Tidak ada pilihan lain, selain menceritakan masalah serius ini pada Layton. Setidaknya, Daisy memiliki harapan jika Layton mau mendampinginya untuk mengurus segala surat-surat. Ayah Layton bertugas sebagai hakim di salah satu departemen, ia bisa sesekali menanyakan langkah apa yang harus ia ambil untuk mempertahankan harta orang tuanya nanti, melalui perantara Layton.
Layton membaca berkas yang diserahkan Daisy padanya. “Biar kusimpan di sini, dengan aman, Sayang,” ucapnya menenangkan.Daisy mengangguk sekilas.“Kau baik-baik saja?” tanya Layton, mengusap sisi wajah Daisy.“Aku jauh lebih baik dari sebelumnya, Lay.”Mereka berdua sedang berada di unit apartemen milik Layton. Daisy sengaja datang jauh-jauh ke apartemen itu untuk menyampaikan semua masalah yang sedang ia hadapi pada kekasihnya.Selama hampir satu tahun ia menjalin hubungan dengan lelaki bermata coklat itu, Daisy memiliki tempat keluh kesah, selain dengan Eve.Layton semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh ramping Daisy, sesekali juga mencium wangi leher kekasihnya. “Kau ingin pergi untuk melepas penat hari ini?” tanya Layton.“Pergi ke mana, Lay? Aku ingin menghabiskan waktu denganmu di sini,” kata Daisy.“Kita juga bisa menghabiskan waktu di sana, Sayang. Bagaimana, kau mau?” tawar Layton.“Ke mana?”Layton mendongakkan dagu Daisy agar ia bisa lebih leluasa menatap mata hazel Daisy. “Nanti kau akan tahu di mana tempatnya, dan aku yakin, kau menyukainya.”***
Bar tender menaruh gelas berukuran besar di meja Layton, lalu tanpa ragu lelaki itu menyodorkan gelas berisi alkohol pada Daisy yang tengah menikmati musik yang terputar di klub malam ini.“Bagaimana, kau menyukainya, bukan?” tanya Layton, satu tangannya ia gunakan untuk menarik pinggang Daisy mendekat.Ini bukan pertama kalinya Daisy pergi ke klub, ia sering menikmati suasana seperti ini. “Tidak terlalu buruk,” jawabnya.Bau alkohol yang menguar ketika Layton terkekeh, membuat Daisy sedikit menjauh. Sudah gelas ketiga yang diteguk oleh lelaki itu. Sedari dulu, Daisy memang dikenal kuat meminum alkohol, berapa pun ia meneguk minuman itu, Daisy akan tetap sadar.“Sudah, Layton. Kau terlalu banyak minum malam ini!” Daisy menjauhkan gelas keempat dari jangkauan Layton. Lelaki itu sudah terlihat sangat mabuk.Baru saja ingin membawa Layton pergi dari klub, lelaki berambut ikal dengan tindik di telinga kirinya itu mendaratkan ciuman di bibir tipis Daisy. Daisy sampai harus mendorong tubuh Layton karena terkejut, ini bukan Layton yang dia kenal. Sepanjang hubungan mereka menjadi sepasang kekasih, Layton tidak pernah melakukan kontak fisik seperti itu, mereka berkomitmen untuk melakukannya setelah menikah.“Layton!” pekik Daisy.Tangan besar Layton berulah lagi, dengan meremas paha Daisy. Sekarang gadis itu terpojok di dinding, pergerakannya terkunci karena Layton membawa kedua tangannya ke atas, seperti tengah di borgol.“Ayolah Daisy, jangan munafik! Aku sudah menginginkanmu sejak dulu,” bisik Layton di telinga Daisy. Lelaki itu juga mengulum daun telinga Daisy yang menimbulkan efek geli.Ini sudah sangat keliru. “Kau gila, ya!” kesal Daisy.Layton justru tertawa.“Sayang, kau adalah wanita paling munafik. Mana ada lelaki yang akan tahan berpacaran tanpa melakukan sentuhan dan ciuman, bodoh!” jujur Layton. “Aku menahan diriku untuk tidak menyentuhmu, sesuai yang kau mau. Tapi, apa kau tahu? Di belakangmu aku sering berciuman dengan wanita lain.”Daisy merasa matanya memanas, ia tidak menyangka Layton akan jujur dengan masalah ini. “Kau terlalu banyak minum, aku akan pulang sendiri saja, Layton.”Gadis itu menepis tangan Layton, ia keluar dari klub dengan jantung yang berdebar kencang. Rasa sesak dan nyeri menyeruak ke dalam dadanya.“Daisy!”“Daisy, tunggu!”Panggilan itu terus saja terdengar dan Daisy berusaha mengabaikan dengan mempercepat langkah kakinya. Berharap sebuah taksi cepat datang. Sial sekali, jalan yang ia lalui begitu sepi, Daisy harus berlari dari kejaran Layton.Tetapi, sangat percuma. Dengan mudah Layton menangkap Daisy. “Kau mau ke mana, Sayang?”“Aku ingin pulang!” sentak Daisy.“Kenapa, kau belum bersenang-senang denganku.” Layton menyapukan jemarinya di pipi Daisy. “Kau harus membayar waktu satu tahun kita, malam ini!”Layton menarik tubuh Daisy sampai ke mobil, seringai tipis tercetak di bibir lelaki itu. Malam ini, ia tidak akan membiarkan Daisy lolos.Dan malam itu, malam terburuk untuk kehidupan seorang Daisy.***
Layton membanting tubuh Daisy hingga terhempas ke ranjang. Lelaki itu berhasil membawa Daisy ke apartemennya secara paksa, dan membiarkan wanita itu terus saja menangis.Malam semakin larut, di luar sedang hujan disertai petir yang menyambar-nyambar. Daisy sudah tidak dapat melakukan perlawanan apa pun. Ia pasrah saja ketika Layton mulai naik ke atas ranjang, menindihnya dengan seringai yang tercetak jelas.“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Daisy dengan bibir bergetar.Di bawah sana, Layton sengaja merapatkan miliknya ke milik Daisy yang masih terbalut celana jeans. “Apalagi jika bukan bercinta,” jawab Layton santai.Daisy mencoba berontak, tapi lagi-lagi tenaganya tak cukup kuat untuk melawan. Jujur, ia tidak ingin berakhir menyedihkan.Layton menyatukan tangan Daisy ke atas kepala, seperti di borgol, lalu ia mulai mengendus aroma Daisy yang memabukkan, yang sudah menjadi incarannya sejak lama.
“Lepaskan aku, Lay! Aku mohon.” Daisy meronta, kakinya bergerak asal, mencoba membebaskan diri dari tindihan Layton.Layton yang kesal karena ciumannya selalu meleset, menampar pipi Daisy hingga kepala gadis itu terpelanting ke kanan. Panas dan perih menjadi satu.“Jika kau tidak ingin aku bermain kasar, maka berhentilah memberontak!”
Daisy menangis terisak, saat Layton mengikat kaki dan tangannya menggunakan dasi yang ada di laci. Lalu tangan nakal lelaki itu bergerak melucuti semua pakaiannya. Tidak ada yang bisa Daisy tutupi, tubuh polosnya sudah dilihat Layton.“Mari bersenang-senang, Sayang.” Layton berbisik.Tangan besar Layton mulai menjamah tubuhnya, ia tidak berhenti mencium setiap inci leher dan dada Daisy. Meninggalkan jejak kemerahan di sana, sebagai tanda bahwa malam ini Daisy adalah milik lelaki itu. Layton mulai turun ke bawah, meremas gundukan di dada Daisy dan memainkan kuncupnya.“Ah ....” Desahan kecil lolos dari bibir gemetar Daisy.Lelaki itu turun lagi ke bawah, meraba area paling sensitif Daisy dengan jemarinya, yang sontak membuat Daisy membuka mata.“Jangan!” lirih Daisy, ia merapatkan kedua kakinya.
“Buka!” perintah Layton.Daisy tak bergeming. “Ja—jangan,” katanya lagi dengan suara parau.“Buka dengan lebar atau ku tampar lagi?” desak Layton, ia sudah tidak dapat menahan miliknya yang mendesak.Daisy menggeleng, ia masih mempertahankan mahkotanya untuk suaminya kelak, ia hanya berharap ada keajaiban yang membawa Eve ke sini. Tapi, akibat dari penolakan itu, Layton kembali melayangkan tamparan keras. Kali ini bukan hanya tamparan, lelaki itu juga mencekik Daisy sampai gadis itu kesulitan bernapas.“Lepaskan, ku mo—mohon!” Daisy kehilangan napas.Layton memperhatikan perubahan wajah Daisy yang memerah, mata hazel gadis itu mulai tampak layu. Merasa puas, ia melepaskan cekikan di leher Daisy, membiarkan gadis itu meraup oksigen seperti ikan yang baru saja dikeluarkan dari air.“Bajingan!” Daisy meludah tepat di wajah Layton.“Kau sudah mulai berani, ya?!” sentak Layton, mengusap air liur Daisy.Kesal, Layton membekap bibir mungil Daisy dengan bibirnya, ia tidak memberi kesempatan gadis itu untuk mengambil oksigen. Pagutan demi pagutan ia lakukan dengan kasar, hingga bibir bawah Daisy pun ikut terkoyak karena ulah Layton.Tanpa melepaskan ciuman panas itu, Layton mengarahkan juniornya ke milik Daisy. Lelaki dengan keringat yang sudah mengembun di pelipisnya itu melebarkan kaki Daisy pada dan mulai menggesekkan miliknya di sana.Daisy menggeleng kuat, antara kenikmatan dan kekecewaan yang beradu.“Mendesah, Sayang. Mendesah untukku,” bisik Layton.Milik Layton menyentak Daisy dengan kasar, ini baru pertama kali Daisy rasakan, sakit sekali. Ketika lelaki itu mulai bergerak, Daisy melengkungkan punggungnya, ia meremas seprai sebagai bentuk pesakitan. Miliknya terasa penuh dan genjotan Layton belum juga berhenti, semakin lama semakin dalam dan cepat.Layton tertawa kecil ketika melihat dada Daisy yang membusung, seperti menantang. Dengan nakal ia mencubit kuncupnya.Daisy meremas seprai lebih kuat, ketika merasa sesuatu dalam dirinya mendesak keluar, bahkan ia sampai mengeram rendah. Klimaks, mereka mencapai klimaks secara bersamaan dan Daisy langsung pingsan karena hal itu.Itu tidak hanya dilakukan Layton satu kali, dalam keadaan Daisy yang pingsan. Ia mengambil kesempatan lebih banyak untuk menabur benih dan melebur Daisy dengan miliknya.“Dia tertidur di apartemenku.”Dini hari, Layton baru mengantarkan Daisy pulang dengan kondisi gadis itu yang tertidur. Eve membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Layton yang menggendong tubuh Daisy masuk. Ia membukakan pintu kamar mereka, dan menunggu Layton selesai membaringkan Daisy.“Pakaiannya sedikit basah karena kehujanan, kau ganti, ya.”“Bagaimana dengan rencana Daisy, kau menyetujuinya?” tanya Eve, menahan Layton di depan pintu.Layton mengangguk kecil. “Gampang, aku akan mengurusnya nanti. Kau tenang saja.”“Aku pulang dulu!” ucap Layton, terlihat tergesa.Mengedikkan bahu, Eve memilih masuk ke dalam rumah, memastikan setiap pintu di rumah besar itu sudah terkunci, lalu naik ke lantai atas.Eve masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian Daisy, dan ia mulai curiga ketika tak sengaja melihat bibir bawah Daisy yang sedikit robek
Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.“Kau dari mana saja, sayang?”Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rum
“Selamat menikmati.”Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pad
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i
Empat bulan kemudian ... Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak. “Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.” Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang. “Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?” “Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.” Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya. “Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banya
