Terkadang, hidup tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Rencana yang kita susun, bisa saja tidak terwujud karena satu dan lain hal.
Layton dan Seryl baru saja berbahagia dengan kehadiran janin kecil di rahim Seryl. Tapi, sesuatu hal yang tidak pernah ia prediksi sedang menunggunya.
"Jika kau tidak bersalah, seharusnya ikut kami saja dulu. Biar kau jelaskan di kantor polisi nanti." Seorang polisi bertubuh kekar dan tegap bersikukuh membawa Layton ke kantor polisi.
Sementara dua polisi lain yang ada di samping tubuh Layton masih memegangi kedua tangannya ke belakang, hendak memborgol.
"Istriku sedang hamil, mana mungkin aku meninggalkannya di rumah sendirian!" bentak Layton.
"Ini tugas dari atasan Pak, mohon pengertiannya. Agar kami bisa cepat menyelesaikan tugas kami."
Suara tangisan Seryl membuatnya tak kuasa untuk tidak menoleh ke belakang. Menatap sang istri yang sedang meronta meminta dia dilepaskan.
Mau bagaim
"Kau pulanglah sekarang."Layton mengusap pipi dingin Seryl dari balik sel. Berharap air mata sang istri tidak jatuh lagi pada pipi mulusnya."Aku tidak mau," isak Seryl.Seminggu setelah penahanan, Layton dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara karena tindakannya yang diduga ingin melenyapkan nyawa Daisy. Hubungan suami istri yang baru saja membaik harus terhalang dengan jeruji besi yang menjerat Layton.Hampir setiap hari, Seryl selalu menjenguknya di tahanan. Gadis cantik itu selalu menangisi Layton yang hanya bisa ia sentuh dari balik jeruji. Kasihan."Kau bisa lelah jika terus seperti ini. Kasihan bayi kita, sayang." Layton mencoba memberi pengertian."Aku tidak apa-apa."Seryl menggeleng. Lagi-lagi, hatinya begitu sakit ketika melihat pakaian tahanan yang dikenakan Layton. Kenapa kebahagiaannya harus tertunda karena kesalahan sang suami. Kenapa Daisy juga begitu tega melaporkan hal ini saat Seryl merasa bahagia atas kehadiran bay
Selebrasi kecil-kecilan karena Eve sudah berhasil membuka cabang kedai kopi di daerah lain. Ia mentraktir Daisy di salah satu restoran mahal dan membawakan beberapa oleh-oleh dari Selandia selepas honeymoon."Kau benar-benar tahu seleraku." Daisy tersenyum, menatap gantungan kunci dengan jam pasir kecil yang menggantung. Unik sekali."Aku, kan sahabatmu."Daisy terkekeh. "Lalu bagaimana, hasil honeymoon sudah keluar?"Eve berdecak. "Belum dicek.""Tenang-tenang." Daisy menepuk bahu Eve.Ia sangat mendukung program kehamilan yang sedang dilakukan Eve dan Austin. Daisy juga berharap mereka segera diberikan momongan.Mereka bercerita mengenai beberapa hal termasuk rencana pernikahan Daisy dan Arthur yang akan dilaksanakan satu bulan lagi. Eve sudah tidak sabar menunggu hari itu, apalagi Daisy.Ponsel Daisy bergetar di meja, panggilan masuk dari Arthur yang sedang bertugas di rumah sakit.[Kau ada di mana?]"Di restor
Seryl menarik napas dalam, memantapkan diri untuk masuk ke rumah besar yang dulu menjadi tempat tinggal Daisy dan orang tuanya.Rumah besar dan mewah layaknya istana ini begitu tak terurus sekarang. Hampir semua pembantu sudah meninggalkan istana megah ini karena Mama sudah tidak mampu untuk membayar.Benar, perusahaan yang dulu dikelola Papa Daisy hingga berjaya, akhirnya redup di tangan Mama. Karena keserahan Mama yang hanya memikirkan tentang uang, perusahaan tidak dikelola dengan baik dan dalam keadaan hampir bangkrut dengan hutang di mana-mana.Mama sendiri mengalami stroke ringan setengah tahun lalu. Melihat hutang atas namanya yang menumpuk dan beberapa aset harus dijual untuk membayar hutang tersebut.Seryl sendiri masih beruntung, karena ia memiliki bisnis kosmetik sendiri untuk mencukupi kebutuhannya."Nona Seryl, Ibu ada di dalam."Seryl tersenyum kecil kepada seorang pembantu yang membukakan pintu. "Terima kasih, Bi."Perl
Suara tepuk tangan begitu riuh terdengar ketika cincin sudah tersemat di jari manis Daisy. Gadis dengan balutan gaun putih gading itu tersenyum tak kalah manis dari cincin yang baru saja bertengger di jari manisnya.Daisy juga melakukan hal yang sama pada jari manis Arthur. Lelaki bermata hijau meneduhkan yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya.Acara pernikahan mereka berjalan lancar. Semua tamu undangan ikut berbahagia melihat dua sejoli itu akhirnya menjadi suami istri yang sah. Mereka akan memulai lembaran baru bersama sampai Tuhan memisahkan. Seperti sumpah dan janji mereka.Hal yang membuat Daisy menitikkan air mata setelah ia tahan begitu lama adalah Mama Erisya yang berjalan setengah berlari menuju altar, hanya untuk memeluknya erat dan mengucapkan terima kasih.Ini keliru, seharusnya bukan Mama yang mengucapkan terima kasih, melainkan Daisy yang harus berterima kasih karena Mama dan Arthur mau menerimanya dengan baik, meski tahu masa lalunya t
