Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan.
Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.
Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam.
Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.
Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.
Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
Mungkin aku baca besok saja, aku membuka foto profile mas Faisal. Aku memandangi foto itu lama, sayang sekali dia sudah beristri. Mampukah aku merebut dia dari istrinya?
Aku memeriksa status, Nadia ternyata baru saja memperbarui statusnya. Dia belum tidur ternyata, aku putuskan untuk menelponnya, aku butuh teman bicara. Tanpa butuh waktu lama, Nadia langsung mengangkat panggilanku.
“Kamu belum tidur?” tanya Nadia heran.
“Aku tidak bisa tidur Nad. Kamu sendiri kenapa belum tidur?” tanyaku.
“Aku baru saja menyelesaikan laporan, dan tadi minum kopi, jadinya ya belum ngantuk," jawab Nadia.
“Baguslah, kalau begitu aku ada teman ngobrol," ujarku.
“Kamu sendiri belum bisa tidur gara-gara mikirin pak Faisal?” terka Nadia.
“Entahlah Nad, aku sangat gusar. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Tidak apa-apa kan aku curhat?” ungkapku.
“Cri … aku ini sahabatmu, kamu boleh cerita apa saja padaku. Tetapi maaf, jika pendapatku selama ini tentang perasaanmu terhadap pak Faisal itu menyakiti perasaanmu. Aku hanya menginginkan yang terbaik bagimu. Aku tidak mau kamu salah langkah, itu saja,” ungkap Nadia.
Aku terdiam, mataku berkabut, tangisku hampir pecah. Nadia di seberang sana juga terdiam.
Hening, hanya deru nafas masing-masing diantara kami yang saling beradu.
“Kamu benar Nad, aku saja yang salah. Andai aku bisa memilih, lelaki mana yang akan aku cintai. Tetapi aku tidak bisa Nad. Cinta itu datang begitu saja, aku tidak bisa menghalaunya. Terhadap Randi yang sudah lebih dulu datang di hidupku, dia yang terang-terangan memberikan perhatian dan kasih sanyangnya padaku, nyatanya apa? Aku sama sekali tidak punya rasa ke dia.” Kali ini tangisku benar-benar pecah.
Aku dengar Nadia juga sesenggukan di seberang sana. Kami berdua sama-sama tenggelam dalam tangis.
“Cri, mencintai suami orang itu ada konsekuensinya. Yaitu kamu harus siap dimadu. Memangnya kamu mau hidup dimadu?” Nadia menasehatiku.
Mendengar kata-kata dimadu, jiwaku meronta. Tidak, aku tidak ingin hidup dimadu. Aku ingin memiliki suamiku secara utuh kelak.
“Tidak Nad … aku tidak mau dimadu,” ucapku lirih.
“Makanya Cri, kamu harus bisa menahan perasaanmu itu. Kecuali, ya itu jika kamu siap dimadu," ujar Nadia lagi.
Lalu Aku sadar jika omongan Nadia sudah terlalu jauh, jangan kan menjadi istri mas Faisal, mas Faisal mencintaiku atau tidak saja aku belum tahu.
“Kayaknya kejauhan deh Nad obrolan kita ini. Boro-boro dimadu, aku saja sampai sekrang belum tahu mas Faisal itu juga punya perasaan yang sama atau tidak padaku.” Aku mulai ragu.
“Iya juga sih ….” Nadia membenarkanku.
“Aku ingin menyatakan perasaan ini pada mas Faisal Nad, biar aku tenang …," ungkapku.
“Kalau dia menolak?” tanya Nadia.
“Aku tidak akan memintanya untuk menjalin hubungan kok, jadi tidak akan ada kata diterima atau ditolak. Aku hanya ingin dia tau apa yang aku rasakan itu saja. Gimana menurutmu?” Aku meminta pendapat Nadia.
“Menurutku ya, sebaiknya kamu tidak perlu mengungkapkan apapun. Kamu simpan rasa itu sendiri, yakin deh suatu saat akan datang lelaki lain yang Tuhan kirim untuk menjadi jodohmu. Dan nanti kamu akan melupakan pak Faisal pelan-pelan.” Dia menyarankan hal lain.
Nadia benar, aku pernah mengungkapkan rasa waktu itu dengan menggenggam tangannya. Dia menolakku mentah-mentah. Dia bahkan menunjukkan kesetiaan dan rasa cintanya pada istrinya.
Tanpa aku ungkapkan pun dia pasti sudah tahu, mungkin dari binar mataku saat memandangnya misalnya.
“Cri, ini sudah dini hari, sebaiknya kamu tidur dan belajar melupakan pak Faisal,” ujar Nadia.
“Aku tidak bisa tidur dan tidak bisa melupakaknnya, terus gimana dong ...,” rengekku.
“Ah terserah deh, pokoknya aku mau tidur duluan.” Nadia menutup telepon secara sepihak.
Aku pun mengambil obat tidur di laci, aku meminummya agar bisa terlelap walau hanya sesaat. Karena hanya dengan tidur aku bisa menepis bayangan mas Faisal. Dan aku berharap dia tidak hadir dalam mimpiku kali ini.
