"Austin benar-benar punya selera yang norak!"
Eve melempar ponsel ke kasur, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang ada di kamar Daisy.
"Mana ada yang mau memakai gaun sesederhana itu," omelnya lagi.
Daisy yang sedang melipat beberapa pakaian bayi, tertawa pelan. "Kau mau gaun yang seperti apa untuk pernikahanmu?"
"Yang pasti agak mewah."
"Kau saja tidak pernah memakai gaun, Eve."
Eve menggaruk tengkuknya. "Kau benar juga, tapi ini acara penting. Sekali seumur hidup. Meski aku tidak pernah memakai gaun, aku ingin memeras uang Austin agar membelikanku gaun mahal."
Sebelum menjawab Eve, Daisy memasukkan pakaian bayi yang sudah ia lipat rapi ke dalam koper kecil. Persiapan terakhir untuk hari persalinannya sudah ia siapkan. Tinggal menunggu beberapa hari, ia bisa memeluk buah hatinya.
"Kau benar, kau harus berdandan yang cantik dan memakai gaun mahal."
Eve tersenyum puas mendengar jawaban Daisy. Gadis yang sedang m
Jika waktu bisa diputar, Daisy ingin kembali pada masa awal kehamilannya. Meski setiap hari ia harus tersiksa dengan morning sickness, setidaknya dia tahu janinnya hidup dan baik-baik saja.Saat itu, dia banyak mengidam hal-hal aneh. Seperti meminta Austin untuk mengecat kukunya, mengajak Eve makan pedas hingga sakit perut, dan masih banyak lagi.Setiap malam, teman bicara Daisy hanya janin itu. Tempatnya meminta saran, mengeluh, menangis, dan tertawa.Daisy rindu sekali tendangan kuat dari janinnya jika dia sedang meminta saran. Sekarang, ia merasa sangat hampa, tidak ada lagi teman bicara. Ketika Daisy memegang perutnya, perut itu sudah berbeda, perutnya sudah rata."Bagaimana?" Ini sudah ketiga kalinya Eve bertanya.Daisy menatap lurus langit-langit rawat inapnya dalam diam. Waktu demi waktu berlalu dan Daisy harus memutuskan ia atau tidak. Tidak baik menunda pemakaman, kasihan Alden yang menunggu."Ya sudah, kau istirahat di sini saja. B
Terkadang, Eve merasa kasihan pada Daisy yang masih berusaha merelakan bayinya. Tapi, sesuatu yang berhubungan dengan bayi itu tidak akan pernah hilang pada diri Daisy. Bukan hanya bekas operasi yang akan terus ada, kini masalahnya ada pada asi yang diproduksi payudaranya yang sering merembes.Padahal Arthur sudah memberi beberapa obat untuk menghentikan itu. Sudah seminggu sejak operasi, obatnya belum juga bereaksi."Mau di keluarkan saja?" tanya Eve, memperhatikan Daisy yang meringis menahan nyeri.Daisy menggeleng. "Arthur bilang, itu justru akan membuat asinya semakin banyak keluar.""Lalu bagaimana?""Aku tidak tau." Daisy kembali bersandar pada kepala ranjang.Eve memeras handuk yang sudah dicelupkan air dingin, lalu memberikannya pada Daisy untuk diletakkan di payudara gadis itu.Keduanya sama-sama diam, berpikir."Aku bingung," keluh Eve."Aku juga."Daisy menarik napas dalam, sesekali meremas payudaranya
Setiap tarikan napas, seperti siksaan nyata bagi Daisy. Lama sekali ajal menjemputnya, padahal sejak tadi Daisy sudah kesulitan bernapas. Keringat sebesar butir jagung membasahi pelipisnya, bersama air mata yang terus mengalir tanpa henti. Ia sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini.Tidak kuat.Sampai tiba-tiba, seseorang merengkuh tubuhnya."Daisy?!"Mata hijau itu lagi."Sakit," rintih Daisy.Arthur menyandarkan kepala Daisy di lengannya. "Kau aman sekarang," ucapnya, mengusap pipi pucat Daisy.Lelaki itu menekan perut Daisy untuk menahan pendarahannya agar tidak keluar lebih banyak. Sementara Daisy sudah meremas kaus Arthur sebagai bentuk ketakutannya."Tahan sebentar, ya."Sekali gerak, Arthur berhasil membawa Daisy ke dalam gendongannya. Lelaki itu berlari menuju rumah sakit lagi. Samar-samar, Daisy dapat melihat rahang kokoh Arthur yang mengeras."Biarkan aku mati, Arthur.""Biarkan aku mati," racau D
