Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.
Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.
Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan memasuki ruang tengah, wajah Sera tampak sedikit panik dan canggung.
"Hai, nak, kau sudah pulang?" sapa Sera kaku.
Jinny bergeming. Sementara pria di samping Sera hanya diam. Gadis itu menatap Sera dan pria itu bergantian. Sorot matanya seakan meminta penjelasan Sera siapa pria itu.
"Jinny, perkenalkan ini Mark Steven, temanku"
Mark Steven tersenyum dan menjulurkan tangan pada Jinny, namun gadis itu hanya menatapnya dingin. Pria itu berpikir sejenak kemudian menurunkan tangannya. Ia tahu bahwa Jinny tidak menyukai kehadirannya di rumah itu.
"Apa seorang wanita yang masih memiliki suami bisa membawa teman prianya kedalam rumah?" kata Jinny tampak marah, "Dan kau dengan gampangnya memperkenalkan teman priamu padaku?"
"Jinny! Apa yang kau katakan? Tak seharusnya kau ber..."
"Apa?" sela Jinny dengan nada yang bergetar "Aku punya hak untuk berkata apapun dirumah ini"
Jinny mengatakan itu dengan penuh penekanan. Ia tak dapat membendung amarahnya, bahkan ia tidak peduli jika orang lain menganggapnya anak durhaka.
"Apakah kau peduli padaku? Kau hanya sibuk dengan pekerjaanmu tanpa bertanya apakah hari ini aku makan dengan baik atau tidak. Kau bahkan tidak peduli bagaimana perasaanku ketika kau selalu menolak makan malam bersamaku dengan alasan pekerjaan! Lebih baik kau tidak pulang..."
PLAK
Jinny menunduk terdiam ketika tangan Sera mendarat mulus di wajahnya. Pipi kirinya terasa panas, Sera membelalak ketika tanpa sadar melakukannya. Ia memandangi telapak tangannya, rasa bersalah menyelubungi hatinya. Sementara itu Mark teresiap dan tak menyangka Sera menampar Jinny dengan cukup keras.
Jinny menantap tajam Sera, dan tanpa berkata sepatah katapun ia melewati wanita itu dan pergi keluar rumah. Sera baru akan membuka mulut meminta maaf, Jinny membanting pintu hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
"Sera, kau baik-baik saja?" tanya Mark khawatir.
Sera hanya diam, mengembuskan napas dalam seraya memijat pelipisnya. Ia bingung harus bagaimana, mungkin Jinny akan membencinya seumur hidup.
***
Sambungan telepon masuk, namun tak kunjung ada jawaban. Jinny menurunkan ponselnya dan melihat nama yang dituju pada layar. Sudah lima kali ia menghubungi Joe namun laki-laki itu tidak menjawab. Jinny mengehal napas pelan dan menyimpan kembali ponselnya ke saku. Gadis itu berjalan gontai, entah dimana ia berada sekarang, ia hanya megikuti kakinya melangkah.
Matanya sembab, ia tak kuasa menahan air matanya ketika keluar dari rumah. Pipi kanannya masih terasa perih, mengingat betapa kerasnya tamparan yang layangkan Sera padanya. Ini kali pertama wanita itu menampar anak gadisnya. Rasa sakit hatinya ketika Sera membawa pria asing kerumah begitu memuncak.
Sekarang ia tak tahu harus pergi kemana dan sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jalanan mulai sepi, dan tak banyak orang yang berlalu lalang. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada kejadian saat ia hampir menjadi santapan lezat para pemabuk minggu lalu. Ia bergidik ngeri mengingatnya. Jinny tampak cemas, ia menoleh ke kiri dan kanan lalu menengok ke belakang, takut jika seseorang mengikutinya diam-diam. Namun ketika ia mengenal jalan yang ia lalui, gadis itu mengembuskan napas lega meski tidak sepenuhnya menghilangkan perasaan takutnya.
Tepat ketika ia melihat minimarket 24 jam yang ada di ujung jalan, suara perut kosongnya bunyi. Ia baru sadar jika ia belum makan malam, Jinny hanya makan sandwich saat pergantian mata kuliah tadi siang. Jika saja Sera tidak membawa pria asing kerumah, mungkin ia akan memesan pizza sebagai menu makan malamnya. Well, sepertinya ia harus membeli beberapa makanan di minimarket itu agar perutnya tidak lagi meronta.
