Tanpa disadari, terkadang waktu berlalu dengan cepat. Seperti baru saja kemarin Daisy diantar Mama untuk mendaftar pertama kali di salah satu universitas pilihannya. Dan hari ini, ia justru sudah menunggu pengumuman nilai dan kelulusan.
Dengan hati berdebar, kaki Daisy melangkah mendekati papan pengumuman yang dipadati oleh mahasiswa dan mahasiswi kampusnya, mereka semua berkerumun untuk melihat hasil nilai kelulusan.
Dari beberapa raut wajah yang Daisy temui, ada beberapa mahasiswa yang memasang wajah penuh bahagia—seperti baru saja memenangkan sebuah lotre. Beberapa lagi ada yang menekuk wajahnya, dan bahkan menangis.Jelas saja, Daisy berdebar bercampur takut. Was-was sekali dengan nilainya sendiri, karena jujur, semester terakhir ini ia tidak terlalu banyak belajar, ia sibuk mempelajari bisnis yang dikelola Papa.Papa bilang, ia harus bisa sedikit bisnis, karena sebentar lagi Daisy akan menggantikan Papa memimpin perusahaan.“Daisy! Aku lulus!”Seseorang memeluk Daisy begitu erat, sampai rasanya leher Daisy seperti tercekik. “Eve, aku tidak bisa bernapas!” pekik Daisy.Eve—sahabat Daisy, melepas pelukannya. Ia meminta maaf sambil tertawa kecil, saking senangnya Eve tidak menyadari pelukannya terlalu kuat. “Kau sudah melihat nilaimu?”“Ini, aku sedang berusaha membelah kerumunan,” jawab Daisy. Sesekali bibir mungilnya mengucapkan permisi pada beberapa mahasiswa yang menghalangi jalan. Dan Eve mengekor di belakang, menemani Daisy sampai berhasil berdiri di depan papan pengumuman.***
“Ma, Daisy lulus.”Terdengar helaan napas lega dan pujian dari seberang telepon. Daisy tersenyum kecil, menatap kedua kakinya yang terendam air kolam renang. Pantulan cahaya dari rembulan malam menambah kesan tenang untuk seorang Daisy. Ia begitu senang menyampaikan kabar baik mengenai kelulusan studinya pada Mama yang sedang berada di luar kota.“Putri cantik Mama sudah lulus kuliah, ya. Sekarang, kau mau hadiah apa dari Mama dan Papa, Sayang?”Sekilas, Daisy menggerakkan kakinya hingga menimbulkan guncangan pada air yang tenang. “Seminggu lagi, Daisy wisuda. Mama dan Papa bisa pulang, kan?”“Tentu saja Mama dan Papa akan pulang. Kita akan merayakan kelulusanmu dengan pesta kecil.”“Pesta kecil?”Di seberang sana, Mama mengangguk. Meski Daisy tidak dapat melihatnya. “Iya, sebuah pesta sederhana untuk putri Mama.”“Mama tidak bohong, kan?”“Untuk apa Mama bohong, Sayang. Mulai sekarang, kau harus mempersiapkan gaun terbaik untuk menyambut kami.”Daisy tersenyum lebar. “Oke, Ma. Aku akan memakai gaun terbaik untuk menyambut kalian.”“Gaun warna hitam, ya, Sayang.”“Hitam?” Daisy mengernyit. Tidak mengerti dengan permintaan Mama, kenapa harus hitam?“Iya hitam, Mama dan Papa sudah menyiapkan tema khusus untuk perayaan kelulusanmu. Tidak perlu khawatir, kau pasti akan terkejut dengan kejutan yang akan kami diberikan.”Semula Daisy ragu. Tapi, pada akhirnya ia menyetujui permintaan Mama untuk mengenakan gaun warna hitam. Tidak peduli bagaimana tema yang disiapkan Mama, Daisy hanya ingin berkumpul dengan kedua orang tuanya yang selalu sibuk bekerja.***
Seminggu kemudian...Eve mengarahkan ponselnya pada wajah Daisy yang terlihat murung. “Lihat Austin, sahabatku sejak tadi tidak bersuara sama sekali. Lemas seperti belum sarapan saja.”Daisy menatap layar ponsel Eve yang menampilkan wajah bangun tidur Austin—kekasih sahabatnya. Lelaki dengan balutan kaus oblong hitam itu menunjukkan deretan giginya yang rapi. “Selamat atas kelulusanmu Daisy, kau cantik sekali memakai topi wisuda itu.”Senyum kecil Daisy muncul, meski terlihat jelas terlalu dipaksakan. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya belum juga sampai. Padahal mereka sudah berjanji akan datang sebelum wisuda dilaksanakan, tapi sampai wisuda selesai, mereka belum juga datang.“Terima kasih, Austin,” jawab Daisy sekenanya.Ponsel kembali diarahkan Eve ke wajah gadis itu. Sementara Daisy hanya bisa menarik napas dalam, mendengar bagaimana Eve tengah bercerita mengenai wisudanya pada Austin. Sungguh beruntung sekali menjadi Eve, dikelilingi orang-orang yang selalu ada dan menyayanginya. Berbeda dengan Daisy. Kedua orang tuanya ingkar janji, dan kekasihnya pun masih sibuk mengurus bisnis di luar kota.Beberapa menit kemudian, ponsel yang ia genggam bergetar. Daisy tersenyum senang ketika nama Mama tertera di layarnya. “Halo, Mama? Sudah sampai di depan gerbang, ya? Aku susul sekarang.”“Dengan keluarga Xavier?”Daisy terpaku di tempatnya berdiri, ini bukan suara Mama. “Siapa?”“Kami dari pihak rumah sakit, ingin memberitahukan bahwa Nyonya Xavier dan Tuan Xavier mengalami kecelakaan beruntun di jalan tol.”Daisy meremas kuat ponselnya, jantungnya berdegup begitu kencang—terlalu kencang sampai ia berpikir akan terlepas. “Jangan bercanda!” ucap Daisy dengan bibir bergetar.“Daisy, ada apa?” tanya Eve.Eve tidak mendengar jawaban, gadis itu justru dikejutkan dengan ponsel Daisy yang terlepas dari genggaman dan sahabatnya yang terduduk lemas dengan air mata yang mulai mengalir deras.Terlihat jelas, panggilan masih tersambung dengan Mama Daisy. Eve memberanikan diri untuk bicara di telepon. Tapi dia juga berakhir lemas di samping Daisy, memeluk tubuh sahabatnya yang tidak bergerak, dengan air mata yang juga mulai meluruh. Eve merasakan kehancuran, seperti apa yang sedang dirasakan Daisy.***
Sejak kecil, Daisy benci rumah sakit.
Di tempat ini, Daisy pernah melihat Kakek tercintanya meregang nyawa sebelum ditangani Dokter. Ia juga pernah melihat, bagaimana seorang anak kecil meninggal karena sesak napas.Daisy tidak ingin pergi ke rumah sakit, menurutnya, di tempat ini terlalu kental dengan suasana kepedihan.
Tapi, malam ini ia terpaksa datang ke rumah sakit bersama Eve dan Layton—kekasihnya, untuk menemui Mama dan Papa yang sedang ditangani di IGD. Tubuh lemas Daisy ditopang oleh Layton, ketika mereka sampai di depan pintu IGD yang tertutup rapat.“Jangan menangis, Daisy,” bisik Layton, mengusap lengan Daisy lembut. Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang kekasih.“Ba—bagaimana jika terjadi sesuatu pada Mama dan Papaku?” Daisy meremas kaus Layton.“Mereka akan baik-baik saja Daisy, percaya padaku.”Eve meremas ujung gaunnya, ia begitu iba dengan keadaan sahabatnya saat ini. Bahkan air matanya sejak tadi tidak mau berhenti mengalir. Tanpa sepengetahuan sahabatnya, kemarin Mama Daisy menelepon Eve dan memintanya untuk menjaga gadis itu. Eve menangis karena teringat percakapannya dengan Mama Daisy kemarin malam.Tak berapa lama, pintu IGD terbuka. Seorang Dokter bersama kedua suster keluar dari ruangan itu. Daisy berdiri dibantu oleh Layton, ia berjalan setengah berlari untuk menemui sang Dokter.“Dok, bagaimana keadaan Mama dan Papa saya?”Dokter itu menepuk bahu Daisy perlahan, “Kami sudah berusaha sebaik mungkin, namun Tuhan berkehendak lain. Nyonya Xavier meninggal terlebih dahulu, dan Tuan Xavier menyusulnya.”Bagai dihantam godam besar, Daisy merasa oksigen di sekitarnya lenyap, tergantikan dengan sesak dan sakit yang teramat pada dadanya. Ia berharap ini hanya mimpi, tapi ketika Daisy menampar dirinya sendiri, ia merasakan sakit pada pipinya.Daisy menyaksikannya sendiri, ketika dua orang perawat mendorong dua brankar dari ruang IGD. Di sana, tubuh kedua orang tuanya terbaring tak bernyawa, tertutup kain putih yang sebagian sisinya terdapat bercak darah dari luka-luka kedua orang tuanya.Hancur sudah, kehidupan Daisy berantakan.Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba pandangannya begitu mengabur saat kedua tangannya mencoba menggapai brankar itu. Lalu ia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Daisy kehilangan kesadarannya.Dipeluknya gundukan tanah itu dengan air mata yang tetap mengalir deras. Tidak peduli awan hitam yang menggantung di langit, Daisy terus menangis meronta di samping makam kedua orang tuanya, meminta mereka untuk kembali meski mustahil akan terjadi. Angin yang berembus menerbangkan tiap helai rambut panjang Daisy, seperti pertanda bahwa ia memang harus mengikhlaskan kepergian mereka menuju alam kekal.Seharusnya, Daisy tidak memaksa mereka untuk pulang dan menghadiri wisudanya, jika ia tahu pada akhirnya akan seperti ini. Lebih baik ia berjauhan dengan kedua orang tuanya, tapi mereka tetap ada. Daripada dekat, namun mereka tak bernyawa. Daisy benar-benar menyesali keputusannya meminta mereka pulang.“Daisy sudah memakai gaun yang kalian inginkan, gaun warna hitam. Apakah ini kejutan yang kalian berikan padaku? Kalian pulang dengan keadaan seperti ini, Ma, Pa.” Gadis itu meremas gumpalan tanah di bawah lututnya."Kenapa ketika aku ingin kal
Koper kecil berisi segepok uang dengan jumlah yang tidak sedikit, mampu membuat Layton terdiam begitu lama di tempatnya duduk. Ia seperti terjatuh dalam imajinasi di kepalanya, tentang apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.“Bagaimana, kau menerima tawaranku atau tidak?” tanya seorang wanita dengan kacamata mahal yang bertengger angkuh di hidung mancungnya.Layton mengusap dagunya yang dipenuhi bulu-bulu halus. “Tawaran yang cukup menarik.”“Uang ini sangat cukup untuk membayar utang perusahaanmu yang menggunung, aku jamin kau tidak akan jadi bangkrut.”Sekilas, Layton terperangah. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang perusahaannya yang hampir bangkrut karena utangnya di mana-mana. Padahal Layton tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, bahkan keluarganya saja tidak tahu.“Bagaimana? Kau hanya perlu menyakitinya, itu saja. Jangan terlalu lama berpikir, kau memb
Tidak ada pilihan lain, selain menceritakan masalah serius ini pada Layton. Setidaknya, Daisy memiliki harapan jika Layton mau mendampinginya untuk mengurus segala surat-surat. Ayah Layton bertugas sebagai hakim di salah satu departemen, ia bisa sesekali menanyakan langkah apa yang harus ia ambil untuk mempertahankan harta orang tuanya nanti, melalui perantara Layton. Layton membaca berkas yang diserahkan Daisy padanya. “Biar kusimpan di sini, dengan aman, Sayang,” ucapnya menenangkan. Daisy mengangguk sekilas. “Kau baik-baik saja?” tanya Layton, mengusap sisi wajah Daisy. “Aku jauh lebih baik dari sebelumnya, Lay.” Mereka berdua sedang berada di unit apartemen milik Layton. Daisy sengaja datang jauh-jauh ke apartemen itu untuk menyampaikan semua masalah yang sedang ia hadapi pada kekasihnya. Selama hampir satu tahun ia menjalin hubungan dengan lelaki bermata coklat itu, Daisy memiliki tempat keluh kesah, selain