"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?" Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan. "Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil. Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?" Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas. Sebenarnya, ia berbohong. Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah. Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama. *** "Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan. Arthur membunyikan klak
Waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Daisy sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah sangat membesar dan tidak dapat ditutupi lagi. Ia juga tidak bisa bergerak leluasa.Setelah dipecat dari pekerjaan waiter di restoran kemarin. Daisy membantu tetangga apartemen Eve untuk menghias kue tart. Sebentar lagi ia akan melahirkan, paling tidak ia harus memiliki uang untuk biaya bersalin."Daisy," panggil Eve. Ketika membuka pintu kamar, Daisy sedang duduk di tepi ranjang sambil memijat pinggangnya.Hampir setiap malam, Eve selalu melihat Daisy memijat pinggangnya, terkadang gadis itu juga mengigau dalam tidur. Kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir pasti membuat Daisy mudah lelah. Seharusnya ia sudah berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk bersalin.Eve menyodorkan beberapa lembar uang pada sahabatnya itu. "Ini apa?" tanya Daisy, ia tidak langsung menerima uang itu."Sedikit, untuk membantu biaya persalinanmu."Daisy me
“Aku akan pergi, jika Austin keberatan aku ada di sini,” kata Daisy.Kedua pasangan itu saling tatap. Eve menatap tajam Austin, sementara Austin merasa bersalah dengan ucapannya.Eve dan Austin tidak menyadari kedatangan Daisy. Gadis itu berdiri di balik pintu apartemen, mendengar pertengkaran mereka tentang pernikahan yang masih tertunda. Daisy memang sengaja membuka pintu kamar Eve, ia sudah tidak tahan mendengar mereka saling meninggikan suara.“Austin hanya sedang lelah, dia tidak sengaja mengatakan itu, Daisy.” Eve tidak tega melihat Daisy berlinang air mata. Satu tangan gadis itu memegang perut bagian bawahnya dengan napas terengah.Daisy meringis. “Aku memang hanya benalu, aku tahu itu. Maaf, selama ini hanya bisa merepotkan kalian saja.”
"Bagaimana jika honeymoon bersama?"Austin yang ada di sebelah Arthur sampai tersedak ketika sang istri mengatakan hal itu.Mereka berempat---Arthur, Daisy, Eve, dan Austin. Sedang makan malam bersama di sebuah restoran yang tidak jauh dari toko kue Daisy. Reunian dadakan, setelah hampir empat bulan tidak bertemu karena Eve menemani Austin ke luar negeri."Honeymoon lagi?" Austin agaknya keberatan. "Bulan kemarin kau sudah memintanya, sayang."Daisy yang mulai tahu akan ada perdebatan di antara pasangan itu, akhirnya bersuara. "Honeymoon, ke mana?""Ya, ke mana saja. Berempat.""Aku keberatan," sahut Arthur yang sejak tadi hanya diam, menyimak.Daisy sebenarnya ingin protes, tetapi ketika ia tahu mata Arthur mengarah ke mana, ia tidak jadi protes. "Aku tidak bisa untuk beberapa bulan ini.""Ya, tidak seru sekali." Eve menghela napas, kecewa."Tunggu sampai bayiku lahir dulu," ucap Daisy.Kehamilannya sudah memasuk
"Aku sudah memaafkan mereka," ungkap Daisy, mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya bersama Arthur. Arthur yang hanya terpejam, mengangguk singkat. "Aku tahu kau sangat baik," bisiknya, mengecup puncak kepala Daisy begitu lama. "Mungkin, hukuman itu membuat Layton dan Seryl tidak bisa menikmati kebersamaan merawat anak mereka. Aku sering berpikir, apakah aku terlalu jahat menjebloskan lelaki itu ke penjara?" Arthur terkekeh. "Tidak ada yang jahat. Itu sudah menjadi tanggung jawab Layton. Berani berbuat berarti berani menanggung konsekuensi, sayang." Sejenak, Daisy menikmati usapan lembut Arthur di perut besarnya. Sebelum merespon ucapan Arthur. "Termasuk Seryl juga?" "Ya, Seryl dan mamanya juga pantas mendapatkan semuanya. Kau sudah lama tersiksa, sayang. Sekarang giliranmu bahagia, bukan?" Balas dendam bukan solusi terbaik untuk sebuah masalah. Meski Daisy sempat kesal dan membenci, bagaimana pun juga Seryl adalah keluarga.
