“Selamat menikmati.”
Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pada Daisy ketika melihat gadis itu sudah berganti pakaian dan mengenakan jaketnya.Daisy hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Jam kerjanya sudah habis, waktunya dia pulang untuk membantu Eve di apartemen.“Kau masih ada jam kerja?” tanya Daisy basa-basi.
“Sebentar lagi selesai, jika kau mau menunggu sebentar, aku akan mengantarmu pulang, Daisy.”Dengan gelengan pelan, Daisy menolak secara halus tawaran Bram. “Aku ada janji dengan Eve di apartemen. Aku duluan, ya, Bram.”Bram menatap punggung Daisy hingga hilang dari balik pintu khusus ruang karyawan. Menghela napas, Bram mengusap wajahnya yang kecewa. Sulit sekali mengajak Daisy untuk pergi bersamanya, padahal ia sudah berusaha dengan beberapa alasan, tapi tetap saja, Daisy sulit sekali ditaklukan.***
Huek ... huek ...“Kau serius tidak apa-apa?” tanya Eve, ia tetap memijat tengkuk Daisy, membiarkan gadis itu memuntahkan apa saja yang ada di perutnya.“Aku, kan sudah bilang, tidak usah minum soda terlalu banyak.”Ini kelemahan Daisy, ia tidak dapat minum soda terlalu banyak, tapi kuat minum alkohol dua liter tanpa mabuk. Heran juga, Daisy sangat lemah pada soda. Kemarin, Daisy mengajak Eve untuk memesan pizza dan meminum soda berukuran gelas besar. Entah apa yang dipikirkan gadis itu, mungkin Daisy sedang banyak pikiran yang mengganggu.“Aku hanya ingin, Eve,” elak Daisy, membela diri.Setelah tidak ada yang keluar dari mulut lagi, Daisy menyeka bibirnya. Ia berpegangan pada sisi wastafel untuk menatap wajahnya yang sedikit terlihat pucat akibat terlalu banyak muntah.“Perutku sakit.”“Ya sudah, besok jangan bekerja dulu. Aku akan telepon Bram untuk—““Jangan!” cegah Daisy. “Tidak perlu mengatakannya pada Bram, aku sudah tidak apa-apa dan besok akan bekerja.”Eve mendengkus, sulit sekali bicara pada orang yang sangat keras kepala seperti Daisy.***
“Kau ingin makan apa hari ini?” kepala Eve menyembul dari balik pintu kamar.Ia menemukan Daisy yang baru saja meluruskan kakinya setelah berolahraga sebentar. Gadis itu menoleh, memperhatikan Eve yang masih memakai celemek bergambar sapi.“Apa saja yang kau masak nanti kumakan.” Daisy tersenyum tulus.“Aish, kau ini. Aku ingin mencoba resep baru kali ini. Jika tidak enak, nanti kita delivery saja, ya.” Eve terkekeh.
Eve memang sering mencoba beberapa resep makanan jika senggang. Ia terobsesi untuk membuka restoran jika ia memiliki banyak uang. Tidak salah juga sebenarnya, karena makanan yang dimasak Eve kebanyakan selalu enak. Daisy saja yang bekerja di restoran masih kalah enak dalam hal memasak.
“Iya, Eve. Aku mau mandi dulu.” Daisy mengambil handuk dan segera masuk ke kamar mandi.30 menit kemudian ...Daisy menemui Eve yang sudah duduk di meja makan. Beberapa makanan sudah tersaji di sana. Seperti nugget, kari ayam, dan beberapa lauk lainnya.“Kau memasak banyak sekali, Eve. Kita hanya makan berdua, memangnya kau sanggup menghabiskan ini?” tanya Daisy.“Austin akan ke sini, jadi sekalian saja aku masak banyak.”Daisy mengerti. Ia mulai mengambil nasi dan menuangkan kari ayam buatan Eve yang tampak lezat. Tetapi, ketika ia mencium aroma kari itu, ia langsung mual. Secepat mungkin Daisy berlari ke kamar mandi.“Daisy?” Eve menyusul Daisy yang tiba-tiba berlari ke kamar mandi. “Kau kenapa, Daisy?” Eve mengetuk pintu kamar mandi, menunggu Daisy selesai memuntahkan sesuatu.Beberapa menit kemudian, Daisy keluar dari kamar mandi dengan wajah yang merah padam, ia bersandar pada kusen pintu. “Maaf, bukannya tidak menghargai makananmu, Eve. Tapi, perutku sedang tidak nyaman akhir-akhir ini," Ucap Daisy menyesal.Eve tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, kau mau makan apa?” tanya Eve. “Mungkin aku bisa memasakkan untukmu.”Daisy menggeleng. “Tidak perlu Eve, aku akan pergi tidur saja.”“Tapi kau belum makan apa-apa.” Eve menuntun Daisy ke kamarnya.“Jika dipaksa aku akan memuntahkan makanannya lagi, nanti saja jika sudah tidak mual aku makan.” Daisy sudah mencoba makan sesuatu di tempat kerjanya juga, tapi berakhir dengan dirinya yang mual hebat.Eve menyelimuti tubuh Daisy, dan entah kenapa semakin hari gadis itu semakin terlihat kurus.“Nanti aku belikan obat jika keluar dengan Austin, ya.”
Daisy mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, Eve.”***
Ini sudah hampir tengah malam, ketika perut Daisy mendadak kembali mual disertai pusing yang hebat. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju kamar mandi, memuntahkan sesuatu yang cair dan terasa pahit di tenggorokannya. Sejak tadi, ia memang belum makan apa pun. Tubuhnya seperti menolak semua makan yang coba Daisy makan.Ia juga tidak tahu kenapa ia merasa begitu mual mencium bau-bauan. Aneh sekali.
“Akh ....” Daisy berpegangan pada tembok di belakang dengan napas terengah menahan sakit kepala.Sayang sekali, malam ini Daisy tidak tidur sekamar dengan Eve. Ia jadi harus bersusah payah berjalan menuju kamar samping dengan berusaha berpegangan pada tembok ruangan. Ia menahan sekuat tenaga tubuhnya yang hampir-hampir ambruk.“Eve,” panggil Daisy, kakinya sudah sangat gemetar.Ia mengetuk pelan pintu kamar Eve, tapi tidak kunjung dibuka.“Eve, tolong aku, Eve.” Daisy mulai meluruh ke lantai, karena sudah tidak mampu menahan berat tubuhnya.
Apa mungkin Eve belum pulang dari kencan butanya bersama Austin, kenapa tidak menjawab ketukan Daisy dan keluar dari kamar?Rasanya tubuh Daisy sudah sangat lemas untuk berdiri. Ia tidak dapat melakukan apa pun lagi selain menunggu.
“Eve, buka!” ketukan Daisy mulai melemah.Ia terjatuh ke lantai yang dingin, napasnya memburu dengan bulir keringat yang membasahi sebagian pakaian. Daisy menarik napas dalam, mencoba mengusir kabur di matanya karena rasa sakit kepala yang begitu kuat. Namun, pada akhirnya, Daisy justru pingsan.***
Eve bersenandung kecil di depan apartemen, ia mencari kunci yang ia masukkan ke dalam salah satu sepatu yang tersusun di rak untuk membuka pintu.
Hari ini lelah sekali, ia juga harus mengantarkan Austin ke apartemennya dulu karena lelaki itu mabuk.
Eve berhasil masuk ke dalam apartemen, ia melepas jaketnya dan berjalan menuju kamar. Awalnya, ia berpikir akan mengecek keadaan Daisy dulu, tapi ia sudah menemukan tubuh Daisy yang tergeletak di depan pintu kamarnya.
"Daisy!" teriak Eve panik.
Ia menepuk beberapa kali pipi Daisy dengan keras, tapi masih belum ada respon. Karena sudah sangat larut malam dan takut Daisy kenapa-napa, Eve akhirnya memanggil ambulans.
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i
Empat bulan kemudian ... Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak. “Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.” Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang. “Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?” “Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.” Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya. “Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banya
"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?" Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan. "Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil. Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?" Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas. Sebenarnya, ia berbohong. Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah. Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama. *** "Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan. Arthur membunyikan klak
Waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Daisy sudah memasuki bulan ke delapan. Perutnya sudah sangat membesar dan tidak dapat ditutupi lagi. Ia juga tidak bisa bergerak leluasa.Setelah dipecat dari pekerjaan waiter di restoran kemarin. Daisy membantu tetangga apartemen Eve untuk menghias kue tart. Sebentar lagi ia akan melahirkan, paling tidak ia harus memiliki uang untuk biaya bersalin."Daisy," panggil Eve. Ketika membuka pintu kamar, Daisy sedang duduk di tepi ranjang sambil memijat pinggangnya.Hampir setiap malam, Eve selalu melihat Daisy memijat pinggangnya, terkadang gadis itu juga mengigau dalam tidur. Kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir pasti membuat Daisy mudah lelah. Seharusnya ia sudah berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk bersalin.Eve menyodorkan beberapa lembar uang pada sahabatnya itu. "Ini apa?" tanya Daisy, ia tidak langsung menerima uang itu."Sedikit, untuk membantu biaya persalinanmu."Daisy me
“Aku akan pergi, jika Austin keberatan aku ada di sini,” kata Daisy.Kedua pasangan itu saling tatap. Eve menatap tajam Austin, sementara Austin merasa bersalah dengan ucapannya.Eve dan Austin tidak menyadari kedatangan Daisy. Gadis itu berdiri di balik pintu apartemen, mendengar pertengkaran mereka tentang pernikahan yang masih tertunda. Daisy memang sengaja membuka pintu kamar Eve, ia sudah tidak tahan mendengar mereka saling meninggikan suara.“Austin hanya sedang lelah, dia tidak sengaja mengatakan itu, Daisy.” Eve tidak tega melihat Daisy berlinang air mata. Satu tangan gadis itu memegang perut bagian bawahnya dengan napas terengah.Daisy meringis. “Aku memang hanya benalu, aku tahu itu. Maaf, selama ini hanya bisa merepotkan kalian saja.”
Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin. Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake. "Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith. "Tidak apa-apa, untuk Eve juga." "Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum. Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen. "Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen. Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai. "Baru saja sampai, itu apa?"
"Daisy?"Eve menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana sahabatnya pergi. Daisy sudah berjanji akan berada di restoran itu, menunggunya. Tapi sekarang gadis itu justru tidak ada.Garpu dan pisau steak yang terjatuh di lantai membuat Eve sedikit curiga. Daisy pergi bukan karena kemauannya sendiri.Eve khawatir."Pak Satpam!" Eve berlari kecil ketika melihat seorang satpam berjalan di luar restoran.Ia menceritakan kronologi hilangnya Daisy dan meminta tolong untuk dicarikan. Eve juga menunjukkan foto terakhir sahabatnya yang dia ambil melalui ponsel tadi ketika berbelanja.Eve harap, ia segera menemukan Daisy.***Keadaan tidak dapat terkendali. Sekuat tenaga Daisy berteriak, pertengkaran ini tidak juga berhenti. Keringat dingin yang terus mengucur membuatnya berpegangan pada pot besar di belakang tubuhnya.Jika terus seperti ini, ia bisa saja pingsan. Tidak ada yang melihatnya kesakitan. Arthur dan Layto
"Austin benar-benar punya selera yang norak!"Eve melempar ponsel ke kasur, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang ada di kamar Daisy."Mana ada yang mau memakai gaun sesederhana itu," omelnya lagi.Daisy yang sedang melipat beberapa pakaian bayi, tertawa pelan. "Kau mau gaun yang seperti apa untuk pernikahanmu?""Yang pasti agak mewah.""Kau saja tidak pernah memakai gaun, Eve."Eve menggaruk tengkuknya. "Kau benar juga, tapi ini acara penting. Sekali seumur hidup. Meski aku tidak pernah memakai gaun, aku ingin memeras uang Austin agar membelikanku gaun mahal."Sebelum menjawab Eve, Daisy memasukkan pakaian bayi yang sudah ia lipat rapi ke dalam koper kecil. Persiapan terakhir untuk hari persalinannya sudah ia siapkan. Tinggal menunggu beberapa hari, ia bisa memeluk buah hatinya."Kau benar, kau harus berdandan yang cantik dan memakai gaun mahal."Eve tersenyum puas mendengar jawaban Daisy. Gadis yang sedang m