"Harus dengan pasangan, ya, Dok?"Dokter tersenyum kecil dan mengangguk. "Bisa saja dengan laki-laki lain, jika Nona mau?"Seryl membaca deretan kata pada buku panduan kecil yang tadi diberikan Dokter Wendy. Ia tersenyum canggung. Pikirannya berkelana, bagaimana cara membujuk Layton untuk melakukan proses ini dengannya?"Saya pikirkan dulu, Dok."Setelah berbasa-basi sebentar, Seryl keluar dari ruang periksa. Ia memasukkan buku panduan mengenai prosedur bayi tabung ke dalam tasnya. Menoleh ke kanan dan kiri, Seryl berharap tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dia lakukan.Ketika Seryl sedang mencari kunci mobil di dalam tas, ia tidak sengaja mendengar para perawat dan dokter sedang gaduh di belakangnya."Pasien kenapa, Dok?""Pendarahan pasca operasi cesar."Seryl menutup mulutnya sendiri, ia tidak sengaja melihat darah berceceran di lantai. Lalu pandangannya beralih pada seseorang yang dibaringkan di brankar. Tampak
Lelah sekali, berpura-pura tetap terpejam dan terus mendengar obrolan orang-orang di sekitarnya. Ia harus menahan rintihan ketika bekas luka operasinya nyeri. Ia juga harus menahan tubuhnya untuk tidak bergerak ketika gatal.Ya, Daisy sudah terbangun dua hari yang lalu. Dia mendengar Austin, Eve, dan Arthur yang sedang mendiskusikan untuk membawa kasus yang menimpanya ke jalur hukum.Ketika Daisy tahu knop pintu dibuka perlahan, dia membuka mata."Daisy," panggil Eve. Dia terburu-buru berjalan mendekat. Pakaiannya yang sangat rapi membuat Daisy berpikir, apakah dia sudah berhasil melaporkan Layton ke polisi."Ah." Daisy memegang perutnya. Ini bukan akting, perutnya sungguhan berdenyut nyeri.Eve dengan sigap membantu Daisy untuk bersandar pada ranjang, gadis itu segera memanggil Arthur. Mulanya Daisy sempat menolak ketika Eve hendak pergi menemui Arthur.Tapi, si mata hijau itu sepertinya punya koneksi yang baik. Tiba-tiba saja dia sudah ada
Gerimis turun ketika Daisy dan Arthur sudah berada di depan rumah sakit. Arthur dengan cepat membawa Daisy menuju mobil dan mendudukkan gadis itu di kursi samping kemudi. Hari ini Daisy sudah resmi keluar dari rumah sakit. Dia bisa melakukan pemulihan operasinya di rumah. "Kau basah, ya?" tanya Arthur, mengusap rambut panjang Daisy. "Tidak, aku tidak basah. Hanya gerimis kecil, kan?" Daisy melirik ke luar mobil. "Iya benar, gerimis kecil." Arthur tertawa. Lelaki dengan balutan jaket jeans itu berpamitan untuk mengambil kursi roda yang tertinggal. Daisy memang masih lemas, jadi dia harus dibantu dengan kursi roda. Lega sekali, dia bisa menghirup udara segar setelah berhari-hari hanya mencium bau obat. "Kau mau mampir ke suatu tempat?" tanya Arthur. Mobil sudah berada di jalan, berkumpul dengan kendaraan lain yang juga sedang melakukan perjalanan. Arthur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. "Tidak ada, a
