Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.
Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.“Kau dari mana saja, sayang?”Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan mengisyaratkan semua orang untuk masuk ke dalam.“Sudah lama tidak bertemu, ya, sayang. Kau makin terlihat cantik,” puji Bibi Calyn.Sebenarnya tanpa basa-basi pun, Daisy tahu akan ada bencana setelah kehadiran orang ini. Selera humornya benar-benar hilang, ia sama sekali tidak bisa menanggapi candaan Bibi Calyn dengan tawa.“Ada apa?” tanya Daisy dengan mata menajam. Malas berbasa-basi lagi.Bibi Calyn tampak kecewa dengan sikap Daisy, namun ular itu bisa dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. “Daisy, perkenalkan, ini adalah Tuan Robert, pengacara baru yang menggantikan pengacara Papamu, dulu.”“Salam kenal, Nona Daisy.”Daisy mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Tuan Robert. Setelahnya Tuan Robert tampak mengeluarkan sebuah amplop coklat yang dalamnya adalah sebuah berkas.“Tolong tanda tangan di sini,” pinta pengacara berambut klimis itu.Daisy menaikkan sebelah alisnya, “Untuk apa?”“Pengalihan ahli waris, karena usiamu belum genap 25 tahun, sayang.” Bibi Calyn menatap Daisy dengan senyum yang sulit diartikan.Daisy membaca beberapa deret kalimat di lembar kertas itu, lalu membalik beberapa lembar lagi. Tak terasa genggaman pada pulpen di tangannya mengerat lebih kuat. Surat perjanjian resmi ini disertai dengan bukti-bukti surat penting di dalamnya, surat yang seharusnya dibawa Layton.“Ayo, tinggal tanda tangan di sini, Daisy!”“Dari mana kau mendapat semua berkas ini?” tanya Daisy, ada sesak di dadanya ketika melihat senyum kemenangan tercetak jelas di bibir Bibi Calyn.“Dari Papamu, dia sendiri yang memberikannya pada Bibi, sayang.”Daisy meremas sisi berkas itu. Kesal sekali.“Nona, lebih baik kau tanda tangan saja. Kami tidak punya banyak waktu, ada beberapa hal yang harus kami urus lagi,” ucap Tuan Robert, merasa keadaan semakin memanas.Kalah telak. Daisy tidak dapat melakukan apa-apa karena bukti yang dimiliki Bibi Calyn sudah sangat kuat. Ia tidak dapat mengelak. Berkas yang ia harap bisa disembunyikan dengan baik, justru jatuh dengan mudah ke tangan wanita ular ini. Ia tidak punya pilihan lain, selain membubuhkan tanda tangan di berkas itu dengan setengah hati. Harta Mama dan Papa harus diambil alih Bibi Calyn.Setelah kepergian pengacara dan rekannya, Bibi Calyn masih ada di sana. Menatapi Daisy yang sekarang hanya diam. “Sekarang, kau sudah tidak punya apa-apa lagi gadis sombong.” Bibi Calyn meremehkan.“Segera kemasi barangmu dan pergi dari rumah ini!”Daisy menoleh. “Ini rumahku, Bi. Aku akan tinggal di sini.”“Rumah ini termasuk aset milik orang tuamu, Daisy. Sekarang semuanya sudah jadi milikku!”“Dasar licik!"Bibi Calyn tertawa. “Kasihan sekali, seharusnya kau menyalahkan kekasihmu, bukan Bibi. Dia sendiri yang menyerahkan bukti ini pada Seryl.”
Napas Daisy tercekat, ia hanya dapat menahan tangisnya, ia tidak boleh kelihatan lemah.“Kau boleh menginap di sini satu malam, besok kau harus pergi dari sini!” tegas Bibi Calyn.Daisy meremas dress yang ia kenakan, mencoba menahan sesak di hati. Ia merasa kakinya begitu lemas, tak cukup mampu untuk berjalan menuju kamar. Setelah kepergian Bibi Calyn, Daisy membanting tubuhnya ke sofa dan mulai terisak keras, sendirian.Kenapa kehidupannya serumit ini?***
Siapa yang menginginkan kehidupan seperti ini? Semua orang jika ada di posisi Daisy mungkin juga sama depresinya seperti dia.Pada akhirnya Daisy meninggalkan rumah mewah bak istana peninggalan orang tuanya. Ia menyeret koper besarnya untuk berjalan tak tentu arah. Tidak ada yang ingin ia tuju, semuanya tampak kosong, pikirannya dan hatinya, semuanya. Namun, ia justru sampai di depan unit apartemen Eve. Tangannya bergerak untuk mengetuk pintu dan tak lama pintu itu terbuka.“Da—Daisy, kenapa malam-malam kemari?” tanya Eve, terkejut. Ini sudah pukul setengah dua belas malam.Pandangan Eve jatuh pada koper besar di belakang tubuh Daisy. “Kau?”“Rumahku sudah jadi milik Bibi Calyn,” jawab Daisy, ia memaksakan senyumnya.Eve menggeser tubuhnya dan membuka pintu lebih lebar, menyuruh sahabatnya itu masuk. Ia membuatkan secangkir teh untuk Daisy yang terlihat begitu pucat. Setelah terjadi hening cukup lama, Daisy akhirnya mulai menceritakan apa yang terjadi. Tentang Layton yang berkhianat dan memberikan semua berkas penting ke tangan Bibi Calyn.Lebih hancurnya lagi, Bibi Calyn dan Seryl yang menyuruh Layton menghancurkan masa depan Daisy. Seluruh keluarga besar Xavier sudah menerima foto-foto hubungan malam Daisy dengan Layton, dan mencaci Daisy di grup keluarga. Mereka merasa malu dengan tindakan Daisy, tanpa tahu itu semua hanya jebakan. Tidak ada yang mau menerimanya, bahkan paman yang berhubungan baik dengan Papa begitu enggan menerima Daisy. Yang ia miliki hanya Eve.“Daisy, kau tidak boleh menangis.” Eve bergerak maju, memeluk sahabatnya yang kini kembali terisak.“Apa aku sekotor itu? Hingga mereka membuangku seperti ini, Eve.”“Tidak, kau tidak seperti itu.” Eve mengusap punggung Daisy lembut. “Kau bisa tinggal di sini, aku tidak akan memperlakukanmu seperti mereka, Daisy.”Percayalah, Daisy orang baik, ia selalu membantu teman-temannya ketika kesulitan. Dulu, saat masih berkuliah, Daisy pernah membantu Eve melunasi biaya administrasi kuliahnya karena orang tua Eve terjebak skandal narkoba. Maka dari itu, Eve sangat menyayangi Daisy lebih dari seorang sahabat.“Aku sudah cukup merepotkanmu, Eve.”“Tidak ada yang direpotkan.” Eve menangkup pipi dingin Daisy. “Aku tidak merasa keberatan, mari kita jalani hidup berdua sebagai seorang saudara.”Daisy menarik napas berat, mencoba berpikir apakah keputusannya menerima tawaran Eve untuk tinggal di apartemennya adalah jalan terbaik.
Sebenarnya Daisy punya sedikit tabungan yang terpisah dari semua aset orang tuanya. Mama dan Papa memberikan uang tabungan itu ketika Daisy berusia 20 tahun, untuk keperluannya meneruskan kuliah nanti.
"Tapi, bagaimana jika Austin ke sini?" tanya Daisy.
"Tidak apa-apa, ini apartemenku, bukan milik Austin." Eve dengan begitu mudah mengedikkan bahu.
"Kau tinggal bersamaku, ya," pinta Eve, matanya berbinar layaknya mata anak kecil.
Daisy meneguk ludah, bimbang sekali. Namun, pada akhirnya ia mengangguk pelan. Nanti saja setelah ia mendapatkan pekerjaan sampingan, ia akan menyewa apartemen sendiri.
“Selamat menikmati.”Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pad
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i
Empat bulan kemudian ... Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak. “Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.” Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang. “Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?” “Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.” Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya. “Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banya
"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?" Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan. "Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil. Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?" Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas. Sebenarnya, ia berbohong. Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah. Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama. *** "Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan. Arthur membunyikan klak
Waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Daisy sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah sangat membesar dan tidak dapat ditutupi lagi. Ia juga tidak bisa bergerak leluasa.Setelah dipecat dari pekerjaan waiter di restoran kemarin. Daisy membantu tetangga apartemen Eve untuk menghias kue tart. Sebentar lagi ia akan melahirkan, paling tidak ia harus memiliki uang untuk biaya bersalin."Daisy," panggil Eve. Ketika membuka pintu kamar, Daisy sedang duduk di tepi ranjang sambil memijat pinggangnya.Hampir setiap malam, Eve selalu melihat Daisy memijat pinggangnya, terkadang gadis itu juga mengigau dalam tidur. Kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir pasti membuat Daisy mudah lelah. Seharusnya ia sudah berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk bersalin.Eve menyodorkan beberapa lembar uang pada sahabatnya itu. "Ini apa?" tanya Daisy, ia tidak langsung menerima uang itu."Sedikit, untuk membantu biaya persalinanmu."Daisy me
“Aku akan pergi, jika Austin keberatan aku ada di sini,” kata Daisy.Kedua pasangan itu saling tatap. Eve menatap tajam Austin, sementara Austin merasa bersalah dengan ucapannya.Eve dan Austin tidak menyadari kedatangan Daisy. Gadis itu berdiri di balik pintu apartemen, mendengar pertengkaran mereka tentang pernikahan yang masih tertunda. Daisy memang sengaja membuka pintu kamar Eve, ia sudah tidak tahan mendengar mereka saling meninggikan suara.“Austin hanya sedang lelah, dia tidak sengaja mengatakan itu, Daisy.” Eve tidak tega melihat Daisy berlinang air mata. Satu tangan gadis itu memegang perut bagian bawahnya dengan napas terengah.Daisy meringis. “Aku memang hanya benalu, aku tahu itu. Maaf, selama ini hanya bisa merepotkan kalian saja.”
Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin. Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake. "Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith. "Tidak apa-apa, untuk Eve juga." "Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum. Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen. "Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen. Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai. "Baru saja sampai, itu apa?"
"Daisy?"Eve menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana sahabatnya pergi. Daisy sudah berjanji akan berada di restoran itu, menunggunya. Tapi sekarang gadis itu justru tidak ada.Garpu dan pisau steak yang terjatuh di lantai membuat Eve sedikit curiga. Daisy pergi bukan karena kemauannya sendiri.Eve khawatir."Pak Satpam!" Eve berlari kecil ketika melihat seorang satpam berjalan di luar restoran.Ia menceritakan kronologi hilangnya Daisy dan meminta tolong untuk dicarikan. Eve juga menunjukkan foto terakhir sahabatnya yang dia ambil melalui ponsel tadi ketika berbelanja.Eve harap, ia segera menemukan Daisy.***Keadaan tidak dapat terkendali. Sekuat tenaga Daisy berteriak, pertengkaran ini tidak juga berhenti. Keringat dingin yang terus mengucur membuatnya berpegangan pada pot besar di belakang tubuhnya.Jika terus seperti ini, ia bisa saja pingsan. Tidak ada yang melihatnya kesakitan. Arthur dan Layto