“Kamu ada masalah apa dengan Randi?” tanya Nadia yang tiba-tiba datang menghampiriku, di tengah taman yang berada tepat di belakang kantor.
Kekesalanku kepada Randi membuatku memilih meninggalkna kantin, dan menyendiri di taman ini.
Nadia menyodorkan sebuah sandwitch dan sebotol air mineral dingin. Dia paham sekali jika aku kesal, dan belum sempat makan siang.
Aku langsung memakan sandwitch pemberian Nadia, dan aku meneguk habis air mineral dingin yang hanya sebotol kecil itu.
“Dia mengusik ranah pribadiku, dia mencari tahu tentang mas Faisal,” jawabku dengan rasa kesal.
“Terus salahnya di mana nona?” tanya Nadia lagi.
“Ya itu salahnya. Aku tidak mau dia mencampuri urusan pribadiku, itu saja.” Aku sedikit menekankan intonasi suaraku.
“Kenapa dia bisa tahu kamu punya hubungan dengan pak Faisal? Bukannya yang tahu itu cuma aku?” Nadia heran.
“Begini ceritanya, kemaren aku mengunjungi panti bersama mas Faisal. Aku memang sengaja mengajaknya, agar bu Fatimah tidak lagi ingin menjodohkanku dengan Randi,” jelasku.
“Oo … ternyata itu masalahnya.” Mulut Nadia persis membentuk huruf O.
“Yup,” responku datar.
“Eh by the way, kenapa kamu tidak mau sama Randi sih, dia kan cakep.” Nadia menggodaku.
“Aku tidak tertarik sama dia!” ucapku dengan nada ketus.
“Ok … ok, gimana kalau Randi buat aku saja?” Nadia mengerlingkan mata, aku terkekeh dibuatnya.
“Ambil saja kalau mau!” ucapku.
“Beneran nih?” Nadia mengerling.
“Beneran!” Aku meyakinkannya.
“Enggak nyesel nanti?” Dia meledekku.
“Ih … udah deh Nad, aku itu ill feel tau enggak sama si Randi itu. Kalau kamu suka ya ambil saja,” gerutuku.
Pada akhirnya kami terbahak-bahak berdua. Nadia mungkin memang suka kepada Randi, aku bisa membacanya dari ekspresi dia tadi.
Dia begitu antusias menyambut kedatangan partner baru kami yang ternyata adalah Randi.
Randi dan Nadia, sepertinya cocok. Nadia gadis yang periang dan baik, sedang Randi cowok pendiam dan juga baik. Aku akan menjadi orang pertama yang sangat bahagia jika saja mereka berjodoh nanti.
***
“Cri … maafkan aku ya, kamu marah ya?” Randi mengejarku saat jam pulang kantor tiba.
Aku terus berjalan dan tidak menghiraukannya. Dia terus mengikuti langkahku, apa yang dia lakukan sungguh membuat kekesalanku padanya bertambah-tambah saja.
Aku membalikkan badan, lalu menatap tajam kearahnya.
“Iya, aku memang marah!” ucapku dengan nada ketus.
“Aku minta maaf,” ungkap Randu penuh sesal.
“Aku bisa memaafkanmu, tapi ada syaratnya," ucapku.
“Baiklah, apa syaratnya?” tanya Randi.
“Pertama, tolong jangan memberitahu pada bu Fatimah prihal jati diri mas Faisal. Kedua, mulai saat ini jangan pernah campuri urusanku lagi, paham?” Aku menatapnya tajam.
“Tetapi bu Fatimah pasti akan kecewa jika tahu kamu berhubungan dengan suami orang,” ujarnya.
“Ya makanya jangan kasih tahu beliau," pintaku.
“Jika kamu masih berhubungan dengan dia, pasti lambat-laun bu Fatimah nantinya juga tahu sendiri," ungkap Randi.
“Itu urusan aku ya. Mau aku mafkan atau tidak?” Aku mengancamnya.
“Baiklah kalau begitu.” Dia menyerah.
Akhirnya Randi sama sekali tidak keberatan dengan semua syarat yang aku berikan. Dengan sedikit gertakan saja, entah kenapa seketika dia menjadi sangat penurut.
“Cri … boleh aku bicara?” pinta Randi.
“Bicaralah," jawabku.
“Kalau boleh aku menasehatimu, sebaiknya jangan berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri," pinta Randi.
“Ran … kamu sudah melanggar persyaratan yang nomer dua!” hardikku ketus.
Aku langsung menyetop taxi yang kebetulan melintas di hadapanku. Aku meninggalkan Randi begitu saja.
“Cri … tunggu dulu cri, Criana!” Dia memanggil-manggil namaku, namun tidak kuhiraukan.
***
Dalam kesendirian, tiba-tiba bayangan mas Faisal menari-nari di pelupuk mataku. Aku begitu merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin di dekatnya dan diam-diam menghirup aroma tubuhnya seperti dulu.
Pengaruh rasa rindu yang tak terbendung, membuatku memberanikan diri mengirimnya sebuah chat.
Aku tidak perduli lagi dengan kemarahnnya terhadapku. Aku mengetik kata demi kata, aku ungkapkan semua rasa yang aku punya.
Sebelumya, aku membaca ulang chat tersebut, lalu aku memilih untuk menghapusnya. Aku tidak jadi mengirimnya, aku begitu malu jika dia tau apa yang aku rasakan saat ini.
Aku lempar ponsel ke atas meja, karena kesal pada diriku sendiri.
Tanpa kuduga, tiba-tiba saja ponsel itu berdering. Aku terperanjat, jangan-jangan itu telepon dari mas Faisal.
Aku meraih ponsel dengan penuh debar. Ternyata dugaanku salah, nama Randilah yang muncul di layar ponselku. Aku me-rejectnya, namun dia terus mengulang panggilannya berkali-kali. Akhirnya dengan terpaksa aku menerima panggilannya itu.
“Ada apa Ran, telepon malam-malam? Aku ngantuk banget ini, mau tidur.” Aku pura-pura menguap.
“Kenapa direject barusan? Kamu masih marah ya sama aku Cri?” Dia masih mempertanyakan tentang itu, duh dasar ni anak.
“Ran begini ya, aku sudah tidak marah kok sama kamu. Aku reject itu karena aku ngantuk banget dan ingin tidur.” Aku pura-pura manis, padahal hatiku sangat dongkol sekali padanya.
“Benar?” Dia memastikan dan belum sepenuhnya percaya.
“Benar, sudah ya. Aku ngantuk banget ini. Besok kan kita ada meeting pagi," kilahku.
“Oh iya, ok deh. Selamat tidur, mimpi indah ya. Bye bye!” Akhirnya Randi percaya.
“Hem bye!” responku.
Panggilan ditutup, aku merasa lega. Randi … Randi, ada-ada saja tu anak.
Aku merebahkan tubuhku, menselonjorkan kedua kakiku. Aku ingin melepas penat. Namun nyatanya pikirannku malah bekerja keras untuk bagaimana cara menghubungi mas Faisal kembali.
Aku tidak mungkin meng-chatnya malam-malam begini. Apalagi menelponnya, itu tidak mungkin. Apa aku temui saja dia di kantornya besok, ah tidak, itu tidak mungkin.
Ponselku berdering kembali, duh ini pasti si Randi lagi. Aku burur-buru mengangkatnya. Kali ini aku akan menyemprotnya, aku tidak akan bermanis-manis lagi.
“Ada apa lagi?” tanyaku ketus, tanpa membaca nama si pemanggil.
“Cri … kamu kenapa? Ini aku Rudi.” Astaga ternyata yang menelponku adalah pak Rudi, atasanku.
“Oh maaf pak, saya pikir teman saya pak. Iya pak ada yang bisa saya bantu?” Aku berbicara dengan sopan juga nada yang diatur.
“Begini Cri, kita ada kerja sama dengan PT. Fun Bright,” jelas pak Rudi.
Fun Bright? Aku familiar dengan perusahaan itu. Ah iya, itu perusahaan mas Faisal.
“Iya pak,” jawabku penuh antusias.
“Aku minta kamu besok datang ke kantor perusahaan itu untuk mewakiliku," ucap pak Rudi.
“Siap pak,” jawabku dengan sigap tanpa pikir panjang lagi.
“Ok ya, jangan sampai lupa besok. Soalnya saya ada kepentingan di luar kota untuk beberapa hari kedepan. Jadi urusan dengan Fun Bright aku serahkan kepadamu,” ungkap pak Rudi.
“Baik pak.” Sekali lagi aku jawab dengan mantap tanpa sedikit pun rasa ragu.
Panggilan ditutup, dan aku seperti melayang-layang ke angkasa. Tuhan seperti mewujudkan ke inginanku untuk bertemu mas Faisal melalui tangan pak Rudi.
Ini ajaib, sangat ajaib. Aku seperti menemukan energi baru, gairah baru. Duh ingin rasanya pagi segera datang.
Malam ini aku menuju alam mimpi dengan perasaan yang berbunga-bunga. Mas Faisal tunggu aku besok, kita akan bertemu kembali.
***
Pagi yang begitu sempurna. Aku memantaskan diri sebagai perwakilan dari perusahaanku untuk menghadiri meeting di kantor pusat PT. Fun Birght. Aku benar-benar ingin tampil sempurna. Kukenakan rok mini hitam selutut, dipadukan dengan jas hitam dan kemeja putih. Tak lupa pula aku memakai high heel hitam yang sedikit lebih runcing dari biasanya. Rambut ikalku yang sebahu, kutata rapi.Bagiku ini bukan tugas biasa, akan tetapi tugas yang sangat istimewa. Pasalnya, Fun Bright adalah perusahaan dimana mas Faisal Bekerja. Dia adalah CEO di perusahaan itu, dan tentunya dia yang akan memimpin meeting yang akan aku hadiri nanti.Tidak seperti biasanya, kali ini aku dijemput oleh sopir kantor. Tepat jam tujuh pagi, pak Kardi, sopir kantor itu telah tiba di depan rumahku. Aku langsung menaiki mobil dinas yang mewah dan elegant itu.Enta
“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren. Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun. Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadi
‘Sudah pulang belum? Sebentar lagi aku jemput.’ tulis mas Faisal.Mas Faisal mengirimku sebuah chat. Aku melirik jam, ternyata sudah hampir jam 7 malam.Hari ini aku dan teman-teman memang sedang lembur. Aku segera mengemasi barang-barangku. Aku ingin pulang lebih dulu, karena aku tidak mau Randi atau pun Nadia mengetahui jika aku dijemput oleh mas Faisal sebentar lagi.“Aku duluan ya guys, ada kepentingan mendadak nih,” ucapku pada mereka yang masih berkutat dengan laptop masing-masing. Mereka melongo mengiringi kepergianku. Aku berpura-pura santai agar mereka tidak menaruh curiga.Setelah tiba di area parkir, aku memilih duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel. Aku ingin membalas chat mas Faisal tadi. Aku ingin mengabarkan padanya bahwa aku
Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan. Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam. Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
“Aku ingin hidup bebas Cri, sama seperti orang kebanyakan.” Mas Faisal masih saja bicara dengan emosi yang meletup. Aku pun tetap terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya itu.Kali ini dia terdiam, wajahnya tertunduk. Aku menatapnya tanpa dia tahu. Ada rasa iba yang tiba-tiba saja menyeruak di dadaku.“Mas, mas tahu? Di luar sana banyak orang yang ingin menempati posisi Mas.” Aku memberanikan diri untuk angkat bicara, aku harus menghiburnya.“Mas itu sangat sempurna, semua apa yang orang impikan ada pada diri mas,” tambahku.“Haha … haha!” Dia terbahak, namun tampak jelas dia sangat depresi.“Mereka tidak tahu bebanku, mereka hanya tahu aku dari luar Cri,” ucapnya lirih, mendengarnya hatiku seakan teriris.Ternyata selama ini aku juga hanya mengenalnya dari lua
“Kamu kenapa sih?” Mas Faisal terheran-heran dengan sikapku.“Ah tidak apa-apa mas, aku tadi satu lift dengan Rayvan. Dia mengajakku pulang ke Jakarta bersama, aku menolak. Setelah keluar dari lift, aku mendahului langkahnya. Aku takut dia mengutitku, dan mengetahui jika kita jalan bersama,” ungkapku dengan nafas yang masih terengah-engah seperti diburu hantu.Mas Faisal hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia terlihat santai sekali, aku malah yang over panik. Aku takut Rayvan akan melihat kami, lalu mengadukan hal ini kepada istri mas Faisal.“Mask kok santai banget sih?” gerutuku.“Terus aku harus panik juga kayak kamu?” Dia tersenyum manis, manis sekali.Aku menghela nafas panjang, “ya bukan begitu maksudku. Memangnya mas tidak khawatir kalau Rayvan memergoki kita, lalu mengadukannya ke istri mas?” Aku menat
Hari ini adalah hari terakhir tugas dinasku di kota Malang. Tiga hari, aku rasa sangat kurang. Aku ingin berlama-lama disini bersama mas Faisal.Kebersamaan kami di kota ini memang tidaklah intens, dan bahkan sangat jauh dari kata intim. Namun bagiku bisa bersama dengannya dalam satu tempat, itu saja sudah cukup.Pagi ini dia kembali menjadi pembicara. Dan aku hanya bisa mengagumi sosoknya dari kejauhan, dari sudut ruangan yang penuh sesak dengan ratusan manusia lain. Suaranya menggema, intonsi suaranya lantang memikat. Semua hadirin diam membisu serasa terhipnotis dengan apa yang ia sampaikan.Aku seperti para peserta yang lain, begitu khidmat mengikuti serangkaian acara di hari terakhir ini. Acara yang begitu melelahkan dan menguras banyak pikiran. Hingga waktu makan siang tiba, dan masing-masing dari kami segera menyerbu ruangan sebelah yang memang dikhusus
Sesampainya di taman, aku celingukan mencari keberadaan Rayvan. Hingga dia berkode dengan melambaikan tangannya ke arahku. Aku langsung menghampirinya yang sedang duduk santai di sebuah pojok. Dia terlihat menikmati sekaleng soft drink.“Aku pikir kamu tidak akan datang,” ucap Rayvan dengan nada mengejek.“Aku tidak bisa tidur, jadi aku putuskan untuk turun,” jawabku sambil memeluk tubuhku sendiri dengan kedua lengan. Ternyata udara malam di kota ini begitu ekstrim, aku lupa tidak mengenakan sweater.Aku langsung duduk di hadapannya. Benar yang dia katakan, malam ini bulan purnama bulat sempurna, temaramnya begitu syahdu. Andai malam seindah ini bisa aku habiskan dengn seseorang yang aku cinta.“Ray, ini sudah malam. So, to the point saja apa maksud kamu sangat protektif terhadap mas Faisal?” ungkapku.“Haha … haha ….” Dia mal
“Hai … aku Rayvan,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiriku di sela-sela coffe break. Dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.“Criana …,” responku dengan menyambut uluran tangannya.“Boleh aku duduk?” tanya Rayvan.“Silahkan,” jawabku sambil menggeser tubuhku. Tanpa canggung dia langsung mengambil tempat tepat di sebelahku. Kini kami duduk bersebelahan. Aku yang merasa kurang nyaman, menggeser kembali tubuhku sedikit lagi.“Aku lihat kamu dekat sekali dengan Faisal?” ucap Rayvan dengan menatapku. Mendengarnya aku langsung mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa, dia orang baru tetapi sudah berani-beraninya mengulik kehidupan pribadiku.“Iya, kami memang dekat. Kami partner kerja,” ucapku mantap dengan menatapnya balik.“Faisal adalah sahabat karibku waktu kuliah dulu. Bahkan istri dia itu mantan ke
Bandara Soekarno HattaRiuh lalu-lalang para penumpang cukup memadati ruang tunggu. Aku merasa gerah dan bosan, karena tak ada satu pun orang yang bisa aku ajak untuk ngobrol. Aku pun memilih untuk memainkan game kesukaanku di ponsel.Beberapa menit kemudia aku merasa ada bunyi langkah sepatu menghampiriku. Semakin dekat, dan dekat. Aku menoleh, aku lihat orang itu dari bawah, dari ujung sepatu sampai ke ujung rambutnya. Dia mengenakan sepatu cat, celana jeans dan jaket kulit berwarna cokelat tua. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tidak bisa menebak persisnya dia siapa. Hingga dia membuka kaca mata hitamnya, dan aku pun terngaga.“Mas Faisal …,” ucapku sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan, saking terkejutnya. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Kini kami duduk berdampingan. Aroma parfume k
Setelah makan malam itu, mas Faisal menghantarku pulang. Kami pulang larut malam, karena banyak hal yang harus kami diskusikan, mengenai kerjasama antara Fun Bright dan Sinar Harapan. Aku sangat suka berdiskusi dengan mas Faisal, dia begitu cerdas dan berwawasan luas. Aku banyak mengeruk ilmu darinya, dan dia sangat membimbingku dalam hal pekerjaan.Setibanya di rumah aku merasa sangat lelah dan mataku dikuasai oleh kantuk. Anehnya aku sangat sulit terpejam. Aku merasa gusar, tetapi hatiku berbunga-bunga. Sedangkan senyuman manis mas Faisal menari-nari di pelupuk mata.Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk bangun. Segelas air putih yang berada di meja nakas kuteguk habis. Perasaanku sedikit lega, namu rasa gusarku itu belum sirna semua.Aku memilih untuk menghidupkan data pada ponselku. Beberapa chat masuk, tetapi aku malas membukanya.
‘Sudah pulang belum? Sebentar lagi aku jemput.’ tulis mas Faisal.Mas Faisal mengirimku sebuah chat. Aku melirik jam, ternyata sudah hampir jam 7 malam.Hari ini aku dan teman-teman memang sedang lembur. Aku segera mengemasi barang-barangku. Aku ingin pulang lebih dulu, karena aku tidak mau Randi atau pun Nadia mengetahui jika aku dijemput oleh mas Faisal sebentar lagi.“Aku duluan ya guys, ada kepentingan mendadak nih,” ucapku pada mereka yang masih berkutat dengan laptop masing-masing. Mereka melongo mengiringi kepergianku. Aku berpura-pura santai agar mereka tidak menaruh curiga.Setelah tiba di area parkir, aku memilih duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel. Aku ingin membalas chat mas Faisal tadi. Aku ingin mengabarkan padanya bahwa aku
“Cri, tolong jelaskan tentang agenda kerja kita dengan PT. Fun Bright?” Pak Rudi menanyaiku tentang hasil meeting kemaren. Aku tergagap-gagap menjawabnya. Pasalnya kemaren aku lebih fokus memperhatikan mas Faisal dari pada mendengarkan penjelasannya.Untungnya aku mempunyai soft file tentang agenda kerja tersebut. Aku menyerahkan flasdiscku pada pak Rudi, “semua agenda kerja kita sudah ada dalam soft file di flasdisc ini pak. Biar lebih jelas bapak bisa membacanya sendiri.”Mendengar ucapanku Nadia tersenyum, atau lebih tepatnya menahan tawa. Mungkin yang aku katakan pada pak Rudi memang kurang sopan.“Baiklah kalau begitu, aku bawa dulu flashdiscnya,” ucap pak Rudi tanpa complain sedikit pun. Beliau memang bos yang terkenal super sabar. Tidak pernah marah atau uring-uringa pada bawahannya.Selepas pak Rudi meninggalkan ruangan kami. Tawa Nadi