“Aku akan pergi, jika Austin keberatan aku ada di sini,” kata Daisy.
Kedua pasangan itu saling tatap. Eve menatap tajam Austin, sementara Austin merasa bersalah dengan ucapannya.
Eve dan Austin tidak menyadari kedatangan Daisy. Gadis itu berdiri di balik pintu apartemen, mendengar pertengkaran mereka tentang pernikahan yang masih tertunda. Daisy memang sengaja membuka pintu kamar Eve, ia sudah tidak tahan mendengar mereka saling meninggikan suara.
“Austin hanya sedang lelah, dia tidak sengaja mengatakan itu, Daisy.” Eve tidak tega melihat Daisy berlinang air mata. Satu tangan gadis itu memegang perut bagian bawahnya dengan napas terengah.
Daisy meringis. “Aku memang hanya benalu, aku tahu itu. Maaf, selama ini hanya bisa merepotkan kalian saja.”
Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin. Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake. "Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith. "Tidak apa-apa, untuk Eve juga." "Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum. Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen. "Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen. Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai. "Baru saja sampai, itu apa?"
"Daisy?"Eve menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana sahabatnya pergi. Daisy sudah berjanji akan berada di restoran itu, menunggunya. Tapi sekarang gadis itu justru tidak ada.Garpu dan pisau steak yang terjatuh di lantai membuat Eve sedikit curiga. Daisy pergi bukan karena kemauannya sendiri.Eve khawatir."Pak Satpam!" Eve berlari kecil ketika melihat seorang satpam berjalan di luar restoran.Ia menceritakan kronologi hilangnya Daisy dan meminta tolong untuk dicarikan. Eve juga menunjukkan foto terakhir sahabatnya yang dia ambil melalui ponsel tadi ketika berbelanja.Eve harap, ia segera menemukan Daisy.***Keadaan tidak dapat terkendali. Sekuat tenaga Daisy berteriak, pertengkaran ini tidak juga berhenti. Keringat dingin yang terus mengucur membuatnya berpegangan pada pot besar di belakang tubuhnya.Jika terus seperti ini, ia bisa saja pingsan. Tidak ada yang melihatnya kesakitan. Arthur dan Layto
"Austin benar-benar punya selera yang norak!"Eve melempar ponsel ke kasur, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang ada di kamar Daisy."Mana ada yang mau memakai gaun sesederhana itu," omelnya lagi.Daisy yang sedang melipat beberapa pakaian bayi, tertawa pelan. "Kau mau gaun yang seperti apa untuk pernikahanmu?""Yang pasti agak mewah.""Kau saja tidak pernah memakai gaun, Eve."Eve menggaruk tengkuknya. "Kau benar juga, tapi ini acara penting. Sekali seumur hidup. Meski aku tidak pernah memakai gaun, aku ingin memeras uang Austin agar membelikanku gaun mahal."Sebelum menjawab Eve, Daisy memasukkan pakaian bayi yang sudah ia lipat rapi ke dalam koper kecil. Persiapan terakhir untuk hari persalinannya sudah ia siapkan. Tinggal menunggu beberapa hari, ia bisa memeluk buah hatinya."Kau benar, kau harus berdandan yang cantik dan memakai gaun mahal."Eve tersenyum puas mendengar jawaban Daisy. Gadis yang sedang m
Jika waktu bisa diputar, Daisy ingin kembali pada masa awal kehamilannya. Meski setiap hari ia harus tersiksa dengan morning sickness, setidaknya dia tahu janinnya hidup dan baik-baik saja.Saat itu, dia banyak mengidam hal-hal aneh. Seperti meminta Austin untuk mengecat kukunya, mengajak Eve makan pedas hingga sakit perut, dan masih banyak lagi.Setiap malam, teman bicara Daisy hanya janin itu. Tempatnya meminta saran, mengeluh, menangis, dan tertawa.Daisy rindu sekali tendangan kuat dari janinnya jika dia sedang meminta saran. Sekarang, ia merasa sangat hampa, tidak ada lagi teman bicara. Ketika Daisy memegang perutnya, perut itu sudah berbeda, perutnya sudah rata."Bagaimana?" Ini sudah ketiga kalinya Eve bertanya.Daisy menatap lurus langit-langit rawat inapnya dalam diam. Waktu demi waktu berlalu dan Daisy harus memutuskan ia atau tidak. Tidak baik menunda pemakaman, kasihan Alden yang menunggu."Ya sudah, kau istirahat di sini saja. B
