Beranda / Romansa / Criana / Rasa yang Terpendam

Share

Rasa yang Terpendam

“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren.


Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.

Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”

Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.

“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun.


Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.

Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadia yang sejak tadi dia tahan langsung meledak.


“Kamu ngapain saja kemaren di Fun Bright? Ngecengin pak Faisal? Haha … haha … masa pak Rudi minta penjelasan kamu suruh baca sendiri soft filenya.” Nadia tertawa terbahak-bahak.

Mendengar ocehan Nadia aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.


Aku seperti orang bodoh yang tak berguna. Sedang Randi yang sibuk bekerja di mejanya, tersenyum-senyum melihat tingkahku.

Aku benar-benar mati kutu. Repotasiku sebagai karyawan cerdas berilian hancur seketika.


Hatiku hancur, repotasiku hancur, lengkaplah sudah penderitaanku kini. Aku begitu kesal dan marah kepada diriku sendiri.

Cinta memang merusak segalanya, apalagi cinta gilaku ini bisa dibilang bertepuk sebelah tangan. Aku ingin mas Faisal membayar ini semua, aku ingin dia bertekuk lutut padaku.


Dia bisa saja setia pada istrinya, namun aku akan terus menggodanya. Hingga dia benar-benar jatuh kedalam pelukanku.

***

‘Aku butuh data product dari PT. Sinar Harapan, kirim segera.’ tulisnya.

Mas Faisal  mengirimku chat di tengah malam buta. Aku tahu pasti dia sedang lembur, tetapi aku mengabaikan chatnya. Aku memilih untuk tidak membalasnya, biar dia tahu rasa.

‘Cri, tolong kirimi segera. Aku tahu kamu sedang online dan sudah membaca pesan ini.’ tulisnya lagi.

Lima belas menit kemudian dia mengirimku chat kembali. Aku tetap tidak membalasnya, aku bahkan mematikan data selulerku. Aku memang sengaja mebuatnya kesal.

Setengah jam kemudian ponselku berdering, ternyata dia memilih menelponku. Aku abaikan panggilannya. Dia terus memanaggil tanpa henti, mungkin sudah puluhan kali atau bahkan lebih.

Aku ingin mengangkatnya, tetapi aku takut dia marah. Namun panggilan yang bertubi-tubi tanpa henti itu, mau tidak mau memaksaku untuk mengankatnya. Aku pencet tobol jawab dengan hati berdebar.

“Hallo Cri … kenapa baru diangkat? Chatku tidak kamu balas.  Kamu marah ya? Cri … ini penting, aku sedang lembur dan butuh data itu sesegera mungkin.” Dia mengoceh di seberang sana, aku terdiam.

“Cri … hallo.” ucap mas Faisal.

“Iya mas,” aku menjawabnya dengan lemas.

“Kirim segera ya!” Dia mendesak.

“Maaf mas laptopku ketinggalan di kantor.” Aku mempermainkannya, padahal laptopku tidak ketinggalan.

“Kalau begitu kirim besok ya, aku tunggu. Penting banget soalnya," pinta mas Faisal.

“Aku tidak janji mas, besok aku sibuk. Aku ada meeting dengan perusahaan lain.” Aku mempermainkannya lagi.

“Jam berapa kamu pulang kantor? Kita ketemuan ya, atau aku jemput.” Dia mendesak kembali.

Aku melompat kegirangan, akhirnya dia mau bertemu denganku. Yes, aku berhasil meperdayainya. Sebentar lagi dia akan masuk kedalam perangkapku.

“Besok aku pulang agak malam mas, mungkin setengah tujuh,” ucapku.

“Ok aku jemput besok, sekalian kita makan malam," respon mas Faisal.

Dia menutup telepon, sedang aku memang sengaja tidak mengiyakan atau menolak apa yang dia tawarkan.


Arah permainan ini akan aku putar, akan kubuat dia yang butuh padaku, dia yang harus mengejarku. Dan aku akan pura-pura jual mahal.

***

“Cri … kalau pak Faisal CEO Fun Bright menghubungimu untuk meminta data atau apapun yang berhubungan dengan kerja sama kita, tolong layani dengan baik ya,” perintah pak Rudi yang tiba-tiba saja masuk ke ruanganku.

“Siap pak ...,” jawabku sigap.

“Ok, aku tinggal dulu. Aku ada urusan di luar,” lajut pak Rudi.

“Baik pak …,” jawabku, Randi dan Nadia bersamaan.

“Pastilah pak, si Criana akan melayani pak Faisal dengan sepenuh hati. Haha … haha, iya enggak Ran?” goda Nadia padaku saat pak Rudi sudah jauh meninggalkan Ruang kerja kami.


 Randi hanya geleng-geleng kepala mendengarkan ocehan Nadia.

“Dasar kamu Nad!” gerutuku.

“Waktunya makan siang nih, yuk ke kantin,” cetus Randi.

“Ayuk, eits … Cri kamu mau makan kita di kantin?” tanya Nadia padaku.

“Iyalah …,” jawabku polos.

“Tetapi ada syaratnya lho!” ucap Nadia serius.

“Alah makan di kantin saja pakek syarat segala, ada-ada saja kamu.” Aku geleng-geleng kepala.

“ya iya dong, tahu syaratnya apa? Kamu tidak boleh lagi bikin ribut di kantin, kayak dulu itu. Aku malu tahu enggak?” Nadia menceramahiku.

”Aku enggak ada niat untuk ribut-ribut, itu tuh yang bikin gara-gara si Randi.” Aku menunjuk Randi dengan daguku.


Randi malah cekikikan mendengar tuduhanku.

“Ya sudah deh, aku lapar banget ini. Awas lho Ran jangan biki gara-gara lagi!” ucap Nadia dengan melirik tajam ke arah Randi.

“Ok …  ok siap,” jawab Randi sambil beranjak berdiri dari duduknya.


Akhirnya kami bertiga pun berjalan beriringan menuju ke kantin.

Kami bertiga sudah menjadi satu tim yang solid. Kami sudah seperti saudara, suka duka dalam menjalani pekerjaan kami lalui bersama.


Dengan begini aku berharap perasaan Randi padaku lambat-laun akan memudar dengan sendirinya. Apalagi aku lihat Nadia punya perasaan lebih terhadap Randi, namun Randi saja yang kurang peka.

“kali ini aku yang teraktir ya, hitung-hitung tasyakuran gaji pertama. Hehe …,” ujar Randi setelah kami tiba di kantin.

‘”Yei hore ….” Nadia bersorak kegirangan.

“Yakin kamu Ran, kita-kita banyak lho makannya. Bisa-bisa gaji kamu ludes sampai disini lho.” Aku menakut-nakutinya sambil menahan tawa.

“Jangan bilang begitu dong, nanti dia tidak jadi neraktir kita,” Protes Nadia.

“Sudah, aku sudah siap. Gajiku habis disini juga tidak apa-apa,” ungkap Randi sok serius.

“Ok, aku pesankan makanan dulu ya.” Nadia langsung lari ke arah dapur tanpa kami minta.


Dia memang selalu begitu, memesankan makan tanpa bertanya pada kami, dia tidak perduli kami mau makan apa siang ini.


Pokoknya kita harus manut dengan selera dia. Dasar si Nadia.

Selepas Nadia pergi, aku ingin menyampaikan pada Randi tentang perasan Nadia yang terpendam padanya.


“Ran, kamu ngerasa enggak sih, si Nadia itu punya perasan lho ke kamu,” ucapku.

“Aku tidak merasa dia begitu. Nadia itu memang care sama siapapun,” sanggah Randi.

“Aku berani taruhan, dia itu suka sama kamu. Peka sedikit dong Ran," ujarku.

“Aku tidak bisa peka ke dia, kamu tahu kenapa? Aku tidak punya perasaan apapun ke dia,” ujar Randi ketus.


Melihat tanggapannya yang kurang enak, aku memilih diam.

“Hei, yuk selamat makan!” Nadia datang dengan hebohnya, dia membawa menu yang berupa-rupa. Sampai-sampai pelayan yang membantunya kewalahan membawakan menu-menu itu.


Aku menepuk jidak melihat kelakuan Nadia. Randi bakal merogoh gocek dalam-dalam kayaknya nih.


***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status