"Julian, bisakah kau membawa rak kaleng itu ke belakang?" tanya Elise minta tolong ketika ia selesai mendata stock barang di rak pertama dan beralih ke rak selanjutnya.
Julian yang sedang mengerjakan tugas hariannya yang harus di serahkan pada Martin—Manajer toko—sebelum pulang—menoleh kearah Elise, matanya mengikuti telunjuk wanita itu yang mengarah ke samping lemari pendingin. Julian mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.
Julian berjalan ke arah lemari pendingin ketika seorang gadis membuka pintu minimarket.
Jinny berjalan menuju rak cemilan, ia menelan ludah ketika melihat deretan roti coklat favoritenya. Karena perutnya yang sangat lapar, ia mengambil dua bungkus roti coklat dan langusng beralih menjuju lemari minuman. Gadis itu mengambil satu botol air mineral ukuran sedang. Well, sepertinya ini sudah cukup untuk mengganjal perut kosongnya.
"Permisi" kata Jinny memanggil petugas minimarket ketika ia sudah berada di depan meja kasir.
Beberapa detika kemudia suara petugas kasir laki-laki menyahut dari belakang dan terdengar suara langkah kaki dari lorong kasir menghampirinya. Sosok itu tak terlihat karena terhalang oleh etalse.
"Maaf menunggu lama"
Ketika mendengar suara itu, Jinny seperti mengenalnya. Suara berat itu tak asing di kupingnya. Dan benar saja, saat laki-laki itu muncul Jinny mengangkat alis terkejut.
"Julian?"
Julianpun tak menyangka jika mereka bertemu untuk kali kedua di minimarket, meskipun yang pertama ia masih belum mengenal gadis itu.
"Oh, hai Jinny, aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi disini"
Jinny tertawa kecil.
"Sungguh kebetulan yang luar biasa sejak satu minggu kita saling mengenal"
Julian tersenyum sambil menghitung jumlah harga roti dan minuman yang dibeli gadis itu. "Semuanya lima dollar"
Jinny merogoh bagian dalam sakunya mecari dompet, seketika keningnya mengkerut. Ia memeriksa saku kanan dan kiri jaketnya namun tak menemukan dompetnya. Sial! Benda itu ada dalam tas ransel yang tinggalkan diatas sofa. Ia lupa jika dari tadi ketika lari dari rumah, ia hanya membawa ponsel tanpa membawa tasnya. Bodoh.
Ia mengangkat kepalanya, memandang Julian ragu. Ia tersenyum kikuk memperlihatkan deretan giginya yang rapi untuk menutupi rasa malunya. Julian mengangkat alis bingung melihat ekpresi gadis itu.
***
"Ini, ambillah" Julian menyerahkan kantong plastik yang berisi dua bungkus roti coklat dan sebotol air mineral pada Jinny.
Gadis itu melirik kantong plastik putih yang di sodorkan Julian. Pandangannya beralih pada laki-laki yang duduk di sampingnya dengan canggung. Sekarang mereka sedang duduk di kursi taman yang ada di seberang minimarket. Ia sangat malu mengingat kebodohannya tidak membawa dompet namun dengan percaya dirinya ia masuk ke dalam minimarket untuk berbelanja.
Julian yang pada saat itu memang sudah menyelesaikan pekerjaannya, menawarkan diri untuk pulang bersama sekaligus membayar belanjaan Jinny. Ia sempat menolak namun laki-laki itu tidak mendengarkannya. Betapa malunya ia sekarang, bahkan untuk menatap wajah Julian saja ia tak mampu.
Dengan ragu ia meneria kantong plastik putih itu kemudian mengambil satu bungkus rotu lalu di berikannya pada Julian sementara satunya lagi untuknya.
Julian mengangkat alis, menatap roti yang diberikan Jinny untuknya. Gadis itu menggoyangkan roti bungkus tersebut memberi tanda agar Julian menerimanya.
Mereka berdua membuka bungkus roti bersamaan lalu memakannya. Jinny tersenyum setelah gigitan pertama seraya melirik Julian.
"Aku akan menggantinya nanti"
"Kau tidak perlu menggantinya"
"Tidak, ini sangat memalukan bagiku"
"Tapi itu sangat lucu bagiku"
Julian tertawa melihat wajah Jinny yang memerah karena malu.
"Omong-omong, kenapa malam-malam begini kau bisa ada disini?"
Julian menatap Jinny seraya mengunyah rotinya. Gadis itu terdiam, mulutnya yang sedang menguyah berhenti sejenak.
"Aku...lari dari rumah" gumannya dan mulutnya kembali menguyah.
Julian mengangkat alis, menatap gadis di sampingnya bingung. Dengan jawaban yang seperti itu, sudah di pastikan jika Jinny ada masalah dengan orang tuanya hingga ia lari dari rumah. Laki-laki itu hanya mengangguk paham dan menghabiskan rotinya.
"Apakah kau pernah bertengkar dengan orang tuamu?" tanya Jinny, melirik Julian sejenak kemudian memandangi rotinya yang hanya tersisa setengah. Sebenarnya satu roti tidak cukup untuk mengganjal perutnya yang kosong, tapi karena rasa malunya tadi membuat rasa laparnya sedikit berkurang.
"Tentu saja, setiap anak di dunia ini pasti pernah bertengkar dengan orang tuanya" jawab Julian ringan.
Jinny bermaksud untuk menghabiskan roti yang tersisa ketika Julian menatapnya dan bertanya sesuatu. "Kau bertengkar dengan mereka?"
Jinny mengembuskan napas, pandangannya kedepan entah apa yang menarik disana, hanyalah semak-semak yang gelap. Ia berpikir sejenak untuk merangkai kata, ia tak bermaksud untuk menceritakan masalah pribadinya kepada orang lain apalagi ia hanya baru mengenal Julian seminggu yang lalu.
"Hanya terjadi kesalah pahaman dengan orang tuaku. Aku terlalu banyak menuntut pada mereka, hingga membuat orang tuaku geram," jinny tertawa kecil mendengar ucapannya sendiri "Apakah kau seperti itu? Maksudku apakah kau pernah menuntut sesuatu pada mereka, hingga membuat orang tuamu marah?"
Julian mengangangkat bahu "Merekalah yang menuntut padaku" jawab Julian ringan dan tertawa kecil.
Jinny tersenyum samar seraya menghabiskan roti yang tersisa.
Laki-laki itu menerawang ke atas sejenak, kemudian ia menyenderkan punggungnya di bahu kursi lalu menurunkan pandangannya. "Aku bahkan tidak mengerti jalan pikiran orang dewasa, walaupun aku sendiripun sudah dewasa," Julian mengembuskan napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya "Mereka hanya mementingkan kebahagiaannya sendiri demi mencapai apa yang diinginkan dan mengabaikan hal terpenting yang ada dalam hidupnya. Jika sudah saatnya mereka sadar, maka di sanalah penyesalan menghantuinya"
Jinny mendengarkan setiap kata yang di ucapanan Julian yang terdengar seperti ia sudah mengalami sesuatu yang menyakitkan.
"Hei, apakah aku terdengar seperti seorang motivator?"
"Tidak sama sekali"
"Benarkah? Padahal aku sudah merangkai kata-kata itu sebagus mungkin"
Jinny tersenyum melihat ekspresi polos Julian. Yah, setidaknya suasana hatinya sedikit lebih baik di bandingkan beberapa menit yang lalu.
"Aku berpikir apakah suatu saat nanti aku bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anakku kelak" gumam Jinny.
Julian melirik gadis di sampingnya, ia berpikir sejenak kemudian menabahkan "Manusia tak ada yang sempurna, seberapa berusahanya kita untuk menjadi lebih baik sekalipun. Tapi satu hal yang harus di ingat, bahwa tak ada orang tua yang jahat jika ia tahu kewajibannya dengan baik"
Jinny merasa lebih baik setelah mendengar perkataan laki-laki itu. Benar jika semua orang tua lalai akan kewajibannya maka anaklah yang akan menjadi korban. Namun itu semua kembali kepada pribadi masing-masing apakah ia sanggup atau tidak dengan tanggung jawab itu.
Beberap menit suasana hening, hanya suara serangga malam dan desiran angin yang menyapu dedaunan. Mereka tenggelam pada pikirian masing-masing.
"Well, sepertinya percakapan kita cukup dalam hari ini" celetuk Julian memecah keheningan.
