Tangan Mas Faisal berada di atas meja, sedang memainkan sebuah gantungan kunci mobil yang berbentuk kepala sapi. Sedang tanganku maju mundur untuk menggenggam tangan itu. Ah sungguh aku begitu ingin sekali menggenggam tangannya.
Sejak pertemuan itu aku memang mulai memendam rasa padanya. Sorot matanya yang tajam dan memikat, membuatku tergila-gila. Ketulusannya saat menolongku saat kecelakaan itu, membuatku semakin menggilainya. Sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kananya, yang menandakan bahwa dia sudah beristri. Hal itu sama sekali tidak memadamkan rasa cintaku.
Semenit, dua menit, aku masih bisa melawan hasrat. Namun di menit-menit berikutnya aku sudah tidak mampu menghalau hasratku sendiri. Entah aku mendapatkan keberanian dari mana, aku begitu berani meraih tangannya. Aku raih tangan itu, lalu aku genggam erat, erat sekali.
“Cri, maaf! Aku sudah beristri.” Dia melepas genggamanku, kata-katanya begitu lembut, namun sangat menusuk hatiku.
“Iya mas, aku tahu itu kok.”Aku menunduk,tetapi bukan karena malu. Namun sedang berpikir keras untuk memilih kata-kata agar bisa menaklukkan tipe lelaki setia yang sedang duduk di hadapanku kini.
Faisal Pranata, lelaki berdarah biru yang membuatku tergila-gila. Ternyata tipe lelaki yang sangat setia. Sungguh begitu beruntung wanita yang menjadi istrinya.
Namun, kesetiannya bagiku adalah sebuah tantangan yang menggairahkan. Adrenalinku semakin terpacu untuk mendapatkannya.
‘Derttt … derttt,' ponsel miliknya yang diletakkan di atas meja bergetar berkali-kali.
Sepertinya ada panggilan masuk. Aku melirik sekilas. Sebuah foto wanita berjilbab muncul di layar Ponselnya, dengan nama kontak my lovely wife. Wajah perempuan itu sangat cantik dan begitu teduh. Melihatnya jantungku seperti berhenti berdetak.
Dia pun segera mengangkatnya, dan melirikku sebentar, lalu beranjak dari tempat duduknya. Kini dia berdiri tepat di tepi balkon yang tidak jauh dari meja dimana kami sedang makan siang. Sayup-sayup, aku masih bisa mendengar apa yang sedang dia bicarakan.
“Walaikum salam iya Ma,” sapa mas Faisal dengan sangat lembut dan penuh mesra pada lawan bicaranya, yang aku yakini adalah istrinya.
Mendengar kata Ma yang dia ucapkan dengan intonasi yang begitu lembut, hatiku bergetar. Ada sebuah rasa yang mirip dengan cemburu menjalari hatiku.
“Iya ini aku sedang makan siang kok. Nasi Padang? Oh ok, nanti aku belikan pas pulang kantor ya," ucap mas Faisal.
Dia masih berbincang, dengan raut wajah yang sumringah. Sedang aku mengaduk-aduk jus jerukku dengan rasa donkol.
Lima menit kemudian dia mengakhiri perbincangannya, lalu kembali menemuiku.
“Maaf ya, ada telepon barusan.” Dia meminta maaf namun dengan raut muka tanpa rasa bersalah.
“Tidak apa-apa. Istrinya ya Mas?” responku.
“Em iya," jawab mas Faisal.
Dia melanjutkan makannya dengan santai. Sedang diriku, sudah kehilangan selera makan. Aku abaikan Ayam betutu yang masih tinggal separuh itu.
“Lho, kok tidak dimakan?” tanya mas Faisal.
“Aku sudah kenyang Mas," jawabku.
“Tadi katanya kamu lapar?” tanya mas Faisal lagi.
“Laparku sudah hilang mas," jawabku lesu.
“Lho kenapa?” Dia masih mengintrogasiku, seolah tidak tahu apa penyebabnya.
Aku menjawabnya dengan gelengan kepala. Dia benar-benar tidak peka, jika nafsu makanku hilang gara-gara telepon istrinya barusan.
“Istriku sedang hamil muda. Dia ngidam Nasi Padang, aku harus membelikannya nanti setelah pulang dari kantor," ungkap mas Faisal.
Lagi-lagi sikap manisnya ini membuatku semakin terbuai sekaligus semakin hancur. Aku harus tahu bagaimana sih Istrinya, kenapa bisa seorang seperti mas Faisal begitu cinta mati kepadanya.
“Jujur ya Cri, kita berduaan begini membuatku merasa sangat berdosa kepada Istriku," ujar mas Faisal dengan penuh rasa bersalah.
Aku terdiam, makan siang ini memang akulah yang memaksanya. Aku menculiknya dari kantor. Aku gemas sih, sudah berkali-kali aku ajak dia jalan, tetapi selalu menolak.
“Kita kan enggak ngapa-ngapain Mas, terus apanya yang dosa?” ungkapku.
“Cri, dengar! Aku sudah menikah, jika istriku tahu kalu aku makan dengan wanita lain pasti hatinya akan terluka. Melukai hati istri itu dosa besar bagi seorang suami.” Dia sedikit berapi-api.
Ampun deh, dia ceramah panjang lebar. Coba semua para lelaki hidung belang satu pemikiran dengannya, aku pastikan bakalan pada mangkrak tuh tempat-tempat Prostitusi.
Aku beranjak dari dudukku, lalu aku hapus sisa makanan yang menempel di bibirku dengan tissue. Aku meletakkan beberapa uang keras di atas meja. Kemudian aku melangkah pergi.
“Cri, tunggu!” Dia menghentikan langkahku.
“Aku harus kembali ke kantor Mas," ucapku.
“Aku antar ya?” pinta mas Faisal.
“Tidak perlu Mas, aku bisa naik Taxi. Kalau Mas antar aku, nanti dosa Mas bertambah," ucapku. Dia tersenyum mendengar ucapanku.
“Bukan begitu maksudku," sanggah mas Faisal.
Dia meraih kunci mobil di atas meja, lalu mensejajarkan langkah denganku. Kali ini aku berhasil memperdayainya. Tidak lama lagi kupastikan dia akan jatuh kepelukanku, aku yakin itu.
Kantorku dan kantor mas Faisal memang tidak begitu jauh. Hanya berjarak sekitar 5 kilo meter saja. Jadi dengan menghantarku, dia tidak akan butuh waktu lama untuk kembali ke Kantornya sendiri.
Jalanan begitu panas, terik matahari begitu menyengat. Ac di dalam Mobil mewah ini seakan tidak mampu menghalau panasnya udara.
Aku meliriknya dari balik kaca Spion. Hidung mancungnya dipenuhi oleh bulir-bulir keringat. Sedang kemeja yang dia kenakan sengaja dilepaskan beberapa kancing pada bagian atasnya. Hal itu membuat aroma parfum yang berpadu dengan bau kringatnya semakin menguap. Aku semakin bergetar tak karuan.
“Cri, kenapa diam saja? Bicara dong, biasanya kamu cerewet kalau ditelepon," ujar mas Faisal di sela keheningan kami.
“Aku lagi malas bicara Mas," jawabku beralasan.
Dia tersenyum mendengar jawabanku. Dan lagi-lagi aku begitu menikmati senyuman yang memabukkanku itu. Aku begitu menikmati kebersamaan ini.
Aku begitu menikmati aroma tubuhnya yang menguap. Aku begitu menikmati senyum dan ketampanannya meski hanya dari balik kaca Spion. Dia benar-benar membuatku tergila-gila.
Rasanya aku ingin waktu terhenti sampai disini saja. Dan kebersamaan ini menjadi abadi. Atau paling tidak aku harap jarak kantorku masih jauh, dan semakin menjauh.
“Cri …," panggil mas Faisal.
“Hem, iya mas?” jawabku.
Mas Faisal menghentikan laju Mobilnya.
“Sudah sampai," ucap mas Faisal.
Aku melihat ke sekitar, dan ternyata memang benar. Kami sudah berada tepat di depan Lobi Kantorku. Aku merasa ini terlalu cepat, huft.
Aku turun, dia menganggukkan kepala tanda berpamitan, lalu melaju menuju ke Kantornya. Aku pun segera menuju ke ruanganku dengan penuh kegirangan dan hati yang dipenuhi oleh bunga-bunga asmara.
“Makan siang di mana, kok lama banget?” Nadia menggodaku. Dia teman satu ruangan denganku, sekaligus sahabat karibku.
“Ada deh," jawabku.
“Bareng Pak Faisal?” terka Nadia.
“Lho, kok tahu?” jawabku sambil melongo.
“Wajah bahagiamu itu enggak bisa bohong lho." Dia mencoba menerawang ternyata.
“Haha ... haha, yup anda benar.” Aku terbahak-bahak dibuatnya. Dia memang satu-satunya orang yang sangat mengenalku luar dan dalam.
“Cri …," Nadia mengusikku lagi.
“Hem …," jawabku.
Nadia memecah konsentrasiku, yang sedang ingin memulai bekerja.
“Hati-hati," pinta Nadia.
“Hati-hati? Maksud kamu?” Aku terbelalak dibuatnya.
“Kamu kan tahu, pak Faisal itu sudah punya istri," ungkap Nadia.
“Iya aku tahu, terus memangnya kenapa?” responku.
“Jangan main api! Atau lebih tepatnya, jangan merusak rumah tangga orang!” Dia menasehatiku.
“Tenang Nad, tidak akan ada yang rusak kok. Aku mainnya cantik," ucapku.
“Gila kamu Cri …." Nadia terheran-heran dengan sikapku.
Nadia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawabanku. Aku hanya tersenyum simpul, lalu menghidupkan laptopku.
Aku tahu Nadia tidak setuju dengan apa yang aku lakukan ini. Dia benar, tidak seharus aku punya ambisi untuk memiliki suami orang. Akan tetapi teori itu tidak mampu menghentikan kegilaanku yang semakin hari semakin menjadi.
Ini saatnya untuk fokus bekerja. Aku sudah merefresh pikiranku dengan cara bertemu dengan orang yang aku cintai.
Faisal Pranata, sebentar lagi aku pastikan kamu akan merasakan kegilaan yang sama denganku. Kegilaan yang akan membawa kita pada sebuah penyatuan cinta.
***
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagiku. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama aku mulai bekerja di sebuah Perusahaan terbesar di kota ini. Perusahaan yang sudah dari dulu aku incar. Menjadi Karyawan disana adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku.Saking semangatnya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah Sholat subuh aku langsung sarapan dengan menu seadanya. Lalu aku langsung berangkat menuju halte Bus.Udara masih begitu dingin, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Aku berdiri di tepi jalan raya untuk menunggu Bus.“Awas!” Tiba-tiba orang-orang berteriak histeris, aku menoleh sesaat karena kaget Lalu, ‘brug ….’ Tubuhku tersungkur, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrakku.Mataku berkunang-kunang, tubuhku bersimbah darah. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kamar rumah sakit.“Kamu sudah sadar?
Sejak dia menghubungiku melalui chat Wa malam itu, aku mulai berani untuk menghubunginya lebih dulu. Kadang aku menelponnya,dan kadang aku hanya berkirim pesan melalui Wa. Akan tetapi aku harus pintar-pintar memilih waktu, aku takut istrinya tahu.Satu hal yang membuatku sangat bahagia, dia selalu menyambut baik apabila aku menghubunginya terlebih dulu. Dia tidak pernah menolak teleponku, dia selalu membalas pesanku.Faisal Pranata, sejak pertemuan itu aku gencar mencari tahu tentangnya. Kemampuan analisisku yang di atas rata-rata, membuatku tidak kesulitan untuk mencari rekam jejaknya.Dia lelaki berdarah biru, dengan karier yang sangat cemerlang. Saat ini dia menjabat sebagai seorang CEO di sebuah perusahahan besar, yang bergerak di bidang ekspor impor. Kantornya ternyata tidak begitu jauh dari kantor di mana aku sedang bekerja saat ini.Aku ingin sering mengajaknya keluar, walau hanya untuk sekedar minum ko
Aku sudah terlanjur janji kepada Randi untuk mengunjungi Bu Fatimah weeked ini. Aku berpikir keras, sambil merebahkan tubuh di atas ranjang. Ketika aku berkunjung ke sana nanti, aku tidak ingin Bu Fatimah berpikir untuk menjodohkanku dengan Randi lagi.Bagaimana caranya aku belum tahu. Lama aku berpikir, hingga terlintas nama mas Faisal di benakku. Aku punya ide berilian, aku akan mengajak mas Faisal ke panti. Kemudian aku akan memperkenalkan mas Faisal sebagai pacarku pada Bu Fatimah. Kira-kira Mas Faisal mau tidak ya? Aku meraih ponsel lalu mengirim sebuah Chat pada mas Faisal.‘Mas, bisa aku meneleponmu sekarang?’Dia sedang online, namun chatku belum dia baca. Sibukkah dia saat ini? Aku terus menunggu jawaban darinya. Melihat dia yang tiba-tiba sedang mengetik, hatiku berdebar.‘Nanti ya, aku lagi meeting ini. Nanti aku telepon balik,' balasnya.Heem benar dugaanku, dia sedang sibuk saat i
