‘Sudah pulang belum? Sebentar lagi aku jemput.’ tulis mas Faisal.
Mas Faisal mengirimku sebuah chat. Aku melirik jam, ternyata sudah hampir jam 7 malam.
Hari ini aku dan teman-teman memang sedang lembur. Aku segera mengemasi barang-barangku.
Aku ingin pulang lebih dulu, karena aku tidak mau Randi atau pun Nadia mengetahui jika aku dijemput oleh mas Faisal sebentar lagi.
“Aku duluan ya guys, ada kepentingan mendadak nih,” ucapku pada mereka yang masih berkutat dengan laptop masing-masing.
Mereka melongo mengiringi kepergianku. Aku berpura-pura santai agar mereka tidak menaruh curiga.
Setelah tiba di area parkir, aku memilih duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel.
Aku ingin membalas chat mas Faisal tadi. Aku ingin mengabarkan padanya bahwa aku sudah pulang dan sedang menunggunya.
‘Aku sudah pulang mas, aku tunggu di parkiran. Segera ya, mumpung teman-temanku belum pulang,' tulisku.
Aku langsung mengirim chat itu tanpa membacanya ulang. Baru saja aku kirim, aku lihat chat itu sudah centang dua dan berwarna biru pula.
Ternyata mas Faisal memang sedang menunggu chat balasan dariku.
Setelah itu mas Faisal terlihat mengetik. Tanpa menunggu lama dia pun mengirim chat balasan kembali padaku, ‘Ok tunggu ya, aku langsung kesana.’
Tidak butuh waktu lama, tidak lebih dari 15 menit dia sudah tiba dan memarkirkan mobinya di hadapanku. Dia turun, lalu menghampiriku.
“Maaf sudah membuatmu menunggu lama ….” mas Faisal mulai berbasa-basi.
“Ah tidak kok mas, aku baru saja turun.” Aku menaggapinya dengan senyuman manis.
“Jadi enaknya kita dinner dimana ini?” tanya mas Faisal.
“Aku sih terserah mas,” jawabku polos.
“Benar?” tanya mas Faisal.
“Benar dong," jawabku.
“Ok, aku ada tempat yang lumayan enak dan privet. Semoga saja kamu suka,” ucapnya sambil membukakan pintu mobil untukku.
Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana malam ini. Dia yang kemaren sempat bersikap kaku dan dingin, saat aku berada di kantornya kemaren, namun kini mulai mencair kembali.
Aku begitu bahagia malam ini, walaupun aku tahu ini bukan kencan, tetapi sebuah makan malam karena pekerjaan.
Mobil menembus gelapnya malam, lampu-lampu rumah penduduk dan perkantoran berkelap-kelip seperti grembolan bintang-bintang.
Dia di sampingku, mengendalikan kemudi dengan tenang. Lagu tak bisa bersama, milik Cakra Khan mengalun merdu mengiringi perjalanan kami.
Entah apa maksud dia menyetel lagi itu, atau dia barangkali memang pecinta Chakra dan tidak punya maksud apa-apa.
“Istri mas tidak sedang menunggu di rumah?” Aku memulai pembicaraan.
“Oh, tidak. Tadi aku sudah memberitahunya, bahwa malam ini aku akan pulang terlambat,” jawabnya santai.
“Kalau boleh tahu mas sudah berapa tahun menikah?” Aku mengulik kehidupannya lebih dalam.
“Sudah hampir sepuluh tahun,” jawab mas Faisal.
Hampir sepuluh tahun, tetapi dia masih mesra dan selalu bersikap manis pada istrinya, it’s amazing.
Dia benar-benar masuk ke dalam kategori laki-laki langka di zaman ini.
Selanjutnya aku lebih memilih diam, sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan tentang kehidupan rumah tangganya.
Misalnya, seberapa cinta dia kepada istrinya, atau berpacaran berapa lama mereka dulu sebelum menikah. Namun aku takut jika jawabannya nanti akan membuatku tambah kagum padanya, atau bahkan mebuatku hancur pada akhirnya.
Setelah 30 menit perjalanan kami tempuh, akhirnya kami pun tiba di tempat yang dituju.
Aku tidak tahu ini tempat apa, cuma dari luar terlihat gelap dan sakral. Dia turun lebih dulu, lalu mebukakan pintu mobil untuku. Aku pun turun dan mengikuti langkahnya.
Aku membaca nama tempat itu, namanya lebih mirip dengan kedai jamu. Dia melangkah dengan santai.
Sesampai di dalam, semua karyawan membungkuk menaruh hormat padanya. Sepertinya dia sudah sering kesini, dan para karyawan sudah tahu siapa sebenarnya mas Faisal ini.
“Ini tempat apa mas?” tanyaku setelah kami duduk di salah satu meja pengunjung.
“Disini unique Cri …, cafe tapi juga menyediakan jamu tradisional. Nanti aku pesankan jamu ya, biar badanmu agak segar," ucap mas Faisal.
“Ah enggak ah mas, aku tidak biasa minum jamu,” jawabku risih.
“Eh kamu harus coba, jamu itu sangat baik lho untuk menambah stamina kamu dalam bekerja,” ungkap mas Faisal.
Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri kami dengan membawakan buku menu, “mau pesan apa pak?” tanyanya dengan sangat sopan.
“Saya mau satu paket jamu khusus laki-laki komplit dengan telur, dan satu gelas STMJ plus madu dan beras kencur,” ucap mas Faisal.