Kring ... kring ....Bel yang menandakan pelanggan baru saja masuk ke dalam toko kue kembali terdengar. Daisy menunjukkan senyum manisnya dan berdiri dari tempatnya duduk."Selamat datang di toko DaisyMilk, ada yang bisa saya bantu?"Daisy memberikan buku menu yang berisi bermacam-macam roti yang ada di toko ini. Toko kue peninggalan Mama Erisya yang sedikit diubah Arthur menjadi toko minimalis.Setelah usia kandungan Daisy memasuki enam bulan. Ia diberi kesibukan untuk mengurus toko bernama DaisyMilk ini bersama empat karyawan lain yang bertugas di dapur."Baik, satu kue tart yang akan diambil besok, ya. Mohon dicek kembali pesanan anda."Daisy menyodorkan tulisan pesanan yang sudah ia tulis di note pada pelanggan.Sudah pukul dua lewat lima belas menit. Waktunya Daisy untuk pulang ke rumah, tetapi masih ada beberapa pesanan yang belum dicek ulang."Nona, lebih baik istirahat saja. Nanti biar saya yang menyelesaikan pesanan."
Dokter dan beberapa perawat mencoba untuk menenangkan Seryl yang histeris karena kontraksi. Sementara Daisy sudah tidak tahan lagi harus terus berdiri dengan tangan yang di genggam Seryl kuat-kuat. "Dokter, aku sudah tidak kuat," lirih Daisy, memegang perutnya sendiri yang sejak tadi kram. Arthur sedang keluar untuk menelepon polisi. Tidak ada keluarga lain yang bisa dihubungi dan satu-satunya orang yang dapat menemani Seryl melahirkan adalah Layton. "Nona, kau bisa duduk dulu di sini. Perutmu kram?" Daisy mengangguk. Seorang suster memberikan kursi pada Daisy dan membantu gadis itu untuk duduk. Jeritan Seryl sama sekali tidak bisa membuatnya tenang. Daisy diselimuti rasa khawatir juga mengenai persalinan ini. Tadi, ia sempat mendengar percakapan Arthur dengan dokter yang menangani Seryl. Ketuban yang pecah dini, membuat bayi di dalam rahim Seryl kekurangan oksigen. "Daisy," panggil Arthur. Bagaimana?" "Perizinan
2 bulan kemudian .... Arthur menatap setiap inci rumah peninggalan Erisya. Menyerap semua memori dan memutarnya kembali dalam kepala. Kenangan demi kenangan muncul, bagai skenario indah yang Tuhan ciptakan untuk Arthur. "Jika memang belum siap, kenapa terburu-buru?" Daisy mengusap bahu Arthur sebagai bentuk menenangkan. "Menunggu terlalu lama akan semakin membuatku sulit melepaskan ini semua, Daisy." Arthur memilih untuk menjual rumah peninggalan Erisya, karena tidak ada yang akan menempati rumah itu. Ia sudah bertekad untuk pindah ke rumah sederhana yang dibangun untuk Daisy. "Apa kita pindah lagi saja di sini? Kita bisa menjual rumah baru kita, sayang," putus Daisy. "Tidak, kita harus bisa merelakan Mama dan semua kenangannya." Dua bulan kepergian Mama, baik Arthur dan Daisy, mereka sama-sama merasakan ruang kosong di hati masing-masing. Mereka kehilangan sosok yang paling berjasa dan dicintai. Terlalu larut dalam kes
"Mama!"Arthur berlari sekuat tenaga untuk bisa cepat sampai di ruang rawat inap Mama. Ia bahkan sampai menabrak beberapa perawat hingga peralatan medis yang mereka bawa terjatuh.Dia tidak peduli lagi, Arthur terus berlari.Tapi, ternyata sudah terlambat.Tubuh Mama sudah ditutup dengan kain putih, dengan Daisy yang menangis meraung-raung memeluk jasad Mama. Entah sejak kapan gadis itu ada di sini, Arthur bahkan lupa jika Daisy ada di sini. Ia terlalu kalut.Arthur berjalan perlahan untuk mendekat. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidupnya. "Mama." Hanya itu yang bisa ia keluarkan, berharap ketika Arthur memanggil Mamanya lagi, beliau akan menjawab dengan suara merdunya."Mama," panggil Arthur sekali lagi, membuka penutup kain di wajah Mama dengan tangan yang gemetar.Arthur dapat melihat wajah Mama yang begitu pucat dan bibir yang sudah membiru. Sakit sekali, sesak sekali. Lelaki itu tidak dapat menggambarkan bagaimana ha
