Aku sudah terlanjur janji kepada Randi untuk mengunjungi Bu Fatimah weeked ini. Aku berpikir keras, sambil merebahkan tubuh di atas ranjang. Ketika aku berkunjung ke sana nanti, aku tidak ingin Bu Fatimah berpikir untuk menjodohkanku dengan Randi lagi.
Bagaimana caranya aku belum tahu. Lama aku berpikir, hingga terlintas nama mas Faisal di benakku. Aku punya ide berilian, aku akan mengajak mas Faisal ke panti. Kemudian aku akan memperkenalkan mas Faisal sebagai pacarku pada Bu Fatimah. Kira-kira Mas Faisal mau tidak ya? Aku meraih ponsel lalu mengirim sebuah Chat pada mas Faisal.
‘Mas, bisa aku meneleponmu sekarang?’
Dia sedang online, namun chatku belum dia baca. Sibukkah dia saat ini? Aku terus menunggu jawaban darinya. Melihat dia yang tiba-tiba sedang mengetik, hatiku berdebar.
‘Nanti ya, aku lagi meeting ini. Nanti aku telepon balik,' balasnya.
Heem benar dugaanku, dia sedang sibuk saat ini. Sambil menunggu telepon darinya, aku memilih untuk menonton film Korea kesukaanku.
Hingga tiga puluh menit berlalu, mas Faisal belum juga kunjung menelponku. Aku sampai bosan menunggunya terlalu lama. Tiba-tiba ponselku berdering, kulihat foto mas Faisal menari-nari di layar ponselku. Aku begitu kegirangan, aku segera mengangkatnya.
“iya, mas …,” sapaku dengan spontan.
“Maaf ya, sudah membuatmu menunggu lama,” respon mas Faisal.
“Tidak kok Mas, aku yang seharusnya minta maaf karena sudah mengganggu waktu Mas.” Aku mulai berbasa-basi.
“Ada apa Cri …?” tanya mas Faisal.
“Em aku butuh bantuan mas," jawabku dengan sedikit kikuk.
“Iya, katakan saja," ucap mas Faisal.
Aku terdiam, aku ragu. Aku takut mas Faisal akan menolak ajakanku.
“Cri. Hallo … lho kok malah diam. Bicaralah!” Dia bingung karena aku terdiam.
“Eh iya mas. Ee … aku mau mengajak mas ke Panti besok," ucapku dengan terbata.
“Ke Panti? Untuk apa?” Mas Faisal heran dengan ajakanku.
“Aku mau menjenguk Ibu panti," jawabku.
“Iya tetapi kan tidak harus mengajak aku," ungkap mas Faisal.
“Mas please, mau ya. Kali ini saja, pantinya jauh kok, istri mas tidak akan tahu.” Aku merayunya.
“Kamu ada-ada saja, ok-lah. Kapan?” tanya mas Faisal.
Mendengar dia mensetujui ajakanku, aku berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Besok mas," jawabku.
“Ok, besok aku jemput ya?” tanya mas Faisal lagi.
“Benar mas?” tanyaku.
“Iyalah, masak aku bohon," jawab mas Faisal.
“Yei …!” Aku bersorak-sorak kegirangan.
“Sudah ya, ini aku masih ada urusan." Mas Faisal sepertinya ingin segera mengakhiri percakapan kami.
“Ok mas …," jawabku.
Mas Faisal menutup teleponnya. Sungguh aku begitu bahagia, aku hempaskan tubuhku ke atas ranjang. Aku menatap langit-langit kamar sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku membayangkan hari esok, kami akan bersama lagi.
***
Pagi yang begitu membahagiakan, aku sudah mandi dengan menggunakan lulur mangir beraroma teraphy. Rasanya begitu segar, aroma lulur tersebut menenangkan pikiran sekaligus menambah rasa percaya diriku.
Aku membuka almari, kukeluarkan semua baju terbaik yang aku punya. Aku bingung memilihnya, satu per satu aku coba di depan cermin.