“Baik pak, untuk ibu tidak sekalian dipesankan ramuan rapet wangi? Kami ada paket komplit kewanitaan juga kok pak,” ujar si pelayan, mendengarnya aku mengernyitkan dahi.
“Oh tidak, dia belum bersuami jadi cukup STMJ mix madu dan beras kencur saja,” jawab mas Faisal sambil terkekeh sendiri.
“Baik pak …,” ucap pelayan itu sambil pamit undur diri.
“Mas kita ini mau makan atau mau minum jamu sih, aku sudah lapar,” gerutuku.
“Hehe … tenang, habis minum jamu kita makan malam nanti. Kamu jangan khawatir, malam masih panjang,” jawab mas Faisal santai.
Selang beberapa menit kemudian, jamu-jamu yang mas Faisal pesan sudah tersaji di hadapan kami.
Satu gelas besar berisi jamu lelaki komplit, ia teguk sekali habis. Aku yang melihatnya merasa geli.
“Istriku pasti senang kalau aku minum jamu ini. Hehe ….” Dia terkekeh, mendengarnya aku hanya tersenyum kecut.
“Ayo Cri, segera diminum jamunya, mumpung masih hangat,” ucap mas Faisal sambil menyodorkan segelas besar STMJ kepadaku.
“Nanti saja mas, kalau aku minum jamu ini duluan, bisa-bisa aku tidak jadi makan malam nati,” tolakku.
“Haha ….” Dia tertawa renyah, baris-baris giginya yang tertata rapi terlihat sangat indah.
“Oh ya, keluarkan laptopnya. Aku mau menyalin data product PT. Sinar Harapan,” pinta mas Faisal.
Aku pun segera mengeluarkan laptop dari ransel. Menaruhnya di atas meja, lalu menyalakannya.
Mas Faisal merogoh saku kemejanya, ia mengeluarkan sebuah flash disc.
Lalu tanpa canggung dia mencolokkan flash disc itu ke laptopku. Kali ini kami begitu dekat, sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
“Datanya kamu simpan di sebelah mana?” Dia mengotak-atik laptopku.
“Di bagian document mas.” Aku juga ikut mengotak-atik latopku.
Data yang biasanya sangat mudah aku temukan, tiba-tiba saja sangat sulit dicari jejaknya.
Apa mungkin karena aku gugup, secara tubuh kami tidak pernah sedekat ini. Sekali saja dia menoleh, kupastikan hidungnya akan mendarat di pipiku.
Setelah data yang dia cari akhirnya ketemu, aku langsung menggesar tempat dudukku. Kubiarkan dia memindah sendiri data itu ke flash discnya.
“Oia, katanya kamu mau makan, ayo pesan dulu.” Dia menyodorkan daftar menu ke arahku.
“Mas juga mau makan kan?” tanyaku.
“Sepertinya tidak, jamu tadi membuatku kenyang. Aku makan di rumah saja nanti,” ujarnya.
“Aku bilang juga apa mas, makanya aku tidak mau minum jamu lebih dulu," gerutuku.
“Tidak apa-apa. Aku temani kamu saja,” ucap mas Faisal sambil tersenyum manis.
Aku memesan salah satu menu andalan. Perutku yang sudah sejak tadi keroncongan, membuatku tidak canggung makan sambil diperhatikan oleh mas faisal.
Ini bukan kencan atau dinner romantic sepasang kekasih. Namun makan malam ini sudah cukup membuatku bahagia, pasalnya ini kali pertama dia mau bertemu denganku lagi.
Aku harap ini menjadi awal, awal tentang sebuah rasa yang akan terajut pelan.
***
Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan. Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam. Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua
Tangan Mas Faisal berada di atas meja, sedang memainkan sebuah gantungan kunci mobil yang berbentuk kepala sapi. Sedang tanganku maju mundur untuk menggenggam tangan itu. Ah sungguh aku begitu ingin sekali menggenggam tangannya.Sejak pertemuan itu aku memang mulai memendam rasa padanya. Sorot matanya yang tajam dan memikat, membuatku tergila-gila. Ketulusannya saat menolongku saat kecelakaan itu, membuatku semakin menggilainya. Sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kananya, yang menandakan bahwa dia sudah beristri. Hal itu sama sekali tidak memadamkan rasa cintaku.Semenit, dua menit, aku masih bisa melawan hasrat. Namun di menit-menit berikutnya aku sudah tidak mampu menghalau hasratku sendiri. Entah aku mendapatkan keberanian dari mana, aku begitu berani meraih tangannya. Aku raih tangan itu, lalu aku genggam erat, erat sekali.“Cri, maaf! Aku s
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan. Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam. Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
‘Sudah pulang belum? Sebentar lagi aku jemput.’ tulis mas Faisal.Mas Faisal mengirimku sebuah chat. Aku melirik jam, ternyata sudah hampir jam 7 malam.Hari ini aku dan teman-teman memang sedang lembur. Aku segera mengemasi barang-barangku. Aku ingin pulang lebih dulu, karena aku tidak mau Randi atau pun Nadia mengetahui jika aku dijemput oleh mas Faisal sebentar lagi.“Aku duluan ya guys, ada kepentingan mendadak nih,” ucapku pada mereka yang masih berkutat dengan laptop masing-masing. Mereka melongo mengiringi kepergianku. Aku berpura-pura santai agar mereka tidak menaruh curiga.Setelah tiba di area parkir, aku memilih duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel. Aku ingin membalas chat mas Faisal tadi. Aku ingin mengabarkan padanya bahwa aku
“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren. Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun. Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadi