Bandara Soekarno Hatta
Riuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.
Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat.
Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua.
Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.
“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya.
Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume khasnya seolah memenuhi ruangan, dan aku mabuk kepayang karenanya.
Kali ini dia tidak seperti biasanya, penampilannya begitu memukau. Aku saja sampai pangling.
Dia yang biasa mengenakan sepatu fun toefel, celana kain dan kemeja. Kini malah tampil dengan sangat casual. Lalu aku teringat kata-kata Nadia, ‘ di balik ketampanan dan kerapihan seorang lelaki pasti ada sentuhan tangan istrinya,’ kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Nadia, saat aku bercerita tentang mas Faisal dulu.
“Sudah tadi?” tanya mas Faisal datar.
“Lumayan lah, sekitar lima belas menit,” jawabku dengan sedikit debar.
“Oia, pak Rudi titip kamu ke aku …,” ucapnya tanpa melihatku.
Aku tersenyum, berbunga-bunga. Tubuhku seperti melayang-layang ke udara.
“Memangnya aku barang apa? Pak Rudi pakek titip-titip segala,” ocehku.
Dia membalas ocehanku dengan senyuman. Senyuman yang sangat manis, oh Tuhan mungkin aku tidak akan bisa tidur 7 hari tujuh malam gara-gara terbayang senyuman itu nanti.
Tiba-tiba ada sebuah suara yang memekakkan telinga. Pesawat yang akan kami tumpangi akan segera lepas landas, dan para penumpang diharap untuk segera naik ke kabin.
Aku dan mas Faisal pun segera beranjak dari duduk. Kami berjalan beriringan menuju pesawat. Berjalan beriringan dengannya seperti ini, membuatku merasa dunia milik berdua saja.
Sampai di kabin pesawat kami pun duduk di kursi yang sama. Ini kali pertama aku menaiki si burung besi. Getar dan dengunnya yang hebat saat lepas landas membuatku ketakutan.
“Tenang,” ucap mas Faisal sambil menggenggam tanganku erat.
Aku membalasnya dengan senyuman. Aliran elektrik ditubuhku karena genggamannya itu , seketika membuat takutku musna tak berjejak. Berganti damai yang tak sanggup kuungkapkan dengan kata-kata.
“Aku baru pertama naik pesawat mas, jadi lumayan cemas,” ucapku gugup setelah dia melepaskan genggamannya.
“Tidak apa-apa. Itu wajar,” ungkap mas Faisal.
“Malang itu kota dingin, kamu sudah persiapkan jaket atau baju tebal?” tanya tanya mas Faisal.
“Tidak mas. Aku hanya bawa baju formal dan beberapa baju santai,” jawabku.
“Kalau begitu pakai saja sweaterku nanti,” ungkapnya. Dia tersenyum kearahku, dan aku membalas senyumnya itu.
Tidak kurang dari 1 jam 35 menit, akhirnya kami pun tiba di Bandara Abdul Rahman Saleh, Malang.
Sejak aku turun dari pesawat, dinginnya kota ini sudah menusuk tulangku. Sungguh sangat berbeda dengan Jakarta yang panas dan pengap.
Kami langsung naik taxi utuk menuju ke hotel dimana acara akan dilaksanakan. Sepanjang perjalanan, mas Faisal bercerita banyak tentang kota Malang dan destinasi wisatanya. Rupanya ia sangat mengenal kota ini dengan baik.
“Mas kok bisa paham betul dengan kota ini?” tanyaku penasaran.
“Iya dong, Mamaku itu asli sini. Aku setiap lebaran pasti mudik. Apalagi dulu zaman masih sekolah, setiap liburan pasti kesini,” tutur mas Faisal.
Kota Malang yang dingin dan begitu mempesona, rasanya aku ingin berlama-lama disini, bersama mas Faisal.
Semoga tugas dinas ini berjalan sedikit lambat, agar aku bisa menikmati kebersamaan ini dengan paripurna.
***
Kami tinggal satu hotel, tentunya dengan kamar ysng berbeda. Hari-hari kami disibukkan dengan seminar dan meeting.
Hari pertama terasa cukup berat bagiku, pasalnya setibanya di hotel, setelah istirahat sesaat kami harus langsung mengikuti seminar hingga malam menjelang.
Kedatangan kami ke kota ini memang untuk mengikuti seminar dengan pihak pemerintah, dan juga untuk meeting penting dengan beberapa perusahaan lain yang memenangkan tender pihak pemerintah.
Di seminar tersebut mas Faisal menjadi salah satu pembicara. Dia mewakili pihak swasta, maklum perusahaannya yang bergerak di sektor ekspor-impor punya andil besar dalam kerjasama ini.
Dia begitu tampil mempesona, kepiawayannya dalam hal public speaking memang tidak perlu diragukan lagi.
Para audiens seakan terpana mendengarkan patah demi patah kata yang dia untai. Aku yang duduk di barisan para audiens tersenyum bangga padanya.
Sesi terakhir acara ini adalah makan malam bersama. Semua audiens makan bersama, aku yang sedikit kikuk karena tak ada satupun orang yang aku kenal disini selain mas Faisal. Sedang mas Faisal terlihat sangat akrab dengan para collega-colleganya.
“Hem ….” Sepertinya orang yang berdeham di belakangku. Aku menoleh, “Mas …,” pekikku.
Ternyata mas Faisal sudah berada tepat di belakangku. Kami sedang mengantre untuk mengambil lauk.
“Gimana, cukup melelahkan bukan?” tanya mas Faisal saat kami sudah keluar dari antrean.