Hingga pilihanku jatuh pada dress selutut yang berwrna merah jambu. Aku pasti terlihat sangat manis dengan memakai dress simple ini.
‘Tin … tin …’
Di tengah aku sedang bersolek, ada suara klakson mobil terdengar dari halaman rumah. Mungkinkah mas Faisal yang datang. Aku melihat siapa yang datang dari balik jendela. Ternyata benar, yang datang adalah mas Faisal. Dia memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu gerbang.
Aku langsung kembali ke depan cermin, memastikan kesempurnaan riasanku. Memastikan penampilanku, aku takut jika ada yang kurang.
‘Ning … nong …’
Mendengarnya memencet bel, aku langsung menuju ke ruang tamu. Aku membuka pintu dengan jantung yang berdegub kencang.
“Sudah siap?” tanyanya dengan tersenyum melihat penampilanku. Senyumnya membuatku semakin salah tingkah.
“Sudah mas, mari masuk dulu,” jawabku sambil membuka pintu lebar-lebar.
“Ah tidak usah, aku tunggu di sini saja,” ucap mas Faisal dengan memilih duduk di kursi rotan yang ada di teras rumah.
“Baiklah mas, tunggu sebentar ya," pintaku
“Ok," respon mas Faisal.
Aku segera bergegas menuju ke kamar untuk mengambil Cluth hitam kesayanganku. Aku juga memastikan semua jendela dan pintu sudah terkunci. Setelah aku rasa semuanya aman, aku langsung keluar menemui mas Faisal.
Melihatku sudah siap, mas Faisal berdiri dari duduknya. Lalu kami berdua berjalan beriringan menuju mobil. Dia membukakan pintu mobil untukku. Duh aku merasa di perlakukan seperti seorang tuan puteri saja.
“Kamu tinggal sendirian di rumah itu?” Mas Faisal memulai pembicaraan di antara kami.
“Iya mas,” jawabku.
“Tidak takut memangnya?” tanya mas Faisal.
“Sudah biasa Mas,” jawabku.
“Sudah lama tinggal disana?” tanya mas Faisal lagi.
“Baru dua bulan terakhir ini. Semenjak keluar dari panti, aku memutuskan untuk mengontrak rumah itu,” jelasku
“Kenapa keluar dari panti?” tanya mas Faisal.
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin hidup mandiri saja mas,” jawabku.
“Hem baguslah kalau begitu.” Dia tersenyum.
Mobil menyusuri jalanan yang sedikit padat. Maklum, hari ini adalah weeked, semua orang berbondong-bondong untuk pergi berlibur.
“Orang-orang pada pergi berlibur semua, makanya rame banget,” ungkap mas Faisal dari balik kemudi.
“Mas tidak pergi berlibur bersama keluarga,” tanyaku menggelitik.
“Tidak, aku kan lagi mau antar kamu ke Panti,” jawab mas Faisal sambil mengerlingkan mata ke arahku.
Aku membuang muka ke arah jendela sambil tersenyum. Ternyata dia memilih pergi bersamaku dari pada berlibur dengan keluarganya.
“Tadi puteri sulungku merengek minta liburan ke pucak, namun aku tolak. Aku bilang kalau aku ada urusan penting hari ini,” ungkap mas Faisal.
Mendengarnya aku menjadi merasa bersalah. Aku teringat masa kecilku, jika aku mengajak ke suatu tempat namun Ayah menolak, maka aku akan menangis semalaman karena rasa kecewa.
“Maafkan aku ya mas …,” ucapku lirih.
“Ah tidak apa-apa, aku bisa ajak mereka liburan besok pagi,” ucap mas Faisal dengan santai. Kami berdua saling beradu senyum.
Beberapa menit kemudian, kami telah sampai tepat di depan pintu gerbang Panti. Seperti halnya ketika hendak berngkat tadi, kali ini Mas Faisal membukakan pintu mobil kembali untuku. Aku turun dari mobil, melihat papan nama yang bertuliskan Panti Asuhan Kasih Bunda membuat mataku berkabut. Aku teringat masa laluku di tempat ini, aku teringat kasih sayang dan kehangatan Ibu Fatimah dan teman-teman panti.