Ia melirik jam tangannya dan sudah menunjukkan pukul 10 malam, tak terasa satu jam mereka menghabiskan waktu di taman itu.
"Sudah larut malam, sebaiknya kita pulang"
Jinny menoleh, raut wajahnya berubah ia tampak gelisah ketika mendengar kata pulang.
"Karena sudah malam, aku akan mengantarmu pul..."
"Julian..." Jinny menyela.
"Hm?"
"Aku..." Jinny berpikir sejenak, ia harus mencari alasan agar ia tidak pulang ke rumah malam ini, tapi apa? Ia tidak memiliki teman selain Joe yang tidak bisa dihubungi.
Julian menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.
"Mungkin ini terdengar gila bagimu karena kita belum lama saling mengenal..." Jinny diam sejenak, ia merutuki ide gilanya itu. Gadis itu menatap Julian yang sedari tadi menunggu menyelesaikan ucapannya "Bolehkah aku...ikut denganmu?"
Julian mengangkat alis terkejut.
"Maaf. Malam ini aku sedang tidak ingin kembali ke rumahku...tapi jika kau keberatan aku akan menelepon teman yang lain" ucap Jinny dan mengatakan kalimat terakhir dengan cepat.
"Aku tidak keberatan" Sanggah Julian.
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
High dive into frozen waves where the past comes back to lifeFight fear for the selfish pain, it was worth it every timeHold still right before we crash 'cause we both know how this endsA clock ticks 'till it breaks your glass and I drown in you again'Cause you are the piece of me I wish I didn't needChasing relentlessly, still fight and I don't know whyIf our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?If our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?Julian menatap keluar jendela cafe dan mendapati Jinny terduduk mematung di tengah derasnya hujan. Matanya membulat kemudian langsung berlari ke luar menghampiri gadis itu. Ia memeluk Jinny erat.Walk on thr
Aku tenggelam padamu lagiKarena kau adalah bagian dari diriku-Julian Wheeler-***"HEI!APA YANGKALIANLAKUKAN SAMPAI LAMA SEPERTI ITU?CEPAT BAWA PERLATANNYA KEMARI!"Julian menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang ada di luar sana, di ikuti oleh Paul yang membelakangi laki-laki itu. Paul bersungut kesal "Ada masalah hidup apa si pak tua itu?" setelah mendengar teriakan lantang pak tua yang di sebut-sebut tadi, alias Cody Hansen pelatih club sepak bola mereka."Cody menyuruh kita mengambil semua peratalan sialan ini karena kita terlambat, Paul
Jika cinta kita adalah tragedy lalu kenapa kau adalah penyembuhku?Jika cinta kita adalah kegilaan, kenapa kau adalah kejernihan ku?-Jinny Wilson-***Alunan musik serta suara merdu dari penyanyi wanita dan pria yang membawakan laguDestinymilikJim Brickman, mengiringi langkah seorang gadis cantik, dengan balutan gaun putih, seraya tersenyum manis menatap lurus kedepan. Tampak para tamu merasakan kebahagiaan dan terhanyut dalam suasana. Gadis itu melewati lorong deretan bangku yang di penuhi para undangan menuju ke sebuah altar, dimana seorang laki-laki tampan nan gagah dengan balutan tuxedo putih menunggunya dengan senyum yang merekah.Gadis itu menyambut uluran tangan
Jinny mendongakkan kepala ke atas dan memejamkan mata menikmati sentuhan angin yang membelai lembut wajahnya. Pikiran tentang kedua orang tuanya ia singkirkan sejenak, ia hanya ingin mendengar suara nyaring kicauan burung gereja yang menari di atas sana. Ia membuka matanya ketika suara laki-laki yang ia kenal menyela diantara gemersak suara dedaunan."Hai, Jinny Wilson, maaf membuatmu menunggu lama" kata Joe yang kini sudah duduk dis amping Jinny.Gadis itu menurunkan pandangannya menghadap Joe dan menyunggikan senyum sempurna. Hanya laki-laki itu yang selalu ada untuknya, setidaknya untuk saat ini ia ingin terus bisa melihat tatapan hangat Joe. Meskipun ia tahu suatu saat nanti Joe akan menemukan cinta sejatinya pada wanita lain. Ya, itu akan terjadi jika ia hanya diam dan tidak melakukan sesuatu terhadap perasaannya pada Joe.
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.