“Melelahkan sekali mas, badanku pegal-pegal nih. Pengen banget istirahat dan tidur pulas,” jawabku. Mendengarnya mas Faisal terkekeh.
“Ini baru hari pertama Cri, belum besok dan lusa. Makanya kemaren kan aku menyarankan minum jamu ke kamu, biar staminamu ok," tutur mas Faisal.
“Oh ya? Duh aku tidak tahu sih kalau akan ada tugas seperti ini dari Pak Rudi,” ucapku.
“CEO-mu itu memang sibuk banget yah, acara sepenting ini saja pakek kirim delegasi segala ….” Mas Faisal meledek.
“Iya mas, pak Rudi memang sangat sibuk. Beliau sering keluar kota atau bahkan keluar negeri akhir-akhir ini,” terangku.
Kami menikmati makan malam bersama dalam satu meja. Dia bisa saja memilih makan satu meja dengan para coleganya, namun dia malah menemaniku.
Mungkin dia tidak ingin aku merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk acara ini.
“Kabar istrinya bagaimna mas?” tanyaku ketika makan malam kami sudah tinggal separuh.
“Alhamdulillah sehat, kemaren malam aku menghantarnya untuk USG. Aku bersyukur calon anak kami sehat dan berjenis kelamin laki-laki,” tutur mas Faisal dengan bangga.
Mendengarnya ada rasa ngilu menjalari relung hatiku. Aku menyesal telah menayakan keadaan istrinya, harusnya aku tidak menanyakannya.
Rumah tangga mereka akan tambah sempurna dengan hadirnya bayi laki-laki yang telah lama mas Faisal harapkan .
Dengan begitu celah bagiku sepertinya akan semakin sempit untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupannya.
“Aku ikut senang mas mendengarnya,” ucapku basa-basi.
Nyatanya aku malah semakin hancur karena merasa semakin jauh dari mimpi.
“Aku memang mengharapkan hadirnya anak laki-laki di dalam pernikahan kami, agar bisa meneruskan trah bisnisku. Alhamdulillah Allah mengabulkan.” Rona bahagia terpancar jelas di wajahnya.
“Kamu sendiri bagaimana Cri, belum mmau menikah?” tanya mas Fausal, aku tercekat mendengar pertanyaannya.
“Em aku … aku belum ada niatan kearah situ sih mas. Toh calonnya saja belum ada,” jawabku dengan terbata. Dia tersenyum mendengarnya.
‘Aku ingin menikah mas, suatu hari nanti. Tentunya itu denganmu, bukan dengan yang lain,’ gumamku dalam hati, sambil memperhatikannya melahap habis sisa makan malam di piringnya itu.
***
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua
Tangan Mas Faisal berada di atas meja, sedang memainkan sebuah gantungan kunci mobil yang berbentuk kepala sapi. Sedang tanganku maju mundur untuk menggenggam tangan itu. Ah sungguh aku begitu ingin sekali menggenggam tangannya.Sejak pertemuan itu aku memang mulai memendam rasa padanya. Sorot matanya yang tajam dan memikat, membuatku tergila-gila. Ketulusannya saat menolongku saat kecelakaan itu, membuatku semakin menggilainya. Sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kananya, yang menandakan bahwa dia sudah beristri. Hal itu sama sekali tidak memadamkan rasa cintaku.Semenit, dua menit, aku masih bisa melawan hasrat. Namun di menit-menit berikutnya aku sudah tidak mampu menghalau hasratku sendiri. Entah aku mendapatkan keberanian dari mana, aku begitu berani meraih tangannya. Aku raih tangan itu, lalu aku genggam erat, erat sekali.“Cri, maaf! Aku s
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagiku. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama aku mulai bekerja di sebuah Perusahaan terbesar di kota ini. Perusahaan yang sudah dari dulu aku incar. Menjadi Karyawan disana adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku.Saking semangatnya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah Sholat subuh aku langsung sarapan dengan menu seadanya. Lalu aku langsung berangkat menuju halte Bus.Udara masih begitu dingin, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Aku berdiri di tepi jalan raya untuk menunggu Bus.“Awas!” Tiba-tiba orang-orang berteriak histeris, aku menoleh sesaat karena kaget Lalu, ‘brug ….’ Tubuhku tersungkur, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrakku.Mataku berkunang-kunang, tubuhku bersimbah darah. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kamar rumah sakit.“Kamu sudah sadar?
Sejak dia menghubungiku melalui chat Wa malam itu, aku mulai berani untuk menghubunginya lebih dulu. Kadang aku menelponnya,dan kadang aku hanya berkirim pesan melalui Wa. Akan tetapi aku harus pintar-pintar memilih waktu, aku takut istrinya tahu.Satu hal yang membuatku sangat bahagia, dia selalu menyambut baik apabila aku menghubunginya terlebih dulu. Dia tidak pernah menolak teleponku, dia selalu membalas pesanku.Faisal Pranata, sejak pertemuan itu aku gencar mencari tahu tentangnya. Kemampuan analisisku yang di atas rata-rata, membuatku tidak kesulitan untuk mencari rekam jejaknya.Dia lelaki berdarah biru, dengan karier yang sangat cemerlang. Saat ini dia menjabat sebagai seorang CEO di sebuah perusahahan besar, yang bergerak di bidang ekspor impor. Kantornya ternyata tidak begitu jauh dari kantor di mana aku sedang bekerja saat ini.Aku ingin sering mengajaknya keluar, walau hanya untuk sekedar minum ko