“Ayo,” ajak mas Faisal kepadaku. Dia menatapku, mungkin heran melihatku yang sedang tertegun.
“Kamu kenapa?” tanya mas Faisal.
“tidak apa-apa mas, aku hanya teringat dengan masa laluku di tempat ini,” jawabku sambil menyeka air mata.
Kemudian mas Faisal memapahku berjalan menuju ke arah pintu gerbang. Di saat bersamaan aku lihat Randi sedang membuka pintu gerbang.
“Criana …,” sapa Randi. Dia terlihat kaget melihatku datang bersama dengan seorang laki-laki.
“Iya Ran, Ibu ada?” tanyaku.
“Oh, ada … ada. Mari masuk …” Randi terlihat salah tingkah.
Aku dan mas Faisal memasuki gerbang utama, sesampainya di dalam aku diserbu oleh puluhan anak panti.
“Kak Criana …,” teriak mereka sambil memelukku secara bergantian. Aku sangat terharu melihat wajah bahagia mereka karena kedatanganku.
“Kami kangen kakak, sering-sering kesini dong kak,” rengek salah satu anak yang masih memelukku erat.
“Iya, kakak kangen kalian juga. Kakak janji deh bakalan sering main ke sini,” ucapku sambil mengelus kepalanya.
“Ini kakak ada oleh oleh sedikit, bagi sana dengan teman-temanmu.” Aku menyerahkan satu kresek besar yang berisi makanan ringan.
“Hore!” teriak anak-anak itu bersamaan. Mereka kegirangan sambil berlari membawa oleh-oleh dariku. Melihat kelakuan mereka aku dan mas Faisal tersenyum.
Randi menghantarkan kami menemui Ibu Fatimah, “silahkan masuk,” ucapnya sambil membukakan pintu ruang tamu untuk kami.“Tunggu sebentar, aku panggilkan Ibu dulu,” ucapnya sekali lagi. Dia masuk ke dalam dan meninggalkan kami berdua.Aku dan mas Faisal duduk di ruang tamu. Aku lihat mata mas Faisal memperhatikan satu persatu foto-foto yang berjejer rapi di dinding.“Itu fotoku waktu masih kecil Mas …,” ucapku sambil menunjuk pada salah satu foto yang ada di dinding itu.“Oh ya? Cantik dan imut sekali kamu waktu kecil. Beda sekali dengan yang sekarang, hehe …,” mas Faisal berkelekar.“Maksud mas aku sekarang jelek ya?” gerutuku dengan memasang wajah cemberut.“Tidak, kamu cantik juga kok sekarang, hehe ….” mas Faisal terkekeh sendiri.“Dasar!” hardikku.Kami terpingkal-pingkal berdua, hingga Bu Fatimah muncul di temani oleh Randi.“Criana …,” bu
Mungkin mencintai suami orang adalah sebuah dosa. Namun apalah dayaku, aku sudah telanjur menggilainya. Aku tidak mampu meredam obsesiku untuk memilikinya.Mas Faisal memang lak-laki sempurna di mataku. Dia hampir tanpa cela. Dia tampan, mapan, setia ,sekaligus mempunyai hati yang begitu mulia. Semua yang perempuan impikan pada sosok seorang lelaki ada padanya.Malam sudah larut, namun mataku tak mampu terpejam. Pikiranku masih berkutat pada satu nama, yaitu Faisal Pranata. Aku juga sedang mengkhawatirkan keadaan puteri kecilnya, Friska. Kenapa sampai saat ini mas Faisal belum mengabariku mengenai keadaan Friska. Aku semakin gusar, aku harus menelponnya.Aku meraih ponsel yang tergletak di atas meja nakas. Aku melakukan panggilan, lalu aku teringat jika dia sedang bersama istrinya sekarang. Sontak aku mematikan panggilan itu, sebelum dia mengangkatnya. Aku memilih mengirimnya sebuah pesan singkat
“Kamu ada masalah apa dengan Randi?” tanya Nadia yang tiba-tiba datang menghampiriku, di tengah taman yang berada tepat di belakang kantor. Kekesalanku kepada Randi membuatku memilih meninggalkna kantin, dan menyendiri di taman ini. Nadia menyodorkan sebuah sandwitch dan sebotol air mineral dingin. Dia paham sekali jika aku kesal, dan belum sempat makan siang.Aku langsung memakan sandwitch pemberian Nadia, dan aku meneguk habis air mineral dingin yang hanya sebotol kecil itu.“Dia mengusik ranah pribadiku, dia mencari tahu tentang mas Faisal,” jawabku dengan rasa kesal.“Terus salahnya di mana nona?” tanya Nadia lagi.“Ya itu salahnya. Aku tidak mau dia mencampuri urusan pribadiku, itu saja.” Aku sedikit menekankan intonasi suaraku.“Kenapa dia bisa tahu kamu punya hubungan dengan pak Faisal? Bukannya yang tahu itu cuma aku?”
Pagi yang begitu sempurna. Aku memantaskan diri sebagai perwakilan dari perusahaanku untuk menghadiri meeting di kantor pusat PT. Fun Birght. Aku benar-benar ingin tampil sempurna. Kukenakan rok mini hitam selutut, dipadukan dengan jas hitam dan kemeja putih. Tak lupa pula aku memakai high heel hitam yang sedikit lebih runcing dari biasanya. Rambut ikalku yang sebahu, kutata rapi.Bagiku ini bukan tugas biasa, akan tetapi tugas yang sangat istimewa. Pasalnya, Fun Bright adalah perusahaan dimana mas Faisal Bekerja. Dia adalah CEO di perusahaan itu, dan tentunya dia yang akan memimpin meeting yang akan aku hadiri nanti.Tidak seperti biasanya, kali ini aku dijemput oleh sopir kantor. Tepat jam tujuh pagi, pak Kardi, sopir kantor itu telah tiba di depan rumahku. Aku langsung menaiki mobil dinas yang mewah dan elegant itu.Enta
“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren. Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun. Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadi
‘Sudah pulang belum? Sebentar lagi aku jemput.’ tulis mas Faisal.Mas Faisal mengirimku sebuah chat. Aku melirik jam, ternyata sudah hampir jam 7 malam.Hari ini aku dan teman-teman memang sedang lembur. Aku segera mengemasi barang-barangku. Aku ingin pulang lebih dulu, karena aku tidak mau Randi atau pun Nadia mengetahui jika aku dijemput oleh mas Faisal sebentar lagi.“Aku duluan ya guys, ada kepentingan mendadak nih,” ucapku pada mereka yang masih berkutat dengan laptop masing-masing. Mereka melongo mengiringi kepergianku. Aku berpura-pura santai agar mereka tidak menaruh curiga.Setelah tiba di area parkir, aku memilih duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel. Aku ingin membalas chat mas Faisal tadi. Aku ingin mengabarkan padanya bahwa aku
Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan. Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam. Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan. Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam. Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
‘Sudah pulang belum? Sebentar lagi aku jemput.’ tulis mas Faisal.Mas Faisal mengirimku sebuah chat. Aku melirik jam, ternyata sudah hampir jam 7 malam.Hari ini aku dan teman-teman memang sedang lembur. Aku segera mengemasi barang-barangku. Aku ingin pulang lebih dulu, karena aku tidak mau Randi atau pun Nadia mengetahui jika aku dijemput oleh mas Faisal sebentar lagi.“Aku duluan ya guys, ada kepentingan mendadak nih,” ucapku pada mereka yang masih berkutat dengan laptop masing-masing. Mereka melongo mengiringi kepergianku. Aku berpura-pura santai agar mereka tidak menaruh curiga.Setelah tiba di area parkir, aku memilih duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel. Aku ingin membalas chat mas Faisal tadi. Aku ingin mengabarkan padanya bahwa aku
“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren. Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun. Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadi