mama yang begitu pucat dan bibir yang sudah membiru. Sakit sekali, sesak sekali. Lelaki itu tidak dapat menggambarkan bagaimana ha
2 bulan kemudian .... Arthur menatap setiap inci rumah peninggalan Erisya. Menyerap semua memori dan memutarnya kembali dalam kepala. Kenangan demi kenangan muncul, bagai skenario indah yang Tuhan ciptakan untuk Arthur. "Jika memang belum siap, kenapa terburu-buru?" Daisy mengusap bahu Arthur sebagai bentuk menenangkan. "Menunggu terlalu lama akan semakin membuatku sulit melepaskan ini semua, Daisy." Arthur memilih untuk menjual rumah peninggalan Erisya, karena tidak ada yang akan menempati rumah itu. Ia sudah bertekad untuk pindah ke rumah sederhana yang dibangun untuk Daisy. "Apa kita pindah lagi saja di sini? Kita bisa menjual rumah baru kita, sayang," putus Daisy. "Tidak, kita harus bisa merelakan Mama dan semua kenangannya." Dua bulan kepergian Mama, baik Arthur dan Daisy, mereka sama-sama merasakan ruang kosong di hati masing-masing. Mereka kehilangan sosok yang paling berjasa dan dicintai. Terlalu larut dalam kes