Terkadang, Eve merasa kasihan pada Daisy yang masih berusaha merelakan bayinya. Tapi, sesuatu yang berhubungan dengan bayi itu tidak akan pernah hilang pada diri Daisy. Bukan hanya bekas operasi yang akan terus ada, kini masalahnya ada pada asi yang diproduksi payudaranya yang sering merembes.Padahal Arthur sudah memberi beberapa obat untuk menghentikan itu. Sudah seminggu sejak operasi, obatnya belum juga bereaksi."Mau di keluarkan saja?" tanya Eve, memperhatikan Daisy yang meringis menahan nyeri.Daisy menggeleng. "Arthur bilang, itu justru akan membuat asinya semakin banyak keluar.""Lalu bagaimana?""Aku tidak tau." Daisy kembali bersandar pada kepala ranjang.Eve memeras handuk yang sudah dicelupkan air dingin, lalu memberikannya pada Daisy untuk diletakkan di payudara gadis itu.Keduanya sama-sama diam, berpikir."Aku bingung," keluh Eve."Aku juga."Daisy menarik napas dalam, sesekali meremas payudaranya
Setiap tarikan napas, seperti siksaan nyata bagi Daisy. Lama sekali ajal menjemputnya, padahal sejak tadi Daisy sudah kesulitan bernapas. Keringat sebesar butir jagung membasahi pelipisnya, bersama air mata yang terus mengalir tanpa henti. Ia sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini.Tidak kuat.Sampai tiba-tiba, seseorang merengkuh tubuhnya."Daisy?!"Mata hijau itu lagi."Sakit," rintih Daisy.Arthur menyandarkan kepala Daisy di lengannya. "Kau aman sekarang," ucapnya, mengusap pipi pucat Daisy.Lelaki itu menekan perut Daisy untuk menahan pendarahannya agar tidak keluar lebih banyak. Sementara Daisy sudah meremas kaus Arthur sebagai bentuk ketakutannya."Tahan sebentar, ya."Sekali gerak, Arthur berhasil membawa Daisy ke dalam gendongannya. Lelaki itu berlari menuju rumah sakit lagi. Samar-samar, Daisy dapat melihat rahang kokoh Arthur yang mengeras."Biarkan aku mati, Arthur.""Biarkan aku mati," racau D
"Harus dengan pasangan, ya, Dok?"Dokter tersenyum kecil dan mengangguk. "Bisa saja dengan laki-laki lain, jika Nona mau?"Seryl membaca deretan kata pada buku panduan kecil yang tadi diberikan Dokter Wendy. Ia tersenyum canggung. Pikirannya berkelana, bagaimana cara membujuk Layton untuk melakukan proses ini dengannya?"Saya pikirkan dulu, Dok."Setelah berbasa-basi sebentar, Seryl keluar dari ruang periksa. Ia memasukkan buku panduan mengenai prosedur bayi tabung ke dalam tasnya. Menoleh ke kanan dan kiri, Seryl berharap tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dia lakukan.Ketika Seryl sedang mencari kunci mobil di dalam tas, ia tidak sengaja mendengar para perawat dan dokter sedang gaduh di belakangnya."Pasien kenapa, Dok?""Pendarahan pasca operasi cesar."Seryl menutup mulutnya sendiri, ia tidak sengaja melihat darah berceceran di lantai. Lalu pandangannya beralih pada seseorang yang dibaringkan di brankar. Tampak
Lelah sekali, berpura-pura tetap terpejam dan terus mendengar obrolan orang-orang di sekitarnya. Ia harus menahan rintihan ketika bekas luka operasinya nyeri. Ia juga harus menahan tubuhnya untuk tidak bergerak ketika gatal.Ya, Daisy sudah terbangun dua hari yang lalu. Dia mendengar Austin, Eve, dan Arthur yang sedang mendiskusikan untuk membawa kasus yang menimpanya ke jalur hukum.Ketika Daisy tahu knop pintu dibuka perlahan, dia membuka mata."Daisy," panggil Eve. Dia terburu-buru berjalan mendekat. Pakaiannya yang sangat rapi membuat Daisy berpikir, apakah dia sudah berhasil melaporkan Layton ke polisi."Ah." Daisy memegang perutnya. Ini bukan akting, perutnya sungguhan berdenyut nyeri.Eve dengan sigap membantu Daisy untuk bersandar pada ranjang, gadis itu segera memanggil Arthur. Mulanya Daisy sempat menolak ketika Eve hendak pergi menemui Arthur.Tapi, si mata hijau itu sepertinya punya koneksi yang baik. Tiba-tiba saja dia sudah ada