Randi menghantarkan kami menemui Ibu Fatimah, “silahkan masuk,” ucapnya sambil membukakan pintu ruang tamu untuk kami.“Tunggu sebentar, aku panggilkan Ibu dulu,” ucapnya sekali lagi. Dia masuk ke dalam dan meninggalkan kami berdua.Aku dan mas Faisal duduk di ruang tamu. Aku lihat mata mas Faisal memperhatikan satu persatu foto-foto yang berjejer rapi di dinding.“Itu fotoku waktu masih kecil Mas …,” ucapku sambil menunjuk pada salah satu foto yang ada di dinding itu.“Oh ya? Cantik dan imut sekali kamu waktu kecil. Beda sekali dengan yang sekarang, hehe …,” mas Faisal berkelekar.“Maksud mas aku sekarang jelek ya?” gerutuku dengan memasang wajah cemberut.“Tidak, kamu cantik juga kok sekarang, hehe ….” mas Faisal terkekeh sendiri.“Dasar!” hardikku.Kami terpingkal-pingkal berdua, hingga Bu Fatimah muncul di temani oleh Randi.“Criana …,” bu
Mungkin mencintai suami orang adalah sebuah dosa. Namun apalah dayaku, aku sudah telanjur menggilainya. Aku tidak mampu meredam obsesiku untuk memilikinya.Mas Faisal memang lak-laki sempurna di mataku. Dia hampir tanpa cela. Dia tampan, mapan, setia ,sekaligus mempunyai hati yang begitu mulia. Semua yang perempuan impikan pada sosok seorang lelaki ada padanya.Malam sudah larut, namun mataku tak mampu terpejam. Pikiranku masih berkutat pada satu nama, yaitu Faisal Pranata. Aku juga sedang mengkhawatirkan keadaan puteri kecilnya, Friska. Kenapa sampai saat ini mas Faisal belum mengabariku mengenai keadaan Friska. Aku semakin gusar, aku harus menelponnya.Aku meraih ponsel yang tergletak di atas meja nakas. Aku melakukan panggilan, lalu aku teringat jika dia sedang bersama istrinya sekarang. Sontak aku mematikan panggilan itu, sebelum dia mengangkatnya. Aku memilih mengirimnya sebuah pesan singkat
“Kamu ada masalah apa dengan Randi?” tanya Nadia yang tiba-tiba datang menghampiriku, di tengah taman yang berada tepat di belakang kantor. Kekesalanku kepada Randi membuatku memilih meninggalkna kantin, dan menyendiri di taman ini. Nadia menyodorkan sebuah sandwitch dan sebotol air mineral dingin. Dia paham sekali jika aku kesal, dan belum sempat makan siang.Aku langsung memakan sandwitch pemberian Nadia, dan aku meneguk habis air mineral dingin yang hanya sebotol kecil itu.“Dia mengusik ranah pribadiku, dia mencari tahu tentang mas Faisal,” jawabku dengan rasa kesal.“Terus salahnya di mana nona?” tanya Nadia lagi.“Ya itu salahnya. Aku tidak mau dia mencampuri urusan pribadiku, itu saja.” Aku sedikit menekankan intonasi suaraku.“Kenapa dia bisa tahu kamu punya hubungan dengan pak Faisal? Bukannya yang tahu itu cuma aku?”
Pagi yang begitu sempurna. Aku memantaskan diri sebagai perwakilan dari perusahaanku untuk menghadiri meeting di kantor pusat PT. Fun Birght. Aku benar-benar ingin tampil sempurna. Kukenakan rok mini hitam selutut, dipadukan dengan jas hitam dan kemeja putih. Tak lupa pula aku memakai high heel hitam yang sedikit lebih runcing dari biasanya. Rambut ikalku yang sebahu, kutata rapi.Bagiku ini bukan tugas biasa, akan tetapi tugas yang sangat istimewa. Pasalnya, Fun Bright adalah perusahaan dimana mas Faisal Bekerja. Dia adalah CEO di perusahaan itu, dan tentunya dia yang akan memimpin meeting yang akan aku hadiri nanti.Tidak seperti biasanya, kali ini aku dijemput oleh sopir kantor. Tepat jam tujuh pagi, pak Kardi, sopir kantor itu telah tiba di depan rumahku. Aku langsung menaiki mobil dinas yang mewah dan elegant itu.Enta
“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren. Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun. Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadi