“Dia tertidur di apartemenku.”
Dini hari, Layton baru mengantarkan Daisy pulang dengan kondisi gadis itu yang tertidur. Eve membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Layton yang menggendong tubuh Daisy masuk. Ia membukakan pintu kamar mereka, dan menunggu Layton selesai membaringkan Daisy.“Pakaiannya sedikit basah karena kehujanan, kau ganti, ya.”“Bagaimana dengan rencana Daisy, kau menyetujuinya?” tanya Eve, menahan Layton di depan pintu.Layton mengangguk kecil. “Gampang, aku akan mengurusnya nanti. Kau tenang saja.”“Aku pulang dulu!” ucap Layton, terlihat tergesa.Mengedikkan bahu, Eve memilih masuk ke dalam rumah, memastikan setiap pintu di rumah besar itu sudah terkunci, lalu naik ke lantai atas.Eve masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian Daisy, dan ia mulai curiga ketika tak sengaja melihat bibir bawah Daisy yang sedikit robek, belum lagi sudut bibirnya yang membiru. Bercak kemerahan yang begitu banyak tercetak jelas di bagian dada dan leher. Apa mungkin?
“Daisy,” panggil Eve. Gadis itu menatap seluruh penjuru kamar seperti orang kebingungan.Sedetik kemudian, tanpa menjawab pertanyaan Eve terlebih dahulu, Daisy mencoba turun dari ranjang dan merasakan pusat dirinya begitu sakit dan perih.“Kau kenapa?” tanya Eve khawatir, karena setelahnya Daisy terisak hebat.“Ada apa, Daisy? Kenapa kau menangis seperti ini?”“Dia menghancurkan hidupku.” Daisy meremas sisi ranjang.Tanpa dikatakan dua kali pun, Eve mengerti. “Kau?”“Dia—dia memperkosaku.”“Astaga.”Daisy menangis di pelukan Eve, satu-satunya penyemangat yang ia miliki. Sementara Eve mengusap punggung Daisy, mencoba menenangkan gadis itu meski tangisnya justru semakin keras. Malang sekali, Daisy.“Lebih baik kau tidur,” ucap Eve. Setelah ia membantu Daisy berbaring.Daisy berbalik memunggungi Eve, sakit sekali, saat ia menutup mata bayangan menjijikkan itu selalu terbayang di kepalanya. Ia memeluk tubuhnya sendiri yang terasa remuk, hingga akhirnya ia diserang kantuk. Kesunyian malam menyuruhnya untuk melupakan malam buruk itu, meski hanya sebentar.***
“Aku sudah melakukan apa yang kau mau,” ucap Layton.Seorang wanita di depan Layton tersenyum, puas. “Mana buktinya?”Layton memberikan amplop coklat dan sebuah dokumen pada wanita yang berusia lebih tua darinya dua tahun itu. Lalu duduk di depan wanita tersebut.“Ini dokumen apa?”“Kau buka saja sendiri, aku sudah muak membantu gadis lemah itu.”Wanita itu membulatkan mata ketika membaca sederet kalimat dalam berkas yang diberikan Layton. “Gila, aku mendapatkannya dengan begitu mudah.”Layton berdecak, ia mulai bosan. “Mana imbalanku?” desaknya.“Tenang saja, aku tidak pernah ingkar janji.”Layton menyeringai. “Seharusnya, imbalanku bertambah karena bukti yang kuberikan juga bertambah,” katanya tegas.Wanita dengan balutan dress mewah itu mendengus. “Baiklah, kau mau apa dariku, Layton?”Tampaknya, Layton sedang memikirkan sesuatu yang dia inginkan. Namun, sedetik kemudian lelaki itu menjentikkan jarinya. “Hm, aku belum membutuhkan sesuatu. Jadi, aku akan meminta imbalanku, nanti.”“Terserah kau saja.” Wanita itu menjentikkan jemarinya, lalu dua bodyguard datang dengan membawa seorang wanita.Sesuai apa yang Layton inginkan, seorang wanita berparas cantik dan polos. Membuat senyum Layton terukir, ia sangat puas melihat hadiah imbalan ini.
