“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren.
Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.
Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”
Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.
“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun.
Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.
Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadia yang sejak tadi dia tahan langsung meledak.
“Kamu ngapain saja kemaren di Fun Bright? Ngecengin pak Faisal? Haha … haha … masa pak Rudi minta penjelasan kamu suruh baca sendiri soft filenya.” Nadia tertawa terbahak-bahak.
Mendengar ocehan Nadia aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
Aku seperti orang bodoh yang tak berguna. Sedang Randi yang sibuk bekerja di mejanya, tersenyum-senyum melihat tingkahku.
Aku benar-benar mati kutu. Repotasiku sebagai karyawan cerdas berilian hancur seketika.
Hatiku hancur, repotasiku hancur, lengkaplah sudah penderitaanku kini. Aku begitu kesal dan marah kepada diriku sendiri.
Cinta memang merusak segalanya, apalagi cinta gilaku ini bisa dibilang bertepuk sebelah tangan. Aku ingin mas Faisal membayar ini semua, aku ingin dia bertekuk lutut padaku.
Dia bisa saja setia pada istrinya, namun aku akan terus menggodanya. Hingga dia benar-benar jatuh kedalam pelukanku.
***
‘Aku butuh data product dari PT. Sinar Harapan, kirim segera.’ tulisnya.
Mas Faisal mengirimku chat di tengah malam buta. Aku tahu pasti dia sedang lembur, tetapi aku mengabaikan chatnya. Aku memilih untuk tidak membalasnya, biar dia tahu rasa.
‘Cri, tolong kirimi segera. Aku tahu kamu sedang online dan sudah membaca pesan ini.’ tulisnya lagi.
Lima belas menit kemudian dia mengirimku chat kembali. Aku tetap tidak membalasnya, aku bahkan mematikan data selulerku. Aku memang sengaja mebuatnya kesal.
Setengah jam kemudian ponselku berdering, ternyata dia memilih menelponku. Aku abaikan panggilannya. Dia terus memanaggil tanpa henti, mungkin sudah puluhan kali atau bahkan lebih.
Aku ingin mengangkatnya, tetapi aku takut dia marah. Namun panggilan yang bertubi-tubi tanpa henti itu, mau tidak mau memaksaku untuk mengankatnya. Aku pencet tobol jawab dengan hati berdebar.
“Hallo Cri … kenapa baru diangkat? Chatku tidak kamu balas. Kamu marah ya? Cri … ini penting, aku sedang lembur dan butuh data itu sesegera mungkin.” Dia mengoceh di seberang sana, aku terdiam.
“Cri … hallo.” ucap mas Faisal.
“Iya mas,” aku menjawabnya dengan lemas.
“Kirim segera ya!” Dia mendesak.
“Maaf mas laptopku ketinggalan di kantor.” Aku mempermainkannya, padahal laptopku tidak ketinggalan.
“Kalau begitu kirim besok ya, aku tunggu. Penting banget soalnya," pinta mas Faisal.
“Aku tidak janji mas, besok aku sibuk. Aku ada meeting dengan perusahaan lain.” Aku mempermainkannya lagi.
“Jam berapa kamu pulang kantor? Kita ketemuan ya, atau aku jemput.” Dia mendesak kembali.
Aku melompat kegirangan, akhirnya dia mau bertemu denganku. Yes, aku berhasil meperdayainya. Sebentar lagi dia akan masuk kedalam perangkapku.
“Besok aku pulang agak malam mas, mungkin setengah tujuh,” ucapku.
“Ok aku jemput besok, sekalian kita makan malam," respon mas Faisal.
Dia menutup telepon, sedang aku memang sengaja tidak mengiyakan atau menolak apa yang dia tawarkan.
Arah permainan ini akan aku putar, akan kubuat dia yang butuh padaku, dia yang harus mengejarku. Dan aku akan pura-pura jual mahal.
***
“Cri … kalau pak Faisal CEO Fun Bright menghubungimu untuk meminta data atau apapun yang berhubungan dengan kerja sama kita, tolong layani dengan baik ya,” perintah pak Rudi yang tiba-tiba saja masuk ke ruanganku.
“Siap pak ...,” jawabku sigap.
“Ok, aku tinggal dulu. Aku ada urusan di luar,” lajut pak Rudi.
“Baik pak …,” jawabku, Randi dan Nadia bersamaan.
“Pastilah pak, si Criana akan melayani pak Faisal dengan sepenuh hati. Haha … haha, iya enggak Ran?” goda Nadia padaku saat pak Rudi sudah jauh meninggalkan Ruang kerja kami.
Randi hanya geleng-geleng kepala mendengarkan ocehan Nadia.
“Dasar kamu Nad!” gerutuku.
“Waktunya makan siang nih, yuk ke kantin,” cetus Randi.
“Ayuk, eits … Cri kamu mau makan kita di kantin?” tanya Nadia padaku.
“Iyalah …,” jawabku polos.
“Tetapi ada syaratnya lho!” ucap Nadia serius.
“Alah makan di kantin saja pakek syarat segala, ada-ada saja kamu.” Aku geleng-geleng kepala.
“ya iya dong, tahu syaratnya apa? Kamu tidak boleh lagi bikin ribut di kantin, kayak dulu itu. Aku malu tahu enggak?” Nadia menceramahiku.
”Aku enggak ada niat untuk ribut-ribut, itu tuh yang bikin gara-gara si Randi.” Aku menunjuk Randi dengan daguku.
Randi malah cekikikan mendengar tuduhanku.
“Ya sudah deh, aku lapar banget ini. Awas lho Ran jangan biki gara-gara lagi!” ucap Nadia dengan melirik tajam ke arah Randi.
“Ok … ok siap,” jawab Randi sambil beranjak berdiri dari duduknya.
Akhirnya kami bertiga pun berjalan beriringan menuju ke kantin.
Kami bertiga sudah menjadi satu tim yang solid. Kami sudah seperti saudara, suka duka dalam menjalani pekerjaan kami lalui bersama.
Dengan begini aku berharap perasaan Randi padaku lambat-laun akan memudar dengan sendirinya. Apalagi aku lihat Nadia punya perasaan lebih terhadap Randi, namun Randi saja yang kurang peka.
“kali ini aku yang teraktir ya, hitung-hitung tasyakuran gaji pertama. Hehe …,” ujar Randi setelah kami tiba di kantin.
‘”Yei hore ….” Nadia bersorak kegirangan.
“Yakin kamu Ran, kita-kita banyak lho makannya. Bisa-bisa gaji kamu ludes sampai disini lho.” Aku menakut-nakutinya sambil menahan tawa.
“Jangan bilang begitu dong, nanti dia tidak jadi neraktir kita,” Protes Nadia.
“Sudah, aku sudah siap. Gajiku habis disini juga tidak apa-apa,” ungkap Randi sok serius.
“Ok, aku pesankan makanan dulu ya.” Nadia langsung lari ke arah dapur tanpa kami minta.
Dia memang selalu begitu, memesankan makan tanpa bertanya pada kami, dia tidak perduli kami mau makan apa siang ini.
Pokoknya kita harus manut dengan selera dia. Dasar si Nadia.
Selepas Nadia pergi, aku ingin menyampaikan pada Randi tentang perasan Nadia yang terpendam padanya.
“Ran, kamu ngerasa enggak sih, si Nadia itu punya perasan lho ke kamu,” ucapku.
“Aku tidak merasa dia begitu. Nadia itu memang care sama siapapun,” sanggah Randi.
“Aku berani taruhan, dia itu suka sama kamu. Peka sedikit dong Ran," ujarku.
“Aku tidak bisa peka ke dia, kamu tahu kenapa? Aku tidak punya perasaan apapun ke dia,” ujar Randi ketus.
Melihat tanggapannya yang kurang enak, aku memilih diam.
“Hei, yuk selamat makan!” Nadia datang dengan hebohnya, dia membawa menu yang berupa-rupa. Sampai-sampai pelayan yang membantunya kewalahan membawakan menu-menu itu.
Aku menepuk jidak melihat kelakuan Nadia. Randi bakal merogoh gocek dalam-dalam kayaknya nih.
***
‘Sudah pulang belum? Sebentar lagi aku jemput.’ tulis mas Faisal.Mas Faisal mengirimku sebuah chat. Aku melirik jam, ternyata sudah hampir jam 7 malam.Hari ini aku dan teman-teman memang sedang lembur. Aku segera mengemasi barang-barangku. Aku ingin pulang lebih dulu, karena aku tidak mau Randi atau pun Nadia mengetahui jika aku dijemput oleh mas Faisal sebentar lagi.“Aku duluan ya guys, ada kepentingan mendadak nih,” ucapku pada mereka yang masih berkutat dengan laptop masing-masing. Mereka melongo mengiringi kepergianku. Aku berpura-pura santai agar mereka tidak menaruh curiga.Setelah tiba di area parkir, aku memilih duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel. Aku ingin membalas chat mas Faisal tadi. Aku ingin mengabarkan padanya bahwa aku
Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan. Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam. Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua