“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.
“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.
“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.
“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku.
Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.
“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku.
Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.
“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.
“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan kekasihku,” ungkap Rayvan.
“Oh ya?” ucapku pura-pura antusias dengan pembicaraannya.
“Iya, tapi kami bertiga sampai sekarang tetap berhubungan baik,” lanjut Rayvan.
Mendengar apa yang dia bicarakan membuatku ragu antara harus percaya atau tidak. Bagaimana mungkin orang seperti mas Faisal bisa merebut kekasih sahabatnya, ah itu mustahil.
“Kamu yakin kedekatanmu dengan Faisal itu hanya sebatas rekan kerja? Tidak ada yang lain kan?” Dia meragukan jawabanku.
“Maksud kamu apa?” Aku mulai meradang. Kali ini dia benar-benar telah mengulik kesabaranku.
“Sabar dulu, maksudku begini, Faisal itu tidak pernah sedekat itu dengan perempuan manapun. Setelah menikahi Tiara, dia selalu menjaga jarak dengan lawan jenisnya,” jelas Rayvan padaku.
Aku terdiam, berpikir keras. Apakah aku terkesan sangat dekat dengan mas Fasial? Apa iya? Kalau yang Rayvan katakan memang benar, berarti aku berhasil menembus batasan-batasan yang mas Faisal bangun untuk dirinya sendiri.
“Dengar ya, aku dan mas Faisal itu hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih. Kalaupun kami terkesan dekat itu karena kami sedang ada kerjasama yang memang mengharuskan kami dekat,” jelasku.
Mendengar penjelasanku si Rayvan malah tersenyum kecut. Ekspresinya seolah menandakan bahwa dia tidak percaya dengan penjelasanku itu.
“Bailklah Nona, tetapi ingat jika suatu hari nati aku mencium bau perselingkuhan diantara kalian, aku tidak akan tinggal diam,” ucapnya dengan menatapku tajam.
Setelah itu dia pergi meninggalkanku begitu saja tanpa pamit.
Ah memangnya dia siapa, apa urusannya mas Faisal selingkuh denganku atau tidak. Tidak penting banget itu orang.
Aku menghabiskan secangkir cofe latte yang masih mengepul. Coffe break akan segera berakhir, acara akan segera berlanjut.
Aku harus segera memasuki ruangan agar tidak terlambat. Mas Faisal, aku tidak tahu dia sedang ada dimana sekarang. Tidak biasanya di jam coffee break begini kami terpisah.
***
“Mas tadi wakut coffee break aku bertemu dengan sahabatmu,” ucapku melalui via telepon.
Aku sangat lelah malam ini, namun mataku belum merasa ngantuk juga. Jadi aku memilih berbincang-bincang dengan mas Faisal lewat telepon.
“Siapa?’ tanya mas Faisal penasaran.
“Namanya Rayvan,” jawabku.
“Oh si Rayvan.” Dia terdengar menarik nafas panjang.
“Benar dia sahabatmu mas?” tanyaku lagi.
‘’Benar, dia sahabat karibku saat kuliah dulu.” Mas Faisal menjawab pertanyaanku dengan santai.
Apakah benar apa yang tadi Rayvan katakan itu, Aku jadi penasaran.
“Aku kesal sama dia mas,” rengekku.
“Lho kenapa, memangnya dia godain kamu?” tanya mas Faisal.
“Bukan,” jawabku.
‘Terus kenapa dia?” tanya mas Faisal lagi.
“Dia menanyakan tentang kedekatan kita. Dia sepertinya menaruh curiga padaku, bahkan dia mengancamku mas,” tuturku.
“Mengancam bagaimana?” Mas Faisal mulai khawatir.
“Dia bilang jika tercium bau perselingkuhan antara aku dan mas Faisal nanti, maka dia tidak akan tinggal diam. Aku kesal mas, memangnya dia itu siapa sih!” Aku merajuk.
Mas Faisal terdiam, hanya deru nafasnya yang bisa aku rasakan. Diamnya menimbulkan sejuta tanya di benakku.