Seminggu kemudian ...."Ada lagi, sayang?" tanya Erisya.Daisy menggeleng sambil tersenyum kecil, menerima seprai baru yang diambilkan Mama dari lemarinya.Setelah pernikahan megah itu, kini semua aktivitas kembali berjalan normal meski banyak yang harus diubah dari kehidupan Daisy.Sekarang Daisy lebih banyak mencoba resep masakan dan membantu Mama di dapur. Ketika Arthur bertugas di rumah sakit, ia menyiapkan pakaian kerja suaminya dan membawakan bekal. Masih banyak lagi perubahan semenjak mereka menikah."Arthur pulang malam ini, sayang?"Daisy mengedikkan bahu. "Dia belum mengabariku lagi, Ma. Terakhir kali siang tadi."Arthur memang bertugas sejak kemarin sore dan mengatakan pada Daisy ia menginap di rumah sakit untuk memantau keadaan pasien yang kemarin di operasi."Ya sudah, Mama mengantuk sekali. Jangan menunggu Arthur sampai malam, ya, kau juga harus istirahat." Erisya menepuk bahu Daisy, sebelum berlalu ke kamarnya.
Baru kali ini, Daisy tahu bahwa Papa Arthur sebenarnya masih ada. Arthur cenderung tidak pernah menceritakan lebih detail mengenai keluarganya. Mungkin juga, hal itu membawa luka lama yang dipendam Arthur sendirian.Mama dan Papanya bercerai ketika ia duduk di bangku SMP. Mereka memutuskan berpisah karena kesulitan ekonomi. Arthur lebih memilih ikut Mamanya karena tidak kurang dekat dengan Papa.Rencananya, hari ini mereka berdua akan pergi ke rumah Papa sebelum ke Paris untuk honeymoon yang tidak direncanakan."Hati-hati di jalan, ya."Erisya terlihat begitu berat melepaskan Arthur dan Daisy. Terlihat dari raut khawatir yang tidak bisa ditutupi.Sejak tadi Erisya sibuk bolak-balik ke kamar, atau mengingatkan Daisy mengenai barang yang mungkin tertinggal.Daisy dan Arthur akan menginap beberapa hari di rumah Papa dan meninggalkan Mama sendirian. Awalnya Arthur berpikir untuk mengajak Mama sekalian liburan, tapi Mama menolak secara halus deng
"Kau sudah makan?" Seryl menganggukkan kepalanya, ia masih bertopang dagu, memperhatikan bagaimana Layton memakan masakannya dengan lahap. Tubuh lelaki itu yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu membuat Seryl merasa sangat iba. Apalagi rambut Layton yang mulai panjang dan gondrong, menandakan ia tak mengurus diri selama di tahanan. "Makan yang banyak, Lay." Seryl menaruh ayam di piring Layton lagi. Matanya sudah berkaca-kaca, merasa tak tahan melihat Layton jadi seperti ini. Terlepas dari perlakuan kasar laki-laki itu dulu, Seryl sangat menyayangi Layton. Layton menghentikan kunyahannya, ketika mendengar suara isak tangis Seryl. "Kau menangis?" tanya Layton, menaruh sendoknya dan memeluk tubuh sang istri. "Untuk apa menangis, sayang? Aku baik-baik saja di sini. Ssstt ... sudah-sudah." Seryl menenggelamkan wajahnya di dada Layton, ia meremas kuat kaus lelaki itu untuk menyalurkan segala rasa sedihnya selama
Seryl masih belum bisa menghubungi Daisy, entah kenapa ponsel gadis itu tidak aktif berhari-hari.Kecemasan terhadap kondisi Mama yang semakin menurun membuat Seryl sering merasakan kontraksi palsu pada kehamilannya yang genap berusia enam bulan."Bagaimana ini." Seryl berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Mama.Mencoba memutar otak untuk bisa menemukan Daisy, setelah gadis itu pindah dari rumah ibu mertuanya. Seryl dengar, Daisy dan Arthur membeli rumah di suatu tempat yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Arthur bekerja.Lama Seryl berpikir, seseorang dari kejauhan memanggil namanya."Sedang apa kau di sini, Seryl?"Seperti mendapatkan sebotol air di gurun pasir, Seryl sangat senang bisa bertemu Eve tanpa sengaja. Meski gadis ini kelihatan sangat tidak menyukai Seryl, tetapi Eve masih mau menyapanya."Kau tahu di mana, Daisy?"Eve mengedikkan bahu. "Untuk apa bertanya, dia sudah bahagia dengan suaminya."Nada b