***
“Cri … kamu bisa menggantikan saya dinas di luar kota besok? Ya paling tidak dua atau tiga harianlah,” ucap pak Faisal padaku siang itu.
Aku tidak langsung menolak atau mengiyakan permintaanya. Aku masih berpikir, karena tugasku saja masih bertumpuk tak tersentuh.
“Sebenarnya ini agenda untuk para CEO, tetapi ya karena aku sibuk, jadi aku ingin kamu saja yang pergi,” lanjut pak Rudi.
Tugas para CEO, wait … kalau begitu mas Faisal pasti ada disana. “ Ee … berapa hari pak?” tanyaku tiba-tiba sangat antusias.
“Dua atau tiga harian, belum pasti juga. Soalnya tergantung acaranya juga, kalau bisa selesai lebih cepat ya mungkin hanya dua hari,” jawab pak Rudi.
“Tempatnya dimana pak?” tanyaku penasaran.
“Di kota Malang, gimana kamu bisa tidak?” Pak Rudi bertanya lagi.
Malang? Wow, ini bisa sambil liburan sepertinya. Aku harus terima tawaran ini, asal ada mas Faisal,jangankan tugas, apapun akan kutinggalkan.
"Baik pak saya bisa,” ucapku penuh semangat.
“Ok, baguslah. Masalah tiket pesawat dan lain-lain biar Randi yang urus,” ujar pak Rudi.
“Baik pak," jawabku.
Pak Rudi sedang membolak-balik berkas yang aku berikan tadi, dan aku membuang muka sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Cri …." Pak Rudi memanggilku.
“Iya pak …," jawabku.
“Ini sudah bagus, tetapi ada beberapa yang harus dibenahi. Tolong koreksi lagi yang saya garis bawahi.” Pak Rudi menyodorkan berkas itu kepadaku.
“Baik pak …,” jawabku.
“Ok, silahkan kembali kerunganmu,” pintanya.
“Terimakasih pak,” responku.
Aku membungkukkan badan, lalu meninggalkan ruangan pak Rudi. Laporanku memang harus direvisi di sana-sini, namun tidak seperti biasanya, aku tidak merasa galau atau pun sedih. Pasalnya pak Rudi menawarkan sebuah kebahagiaan yang begitu besar untukku.
Aku berlenggang menuju ruang kerjaku, sampai disana, ku lemparkan berkas laporan itu ke atas meja kerjaku. Randi dan Nadia yang melihatnya terkaget-kaget.
“Kenapa Cri? Harus revisi lagi?” tanya Nadia sambil melongo.
“Yup,” jawabku dengan tersenyum manis dan melipat kedua tangan di dada.
“Aneh banget, revisi kok senang.” Nadia terheran dengan lagakku.
“Soalnya kebahagiaan yang aku dapatkan jauh lebih besar Nad,” jawabku sambil nyengir kuda.
“Hah kebahagiaan apa?” Nadia tambah heran.
“Aku akan dinas keluar kota selama tiga hari bersama mas Faisal!” Aku mengguncang-guncang bahu Nadia. Nadia melongo, sedang Randi mengernyitkan dahinya.
***
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua
Tangan Mas Faisal berada di atas meja, sedang memainkan sebuah gantungan kunci mobil yang berbentuk kepala sapi. Sedang tanganku maju mundur untuk menggenggam tangan itu. Ah sungguh aku begitu ingin sekali menggenggam tangannya.Sejak pertemuan itu aku memang mulai memendam rasa padanya. Sorot matanya yang tajam dan memikat, membuatku tergila-gila. Ketulusannya saat menolongku saat kecelakaan itu, membuatku semakin menggilainya. Sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kananya, yang menandakan bahwa dia sudah beristri. Hal itu sama sekali tidak memadamkan rasa cintaku.Semenit, dua menit, aku masih bisa melawan hasrat. Namun di menit-menit berikutnya aku sudah tidak mampu menghalau hasratku sendiri. Entah aku mendapatkan keberanian dari mana, aku begitu berani meraih tangannya. Aku raih tangan itu, lalu aku genggam erat, erat sekali.“Cri, maaf! Aku s
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagiku. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama aku mulai bekerja di sebuah Perusahaan terbesar di kota ini. Perusahaan yang sudah dari dulu aku incar. Menjadi Karyawan disana adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku.Saking semangatnya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah Sholat subuh aku langsung sarapan dengan menu seadanya. Lalu aku langsung berangkat menuju halte Bus.Udara masih begitu dingin, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Aku berdiri di tepi jalan raya untuk menunggu Bus.“Awas!” Tiba-tiba orang-orang berteriak histeris, aku menoleh sesaat karena kaget Lalu, ‘brug ….’ Tubuhku tersungkur, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrakku.Mataku berkunang-kunang, tubuhku bersimbah darah. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kamar rumah sakit.“Kamu sudah sadar?