Erisya mengusap pipi Daisy lembut.Hari ini adalah pertemuan perdana mereka dengan status yang berbeda. Daisy kini telah menjadi calon istri Arthur dan Erisya sebentar lagi akan menjadi ibu mertuanya.Sejak kedatangannya, Daisy tidak berhenti menangis. Dia merasa tidak pernah pantas untuk menjadi pendamping seorang Arthur.Tapi, Erisya meyakinkan Daisy bahwa dia akan menerima gadis itu dengan baik karena Arthur sudah memilih Daisy sebagai wanita yang dicintainya. Erisya juga tidak terlalu peduli dengan masa lalu Daisy, karena semua hanyalah kecelakaan dan tanpa unsur kesengajaan.Wanita paruh baya itu juga mengerti bahwa sejatinya Daisy adalah gadis yang baik dan polos. Tidak ada alasan lain untuk tidak menerima Daisy yang sekarang hidup sebatang kara."Minum dulu," Arthur menyodorkan segelas air.Erisya masuk ke kamar setelah menerima telepon dari karyawannya tentang pesanan kue kering di toko. Ia berpesan pada Arthur untuk menjaga Daisy da
"Memangnya kau tidak ingin sarapan?"Seryl mengeratkan selimut yang membalut tubuh polosnya dengan Layton.Sudah hampir lima belas menit, Layton menahannya di ranjang. Lelaki itu memeluk Seryl dengan posesif."Lay?""Hm?""Aku buatkan sarapan dulu, tolong lepaskan," pinta Seryl."Ada Bibi. Lagipula masakanmu terkadang kacau, biar Bibi saja yang mengurus urusan dapur."Seryl mendengkus. Dia memang tidak bisa memasak, tapi dia sedang berusaha. Sejak kecil, Mama tidak pernah mengajarkan hal-hal tentang rumah tangga, jadi Seryl terlalu awam.Ucapan Layton memang menyakitkan sekali untuk dikatakan di depan para istri. Tapi, mau bagaimana lagi, memang watak laki-laki itu dari lahir sudah frontal dan keras."Lalu tugasku apa?" kesal Seryl."Melayaniku setiap malam.""Jadi, aku hanya pemuas nafsumu?" tanya Seryl."Istriku."Layton menarik tubuh Seryl untuk lebih dekat dengannya. Ia mendaratkan ciuman
"Bagaimana jika honeymoon bersama?"Austin yang ada di sebelah Arthur sampai tersedak ketika sang istri mengatakan hal itu.Mereka berempat---Arthur, Daisy, Eve, dan Austin. Sedang makan malam bersama di sebuah restoran yang tidak jauh dari toko kue Daisy. Reunian dadakan, setelah hampir empat bulan tidak bertemu karena Eve menemani Austin ke luar negeri."Honeymoon lagi?" Austin agaknya keberatan. "Bulan kemarin kau sudah memintanya, sayang."Daisy yang mulai tahu akan ada perdebatan di antara pasangan itu, akhirnya bersuara. "Honeymoon, ke mana?""Ya, ke mana saja. Berempat.""Aku keberatan," sahut Arthur yang sejak tadi hanya diam, menyimak.Daisy sebenarnya ingin protes, tetapi ketika ia tahu mata Arthur mengarah ke mana, ia tidak jadi protes. "Aku tidak bisa untuk beberapa bulan ini.""Ya, tidak seru sekali." Eve menghela napas, kecewa."Tunggu sampai bayiku lahir dulu," ucap Daisy.Kehamilannya sudah memasuk
"Aku sudah memaafkan mereka," ungkap Daisy, mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya bersama Arthur. Arthur yang hanya terpejam, mengangguk singkat. "Aku tahu kau sangat baik," bisiknya, mengecup puncak kepala Daisy begitu lama. "Mungkin, hukuman itu membuat Layton dan Seryl tidak bisa menikmati kebersamaan merawat anak mereka. Aku sering berpikir, apakah aku terlalu jahat menjebloskan lelaki itu ke penjara?" Arthur terkekeh. "Tidak ada yang jahat. Itu sudah menjadi tanggung jawab Layton. Berani berbuat berarti berani menanggung konsekuensi, sayang." Sejenak, Daisy menikmati usapan lembut Arthur di perut besarnya. Sebelum merespon ucapan Arthur. "Termasuk Seryl juga?" "Ya, Seryl dan mamanya juga pantas mendapatkan semuanya. Kau sudah lama tersiksa, sayang. Sekarang giliranmu bahagia, bukan?" Balas dendam bukan solusi terbaik untuk sebuah masalah. Meski Daisy sempat kesal dan membenci, bagaimana pun juga Seryl adalah keluarga.
Kring ... kring ....Bel yang menandakan pelanggan baru saja masuk ke dalam toko kue kembali terdengar. Daisy menunjukkan senyum manisnya dan berdiri dari tempatnya duduk."Selamat datang di toko DaisyMilk, ada yang bisa saya bantu?"Daisy memberikan buku menu yang berisi bermacam-macam roti yang ada di toko ini. Toko kue peninggalan Mama Erisya yang sedikit diubah Arthur menjadi toko minimalis.Setelah usia kandungan Daisy memasuki enam bulan. Ia diberi kesibukan untuk mengurus toko bernama DaisyMilk ini bersama empat karyawan lain yang bertugas di dapur."Baik, satu kue tart yang akan diambil besok, ya. Mohon dicek kembali pesanan anda."Daisy menyodorkan tulisan pesanan yang sudah ia tulis di note pada pelanggan.Sudah pukul dua lewat lima belas menit. Waktunya Daisy untuk pulang ke rumah, tetapi masih ada beberapa pesanan yang belum dicek ulang."Nona, lebih baik istirahat saja. Nanti biar saya yang menyelesaikan pesanan."
Dokter dan beberapa perawat mencoba untuk menenangkan Seryl yang histeris karena kontraksi. Sementara Daisy sudah tidak tahan lagi harus terus berdiri dengan tangan yang di genggam Seryl kuat-kuat. "Dokter, aku sudah tidak kuat," lirih Daisy, memegang perutnya sendiri yang sejak tadi kram. Arthur sedang keluar untuk menelepon polisi. Tidak ada keluarga lain yang bisa dihubungi dan satu-satunya orang yang dapat menemani Seryl melahirkan adalah Layton. "Nona, kau bisa duduk dulu di sini. Perutmu kram?" Daisy mengangguk. Seorang suster memberikan kursi pada Daisy dan membantu gadis itu untuk duduk. Jeritan Seryl sama sekali tidak bisa membuatnya tenang. Daisy diselimuti rasa khawatir juga mengenai persalinan ini. Tadi, ia sempat mendengar percakapan Arthur dengan dokter yang menangani Seryl. Ketuban yang pecah dini, membuat bayi di dalam rahim Seryl kekurangan oksigen. "Daisy," panggil Arthur. Bagaimana?" "Perizinan
2 bulan kemudian .... Arthur menatap setiap inci rumah peninggalan Erisya. Menyerap semua memori dan memutarnya kembali dalam kepala. Kenangan demi kenangan muncul, bagai skenario indah yang Tuhan ciptakan untuk Arthur. "Jika memang belum siap, kenapa terburu-buru?" Daisy mengusap bahu Arthur sebagai bentuk menenangkan. "Menunggu terlalu lama akan semakin membuatku sulit melepaskan ini semua, Daisy." Arthur memilih untuk menjual rumah peninggalan Erisya, karena tidak ada yang akan menempati rumah itu. Ia sudah bertekad untuk pindah ke rumah sederhana yang dibangun untuk Daisy. "Apa kita pindah lagi saja di sini? Kita bisa menjual rumah baru kita, sayang," putus Daisy. "Tidak, kita harus bisa merelakan Mama dan semua kenangannya." Dua bulan kepergian Mama, baik Arthur dan Daisy, mereka sama-sama merasakan ruang kosong di hati masing-masing. Mereka kehilangan sosok yang paling berjasa dan dicintai. Terlalu larut dalam kes
"Mama!"Arthur berlari sekuat tenaga untuk bisa cepat sampai di ruang rawat inap Mama. Ia bahkan sampai menabrak beberapa perawat hingga peralatan medis yang mereka bawa terjatuh.Dia tidak peduli lagi, Arthur terus berlari.Tapi, ternyata sudah terlambat.Tubuh Mama sudah ditutup dengan kain putih, dengan Daisy yang menangis meraung-raung memeluk jasad Mama. Entah sejak kapan gadis itu ada di sini, Arthur bahkan lupa jika Daisy ada di sini. Ia terlalu kalut.Arthur berjalan perlahan untuk mendekat. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidupnya. "Mama." Hanya itu yang bisa ia keluarkan, berharap ketika Arthur memanggil Mamanya lagi, beliau akan menjawab dengan suara merdunya."Mama," panggil Arthur sekali lagi, membuka penutup kain di wajah Mama dengan tangan yang gemetar.Arthur dapat melihat wajah Mama yang begitu pucat dan bibir yang sudah membiru. Sakit sekali, sesak sekali. Lelaki itu tidak dapat menggambarkan bagaimana ha