Awan mendung yang bergumul di langit, menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Gemuruh petir terdengar bersahutan, menambah kesan kelabu untuk malam ini.Brankar pesakitan itu terus didorong melewati lorong-lorong rumah sakit. Sampai pada akhirnya berhenti, setelah berhasil masuk ke dalam ruang unit gawat darurat.Tepat ketika pintu ruangan itu ditutup. Hujan deras mengguyur kota, membasahi sebagian bumi dan membuat beberapa orang berusaha menghindarinya."Duduk dulu." Suara berat seseorang menyentak lamunan Daisy."Aku tidak mau," tolak Daisy, ia tetap berdiri di depan pintu UGD yang tertutup rapat.Air mata gadis itu terus mengalir, bersama tubuhnya yang menggigil kedinginan karena terkena gerimis malam ini."Kau kedinginan, aku tidak mau kau ikut sakit juga setelah ini. Tolong dengarkan aku sebentar.""Tapi, Arthur----" Daisy tidak dapat meneruskan ucapannya karena tangisnya semakin pecah."Tidak apa-apa, tidak akan
Seorang wanita tidak akan bisa hidup tanpa lipstik, itu menurut Arthur. Meski Daisy tidak pernah berdandan yang berlebihan, dia selalu mengedepankan lipstik ke mana pun dia pergi."Kau mau beli di mana, sayang?"Arthur masih menghentikan mobilnya di pinggir jalan, menunggu Daisy menemukan lipstiknya yang tiba-tiba saja tidak ada di dalam tas gadis itu.Mall besar dan toko kosmetik sudah terlewat jauh dari jalan ini. Bisa putar balik, tetapi acara mereka untuk makan siang bersama Mama akan berantakan. Mama sudah menunggu mereka di rumah sejak tadi."Ceroboh sekali aku meninggalkan benda itu.""Di kamarku, memang tidak ada kosmetik yang kau simpan di sana?" tanya Arthur."Tidak ada, sayang. Aku sudah membawa semuanya ke rumah baru kita."Arthur mengetukkan jemarinya di setir. "Kita bisa membelinya, ketika akan mengunjungi Bibi Calyn nanti, bagaimana?" putus Arthur."Ya sudah, aku tidak memakai lipstik juga tidak apa-apa." Daisy m
Seryl masih belum bisa menghubungi Daisy, entah kenapa ponsel gadis itu tidak aktif berhari-hari.Kecemasan terhadap kondisi Mama yang semakin menurun membuat Seryl sering merasakan kontraksi palsu pada kehamilannya yang genap berusia enam bulan."Bagaimana ini." Seryl berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Mama.Mencoba memutar otak untuk bisa menemukan Daisy, setelah gadis itu pindah dari rumah ibu mertuanya. Seryl dengar, Daisy dan Arthur membeli rumah di suatu tempat yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Arthur bekerja.Lama Seryl berpikir, seseorang dari kejauhan memanggil namanya."Sedang apa kau di sini, Seryl?"Seperti mendapatkan sebotol air di gurun pasir, Seryl sangat senang bisa bertemu Eve tanpa sengaja. Meski gadis ini kelihatan sangat tidak menyukai Seryl, tetapi Eve masih mau menyapanya."Kau tahu di mana, Daisy?"Eve mengedikkan bahu. "Untuk apa bertanya, dia sudah bahagia dengan suaminya."Nada b