Dipeluknya gundukan tanah itu dengan air mata yang tetap mengalir deras. Tidak peduli awan hitam yang menggantung di langit, Daisy terus menangis meronta di samping makam kedua orang tuanya, meminta mereka untuk kembali meski mustahil akan terjadi. Angin yang berembus menerbangkan tiap helai rambut panjang Daisy, seperti pertanda bahwa ia memang harus mengikhlaskan kepergian mereka menuju alam kekal.
Seharusnya, Daisy tidak memaksa mereka untuk pulang dan menghadiri wisudanya, jika ia tahu pada akhirnya akan seperti ini. Lebih baik ia berjauhan dengan kedua orang tuanya, tapi mereka tetap ada. Daripada dekat, namun mereka tak bernyawa. Daisy benar-benar menyesali keputusannya meminta mereka pulang.“Daisy sudah memakai gaun yang kalian inginkan, gaun warna hitam. Apakah ini kejutan yang kalian berikan padaku? Kalian pulang dengan keadaan seperti ini, Ma, Pa.” Gadis itu meremas gumpalan tanah di bawah lututnya."Kenapa ketika aku ingin kalian ada di sisiku, kalian justru tidak dapat kuajak bicara dan tertawa. Aku rindu kebersamaan kita seperti dulu, Ma, Pa. Selama ini kalian hanya sibuk bekerja."
"Aku sangat kesepian, aku ingin kalian, aku membutuhkan kalian," isak Daisy.
“Sudah, Daisy.” Layton dengan sabar menunggu sang kekasih. Sesekali juga memberikan sentuhan pada bahu gadis itu.“Kenapa kalian tega meninggalkan aku sendirian?” tanya Daisy pada gundukan tanah yang masih basah itu.Layton hanya dapat menghela napas. “Daisy, ayo pulang! Sebentar lagi akan turun hujan.”Dengan kasar Daisy menepis tangan hangat Layton yang ada di bahunya. “Kau pulang saja dulu, aku masih ingin menemani Mama dan Papaku, di sini.”Layton berjongkok, menarik tubuh Daisy ke dalam pelukannya. Tidak peduli dengan rintik hujan yang jatuh ke bumi, dan menjadi lebat dalam sekejap. Ia tetap menunggu Daisy sampai gadis itu benar-benar mau menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya sudah tiada.“Layton, aku tidak percaya mereka pergi secepat ini,” lirih Daisy. Di bawah guyuran hujan lebat itu, tubuhnya mulai menggigil kedinginan.Layton mengecup singkat puncak kepala Daisy. “Kau tidak boleh sakit, orang tuamu tidak akan suka melihatmu seperti ini. Ayo kita pulang, Daisy.”Keduanya sama-sama berdiri, dengan Layton yang menyangga tubuh lemas Daisy. Di bawah guyuran hujan itu, Daisy menatap sekali lagi nisan orang tuanya. Ia tersenyum tipis, lalu berkata, “Bahagialah di sana, Ma, Pa. Tunggu aku, dan kita akan kembali berkumpul lagi suatu saat nanti. Aku menyayangi kalian.”***
“Daisy,” panggil Eve.Ia menyambut sahabatnya yang berjalan sangat pelan, dan dituntun oleh Layton. Gadis itu memeluk Daisy, tidak peduli jika nanti pakaiannya akan basah. Yang terpenting, dia harus bisa menguatkan Daisy yang sangat terpukul atas kepergian orang tuanya, yang terbilang mendadak. Tadi, setelah pemakaman berakhir, Layton meminta Eve pulang duluan ke rumah Daisy untuk perwakilan jika ada pelayat yang datang.“Pakaianmu basah.”Daisy tidak bisa menjawab, tangisnya kembali pecah dalam pelukan Eve. Bersama Eve, Daisy merasa menemukan rumahnya yang nyaman. Seperti ketika ia sedang bersama orang tuanya.“Ayo, kuantar ke kamar.” Eve menuntun Daisy masuk ke dalam rumah, setelah berpamitan pada Layton.Dengan cekatan, Eve mengganti pakaian Daisy dan menyuruh gadis itu berbaring ke ranjang. Ia juga menyelimuti tubuh Daisy yang menggigil.“Kau sudah makan?” tanya Eve.“Aku tidak lapar.”“Kau harus makan, Daisy.”“Aku tidak ingin makan Eve, aku hanya ingin tidur,” kata Daisy lemah, ia membalik tubuhnya membelakangi Eve.Kepala Daisy terasa berat dan pusing. Dia hanya ingin tidur untuk melupakan apa yang sudah terjadi hari ini, meski hanya sebentar. Ia tidak ingin larut dalam kesedihan dan membuat Eve akan khawatir berlebih padanya.“Eve,” panggil Daisy, ia tahu Eve masih setia menunggunya. “Bisakah kau menemaniku di sini untuk semalam?”“Ya, aku akan menemanimu,” ucap Eve tanpa ragu.“Terima kasih.”***
Keesokan harinya.Daisy kedatangan tamu tak diundang. Jika bukan karena ikatan keluarga, Daisy juga tidak akan sudi berlama-lama duduk di sini, mendengar dengan bosan cerita yang keluar dari mulut Bibi Calyn—adik Papanya. Ia tahu betul, air mata yang keluar dari mata Bibi Calyn adalah palsu. Alih-alih bersedih karena kakak kandungnya telah tiada, Bibi Calyn pasti senang dengan kabar duka ini.Daisy tidak terlalu bodoh untuk mengerti kenapa dulu Papa sangat menentang keputusan Kakek ketika ingin mengangkat Bibi Calyn sebagai manajer keuangan di perusahaan. Bibi Calyn sangat licik, sejak dulu, ia berusaha untuk melengserkan Papa dari jabatannya dan mencoba mengambil alih semua bisnis yang Papa rintis dari bawah.“Papamu itu benar-benar keras kepala, padahal aku sudah mengatakan padanya kemarin untuk tidak pulang. Aku yang akan mengurus pesta kelulusanmu di sini.”Menghela napas panjang, Daisy tanpa ragu menguap. “Sudah takdirnya seperti ini, Bi. Mau bagaimana lagi.”“Aku turut berduka cita Sayang, kau pasti sangat kesepian di rumah besar ini sendirian.”Daisy membalas pelukan Bibi Calyn, meski tidak terlalu erat. Terkesan hanya menepuk punggung Bibi Calyn sekilas, sebelum melepaskan pelukan wanita itu karena merasa risi.“Bibi akan menyuruh Seryl untuk tidur di sini nanti.”“Tidak perlu Bi, Eve ada di sini menemaniku,” tolak Daisy secara halus.Terlihat ada raut kekecewaan di wajah Bibi Calyn, sebelum wanita itu dengan cepat mengubah kekecewaannya menjadi senyuman manis yang menipu. “Syukurlah, kau tidak sendirian lagi.”“Sudah waktunya aku pulang, Sayang. Lain kali Bibi akan ke sini lagi menjengukmu.” Bibi Calyn menepuk puncak kepala Daisy sambil tersenyum.Daisy terdiam, membiarkan Bibi Calyn pergi dari rumahnya dengan suara ketukan dari sepatu wanita itu yang masih terdengar menggema. Pikirannya terpaku pada kemungkinan terburuk mengenai perusahaan, bisakah Daisy mengelola perusahaan peninggalan Papanya di bawah tekanan Bibi Calyn nantinya.Apakah ia bisa mempertahankan kekuasaan itu, mengingat bagaimana liciknya Bibi Calyn. Menghela napas, gusar. Daisy memilih untuk naik ke lantai atas menemui Eve, mungkin dengan sedikit curhat atau bermain beberapa permainan di ponsel dengan Eve, bisa membuat pikirannya lebih tenang.***
“Bagaimana, Ma? Kau sudah bertemu dengan gadis sombong itu?”Calyn tersenyum penuh arti, sembari melepas kacamata hitamnya, ia menoleh sekilas pada Seryl—putri kesayangannya yang sedang menyetir. “Sebentar lagi, gadis itu tidak akan bisa sombong lagi, Sayang.”“Huh, Mama mengatakan itu hanya untuk membuatku lebih tenang, bukan?”Calyn tertawa. “Lihat saja, cepat atau lambat, semua hartanya akan berpindah ke tangan Mama.”Mama dan anak itu sama-sama menunjukkan seringai mereka, begitu yakin dengan rencana selanjutnya yang akan membuat Daisy jatuh miskin dalam sekejap.Seryl tampak senang, sebentar lagi ia yang akan berkuasa, bukan Daisy. Gadis sombong itu tidak akan bertahan lama dalam kemegahan rumah besar Xavier.
Calyn merogoh ponselnya di dalam tas, mencoba menghubungi seseorang. “Bisa kita bertemu hari ini?” tanyanya.
“Kau atur saja tempatnya, nanti aku akan ke sana.”Koper kecil berisi segepok uang dengan jumlah yang tidak sedikit, mampu membuat Layton terdiam begitu lama di tempatnya duduk. Ia seperti terjatuh dalam imajinasi di kepalanya, tentang apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.“Bagaimana, kau menerima tawaranku atau tidak?” tanya seorang wanita dengan kacamata mahal yang bertengger angkuh di hidung mancungnya.Layton mengusap dagunya yang dipenuhi bulu-bulu halus. “Tawaran yang cukup menarik.”“Uang ini sangat cukup untuk membayar utang perusahaanmu yang menggunung, aku jamin kau tidak akan jadi bangkrut.”Sekilas, Layton terperangah. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang perusahaannya yang hampir bangkrut karena utangnya di mana-mana. Padahal Layton tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, bahkan keluarganya saja tidak tahu.“Bagaimana? Kau hanya perlu menyakitinya, itu saja. Jangan terlalu lama berpikir, kau memb
Tidak ada pilihan lain, selain menceritakan masalah serius ini pada Layton. Setidaknya, Daisy memiliki harapan jika Layton mau mendampinginya untuk mengurus segala surat-surat. Ayah Layton bertugas sebagai hakim di salah satu departemen, ia bisa sesekali menanyakan langkah apa yang harus ia ambil untuk mempertahankan harta orang tuanya nanti, melalui perantara Layton. Layton membaca berkas yang diserahkan Daisy padanya. “Biar kusimpan di sini, dengan aman, Sayang,” ucapnya menenangkan. Daisy mengangguk sekilas. “Kau baik-baik saja?” tanya Layton, mengusap sisi wajah Daisy. “Aku jauh lebih baik dari sebelumnya, Lay.” Mereka berdua sedang berada di unit apartemen milik Layton. Daisy sengaja datang jauh-jauh ke apartemen itu untuk menyampaikan semua masalah yang sedang ia hadapi pada kekasihnya. Selama hampir satu tahun ia menjalin hubungan dengan lelaki bermata coklat itu, Daisy memiliki tempat keluh kesah, selain
“Dia tertidur di apartemenku.”Dini hari, Layton baru mengantarkan Daisy pulang dengan kondisi gadis itu yang tertidur. Eve membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Layton yang menggendong tubuh Daisy masuk. Ia membukakan pintu kamar mereka, dan menunggu Layton selesai membaringkan Daisy.“Pakaiannya sedikit basah karena kehujanan, kau ganti, ya.”“Bagaimana dengan rencana Daisy, kau menyetujuinya?” tanya Eve, menahan Layton di depan pintu.Layton mengangguk kecil. “Gampang, aku akan mengurusnya nanti. Kau tenang saja.”“Aku pulang dulu!” ucap Layton, terlihat tergesa.Mengedikkan bahu, Eve memilih masuk ke dalam rumah, memastikan setiap pintu di rumah besar itu sudah terkunci, lalu naik ke lantai atas.Eve masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian Daisy, dan ia mulai curiga ketika tak sengaja melihat bibir bawah Daisy yang sedikit robek
Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.“Kau dari mana saja, sayang?”Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rum
“Selamat menikmati.”Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pad
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i
Empat bulan kemudian ... Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak. “Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.” Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang. “Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?” “Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.” Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya. “Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banya
"Lalu, kenapa kau bisa berdiri di atas jembatan?" Arthur melajukan mobilnya membelah jalanan kota London, setelah berhasil meyakinkan Daisy agar mau ia antar pulang. Di luar cukup dingin, itu bisa saja membuat wanita hamil seperti Daisy kedinginan. "Aku hanya ingin mencari angin segar," jawab Daisy, memperhatikan jalan yang ramai dengan mobil-mobil. Arthur menaikkan sebelah alis, "Mencari angin?" Daisy terkekeh, lalu mengangguk sekilas. Sebenarnya, ia berbohong. Ada keinginan untuk bunuh diri, namun, tendangan dalam perutnya seperti sebuah peringatan. Bayi ini tidak mau mati bersama Daisy. Bayi ini menarik Daisy dalam kesadarannya dan apa yang ingin dia lakukan adalah salah. Daisy mengusap perutnya yang menonjol di balik dress sederhana yang ia kenakan. Hampir saja, mereka mati bersama. *** "Terima kasih tumpangannya, Dokter." Daisy tersenyum dan melambaikan tangan. Arthur membunyikan klak