“Oke, Seryl. Tugasku sudah selesai, saatnya aku bersenang-senang.” Layton berdiri, menghampiri sang wanita yang diberikan Seryl.Wanita yang tidak lain adalah—Seryl—anak Bibi Calyn itu tertawa. “Selamat bersenang-senang, Layton!”Seryl memasukkan berkas dan amplop itu dalam tas. “Mama pasti akan senang jika tahu aku mendapatkan sesuatu yang berharga.”***
“Nona, seharusnya kau menjaga perilakumu di luar. Jika foto ini tersebar ke situs-situs internet, semua karyawan akan menurunkan jabatanmu.”Daisy menaruh tablet di tangannya setengah membanting. Ia muak sekali, mendengar sekretaris Papa terus saja mengomel tentang perilaku yang baik. “Aku rasa pertemuan untuk membahas masalah kantor sudah selesai, aku masih ada jadwal lain.”Sekretaris itu berdeham sejenak. “Baiklah Nona, minggu depan aku akan ke sini lagi.”Syukurlah, sekretaris itu mau mengerti ketika Daisy mencoba mengusirnya dengan cara halus.Sepi sekali, Eve sudah pulang ke apartemennya dan bibi yang bertugas membersihkan rumah juga sudah pergi. Sebenarnya, sendiri bukanlah hal yang terlalu menakutkan bagi Daisy, karena sejak kecil ia memang sering ditinggal sendirian di rumah besar bak istana ini. Tapi, sekarang keadaannya berbeda, semakin Daisy merasa sendiri dan sepi, semakin ia mengingat kedua orang tuanya yang telah pergi.“Akhh....” Daisy tidak sengaja menghempaskan lengannya terlalu keras ke sofa, hingga luka membiru di sana kembali berdenyut.“Kenapa bekasnya tidak juga hilang?” kesalnya.Luka-luka pada tubuhnya yang tercipta karena Layton. Terkadang, Daisy menangis ketika melihat luka di tubuhnya dan teringat malam itu. Sudah hampir dua minggu kejadian itu berlalu, namun sesak di dadanya tak kunjung hilang.Ditambah, foto-foto dirinya beradegan ranjang dengan Layton tersebar di antara teman-teman kampus. Menambah beban di pundak Daisy, yang semakin hari semakin membuatnya terlihat membungkuk. Entah kentara atau tidak, Daisy merasa tubuhnya mengalami perubahan drastis, berat badannya turun banyak hanya dalam kurun waktu tiga bulan.Lama melamun, Daisy tersentak dengan pikirannya. Ia menyambar benda pipih di atas meja dekat pulpen.“Eve, kau sedang sibuk atau tidak?”“Ada apa, Daisy?”Daisy meremas ujung kausnya. “Aku harus kembali, kembali ke apartemen lelaki itu. Barang berhargaku, Eve. Tertinggal.”***
“Mungkin dia sedang pergi.”
Daisy berhenti mengetuk pintu apartemen Layton, dengan wajah pias ia terduduk di depan pintu yang tertutup rapat. Ia tidak bertemu Layton, apa mungkin lelaki itu menghindar darinya. Ia hanya ingin mengambil berkas penting itu, yang ia titipkan sebelum malam buruk itu datang.“Lalu bagaimana?”Eve yang tidak tega melihat sahabatnya bersedih ikut berjongkok, mengusap lembut bahu Daisy, menenangkan. “Besok kita kembali lagi ke sini, Daisy. Aku akan menemanimu.”“Tapi—““Sudahlah, tidak akan terjadi apa-apa. Percaya padaku.” Eve tersenyum.Mau tidak mau, Daisy harus pergi dari tempat itu. Percuma, Layton sepertinya memang sedang tidak ada di rumah. Ketika sampai di lobi, mata Eve tidak sengaja melihat Layton sedang berbincang dengan seorang wanita.“Daisy, itu Layton!”Dengan langkah cepat Daisy menemui Layton. “Layton,” panggil Daisy, yang sukses membuat langkah Layton dan seorang wanita yang menopang tubuhnya berhenti.“Ah, jalangku datang lagi.”Daisy menepis tangan Layton yang hampir menyentuh dagunya. “Di mana berkas yang aku titipkan padamu, kemarin?”Bukannya mendapat jawaban, Daisy hanya mendengar kekehan menyebalkan dari lelaki itu. Membuat ia semakin geram. “Mana berkasku Layton?!”“Berkas tidak berguna itu? Sudah kujual.”Daisy membulatkan matanya. “Kau jangan bercanda!” kesalnya, ia sampai menarik kerah Layton, tidak peduli jika tingginya hanya sebatas dada lelaki itu.
