Empat bulan kemudian ...
Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak.“Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.”Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang.“Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?”“Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.”Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya.“Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banyak diberi keringanan. Aku terkadang iri padanya, apalagi Bram selalu menunjukkan perhatian.”“Bram? Kau menyukai Bram, ya?” tebak salah satu dari mereka berdua.“Tidak. Tapi, aku kasihan pada Bram, dia seperti dimanfaatkan oleh Daisy.”“Tenang saja, Bram juga pasti berpikir dua kali. Mana mau dia dengan gadis kotor yang hamil di luar pernikahan seperti Daisy.”Tawa dari keduanya membuat Daisy menarik napas dalam. Ia membuka pintu setelah kedua karyawan itu pergi. Lalu berjalan gontai menuju lokernya untuk menaruh pakaian.Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel di pipi kanan Daisy, membuatnya memekik.“Bram! Kau mengejutkan saja.” Daisy mengusap perutnya sendiri.
Bram terkekeh. “Ini aku belikan minuman untukmu.”Daisy tak langsung menerimanya, ia mengingat kembali percakapan antara dua karyawan tadi. Apakah benar, selama ini ia hanya memanfaatkan Bram saja. Sebenarnya, Daisy sudah tahu sejak lama jika Bram menyukainya, tapi Daisy memang tak berniat untuk menjalin hubungan lagi setelah peristiwa kemarin.“Kau minum saja sendiri, Bram. Maaf, aku harus segera bekerja.”Bram menatap punggung Daisy yang menjauh, ada yang aneh dari sikap gadis itu padanya.***
Lonceng di atas pintu berbunyi, menandakan pelanggan baru datang. Daisy dengan penuh semangat menghampiri sepasang kekasih yang duduk di meja nomor lima belas, membelakanginya. Ketika Daisy ingin mencoba menyodorkan menu, ia tidak sengaja mendengar percakapan dari sepasang kekasih itu.“Pernikahan kita bulan lalu benar-benar meriah, Layton. Aku seperti menjadi ratu semalam.”Si lelaki terkekeh. “Sekarang, kau menjadi ratuku setiap hari.”Jika tidak disenggol dan dimarahi Rai, Daisy sudah ingin berlari pergi dari tempat itu. Tapi, karena suara Rai yang begitu keras, sepasang kekasih itu menoleh secara bersamaan.“Daisy?!” panggil si gadis.Daisy meremas menu di tangannya. Ia berjalan pelan, memberikan menu pada Layton dan juga Seryl—anak Bibinya. Entah apa yang terjadi, kenapa mereka bisa sudah menikah. Cincin yang melingkar di jari manis keduanya membuat perasaan Daisy seperti diremas, sakit sekali. Tanpa sadar ia mengusap perut yang sudah menonjol dibalik pakaian kerjanya.“Kau ternyata bekerja di sini?” Seryl bertanya setelah pesanannya ditulis dan mengembalikan buku menu pada Daisy.“Tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama, jika ada waktu bermain saja ke rumah, Daisy. Mama pasti senang, iya, kan sayang?” Seryl menoleh pada Layton.Layton sendiri hanya mengangguk acuh.Lelaki itu memeluk pinggang Seryl posesif, seperti jika sekali saja terlepas, Seryl akan jatuh ke tangan lelaki lain. Daisy yang menatapnya saja mulai bosan, ia ingin segera pergi dari sini.
“Ada yang mau dipesan lagi?” tanya Daisy, acuh.“Ah, tidak ada.” Seryl tersenyum lebar. “Mau makan bersama kami tidak?”Daisy tidak menjawab, ia mengucapkan sekali lagi apa yang baru saja dipesan agar tidak keliru, lalu berbalik pergi tanpa peduli panggilan Seryl. Ia memberikan kertasnya pada Bram yang memang menjadi koki. Tanpa Daisy sadari, sebenarnya Layton diam-diam memperhatikannya.***
Dua kantong besar dibawa Daisy menuju tempat sampah yang ada di samping restoran, sambil menahan panas terik ia mempercepat jalannya. Setelah membuang sampah, Daisy duduk sebentar di pohon rindang yang ada dekat tempat parkir.“Bukankah kau sedang mengandung anakku?”Daisy terperanjat, ia segera berdiri ketika seseorang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya—Layton. Lelaki itu menatap Daisy datar dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.“Kau tidak menggugurkannya? Secinta itu kau denganku, ya?” Layton terkekeh.“Dia bukan anakmu!”“Lalu?”“Dia anakku, aku yang mengandungnya!” tegas Daisy, ia memundurkan tubuhnya ketika Layton berjalan mendekat.
“Daisy, Daisy. Kasihan sekali dirimu.” Layton begitu dengan mudah mengapit pipi Daisy dengan satu tangan. “Aku sebenarnya masih mencintaimu, tapi, sayang sekali kau sudah jatuh miskin.”