“Dia juga bilang kalau istri mas itu mantan kekasihnya,” lanjutku. Dan lagi-lagi mas Faisal masih terdiam. Dia tidak merespon ceritaku.
“Mas, kenapa malah diam sih? Jawab dong, apa benar yang dia katakan tentang istri mas itu?” desakku.
“Cri, sudah malam. Sebaiknya kamu tidur, besok acara kita full. Masalah itu kita bicarakan nanti, di hari terakhir, aku akan membawamu ke tempat special di kota ini. Kita bicarakan hal ini disana ya.” Dia menutup telepon secara sepihak, padahal aku masih ingin bicara banyak.
Rasa kesalku semakin bertambah-tambah saja. Belum lagi rasa penasaranku tentang apa yang Rayvan katakan tadi semakin membuncah. Membuat mataku semakin sulit terpejam.
Aku bisa saja mendatangi mas Faisal malam ini. Kami satu hotel, dan bahkan kamar kami bersebelahan. Tetapi dari awal dia sudah berpesan padaku jika ada kepentingan dengannya di malam hari, aku cukup telepon saja. Dia tidak mau kami bertemu langsung.
Aku tahu ini adalalah salah satu caranya menjaga marwahku sebagai seorang wanita. Dan dia juga sangat menjaga martabatnya sebagia seorang pria yang sudah beristri.
Di kota sedingin ini apapun bisa saja terjadi. Apa lagi disini kami hanya berdua dan bebas mau melakukan apa saja yang kami ingin. Akan tetapi kami masih sangat kuat menjaga batasan-batasan itu.
‘Hai Cri, sudah tidur? Ini Rayvan, save ya.’ Sebuah Wa masuk , dan ternyata dari si tengil Rayvan. Sungguh mengesalkan. Entah dari mana dia tahu nomerku.
Tunggu, aku masih penasaran dengan ceritanya tadi siang. Aku tidak sabar mendengarkan kisah detailnya.
Mas Faisal masih menjanjikannya padaku, sedang rasa penasaran ini sudah hampir membunuhku.
Aku harus menelpon Rayvan, aku ingin mendengar kisah masa lalu mas Faisal dari dia. Aku mantapkan hati untuk memanggil nomer Rayvan yang bahkan belum sempat aku save itu. Tanpa menunggu lama, dia langsung menrespon panggilanku.
“Iya Cri?” sapa Rayvan renyah penuh keakraban.
“Kamu tahu nomerku dari siapa?” tanyaku dengan nada sedikit pedas.
Ya, aku tidak mungkin langsung meminta dia untuk bercerita tentang kisah masa lalu mas Fasial. Aku harus bersikap ketus terlebih dulu, supaya dia tidak mencurigaiku.
“Nomer orang terkenal sepertimu sangat mudah aku lacak,” jawab Rayvan berklekar.
“Memangnya aku artis, hah?” hardikku. Mendengarnya dia malah terkekeh.
“Aku dapat nomermu dari bagian personali acara ini. Tenang, nomermu aman di tanganku,” ujar Rayvan.
“Terus apa pentingnya bagimu menyimpan nomerku?” Aku terus mengintrogasinya.
“Waw penting banget lah, aku mau memastikan kamu tidak ada main dengan si Faisal,” ungkap Rayvan. Sungguh bagiku dia sangat menyebalkan.
“Tunggu, aku tidak paham dengan sikapmu yang sangat protektif dengan mas Faisal. Tolong jelaskan, apa maksud dan tujuanmu sebenarnya?” Aku mendesaknya.
“Benar kamu mau tahu?” tanya Rayvan.
“Iya,” jawabku.
“Kalau begitu kita ketemuan saja. Aku sekarang berada di taman dekat kolam renang, sedang menikmati sinar temaran bulan purnama. Kalau mau silahkan turun dan temui aku,” pinta Rayvan padaku.
Aku diam sejenak, berpikir antara mau menemuinya atau tidak. Aku melirik jam, angkanya sudah menunjukkan tepat pukul 10 malam.
Belum terlalu larut sih, jadi aku memutuskan untuk turun dan menemuinya di taman. Aku mengganti pyamaku dengan dress santai. Lalu kukunci pintu kamar dan kemudian langsung turun ke lantai 1 menggunakan lift.