Dengan kasar pula Layton menarik pakaiannya kembali. “Aku menjualnya! Kau tuli? Tidak bisa mendengar?” teriak Layton.“Di mana kau menjualnya, Layton?”Huek ...Daisy dan Eve mundur tiga langkah ketika Layton tiba-tiba memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Lelaki itu mabuk, dan seorang wanita yang tadi menopang tubuhnya langsung menjauh juga—seperti jijik.“Aku menjualnya pada seseorang, dan aku mendapat sebuah imbalan yang tak kalah cantik darimu.” Layton menarik wanita di sampingnya mendekat. “Ini imbalanku, cantik bukan?”Keadaan semakin tidak kondusif, Layton mulai berkata kotor dan menjelekkan Daisy. Bahkan Eve bisa melihat mata Daisy yang berkaca-kaca. Jujur, jika bukan karena surat penting itu, Daisy benar-benar tidak mau bertemu Layton lagi.“Dasar laki-laki bajingan!” pekik Daisy, melayangkan tasnya ke pipi Layton begitu keras.Ia tidak peduli protes dari wanita di sebelah Layton, setelah lega dengan kekesalannya, ia segera menarik Eve untuk pergi dari tempat itu.“Daisy, bagaimana sekarang?”Gadis itu mengusap kasar air matanya. “Tidak tahu, aku sudah tidak peduli lagi.”Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.“Kau dari mana saja, sayang?”Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rum
“Selamat menikmati.”Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pad
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i
Empat bulan kemudian ... Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak. “Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.” Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang. “Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?” “Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.” Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya. “Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banya
"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?" Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan. "Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil. Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?" Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas. Sebenarnya, ia berbohong. Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah. Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama. *** "Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan. Arthur membunyikan klak
Waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Daisy sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah sangat membesar dan tidak dapat ditutupi lagi. Ia juga tidak bisa bergerak leluasa.Setelah dipecat dari pekerjaan waiter di restoran kemarin. Daisy membantu tetangga apartemen Eve untuk menghias kue tart. Sebentar lagi ia akan melahirkan, paling tidak ia harus memiliki uang untuk biaya bersalin."Daisy," panggil Eve. Ketika membuka pintu kamar, Daisy sedang duduk di tepi ranjang sambil memijat pinggangnya.Hampir setiap malam, Eve selalu melihat Daisy memijat pinggangnya, terkadang gadis itu juga mengigau dalam tidur. Kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir pasti membuat Daisy mudah lelah. Seharusnya ia sudah berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk bersalin.Eve menyodorkan beberapa lembar uang pada sahabatnya itu. "Ini apa?" tanya Daisy, ia tidak langsung menerima uang itu."Sedikit, untuk membantu biaya persalinanmu."Daisy me
“Aku akan pergi, jika Austin keberatan aku ada di sini,” kata Daisy.Kedua pasangan itu saling tatap. Eve menatap tajam Austin, sementara Austin merasa bersalah dengan ucapannya.Eve dan Austin tidak menyadari kedatangan Daisy. Gadis itu berdiri di balik pintu apartemen, mendengar pertengkaran mereka tentang pernikahan yang masih tertunda. Daisy memang sengaja membuka pintu kamar Eve, ia sudah tidak tahan mendengar mereka saling meninggikan suara.“Austin hanya sedang lelah, dia tidak sengaja mengatakan itu, Daisy.” Eve tidak tega melihat Daisy berlinang air mata. Satu tangan gadis itu memegang perut bagian bawahnya dengan napas terengah.Daisy meringis. “Aku memang hanya benalu, aku tahu itu. Maaf, selama ini hanya bisa merepotkan kalian saja.”
Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin. Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake. "Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith. "Tidak apa-apa, untuk Eve juga." "Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum. Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen. "Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen. Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai. "Baru saja sampai, itu apa?"