Awan mendung yang bergumul di langit, menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Gemuruh petir terdengar bersahutan, menambah kesan kelabu untuk malam ini.Brankar pesakitan itu terus didorong melewati lorong-lorong rumah sakit. Sampai pada akhirnya berhenti, setelah berhasil masuk ke dalam ruang unit gawat darurat.Tepat ketika pintu ruangan itu ditutup. Hujan deras mengguyur kota, membasahi sebagian bumi dan membuat beberapa orang berusaha menghindarinya."Duduk dulu." Suara berat seseorang menyentak lamunan Daisy."Aku tidak mau," tolak Daisy, ia tetap berdiri di depan pintu UGD yang tertutup rapat.Air mata gadis itu terus mengalir, bersama tubuhnya yang menggigil kedinginan karena terkena gerimis malam ini."Kau kedinginan, aku tidak mau kau ikut sakit juga setelah ini. Tolong dengarkan aku sebentar.""Tapi, Arthur----" Daisy tidak dapat meneruskan ucapannya karena tangisnya semakin pecah."Tidak apa-apa, tidak akan
Seorang wanita tidak akan bisa hidup tanpa lipstik, itu menurut Arthur. Meski Daisy tidak pernah berdandan yang berlebihan, dia selalu mengedepankan lipstik ke mana pun dia pergi."Kau mau beli di mana, sayang?"Arthur masih menghentikan mobilnya di pinggir jalan, menunggu Daisy menemukan lipstiknya yang tiba-tiba saja tidak ada di dalam tas gadis itu.Mall besar dan toko kosmetik sudah terlewat jauh dari jalan ini. Bisa putar balik, tetapi acara mereka untuk makan siang bersama Mama akan berantakan. Mama sudah menunggu mereka di rumah sejak tadi."Ceroboh sekali aku meninggalkan benda itu.""Di kamarku, memang tidak ada kosmetik yang kau simpan di sana?" tanya Arthur."Tidak ada, sayang. Aku sudah membawa semuanya ke rumah baru kita."Arthur mengetukkan jemarinya di setir. "Kita bisa membelinya, ketika akan mengunjungi Bibi Calyn nanti, bagaimana?" putus Arthur."Ya sudah, aku tidak memakai lipstik juga tidak apa-apa." Daisy m
Seryl masih belum bisa menghubungi Daisy, entah kenapa ponsel gadis itu tidak aktif berhari-hari.Kecemasan terhadap kondisi Mama yang semakin menurun membuat Seryl sering merasakan kontraksi palsu pada kehamilannya yang genap berusia enam bulan."Bagaimana ini." Seryl berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Mama.Mencoba memutar otak untuk bisa menemukan Daisy, setelah gadis itu pindah dari rumah ibu mertuanya. Seryl dengar, Daisy dan Arthur membeli rumah di suatu tempat yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Arthur bekerja.Lama Seryl berpikir, seseorang dari kejauhan memanggil namanya."Sedang apa kau di sini, Seryl?"Seperti mendapatkan sebotol air di gurun pasir, Seryl sangat senang bisa bertemu Eve tanpa sengaja. Meski gadis ini kelihatan sangat tidak menyukai Seryl, tetapi Eve masih mau menyapanya."Kau tahu di mana, Daisy?"Eve mengedikkan bahu. "Untuk apa bertanya, dia sudah bahagia dengan suaminya."Nada b