Degup jantung Daisy bertalu begitu cepat, ia merasa harga dirinya diinjak-injak lagi. Ia sama sekali tidak masalah jika Layton tidak mau bertanggung jawab, Daisy sanggup menanggungnya sendirian. Tapi, bisakah orang-orang seperti Layton ini pergi saja dari hidupnya.Setelah berhasil membuat Daisy tertekan, Layton meninggalkan gadis itu yang kini sudah bersandar pada pohon besar. Memegangi perutnya yang terasa kram.***
Kemacetan ketika seluruh pekerja pulang adalah hal yang paling tidak bisa dihindari. Arthur berdecak kesal, berkali-kali membunyikan klakson mobilnya agar mobil di depan bisa segera berjalan maju. Sudah hampir lima belas menit, ia terjebak dalam situasi ini.“Sial, seharusnya aku tidak mengikuti saran Mama untuk pulang lebih awal.”Arthur bersandar pada sandaran kursi, menenggak air, dan menyeka keringat. Ia menoleh pada sisi kanan jalan, ketika mendengar seorang pengemudi yang berteriak heboh menunjuk-nunjuk sisi jembatan.Seorang gadis tengah berdiri di atas jembatan, ingin bunuh diri. Seketika, naluri menolong Arthur muncul. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari mobil dan meninggalkan mobilnya di kemacetan.“Nona, Nona kau sedang apa. Turun, Nona!”Arthur menarik tubuh gadis itu hingga mereka sama-sama terjatuh ke tanah.“Kau ini apa-apaan?” kesal si gadis, ia berusaha bangun dan memegangi perutnya.“Kau—““Iya, aku hamil. Kena—“ gadis itu seperti terkejut melihat Arthur. “Do—dokter?”Giliran Arthur yang bingung. Dari mana gadis itu tahu jika dirinya adalah seorang dokter. Apa mungkin ia pernah menjadi pasien Arthur, entahlah. Karena terlalu banyak pasien di rumah sakit, Arthur jadi lupa.“Bagaimana kau tahu jika aku dokter?”Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya, sebuah ID Card. Tanpa banyak bicara ia menyodorkan ID card itu pada Arthur.“Astaga, itu benda yang aku cari sampai hampir mati!”"Kau mengingatku?" tanya si gadis, menatap Arthur dengan mata hazelnya yang cantik. "Di taman, hujan, dan kau menggendongku." Gadis itu membantu mengingat.
Beberapa saat, Arthur seperti ingat sesuatu. Kejadiannya sudah lama, tapi peristiwanya masih Arthur ingat. Ia basah kuyup setelah mengantarkan gadis ini ke ruang rawat inapnya.
"Siapa namamu, Nona?"
"Da—Daisy."
"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?" Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan. "Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil. Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?" Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas. Sebenarnya, ia berbohong. Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah. Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama. *** "Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan. Arthur membunyikan klak
Waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Daisy sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah sangat membesar dan tidak dapat ditutupi lagi. Ia juga tidak bisa bergerak leluasa.Setelah dipecat dari pekerjaan waiter di restoran kemarin. Daisy membantu tetangga apartemen Eve untuk menghias kue tart. Sebentar lagi ia akan melahirkan, paling tidak ia harus memiliki uang untuk biaya bersalin."Daisy," panggil Eve. Ketika membuka pintu kamar, Daisy sedang duduk di tepi ranjang sambil memijat pinggangnya.Hampir setiap malam, Eve selalu melihat Daisy memijat pinggangnya, terkadang gadis itu juga mengigau dalam tidur. Kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir pasti membuat Daisy mudah lelah. Seharusnya ia sudah berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk bersalin.Eve menyodorkan beberapa lembar uang pada sahabatnya itu. "Ini apa?" tanya Daisy, ia tidak langsung menerima uang itu."Sedikit, untuk membantu biaya persalinanmu."Daisy me
“Aku akan pergi, jika Austin keberatan aku ada di sini,” kata Daisy.Kedua pasangan itu saling tatap. Eve menatap tajam Austin, sementara Austin merasa bersalah dengan ucapannya.Eve dan Austin tidak menyadari kedatangan Daisy. Gadis itu berdiri di balik pintu apartemen, mendengar pertengkaran mereka tentang pernikahan yang masih tertunda. Daisy memang sengaja membuka pintu kamar Eve, ia sudah tidak tahan mendengar mereka saling meninggikan suara.“Austin hanya sedang lelah, dia tidak sengaja mengatakan itu, Daisy.” Eve tidak tega melihat Daisy berlinang air mata. Satu tangan gadis itu memegang perut bagian bawahnya dengan napas terengah.Daisy meringis. “Aku memang hanya benalu, aku tahu itu. Maaf, selama ini hanya bisa merepotkan kalian saja.”
Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin. Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake. "Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith. "Tidak apa-apa, untuk Eve juga." "Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum. Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen. "Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen. Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai. "Baru saja sampai, itu apa?"
"Daisy?"Eve menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana sahabatnya pergi. Daisy sudah berjanji akan berada di restoran itu, menunggunya. Tapi sekarang gadis itu justru tidak ada.Garpu dan pisau steak yang terjatuh di lantai membuat Eve sedikit curiga. Daisy pergi bukan karena kemauannya sendiri.Eve khawatir."Pak Satpam!" Eve berlari kecil ketika melihat seorang satpam berjalan di luar restoran.Ia menceritakan kronologi hilangnya Daisy dan meminta tolong untuk dicarikan. Eve juga menunjukkan foto terakhir sahabatnya yang dia ambil melalui ponsel tadi ketika berbelanja.Eve harap, ia segera menemukan Daisy.***Keadaan tidak dapat terkendali. Sekuat tenaga Daisy berteriak, pertengkaran ini tidak juga berhenti. Keringat dingin yang terus mengucur membuatnya berpegangan pada pot besar di belakang tubuhnya.Jika terus seperti ini, ia bisa saja pingsan. Tidak ada yang melihatnya kesakitan. Arthur dan Layto
"Austin benar-benar punya selera yang norak!"Eve melempar ponsel ke kasur, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang ada di kamar Daisy."Mana ada yang mau memakai gaun sesederhana itu," omelnya lagi.Daisy yang sedang melipat beberapa pakaian bayi, tertawa pelan. "Kau mau gaun yang seperti apa untuk pernikahanmu?""Yang pasti agak mewah.""Kau saja tidak pernah memakai gaun, Eve."Eve menggaruk tengkuknya. "Kau benar juga, tapi ini acara penting. Sekali seumur hidup. Meski aku tidak pernah memakai gaun, aku ingin memeras uang Austin agar membelikanku gaun mahal."Sebelum menjawab Eve, Daisy memasukkan pakaian bayi yang sudah ia lipat rapi ke dalam koper kecil. Persiapan terakhir untuk hari persalinannya sudah ia siapkan. Tinggal menunggu beberapa hari, ia bisa memeluk buah hatinya."Kau benar, kau harus berdandan yang cantik dan memakai gaun mahal."Eve tersenyum puas mendengar jawaban Daisy. Gadis yang sedang m
Jika waktu bisa diputar, Daisy ingin kembali pada masa awal kehamilannya. Meski setiap hari ia harus tersiksa dengan morning sickness, setidaknya dia tahu janinnya hidup dan baik-baik saja.Saat itu, dia banyak mengidam hal-hal aneh. Seperti meminta Austin untuk mengecat kukunya, mengajak Eve makan pedas hingga sakit perut, dan masih banyak lagi.Setiap malam, teman bicara Daisy hanya janin itu. Tempatnya meminta saran, mengeluh, menangis, dan tertawa.Daisy rindu sekali tendangan kuat dari janinnya jika dia sedang meminta saran. Sekarang, ia merasa sangat hampa, tidak ada lagi teman bicara. Ketika Daisy memegang perutnya, perut itu sudah berbeda, perutnya sudah rata."Bagaimana?" Ini sudah ketiga kalinya Eve bertanya.Daisy menatap lurus langit-langit rawat inapnya dalam diam. Waktu demi waktu berlalu dan Daisy harus memutuskan ia atau tidak. Tidak baik menunda pemakaman, kasihan Alden yang menunggu."Ya sudah, kau istirahat di sini saja. B
Terkadang, Eve merasa kasihan pada Daisy yang masih berusaha merelakan bayinya. Tapi, sesuatu yang berhubungan dengan bayi itu tidak akan pernah hilang pada diri Daisy. Bukan hanya bekas operasi yang akan terus ada, kini masalahnya ada pada asi yang diproduksi payudaranya yang sering merembes.Padahal Arthur sudah memberi beberapa obat untuk menghentikan itu. Sudah seminggu sejak operasi, obatnya belum juga bereaksi."Mau di keluarkan saja?" tanya Eve, memperhatikan Daisy yang meringis menahan nyeri.Daisy menggeleng. "Arthur bilang, itu justru akan membuat asinya semakin banyak keluar.""Lalu bagaimana?""Aku tidak tau." Daisy kembali bersandar pada kepala ranjang.Eve memeras handuk yang sudah dicelupkan air dingin, lalu memberikannya pada Daisy untuk diletakkan di payudara gadis itu.Keduanya sama-sama diam, berpikir."Aku bingung," keluh Eve."Aku juga."Daisy menarik napas dalam, sesekali meremas payudaranya