***
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua
Tangan Mas Faisal berada di atas meja, sedang memainkan sebuah gantungan kunci mobil yang berbentuk kepala sapi. Sedang tanganku maju mundur untuk menggenggam tangan itu. Ah sungguh aku begitu ingin sekali menggenggam tangannya.Sejak pertemuan itu aku memang mulai memendam rasa padanya. Sorot matanya yang tajam dan memikat, membuatku tergila-gila. Ketulusannya saat menolongku saat kecelakaan itu, membuatku semakin menggilainya. Sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kananya, yang menandakan bahwa dia sudah beristri. Hal itu sama sekali tidak memadamkan rasa cintaku.Semenit, dua menit, aku masih bisa melawan hasrat. Namun di menit-menit berikutnya aku sudah tidak mampu menghalau hasratku sendiri. Entah aku mendapatkan keberanian dari mana, aku begitu berani meraih tangannya. Aku raih tangan itu, lalu aku genggam erat, erat sekali.“Cri, maaf! Aku s
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagiku. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama aku mulai bekerja di sebuah Perusahaan terbesar di kota ini. Perusahaan yang sudah dari dulu aku incar. Menjadi Karyawan disana adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku.Saking semangatnya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah Sholat subuh aku langsung sarapan dengan menu seadanya. Lalu aku langsung berangkat menuju halte Bus.Udara masih begitu dingin, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Aku berdiri di tepi jalan raya untuk menunggu Bus.“Awas!” Tiba-tiba orang-orang berteriak histeris, aku menoleh sesaat karena kaget Lalu, ‘brug ….’ Tubuhku tersungkur, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrakku.Mataku berkunang-kunang, tubuhku bersimbah darah. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kamar rumah sakit.“Kamu sudah sadar?
Sejak dia menghubungiku melalui chat Wa malam itu, aku mulai berani untuk menghubunginya lebih dulu. Kadang aku menelponnya,dan kadang aku hanya berkirim pesan melalui Wa. Akan tetapi aku harus pintar-pintar memilih waktu, aku takut istrinya tahu.Satu hal yang membuatku sangat bahagia, dia selalu menyambut baik apabila aku menghubunginya terlebih dulu. Dia tidak pernah menolak teleponku, dia selalu membalas pesanku.Faisal Pranata, sejak pertemuan itu aku gencar mencari tahu tentangnya. Kemampuan analisisku yang di atas rata-rata, membuatku tidak kesulitan untuk mencari rekam jejaknya.Dia lelaki berdarah biru, dengan karier yang sangat cemerlang. Saat ini dia menjabat sebagai seorang CEO di sebuah perusahahan besar, yang bergerak di bidang ekspor impor. Kantornya ternyata tidak begitu jauh dari kantor di mana aku sedang bekerja saat ini.Aku ingin sering mengajaknya keluar, walau hanya untuk sekedar minum ko
Aku sudah terlanjur janji kepada Randi untuk mengunjungi Bu Fatimah weeked ini. Aku berpikir keras, sambil merebahkan tubuh di atas ranjang. Ketika aku berkunjung ke sana nanti, aku tidak ingin Bu Fatimah berpikir untuk menjodohkanku dengan Randi lagi.Bagaimana caranya aku belum tahu. Lama aku berpikir, hingga terlintas nama mas Faisal di benakku. Aku punya ide berilian, aku akan mengajak mas Faisal ke panti. Kemudian aku akan memperkenalkan mas Faisal sebagai pacarku pada Bu Fatimah. Kira-kira Mas Faisal mau tidak ya? Aku meraih ponsel lalu mengirim sebuah Chat pada mas Faisal.‘Mas, bisa aku meneleponmu sekarang?’Dia sedang online, namun chatku belum dia baca. Sibukkah dia saat ini? Aku terus menunggu jawaban darinya. Melihat dia yang tiba-tiba sedang mengetik, hatiku berdebar.‘Nanti ya, aku lagi meeting ini. Nanti aku telepon balik,' balasnya.Heem benar dugaanku, dia sedang sibuk saat i