“Dia tertidur di apartemenku.”Dini hari, Layton baru mengantarkan Daisy pulang dengan kondisi gadis itu yang tertidur. Eve membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Layton yang menggendong tubuh Daisy masuk. Ia membukakan pintu kamar mereka, dan menunggu Layton selesai membaringkan Daisy.“Pakaiannya sedikit basah karena kehujanan, kau ganti, ya.”“Bagaimana dengan rencana Daisy, kau menyetujuinya?” tanya Eve, menahan Layton di depan pintu.Layton mengangguk kecil. “Gampang, aku akan mengurusnya nanti. Kau tenang saja.”“Aku pulang dulu!” ucap Layton, terlihat tergesa.Mengedikkan bahu, Eve memilih masuk ke dalam rumah, memastikan setiap pintu di rumah besar itu sudah terkunci, lalu naik ke lantai atas.Eve masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian Daisy, dan ia mulai curiga ketika tak sengaja melihat bibir bawah Daisy yang sedikit robek
Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.“Kau dari mana saja, sayang?”Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rum
“Selamat menikmati.”Daisy pergi setelah menghidangkan beberapa menu makanan di meja nomor enam. Lalu ia kembali masuk ke dapur untuk mengambil pesanan lain yang sudah disiapkan oleh koki di sana.“Daisy, bisa tolong cuci piring, dulu? Biar aku yang mengantar makanannya ke meja nomor sepuluh.”Daisy mengangguk.Dua bulan berlalu, setelah ia diusir dari rumah peninggalan kedua orang tuanya. Daisy diterima bekerja di salah satu restoran cepat saji sebagai waiters, kadang juga merangkap menjadi koki dan tukang cuci piring.Semua pekerjaan itu ia lakukan agar ia dapat membantu Eve membayar biaya sewa apartemen. Daisy tidak ingin dianggap hanya benalu yang menumpang tidur dan makan di apartemen sahabatnya, maka dari itu ia memilih bekerja untuk menghasilkan beberapa pundi uang yang bisa ditabung juga.“Kau akan pulang sekarang?” Bram—salah satu koki di sana bertanya pad
Daisy pikir, mualnya beberapa hari ini karena salah makan, tapi ternyata dugaannya salah. Gadis dengan balutan pakaian rumah sakit itu menatap nyalang langit-langit kamar rawat inapnya, sesekali meremas selimut untuk melampiaskan perasaan bimbang. Ia tidak tahu, kali ini harus merasa senang atau justru sedih, atau sebenarnya kombinasi dari keduanya.Beberapa menit yang lalu, Dokter wanita bersama salah satu perawat masuk ke ruangan Daisy. Senyum mereka yang terkembang membuat Daisy bertanya-tanya, mengapa? Eve yang ada di sebelahnya pun hanya diam, seperti menunggu pernyataan yang akan diucapkan oleh Dokter.“Selamat Nona Daisy, kau hamil. Usia kandunganmu sekarang sudah memasuki minggu keempat.”Kalimat itu terus terulang di kepala Daisy, bagai dengung yang tidak berkesudahan. Hingga kini, ia masih tidak percaya ada kehidupan lain yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya. Air mata seperti sudah lelah untuk dikeluarkan, maka dari i
Empat bulan kemudian ... Usia kandungan Daisy, menginjak lima bulan. Banyak hal yang ia lewati dalam masa kehamilan ini, tak terkecuali morning sickness. Ia tetap menikmatinya, meski harus dengan tuntutan bekerja setiap hari. Eve awalnya meminta Daisy untuk berhenti saja dari pekerjaannya, tetapi gadis itu menolak. “Aku dengar, Nyonya akan memecat Daisy.” Daisy yang sedang mengganti pakaiannya diam-diam mendengar obrolan dua karyawan di ruang ganti. Mereka tidak tahu saja, sebenarnya Daisy sudah ada di dalam ruang ganti sebelum mereka datang. “Kenapa? Bukankah Daisy bekerja dengan baik?” “Kau tahu, kan dia sedang hamil. Perutnya akan semakin membesar dan itu bisa saja mengganggu pekerjaannya. Lagi pula, bulan kemarin Daisy juga banyak izin tidak masuk. Nyonya jadi malas berbaik hati lagi dengan gadis itu.” Daisy meremas pakaian yang ada dalam pelukannya. “Benar juga, aku kira Daisy sudah sangat banya